pada pada 30hb September 2010 pukul 4.56 pagi
Tragedi Tak Bai Di Narathiwat, Thailand Selatan (1)
Disusun Oleh: Ben (Sekedar Pemerhati konflik di Thailand Selatan) & di edit oleh AMANI
MOTTO
Right Of Self Determination:
“hak anda untuk menentukan nasib sendiri atas wilayah yang kini diduduki asing.
Alasan anda benar. Keinginan anda pasti terwujud. Insya Allah’’
PERSEMBAHAN
Ku
persembahkan tulisan ini untuk kedua orang tua ku yang selalu ku
sayangi, ku kasihi, kupuja dengan segenap jiwa dan perasaan ku. Segala
pengorbanan dan ketulusan senantiasa terukir indah dalam kasih mereka,
tanpanya ku lelah, tanpanya ku seakan kehilangan pelita yang hadir
berikan cahaya kehidupan atas roh ku. Dan aku ingin ungkapkan “aku
memujai mu Ibu-ku (tanah air) dan aku memujaimu bapak-ku (bangsa)”.
DAFTAR ISI
1. Pendahuluan
A.Latar Belakang Masalah
2. Tragedi Tak Bai
A. Faktor dan Peristiwa
B. Sikap Pemerintah Thailand dan Kritikan Dunia Internasional
C. Pandangan Domestik Terhadap Tragedi Tak Bai
1. Tanggapan Pemerintah
2. Tanggapan Para Ulama dan Aktivis Islam
3. Tanggapan Tokoh Akademik - Politik
4. Tanggapan Keluarga Korban dalam Tragedi Tak Bai
3. Pasca Tragedi Tak Bai
A. Pasca Tragedi Tak Bai,
1. Kebijakan Pemeritah
2. Daftar Hitam Warga Muslim
3. Amnesty International Mendesak Pemerintah Thailand
B. Tuntut Warga Menyelidiki yang ‘dihilangkan’
C. Eksodus Massal 131 Orang Penduduk Melayu Muslim di Thailand Selatan
1. Penyebab
2. Tuduhan Pemerintahan Bangkok Terhadap Pengungsi
3. Tanggapan Malaysia Terhadap Pengungsi Muslim Melayu dari Thailand Selatan
4.Kesimpulan
1.PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Dalam
realiti kehidupan masyarakat muslim sebagai golongan minoriti, maupun
majoriti baik di Barat maupun di Asia Tenggara selalu dipandang sebagai
masalah.
Sekolompok
majoriti akan selalu menindas minoriti. Tampaknya telah menjadi sebuah
hukum alam. Walaupun asumsi di atas, masih harus dipertanyakan
kebenaran. Tapi, pada kenyataannya kondisi tersebut sesuai dengan
realiti yang ada. Seperti yang dialami masyarakat Patani. Patani sebuah
wilayah yang terletak di Thailand Selatan. Dengan majoriti penduduknya
beragama Islam mengalami tekanan-tekanan agar menerapkan beberapa
kebijakan yang disodorkan pemerintah.
Dalam
hal ini pemerintah yang ada di Thailand didominasi oleh agama Buhda.
Sehingga tidaklah menghiraukan apabila kebijakan-kebijakan yang ambil
dilandasi dengan sentiment keagamaan Thailand yang majoriti penduduk
beragama Budha berusaha merubah system atau tataran kehidupan rakyat
Patani dan menjauhkan mereka dari social cultural yang telah mereka aplikasi selama ini.
Di
wilayah perbatasan Thailand Selatan sendiri tercatat pernah terjadi
pemberontakan bersenjata, beragam faksi perlawanan Patani. Setelah
sempat padam tahun 1990-an, aktiviti perlawanan Patani mulai muncul
kembali awal tahun 2004. Apa yang terjadi di Thailand Selatan jelas
tidak lepas dari pergolakan di Indochina sejak pertengahan tahun 1950
hingga 1980-an. Termasuk perang Vietnam, Kamboja, dan Laos. Sedangkan
Myanmar hingga sekarang masih terus bergolak.
Bahwa
pada awal, Selatan Thailand merupakan Kerajaan Patani Merdeka, yang
kemudian dirampas Kerajaan Siam tahun 1902 dan diintegrasikan sebagai
bagian dari Thailand (Maruli Tobing, Kompas, 8 Desember 2004).
Dalam
perspektif demikian, lambatnya pembangunan di wilayah selatan dilihat
sebagai diskriminasi terhadap rakyat keturunan Melayu. Diskriminasi yang
selalu melekat dalam struktur penjajahan. Termasuk dalam kesempatan
kerja di pemerintahan, pendidikan, dan pembangunan ekonomi. Situasi
demikian jelas rawan dan meledak (explosive). Pemerintah Thailand
meresponsnya seperti halnya penjajah terhadap rakyat jajahan. Bahwa
wilayah Thailand selatan dulu merupakan kesultanan merdeka bernama Patani Darussalam
sebelum Bangkok menguasainya seabad lalu. Penduduk di perbatasan
memiliki kebudayaan dan agama sama dengan Malaysia. Perang gerila untuk
memperoleh kemerdekaan di Thailand Selatan berlangusng tahun 1970-an dan
1980-an.
