Tuesday, 9 October 2012

PUJANGGA YAM TENGKU AMIR HAMZAH, PERGI TAK AKAN KEMBALI......PEJUANG YANG TAK MINTA DI DENDANGKAN


Pujangga YAM Tengku Amir Hamzah

 
Amir Hamzah lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara, pada 28 Februari 1911 dan meninggal dunia pada 20 Maret 1946 di Kuala Begumit, Binjai. Nama lengkapnya adalah Tengku Amir Hamzah Pangeran Indrapura yang kemudian disingkat menjadi Tengku Amir Hamzah. Nama Amir Hamzah diberikan oleh sang ayah karena kekagumannya kepada Hikayat Amir Hamzah.
Ayahanda Tengku Amir Hamzah bernama Tengku Muhammad Adil yang bergelar Datuk Paduka Raja. Tengku Muhammad Adil adalah Pangeran (Raja Muda dan Wakil Sultan) untuk Luhak Langkat Hulu yang berkedudukan di Binjai. Ayahanda Tengku Amir Hamzah mempunyai garis kekerabatan dengan Sultan Machmud, penguasa Kesultanan Langkat yang memerintah pada tahun 1927-1941. Berdasarkan silsilah keluarga istana Kesultanan Langkat, Tengku Amir Hamzah adalah generasi ke-10 dari Sultan Langkat. Garis keturunan tersebut memperlihatkan bahwa ia adalah pewaris tahta salah satu kerajaan Melayu, yakni Kesultanan Langkat.
Amir Hamzah menghabiskan masa kecil di kampung halamannya. Oleh teman-teman sepermainannya, Amir kecil biasa dipanggil dengan julukan Tengku Busu atau “tengku yang bungsu”. Said Hoesny, salah seorang karib Amir Hamzah di masa kecilnya, menggambarkan bahwa Amir Hamzah adalah anak laki-laki yang berparas “cantik”. Ia bertubuh semampai, kulitnya kuning langsat, lehernya jenjang, dan perkataannya lemah-lembut. Singkat kata, Amir Hamzah di waktu kecil adalah anak manis yang menjadi kesayangan semua orang.
Amir Hamzah mulai mengenyam pendidikan pada umur 5 tahun dengan bersekolah di Langkatsche School di Tanjung Pura pada 1916. Sekolah ini didirikan oleh Sultan Machmud Abdul Aziz, ayahanda Sultan Machmud, pada 1906. Sebagian besar guru di sekolah Amir Hamzah adalah orang Belanda, hanya ada satu orang saja guru Melayu. Pada mulanya, sekolah ini hanya berupa Sekolah Desa dengan masa tempuh studi 3 tahun, kemudian berubah menjadi Sekolah Melayu dengan masa tempuh studi 5 tahun, dan terakhir menjadi Lanngkatsche School dengan masa tempuh studi 7 tahun.
Setelah tamat dari Langkatsche School, Amir Hamzah melanjutkan pendidikannya di MULO, sekolah tinggi di Medan. Setahun kemudian, Amir Hamzah pindah ke Batavia (Jakarta) untuk melanjutkan sekolah di Christelijk MULO Menjangan. Amir Hamzah lulus dari sekolah itu pada 1927. Amir Hamzah kemudian melanjutkan studinya di AMS (Aglemenee Middelbare School), sekolah lanjutan tingkat atas di Solo, Jawa Tengah. Ia mengambil disiplin ilmu pada Jurusan Sastra Timur. Di Solo, mula-mula Amir Hamzah tinggal di asrama, yakni di kompleks perumahan kediaman KRT Wreksodiningrat yang berlokasi di samping istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Kemudian Amir Hamzah tinggal bersama keluarga RT Sutijo Hadinegoro di Nggabelen.
Amir Hamzah adalah seorang siswa yang memiliki kedisiplinan tinggi. Simak kesan Achdiat K Mihardja tentang kedisplinan Amir Hamzah: “Disiplin dan ketertiban itu nampak pula dari keadaan kamarnya. Segalanya serba beres, buku-bukunya rapih tersusun di atas rak, pakaian tidak tergantung di mana saja, dan sprei tempat tidurnya pun licin tidak kerisit kisut. Persis seperti kamar seorang gadis remaja.”
