Saturday 19 October 2013

Suatu Hari Dengan Daud Beureueh "SANG SINGA ACEH"


Pada Suatu Hari Dengan Daud Beureueh

 

Tahun 1968 sekitar bulan September, Menteri Sosial Mintaredja SH (alm), mengunjungi Buya Hamka menyampaikan pesan penting dari Presiden Soeharto. Hanya sepuluh menit, Mintaredja datang tergesa-gesa, meninggalkan Buya Hamka juga dengan langkah tergesa-gesa. Penulis yang lagi asik membaca koran, dipanggil oleh Buya dan diberitahu pesan presiden yang baru diterimanya itu.
Isi pesan itu ialah, Presiden Soeharto merasa amat terkesan pada Khutbah Idhul Fitri Buya Hamka di Komplek Istana Baitul Rahim, terutama pandangan Buya tentang Pancasila. Khutbah itu berjudul “Pancasila akan hampa tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa”, dimana Buya menguraikan makna sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, yang tak lain artinya adalah Tauhid, sama seperti isi risalah yang berjudul “Urat Tunggang Pancasila” yang ditulisnya sekitar tahun 50-an. Pada bagian lain khutbah Buya yang menarik perhatian Pak Harto seperti yang disampaikan oleh Mintaredja ialah ketika membantah penggolongan Islam Abangan, dan Islam Putihan, semuanya itu adalah bikinan orang saja yang bertujuan hendak memecah umat Islam.
PAHLAWANKU - Buya Hamka


Presiden meminta Buya Hamka menyampaikan pandangan Buya tentang Pancasila itu pada Tengku Daud Beureueh, pemimpin dari Ulama Aceh yang terkenal. Untuk itu, sekiranya Buya tidak keberatan, Presiden meminta Buya menemui Tengku Daud Beureueh langsung dikediamannya di Aceh dalam waktu dekat.

Beberapa hari sesudah itu, Mintaredja berulangkali berkunjung ke kediaman Buya, melanjutkan pembicaraan, sampai saat keberangkatan beliau ke Aceh. Sebagai sekretaris, saya menyertai penerbangan dari Jakarta ke Banda Aceh, dan ke Beureunuen, desanya Tengku Daud Beureueh. Dalam perjalanan itulah, saya mengetahui lebih jelas tentang misi Buya menemui Daud Beureueh itu. “Ini adalah tanggung jawab berat”, ujar Buya. Dari Buya saya mendengar tentang kebesarannya Daud Beureueh sebagai pimpinan rakyat, dan hubungan beliau-beliau sejak lama.

Beratnya tugas itu, ialah karena pada waktu itu di Jakarta tersebar fitnah tentang terjadinya pengusiran orang Kristen di pulau Banyak wilayah Aceh, yang dihubung-hubungkan dengan nama Daud Beureueh, tokoh pemberontakan DI. Presiden sendiri dalam waktu dekat akan berkunjung ke Aceh. Oleh sebab itu, segala isu yang mengurangi keberhasilan kunjungan Presiden itu agar dijauhkan.

Kami tiba di Aceh, dan disambut oleh Staf Gubernur Muzakir Walad, kemudian ditempatkan disebuah guest-house milik pemda. Keesokan harinya, sehabis subuh kami naik mobil juga milik pemda, menuju Beureunen yang jauhnya kira-kira setengah hari perjalanan dari Banda Aceh. Daud Beureuh menanti dipondoknya, yang terketak di depan mesjid yang belum selesai dibangun. Kedua orang itu berangkulan, karena sudah lama tak bertemu. Setelah berbincang-bincang tentang kesehatan masing-masing. Buya memulai dengan menyampaikan pandangan Beliau tentang Pancasila dan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, persis seperti isi buku beliau “Urat Tunggang Pancasila”, dan isi khutbah di Istana. “Betul, betul memang begitu” ujar Daud Beureueh yang memanggil Buya Hamka dengan sebutan “tuan”.
PAHLAWANKU - Syeh Daud Beureueh