Majoriti
warga di tiga provinsi Patani, Yala dan Narathiwat, adalah warga Muslim
keturunan Melayu. Jumlahnya sekitar 80 persen dari sekitar 6 juta
penduduk Muslim di Thailand. Penduduk negeri Gajah Putih ini berkisar 63
juta jiwa. Tidak mudah memang mengurai fakta-fakta tersebut. Di satu
pihak rakyat di wilayah Selatan tidak pernah merasa bagian dari
Thailand. Namun, di pihak lain, mereka ikut bersaing (competition) dalam arena politik nasional.
Di
Thailand Selatan terdapat minoriti Muslim yang pada masa yang lalu
kurang mendapat perhatian dari pemerintah pusat (Sutopo A.R. Soesastro
Hadi, 1981, 387). Seperti halnya juga rakyat Thailand Selatan selalu
merasa diabaikan pemerintah pusat dalam segala hal, termasuk dalam
aktiviti pembangunan, tetapi saat pemimpin nasional Thailand berasal
dari wilayah Selatan, hal ini tidak segera dibenahi.
Thailand
Selatan tetap seperti beberapa dekad silam. Dalam hal ini, persoalannya
bukanlah siapa yang berkuasa di Thailand. Sebab terbukti persepsi pada
Thailand Selatan sebagai daerah pembuangan tetap tidak berubah. Persepsi
inilah yang menyebabkan daerah Selatan makin tidak terurus dan mirip
daerah tidak bertuan. Situasi demikian menyebabkan rakyat terpisah (alienation) (a) terpencil dan tidak merasa bagian dari Thailand.
Kesan
bahwa tidak banyak yang berubah diperkuat oleh kenyataan bahwa agama
Buddha Thai di bagian-bagian selebihnya negeri itu masih menganggap
bagian Selatan sebagai wilayah perbatasan terpencil. Dari perspektif
Bangkok hingga saat ini wilayah itu tetap merupakan Thailand’s Deep South, provinsi terpecil di selatan, atau Far South, selatan yang jauh, semua istilah-istilah ini banyak digunakan dalam akhbar-akhbar dan media Thailand.
Apa
yang terjadi di Thailand Selatan merupakan suatu rasa benci dan
kecurigaan yang sudah lama membubung kembali selama perang melawan
terorisme yang diumumkan setelah tanggal 11 September 2001 dan
penangkapan sejumlah Muslim Thai yang dicurigai sebagai anggota Jemaah
Islamiah (JI) di Thailand. Kaum Melayu Patani yakin bahwa pemerintah
dalam kenyataan sebenarnya melancarkan perang atas agama mereka dan
sekolah-sekolah agama mereka atau yakin bahwa Bangkok mengorbankan
mereka untuk menjaga hubungan baik dengan Washington (Masri Maris, 2005,
216).
Tak
Bai adalah kota district di Provinsi Narathiwat, yang terletak sekitar
1.300 kilometer selatan Bangkok, tiba-tiba menjadi perhatian dunia
internasional setelah terjadi pembantaian demontrasi pada 25 Oktober
2004. Jalan menuju Tak Bai hanya satu dan berakhir pula di sini, di sisi
Sungai Nara, sungai yang penting bagi lalu lintas perahu motor yang
menghubungkan Tak Bai dengan Negara Bagian Kelantan di Malaysia.
Pasca
tragedi kemanusiaan di Tak Bai, Narathiwat, yang menelan korban nyawa
sekitar 80an demonstran, ada beragam pandangan terhadap kepemimpinan
Pemerintahan Thailand, baik pandangan politik domestik setempat maupun
kritikan internasional karena dianggap menempuh cara-cara menahan dan
menindas (repressive) dalam menghadapi demonstrasi warganya.
Tindakan
menahan dan menindas (repressive) pemerintah Thailand terhadap
demonstrasi Tak Bai di Narathiwat Selatan Thailand merupakan bentuk
pengingkaran Pemerintah Thailand tersebut atas hak-hak masyarakat
minoriti Muslim di Thailand Selatan. Tindakan ini juga merupakan bentuk
nyata dari upaya pemerintah untuk meminggirkan minoriti Muslim Melayu
Selatan Thailand dari sistem produksi mereka. Sekaligus merupakan bentuk
diskriminasi kepada komuniti masyarakat etnis Melayu yang manoriti
Muslim. Karena penduduk Muslim setempat tersebut merupakan bagian dari
masyarakat minoriti di Thailand, yang seharusnya mendapatkan jaminan
hukum dan perlindungan keamanan dari tindak diskriminasi apalagi
pemusnahan.
Tragedi Tak Bai
Deklarasi
Universal Hak-Hak Asasi Manusia dan diproklamirkan oleh Resolusi Majlis
Umum 217 A (111) 10 Desember 1948 menerangkan pasal 9: Tidak seseorang
pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang secara sewenang-wenang.