Selama mengenyam pendidikan di Solo, Amir Hamzah mulai mengasah minatnya pada sastra sekaligus obsesi kepenyairannya. Pada waktu-waktu itulah Amir Hamzah mulai menulis beberapa sajak pertamanya yang kemudian terangkum dalam antologi Buah Rindu, terbit pada 1943. Ajip Rosidi memandang puisi-puisi dalam Buah Rindu adalah puisi Amir Hamzah pada masa-masa “latihan kepenyairan”. Demikian pula dengan anggapan Amir Hamzah sendiri bahwa Buah Rindu hanya sebagai latihan sebelum akhirnya ia menulis sajak-sajak sebagaimana yang terangkum dalam Nyanyi Sunyi. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa puisi-puisi dalam Buah Rindu belum menunjukkan kualitas sebagaimana yang terlihat dalam antologi Nyanyi Sunyi.
Pada waktu tinggal di Solo, Amir Hamzah juga menjalin pertemanan dengan Armijn Pane dan Achdiat K Mihardja. Ketiganya sama-sama mengenyam pendidikan di AMS Solo, bahkan mereka satu kelas di sekolah itu. Di kemudian hari, ketiga orang ini mempunyai tempat tersendiri dalam ranah kesusastraan di Indonesia.
Proses kepenulisan Amir Hamzah sewaktu di Solo merupakan proses awal yang menentukan posisi kepenyairannya. Ini adalah proses pembentukan dan pematangan dari seorang Amir Hamzah sebagai manusia. Intensitas proses Amir Hamzah sebagai menusia dan penyair kemudian berlanjut ketika ia meneruskan pendidikannya di Batavia. Dua periode ini merupakan masa proses yang paling kompleks dan intensif dalam kehidupan Amir Hamzah.
Intensitas pergulatan Amir Hamzah dengan berbagai peristiwa kemudian tercermin ke dalam sajak-sajaknya. Bahkan, boleh jadi sajak-sajak Amir Hamzah indentik dengan jalan hidupnya. Kesan seperti ini tidak dapat dihindarkan karena sajak-sajak Amir Hamzah sepertinya secara langsung mencerminkan fakta dan peristiwa empiris dalam kehidupan, perenungan, serta pergulatan dan pencapaiannya di dunia sebagai manusia.
Setelah studinya di Solo pungkas, Amir Hamzah kembali ke Jakarta untuk melanjutkan studi ke Sekolah Hakim Tinggi pada awal tahun 1934. Semasa di Jakarta, kesadaran kebangsaan di dalam jiwa Amir Hamzah kian kuat dan berpengaruh pada wataknya. Meskipun keturunan raja, ia tidak pernah memperlihatkan sikap feodal. Kesadaran kebangsaan dan kerakyatan Amir Hamzah tercermin dari lingkungan pergaulannya, juga dari pekerjaan tambahannya sebagai pengajar di Perguruan Rakyat, lembaga pendidikan yang merupakan bagian dari Taman Siswa, di Jakarta. Bersama beberapa orang rekannya di Perguruan Rakyat, temasuk Soemanang, Soegiarti, Sutan Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, dan lainnya, Amir Hamzah menggagas penerbitan majalah Poedjangga Baroe.
Amir Hamzah mulai menyiarkan sajak-sajak karyanya ketika masih tinggal di Solo. Di majalah Timboel yang diasuh Sanusi Pane, Amir Hamzah menyiarkan puisinya berjudul “Mabuk” dan “Sunyi” yang menandai debutnya di dunia kesusastraan Indonesia. Selain itu, sajak-sajaknya juga dipublikasikan di rubrik sastra Panji Pustaka asuhan Sutan Takdir Alisyahbana. Selain menulis sajak, Amir Hamzah juga menulis prosa dan esai tentang kesusastraan. Sajak-sajak Amir Hamzah cenderung terlihat lebih ke gaya sastra Timur.