Kemudian ganti Daud Beureueh yang berbicara tentang Pancasila. “Yang jadi masalah bagi saya ialah keadaan sehari-hari yang jauh berbeda dengan ucapan-ucapan para pemimpin”. Kita percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, tapi kita membiarkan berlakunya perbuatan-perbuatan syirik, memuja kubur, memuja api, bahkan ada pemimpin yang ikut melakukannya. Disebutnya juga perjudian yang semakin meluas. Bukankah itu namanya kita main-main dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Menyinggung perikemanusiaan dan keadilan sosial, Tengku Daud menunjuk kenyataan-kenyataan yang jauh berbeda. Dengan wajah serius dan suara berat, Daud waktu itu berumur sekitar 70 tahun, kemudian menyatakan kekhawatirannya come back-nya PKI, yang sulit dihindarkan akibat kesenjangan-kesenjangan antara segelintir orang dengan mayoritas rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan.

“Tolonglah hal ini, tuan sampaikan kepada Presiden”. Pinta Daud. Buya Hamka menyatakan keyakinan beliau, Bahwa Presiden Soeharto seorang yang benar-benar anti-komunis. Sehubungan dengan itu, Buya Hamka menyatakan, “Ulama perlu bekerjasama dengan Pemerintah. Bila tidak, orang lain yang masuk”. Ujar Buya. Pembicaraan pun sampai pada kemungkinan pihak ketiga yang selalu memfitnah mengadu domba umat Islam dengan pemerintah.
Penulis yang selama pembicaraan duduk menyandar di sudut ruangan, tidak mengingat lagi seluruh pembicaraan, yang masih tampak ialah pembicaraan itu berjalan lama, dan diselingi dengan makan siang dan sholat dzuhur.

Ketika sedang makan, penulis menanyakan tentang kasus “Pulau Banyak” pada Abu Daud, bagaimana keadaanya. “Jelas itu fitnah” jawab Daud Beureueh. Antara orang Aceh dan Nias yang beragama Kristen sejak dulu hidup rukun. Tapi kenapa sekarang tiba-tiba mereka menyerbu ke Pulau Banyak, mau mendirikan gereja dan menyiarkan agamanya di tengah-tengah orang Aceh. Daud menyebut nama beberapa media Kristen di Medan yang membesar-besarkan berita itu, seolah-olah rakyat Aceh anti-Pancasila dan akan memberontak melawan pemerintah orde baru.

“Fitnah itu ke itu saja diulang-ulang. dikiranya kita takut digertak”. katanya lagi dengan suara yang serak dan berat. Pembicaraan pun beralih pada pekerjaan yang sedang dihadapi oleh Daud Deureueh saat itu, yang sedang membangun proyek irigasi guna mengairi ratusan hektar sawah rakyat. “Kecuali hari ini, berhubung karena kedatangan Tuan Hamka, biasa saya berada di Paya Rao”. ceritanya.

Setiap hari dia turut bergotong royong bersama rakyat di proyek itu. Sambil tertawa dia kemudian bertanya “Masih dituduh juga saya anti pembangunan?.” Pembicaraan yang tadinya berjalan serius kemudian, berakhir dengan suasana penuh gelak tawa. Beberapa orang pembantu Daud dan orang-orang Pemda yang mengiringi Buya Hamka dari Banda Aceh yang tadinya menunggu di luar, ketika waktu makan dan sholat dzuhur ikut bersama kami sampai pertemuan berakhir.

Para pejabat itu memberikan penjelasan tentang proyek irigasi yang sedang dibangun ayah Daud itu. Saya memperhatikan kulit muka dan tangan beliau yang berwarna hitam terkena sinar matahari. Beberapa waktu kemudian saya menyaksikan orang-orang datang bergantian, membawa bata atau apa saja untuk membangun mesjid -yang waktu itu belum ada dinding dan lantainya. Ada juga wanita-wanita membawa makanan untuk yang bekerja di mesjid itu. Jelaslah bagi saya kesibukan Daud Beureueh saat itu, membangun irigasi dan mesjid.