Mengikut Pasal 5: Tidak seorang pun boleh dianianya atau diperlakukan
secara kejam, dengan tidak mengingat kemanusiaan, ataupun jalan
perlakuan atau hukum yang menghina (A.Rahman Zainuddin, 1994,
xxviii-xxix).
Kebiadaban
tentara Thailand terhadap umat Islam di Patani sebenar telah mengakar
sejak berdirinya negeri gajah putih itu. Ini tidak hanya menyangkut
ketegangan budaya tetapi soal ketegangan beragama. Bangsa Thai yang
majoriti beragama Budha kelihatannya belum menerima orang Patani sebagai
masyarakat sebangsa. Secara giografis Patani di claim sebagai wilayah
kerajaan Thai, tetapi sebaliknya secara demografis dan cultural Patani
selalu dilihat sebagai bangsa lain yang kehadirannya dianggap mengganggu
keutuhan bangsa itu, akibatnya mareka didiskriminasi karena berbeda ras
dan berebeda agama dengan demikian juga beda budaya. Perbedaan itu yang
membuat pemerintah Thai bersikap diskriminatif bahkan cenderung
diungkapkan dengan tindakan kekerasan maupun masal.
Sikap
inteleransi pemerintah Thailand dan masyarakat budha di negeri itu pada
umumnya terhadap komuniti muslim terjadi karena mereka tidak bisa
menerima plurality, menghendaki hegemoni tunggal oleh Budhisme.
Sikap terungkap secara sadar atau tidak mengelola politik di provinsi
dibagian selatan yang terdiri dari ras melayu itu kemelayuan dan
keislaman rupanya belum bisa diterima oleh pemerintah dan masyarakat
disitu, ini terjadi kerana belum tuntas orientasi kemanusiaan dikalangan
mereka sehingga cenderung rasialis.
Sistem
demokrasi Kerajaan Thailand yang terbentuk oleh budaya dan agamanya
cenderung otoriter terhadap minoriti Melayu di bagian Selatan Thailand.
Demokrasi barangkali baik bagi orang lain, tetapi bagi bangsa Patani
bagaikan negara yang aristocracy atau sejenisnya.
Adapun
awal perkembangan politik Thailand di Selatan (Patani) berdasarkan pada
mendelegitimasikan bangsa Patani dan berusaha melegitimasikan atas
haknya. Jadi jelas bahwa Kerajaan Thai bertujuan untuk menghapuskan
kepemilikan hak atas bangsa Patani, baik secara politik maupun fisik,
merupakan suatu simbol yang tak dapat dihindarkan.
Jadi,
apa yang terjadi pada hari Isnin, 25 Oktober 2004 di depan Balai Polis
di Daerah Tak Bai, Narathiwat terhadap para pengunjuk perasaan yang
memprotes penangkapan warga Patani Muslim yang oleh polis dan tentera
dituduh telah menyediakan senjata untuk gerakan gerilia Patani, sehingga
6 orang mati dibedil, sedangkan 78 warga Patani lainnya mati ketika
sekitar 1300 orang dijejalkan ke dalam 6 truk tentera yang tidak cukup
mendapakan oksigen untuk bernapas ketika diangkut ketempat penjara yang
memerlukan 5 jam waktu perjalanan. Bahwa demontransi hanya sekadar picu,
bukan sebab utamanya karena itu tanpa ada demontransi, pasukan Thailand
akan berbuat dengan alasan apapun. Bahkan demontransi terjadi juga
karena adanya kekerasan yang mereka derita selama bertahun-tahun.
Hal-hal
di atas inilah yang menjadikan ketertarikan dan keingintahuan penulis
untuk melakukan penelitian dalam bentuk penulisan dengan judul: “TRAGEDI TAK BAI DI NARATHIWAT, THAILAND SELATAN”.
Akan ada sembungan berikut ke- (2)
(a).
Teralienasi: Keadaan merasa terasing atau terisolasi. Konsep ini di
gunakan oleh Karl Marx untuk nenunjukan keterasingan menusia yang
disebabkan oleh adanya persaiangan dan sikap egoisme, sehingga orang
tidak lagi saling menghargai tetapi saling memanfaatkan. Lihat dalam
Marbun, Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan Jakarta, 2002, hlm.16.
References
A.Rahman Zainuddin, Hak-hak Asasi Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1994, hlm.xxviii-xxix.
Maruli Tobing, “Thailand Selatan, dari Konflik Identitas Menuju Benturan Peradaban”, Kompas, 8 Desember 2004.
Masri Maris, Konflik Kekerasan Internal, Tinjauan Sejarah, Ekonomi-Politik, dan Kebijakan di Asia Pasifik, Yayasan Obor Indonesia, MOST-LIPI, LASEMA-CNRS, KITLV-Jakarta, 2005, hlm.216.
Sutopo A.R. Soesastro Hadi, Strategi Dan Hubungan Internasional Indonesia Di Kawasan Asia Asia –Pasifik, CSIS: Centre For Strategic And International Studies, Jakarta, 1981, hlm.387
Tragedi Masjid Krisik Pattani