Sejak dimuat di majalah Timboel, karya sastra Amir Hamzah terus muncul di berbagai media massa, misalnya di majalah Pudjangga Baroe, Pandji Poestaka, dan lain-lain. Nama Amir Hamzah mulai dikenal, dan lingkungan pergaulannya dengan kalangan sastrawan pun mulai berlangsung intensif. Beberapa sastrawan yang semasa dengan Amir Hamzah antara lain Armijn Pane, Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, Muhamaad Yamin, Suman Hs, JE. Tatengkeng, HB. Jassin, dan lainnya.
Mungkin pencapaian karya sastra Amir Hamzah bukan pencapaian terbaik dari suatu kelompok yang mengkhususkan diri dalam mencari kemudian menemukan semacam puitika yang lain sebagaimana yang terjadi di Barat. Namun begitu, tidak dapat dihindarkan bahwa ada semacam ikatan maupun komitmen para beberapa pemrakarsa majalah Poedjangga Baroe yaitu, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, dan Amir Hamzah sendiri untuk memajukan bahasa Indonesia. Penerbitan majalah Poedjangga Baroe sendiri juga merupakan perwujudan komitmen hal tersebut.
Amir Hamzah mewariskan dua buah kumpulan sajak karangannya, yaitu Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi. Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan, banyak pengamat yang menilai bahwa Nyanyi Sunyi bukan hanya merupakan puncak pencapaian kreatif Amir Hamzah, namun juga menjadi salah satu puncak bagi kepenyairan Indonesia. Antologi puisi Nyanyi Sunyi menjadi pemula bagi sajak-sajak kemudian yang membahasakan kesunyian.
Kumpulan sajak Amir Hamzah yang lain, yaitu Buah Rindu, sebenarnya cenderung merupakan semacam catatan biografi. Meskipun buku kumpulan puisi ini terbit lebih belakangan dibanding Nyanyi Sunyi, namun proses penulisannya lebih dahulu dibanding puisi-puisi pada Nyanyi Sunyi. Sajak-sajak dalam kumpulan puisi Nyanyi Sunyi adalah sajak-sajak yang sublim dengan lebih melukiskan pergulatan eksistensial sang penyair. Melalui Nyanyi Sunyi itulah kehidupan menjadi semacam ruang filosofis yang sunyi.
Para peneliti dan kritikus sastra yang menyimpulkan dua hal tentang bahasa puisi Amir Hamzah. Di satu sisi, ia seolah-olah terikat pada bahasa Melayu, namun di sisi lain Amir Hamzah juga sangat bebas ketika memasukkan beberapa kata yang berasal dari bahasa Jawa, Kawi, atau Sansekerta. Ketika membaca sajak-sajak Amir Hamzah, tak jarang pembaca akan menemui beberapa kata yang bukan berasal dari bahasa Melayu, misalnya dewangga, dewala, sura, prawira, estu, ningrum, padma, cendera, daksina, purwa, jampi, sekar, alas, maskumambang, dan lain sebagainya.
Amir Hamzah mewariskan 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa, dan 1 prosa terjemahan. Jumlah keseluruhan karya itu adalah 160 tulisan. Jumlah karya tersebut masih ditambah dengan Setanggi Timur yang merupakan puisi terjemahan, dan terjemahan Bhagawat Gita. Dari jumlah itu, ada juga beberapa tulisan yang tidak sempat dipublikasikan.
Revolusi sosial yang meletus pada 3 Maret 1946 menjadi akhir bagi kehidupan Amir Hamzah. Ia adalah korban yang tidak bersalah dari sebuah revolusi sosial pada waktu itu. Pasukan Pesindo menangkapi sekitar 21 tokoh feodal termasuk di antaranya adalah Amir Hamzah yang ditangkap pada 7 Maret 1946. Kemudian, pada dini hari tanggal 20 Maret 1946, orang-orang yang ditangkap itu dihukum mati.
(Mujibur Rohman/TAH/Bio/01/05-2011)