Buya Hamka memberi isarat dan mohon diri untuk kembali ke Banda Aceh. Sebelum berpisah, kedua orang itu kembali berangkulan seperti ketika datang tadi. “Insya Allah saya akan datang menjemput Presiden Soeharto, ke lapangan udara Blang Bintang, bila Beliau tiba di Aceh”. Ujar Daud Beureueh.
Sekitar jam 9 atau jam 10 malam kami tiba di tempat penginapan. Keesokan harinya, Buya Hamka dijemput oleh Wakil Gubernur, memenuhi undangan makan siang di rumah Pak Gubernur. Janji Ayah Daud akan menjemput Presiden di Blang Bintang, rupanyatelah lebih dahulu di dengar orang-orang Gubernur sebelum Buya datang, rupanya yang amat diharapkan.

Beberapa hari setelah kami tiba di Jakarta, dibeberapa koran terpampang foto Presiden Soeharto berjabat tangan dengan Daud Deureueh di lapangan udara ketika beliau berkunjung ke Aceh untuk pertama kalinya.

Demikianlah pengalaman penulis mengikuti Buya Hamka bertemu dengan Ulama Besar, yang sebelumnya penulis kenal namanya di koran-koran. Sungguh suatu pengalaman yang tak terlupakan.
Setelah itu beberapa kali penulis baca tentang Daud Beureuh, misalnya tentang lawatan beliau ke luar negeri menjelang pemilu tahun 1971 atas biaya pemerintah. Kemenangan Parmusi tahun 1971 kemudian PPP dalam pemilu tangun 1977 dan sesudahnya, akibat sikap ayah Daud yang konsisten memihak partai Islam itu.

Sekitar tahun 78 Tengku Daud dibawa ke Jakarta untuk beberapa waktu, konon untuk menjauhkannya dari Gerakan Aceh Merdeka. Terakhir berita-berita tentang sikap beliau yang berubah memihak Golkar dalam usia menjelang 90 tahun pada pemilu baru lalu (1987-red). Pada koran-koran yang terbit, dimuat foto beliau dalam keadaan berbaring dan tak berdaya, waktu itu konon ayah Daud menyatakan restunya agar Golkar menang di Aceh dengan kata-katanya “get, get”. Percaya atau tidak, konon berkat restu itu, pada pemilu 87 untuk pertama kalinya Golkar berhasil meraih kemenangan di daerah Istimewa Aceh.

Hari Rabu tanggal 10 Juni (1987) Tengku Daud Beureueh berpulang ke Rahmatullah di Rumah Sakit Zainoel Arifin Banda Aceh, akibat mengidap penyakit komplikasi beberapa jenis penyakit lanjut usia : Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Roji’un.

Rakyat Aceh dan segenap kaum Muslimin Indonesia, berduka cita ditinggalkan seorang ulama dan pemimpin yang tiada gantinya. Nampaknya untuk kurun waktu yang akan datang, sangat sulit umat Islam mengharap hadirnya seorang Ulama yang memiliki wibawa yang begitu kuat, pendirian teguh dan keberanian seperti dimiliki Tengku Daud Beureueh tatkala hidupnya.

Namun kita percaya, jejak yang ditinggalkanya tidak akan terhapus begitu saja oleh perkembangan Zaman. Jejak itu terbentang terus bagi generasi muda Aceh pewaris cita-cita beliau.
Semoga Allah menerima arwah Daud Beureueh disisi-Nya Amin.
Ditulis ulang dari Majalah Panji Masyarakat No. 543
Penulis artikel ini (tidak menyebutkan namanya) adalah sekretaris Buya Hamka, yang menyertai kunjungan Buya ke Aceh untuk menemui Daud Beurueh, sesuai amanat yang diberikan oleh Presiden. Penulis menceritakan apa-apa saja yang penulis dengar dan lihat selama pertemuan tersebut berlangsung.


AMUKANMELAYU - Mereka berani kerana Allah, mereka bijak kerana PERJUANGAN MEREKA kerana UGAMA, Bangsa dan PERTIWI.