Karya-Karya YAM Tengku Amir Hamzah

PUISI-PUISI YAM AMIR HAMZAH





 Amir Hamzah mewariskan dua buah kumpulan sajak karangannya, yaitu Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi.Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan, banyak pengamat yang menilai bahwa Nyanyi Sunyi bukan hanya merupakan puncak pencapaian kreatif Amir Hamzah, namun juga menjadi salah satu puncak bagi kepenyairan Indonesia. Antologi puisi Nyanyi Sunyi menjadi pemula bagi sajak-sajak kemudian yang membahasakan kesunyian.

Kumpulan sajak Amir Hamzah yang lain, yaitu Buah Rindu, sebenarnya cenderung merupakan semacam catatan biografi. Meskipun buku kumpulan puisi ini terbit lebih belakangan dibanding Nyanyi Sunyi, namun proses penulisannya lebih dahulu dibanding puisi-puisi pada Nyanyi Sunyi. Sajak-sajak dalam kumpulan puisi Nyanyi Sunyi adalah sajak-sajak yang   lebih melukiskan perjuangan dalaman  sang penyair. Melalui Nyanyi Sunyi itulah kehidupan menjadi semacam ruang filosofis yang sunyi.

Para peneliti dan kritikus sastra yang menyimpulkan dua hal tentang bahasa puisi Amir Hamzah. Di satu sisi, ia seolah-olah terikat pada bahasa Melayu, namun di sisi lain Amir Hamzah juga sangat bebas ketika memasukkan beberapa kata yang berasal dari bahasa Jawa, Kawi, atau Sansekerta. Ketika membaca sajak-sajak Amir Hamzah, tak jarang pembaca akan menemui beberapa kata yang bukan berasal dari bahasa Melayu, misalnya dewangga, dewala, sura, prawira, estu, ningrum, padma, cendera, daksina, purwa, jampi, sekar, alas, maskumambang, dan lain sebagainya.

Amir Hamzah mewariskan 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris, 1 prosa liris terjemahan, 13prosa, dan 1 prosa terjemahan. Jumlah keseluruhan karya itu adalah 160 tulisan. Jumlah karya tersebut masih ditambah dengan Setanggi Timur yang merupakan puisi terjemahan, dan terjemahan Bhagawat Gita.


Sunyi Itu Duka
Sunyi itu duka
Sunyi itu kudus
Sunyi itu lupa
Sunyi itu lampus

Padamu Jua

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku gila, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu bukan giliranku
Mati hari – bukan kawanku ...


Barangkali

Engkau yang lena dalam hatiku
Akasa swarga nipis-tipis
Yang besar terangkum dunia
kecil terlindung alis

Kujunjung di atas hulu
Kupuji di pucuk lidah
Kupangku di lengan lagu
Kudaduhkan di selendang dendang

Bangkit Gunung
Buka mata-mutira-mu
Sentuh kecapi lirdusi
Dengan jarimu menirus halus

Biar siuman dewi-nyanyi
Gambuh asmara lurus lampai
Lemah ramping melidah api
Halus harum mengasap keramat

Mari menari dara asmara
Biar terdengar swara swarna
Barangkali mati di pantai hati
Gelombang kenang membanting diri


Hanya Satu

Timbul niat dalam kalbumu
Terban hujan, ungkai badai
Terendam karam
Runtuh ripuk  tamanmu rampak

Manusia kecil lintang pukang
Lari terbang jatuh duduk
Air naik tetap terus
Tumbang bungkar pokok purba

Teriak riuh redam terbelam 
Dalam gegap gempita guruh
Kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi

Terapung naik jung bertudung
Tempat berteduh nuh kekasihmu
Bebas lepas lelang  lapang
Di tengah gelisah, swara sentosa

***

Bersemayam sempana di jemala gembala 
Duriat  jelita bapakku Ibrahim
Keturunan intan dua cahaya
Pancaran putera berlainan bunda .

Kini kami bertikai pangkai
Di antara dua, mana mutiara
Jauhari ahli lalai menilai
Lengah langsung melewat abad.

Aduh kekasihku
Padaku semua tiada berguna
Merasa dikau dekat rapat
Serupa Musi di puncak Tursina


Permainanmu

Kaukeraskan kalbunya
Bagai batu membesi benar
Timbul telangkaimu bertongkat urat 
Ditunjang pengacara petah pasih

Dihadapanmu lawanmu
Tongkatnya melingkar merupa ular 
Tangannya putih, putih penyakit 
Kekayaanmu nyata,terlihat terang

Kekasihmu ditindasnya terns 
Tangan,tapi tersembunyi 
Mengunci bagi paten
Kalbu ratu rat rapat

Kaupukul raja-dewa
Sembilan cambuk melecut dada 
Putera-mula peganti diri
Pergi kembaii ke asal asli

Bertanya aku kekasihku
Permainan engkau permainkan
Kautulis kaupaparkan 
Kausampaikan dengan lisan

Bagaimana aku menimbang 
Kaulipu lipatkan
Kaukelam kabutkan
Kalbu ratu dalam genggammu 

Kauhamparkan badan
Ditubir bibir pantai permai
Raja ramses penaka durjana
Jadi tanda di hari muka

Bagaimana aku menimbang
Kekasihku astana sayang
Ratu restu telaga sempurna
Kekasihku mengunci hati
Bagi tali disimpul mati.


Turun Kembali

Kalau aku dalam engkau
Dan engkau dalam aku
Adakah begini jadinya
Aku hamba engkau penghulu?

Aku dan engkau berlainan
Engkau raja, maha raya
Cahaya halus tinggi mengawang
Pohon rindang menaung dunia

Di bawah teduh engkau kembangkan
Aku berhenti memati hari
Pada bayang engkau mainkan
Aku melipur meriang hati

Diterangi cahaya engkau sinarkan
Aku menaiki tangga mengawan
Kecapi firdusi melena telinga
Menyentuh gambuh dalam hatiku

Terlihat ke bawah.
Kandil kemerlap
Melambai cempaka ramai tertawa
Hati duniawi melambung tinggi
Berpaling aku turun kembali.


Karena Kasihmu

Karena kasihmu
Engkau tentukan waktu
Sehari lima kali kita bertemu

Aku anginkan rupamu
Kulebihi sekali
Sebelum cuaca menali sutera

Berulang-ulang kuintai-intai
Terus-menerus kurasa-rasakan
Sampai sekarang tiada tercapai
Hasrat sukma idaman badan

Pujiku dikau laguan kawi
Datang turun dari datuku
Diujung lidah engkau letakkan
Piatu teruna ditengah gembala 

Sunyi sepi pitunang poyang
Tadak meretak dendang dambaku
Layang lagu tiada melangsing
Haram gemerencing genta rebana

Hatiku, hatiku
Hatiku sayang tiada bahagia
Hatiku kecil berduka raya
Hilang ia yang dilihatnya.


Sebab Dikau

Kasihkan hidup sebab dikau
Segala kuntum mengoyak kepak
Membunga cinta dalam hatiku
Mewangi sari dalam jantungku

Hidup seperti mimpi
Laku lakon di layar terkelar
Aku pemimpi lagi penari
Sedar siuman bertukar-tukar

Maka merupa di datar layar
Wayang warna menayang rasa
Kalbu rindu turut mengikut
Dua sukma esa-mesra

Aku boneka engkau boneka
Penghibur dalang mengatur tembang
Di layar kembang bertukar pandang
Hanya selagu, sepanjang dendang

Golek gemilang ditukarnya pula
Aku engkau di kotak terletak
Aku boneka engkau boneka
Penyelang dalang mengarak sajak.


Doa

Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik,
setelah menghalaukan panas payah terik
Angin malam menghembus lemah, menyejuk badan, melambung
rasa menanyang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap-malam menyirak kelopak
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu

Hanyut Aku

Hanyut aku, kekasihku!
Hanyut aku
Ulurkan tanganmu, tolong aku.
Sunyinya sekelilingku!
Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin
tiada air menolak ngelak
Dahagaku kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku sebabkan diammu.
Langit menyerkap, air berrepas tangan, aku tenggelam. Tenggelam dalam malam.
air diatas mendidih keras.
Bumi didawah menolak keatas.
Mati aku, kekasihku, mati aku!


Taman Dunia

Kau masukkan aku ke dalam taman-dunia, kekasihku
Kaupimpin jariku, kautunjukkan bunga tertawa; kuntum tersenyum.
Kautundukkan haluku tegak, mencium wangi tersembunyi sepi.
Kaugemelaikan di pipiku rindu daun beldu melunak lemah.
Tercengang aku, takjub, terdiam.
Berbisik engkau:
Taman swarga, taman swarga mutiara rupa”.
Engkaupun lenyap.
Termangu aku gilakan rupa


Terbuka Bunga

Terbuka bunga dalam hati!
Kembang rindang disentuh bibir-kesturi-mu. 
Melayah-layah mengintip restu senyumanmu
Dengan mengelopaknya bunga ini, layulah bunga lampau, kekasihku.
Bunga sunting-hati-ku, dalam masa mengembara menanda dakau.
Kekasihku! inikah bunga sejati yang tiadakan layu

Mengawan

Rengang aku dari padaku, mengikut kawalku mengawan naik
Mewajah ke bawah, tertentang aku, lemah lunak, kotor, terhantar, paduan benda empat perkara.
Datang pikiran membentang kenang, membunga cahaya cuaca lampau, menjadi terang mengilau kaca.
Lewat lambat aku dan dia, ria tertawa, bersedih suka, berkasih pedih, bagi merpati bersambut mulut.
Tersenyum sukma, kasihan serta.
Benda mencintai benda………………….
Naik aku mengawan rahman, mengikut kawalku membawa warta.
Kuat, sayapku kuat, bawakan aku, biar sampai membidai-belai cecah tersentuh, di kursi kesturi


Panji di Hadapanku

Kau kibarkan panji di hadapanku.
Hijau jernih diampu tongkat mutu-mutiara.
Di kananku berjalan, mengiring perlahan, ridlamu rata, dua sebaya, putih-putih, penuh melimpah, kasih persih.
Gelap-gelap kami berempat, menunggu-nunggu, mendengar-dengar suara sayang, panggilan-panjang, jauh-teratuh, melayang-layang.
Gelap-gelap kami berempat, meminta-minta, memohon-motion, moga terbuka selimut kabut, pembungkus halus nokta utama.
Jika nokta terduka-raya
Jika kabut tersingkap semua
Cahaya ridla mengilau ke dalam
Nur rindu memancar keluar


Memuji Dikau

Kalau aku memuji dikau, dengan mulut tertutup, mata terkatup,
Sujudlah segalaku, diam terbelam, di dalam kalam asmara raya.
Turun kekasihmu, mendapatkan daku duduk bersepi, sunyi sendiri.
Dikucupnya bibirku, dipautnya bahuku, digantunginya leherku, hasratkan suara sayang semata.
Selagi hati bernyanyi, sepanjang sujud semua segala,
bertindih ia pada pahaku, meminum ia akan suaraku……………………
Dan,
Iapun melayang pulang,
Semata cahaya,
Lidah api dilingkung kaca,
Menuju restu, sempana sentosa.


Kurnia

Kaukurnia aku,
Kelereng kaca cerah cuaca,
Hikmat raya tersembunyi dalamnya,
Jua bahaya dikandung kurnia,
Jampi kauberi, menundukkan kepala naga angkara.
Kelereng kaca kilauan kasih, menunjukkan daku itu lisan tanganmu.
Memaksa sukmaku bersorak raya, melapangkan dada¬ku menanti sentosa.
Sebab kelereng guli riwarni, kuketahui langit tinggi 
berdiri, tanah rendah membukit datar.
Kutilik diriku, dua sifat mesra satu:
Melangit tinggi, membumi keji

Doa Poyangku

Poyangku rata meminta sama
Semoga sekali aku diberi
Memetik kecapi, kecapi firdusi
Menampar rebana, rebana swarga

Poyangku rata semua semata
Penabuh bunyian turun-temurun
Leka mereka karena suara
Suara sunyi suling keramat

Kini rebana di celah jariku
Tari tamparku membangkit rindu
Kucoba serentak genta genderang
Memuji kekasihku di mercu lagu

Aduh, kasih hatiku sayang
Alahai hatiku tiada bahagia
Jari menari doa semata
Tapi hatiku bercabang dua

Turun Kembali

Kalau aku dalam engkau
Dan engkau dalam aku
Adakah begini jadinya
Aku hamba engkau penghulu?

Aku dan engkau berlainan
Engkau raja, maha raya
Cahaya halus tinggi mengawang
Pohon rindang menaung dunia

Di bawah teduh engkau kembangkan 
Aku berhenti memati hari
Pada bayang engkau mainkan
Aku melipur meriang hati

Diterangi cahaya engkau sinarkan
Aku menaiki tangga mengawan
Kecapi firdusi melena telinga 
Menyentuh gambuh dalam hatiku.

Terlihat ke bawah,
Kandil kemerlap
Melambai cempaka ramai tertawa 
Hati duniawi melambung tinggi 
Berpaling aku turun kembali


Batu Belah (kabaran)

Dalam rimba rumah sebelah
Teratak bambu terlampau tua
Angin menyusup di lubang tepas
Bergulung naik di sudut sunyi

Kayu tua membetul tinggi
Membukak puncak jauh diatas
Bagai perarakan melintas negeri
Payung menaung jamala raja

Ibu papa beranak seorang
Manja bena terada-ada
Lagu lagak tiada disangkak
Mana tempat ibu meminta.

Telur kemahang minta carikan
Untuk lauk di nasi sejuk

Tiada sayang; 
Dalam rimba telur kemahang
Mana daya ibu mencari
Mana tempat ibu meminta

Anak lasak mengisak panjang
Menyabak merunta mengguling diri
Kasihan ibu berhancur hati
Lemah jiwa karena cinta

Dengar…………….dengar!
Dari jauh suara sayup
Mengalun sampai memecah sepi 
Menyata rupa mengasing kata

Rang………rang…………rangkup
Rang………rang…………rangkup
Batu belah batu bertangkup 
Ngeri berbunyi berganda kali

Diam ibu berpikir panjang 
Lupa anak menangis hampir 
Kalau begini susahnya hidup 
Biar ditelan batu bertangkup

Kembali pula suara bergelora 
Bagai ombak datang menampar 
Macam sorak semarai rampai 
Karena ada hati berbimbang

Menyabut ibu sambil tersedu 
Meragu langsing suara susah:

Batu belah batu dertangkup 
Batu tepian tempat mandi
Insya Allah tiadaku takut 
Sudan demikian kuperbuat janji

Bangkit bonda bedalan pelan 
Tangis anak bertambah kuat
Rasa risau dermaharajalela 
Mengangkat kaki melangkah cepat 

Jauh ibu lenyap di mata
Timbul takut di hati kecil
Gelombang bimbang mengharu pikir
Berkata jiwa menanya bonda

Lekas pantas memburu ibu
Sambil tersedu rindu berseru
Dari sisi suara sampai
Suara raya batu bertangkup.

Lompat ibu ke mulut batu
Besar terbuka menunggu mangsa
Tutup terkatup mulut ternganga
Berderak-derik tulang-belulang

Terbuka pula,merah basah
Mulut maut menunggu mangsa
Lapar lebar tercingah pangah
Meraung riang mengecap sedap………….

Tiba dara kecil sendu
Menangis pedih mencari ibu
Terlihat cerah darak merah
Mengerti hati bonda tiada

Melompat dara kecil sendu
Menurut hati menaruh rindu……….

Batu belah, batu bertangkup
Batu tepian tempat mandi
Insya Allah tiadaku takut
Sudan demikian kuperbuat janji.


Di dalam Kelam

Kembali lagi marak-sumarak
Jilat melonjak api penyuci
Datam hatiku tumbuh jahanam
Terbuka neraka di lapangan swarga 

Api melambai merengkung lurus 
Merunta ria melidah belah
Menghangus debu mengitam belam 
Buah tenaga bunga suwarga

Hati firdusi segera sentosa
Murtad merentak melaut topan 
Naik kabut mengarang awan 
Menghalang cuaca nokta utama

Berjalan aku di dalam kelam 
Terus lurus moal berhenti
jantung dilebur dalam jahanam
Kerongkong hangus kering peteri

Meminta aku kekasihku sayang: 
Turunkan hujan embun rahmatmu 
Biar padam api membelam
Semoga pulih pokok percayaku


Ibuku Dahulu

Ibuku Dahulu

Ibuku dahulu marah padaku
Diam ia tiada berkata
Akupun lalu merajuk pilu
Tiada perduli apa terjadi

Matanya terus mengawas daku
Walaupun bibirnya tiada bergera
Mukanya masam menahan sedan
Jika Amir Hamzah tetap hanya seorang Pangeran Indera Putera atau Pangeran Langkat Hulu di Binjai, mungkin dia hanya akan diingat sebagai salah seorang korban dalam bencana sosial di Sumatera Timur Maret 1946. Tetapi dia terutama adalah seorang penyair – terbesar pada zamannya – dan lebih sering dikenal sebagai raja penyair ketimbang sebagai pangeran Kesultanan Langkat.

Amir mewariskan 50 sajak asli1, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris, satu prosa liris terjemahan, 13 prosa dan satu prosa terjemahan. Jumlah seluruhnya adalah 160 tulisan. Jumlah itu masih ditambah dengan Setanggi Timur (puisi terjemahan) dan terjemahan Bhagawat Gita (Abrar Yusra, 1996:58) – serta, tentu saja, entah berapa tulisan yang tak sempat tersiar atau dipublikasikan. Amir Hamzah hanya menerbitkan dua kumpulan puisi tunggal, yaitu Buah Rindu (1941) dan Nyanyi Sunyi (1937).

Amir Hamzah, seperti yang tercermin dalam karya-karyanya dan berbagai pembahasan tentang dirinya, adalah kontradiksi dan bahan diskusi yang tak habis-habis. Walaupun Amir tercatat sebagai pelopor kebudayaan modern Indonesia karena keikutsertaannya dalam majalah Pujangga Baru, tetapi hal itu tidak mencegah H.B. Jassin untuk menobatkannya sebagai wakil terakhir dari zaman (Melayu) lama (dalam Goenawan Mohamad (2005 dan dalam Yusra [ed.] [1996]).

Dalam pengantar singkat untuk puisi-puisi Amir yang terhimpun dalam Puisi Baru, kumpulan puisi para penyair Pujangga Baru yang baru diterbitkan pada 1946, STA mengungkapkan, “Pada Amir Hamzah, semangat baru bertemu dengan bahasa Melayu lama dalam bentuk, bunyi dan irama yang amat indahnya. Bahasanya payah dipahamkan oleh karena banyak memakai kata lama dan kata daerahnya. Dalam Nyanyi Sunyi, cinta dunia yang tidak sampai dilukiskannya mendapat keredaan di dalam nur Ilahi” (2004:149).

Akan tetapi Abdul Hadi WM justru tidak melihat adanya pemutusan hubungan secara total antara modernitas kesusastraan Indonesia dari sistem kesusastraan Melayu tradisional: Amir adalah seorang penerus tradisi sastra Melayu par excellence (1996, 1999 dan dalam Yusra [ed.] [1996]).

A. Teeuw (1959) lebih cenderung memandang Amir sebagai antidot bagi pemihakan sepenuhnya kepada Barat oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam tafsiran Teeuw, karya-karya Amir menyatakan dengan jelas bahwa “kita dapat menjadi pujangga baru meskipun masih berurat-berakar pada Indonesia, yakni Indonesia purbakala yang oleh Takdir banyak-sedikitnya diejek sebagai zaman jahiliyah” (1959: 112).

Tafsiran Teeuw itu menempatkan Amir sebagai seorang perintis jalan namun bukan penggerak utama bagi zaman baru kesusastraan Indonesia. Modernisasi bahasa Melayu/Indonesia dalam puisi dan perpisahan yang defintif dari dunia Melayu lama baru akan dilaksanakan dengan sempurna oleh Chairil Anwar (Teeuw, 1983). Chairil sendiri pernah memberikan komentar yang remang-remang tentang Amir: ia mengakui bahwa “susunan kata-kata Amir Hamzah bisa dikatakan destructive terhadap bahasa lama, tetapi suatu sinar cemerlang untuk gerakan bahasa baru!” (dalam H.B. Jassin [ed.], 1959:121).

Seolah-olah hendak menengahi perbantahan tentang fenomena Amir Hamzah, Goenawan Mohamad (2005) menempatkan Amir dalam konteks kebudayaan secara luas. Bagi Goenawan, Amir adalah kesaksian suatu zaman transisi yang memiliki konflik-konfliknya sendiri. Akan tetapi konflik-konflik itu tidak berada di luar dirinya melainkan berlangsung di dalam dirinya – “polemik kebudayaan” itu bergolak sebagai “polemik batin” dalam diri Amir.

Diskusi tentang Amir Hamzah dan karya-karyanya masih berlangsung sampai sekarang. Diskusi itu tidak akan selesai dalam waktu-waktu mendatang karena Amir telah memperoleh sebuah tempat dalam sejarah kebudayaan dan kesusastraan Indonesia. Dengan begitu, barangkali keinginan terbesarnya sebagai seorang penyair terpuaskan: selalu dibaca di segala zaman oleh banyak orang.

amukanmelayu - patah tumbuh hilang tak berganti.......perginya seorang PUJANGGA ISLAMELAYU, PEJUANG yang tak minta di dendangkan