Pada Suatu Hari Dengan Daud Beureueh
Tahun 1968 sekitar bulan September,
Menteri Sosial Mintaredja SH (alm), mengunjungi Buya Hamka menyampaikan
pesan penting dari Presiden Soeharto. Hanya sepuluh menit, Mintaredja
datang tergesa-gesa, meninggalkan Buya Hamka juga dengan langkah
tergesa-gesa. Penulis yang lagi asik membaca koran, dipanggil oleh Buya
dan diberitahu pesan presiden yang baru diterimanya itu.
Isi pesan itu ialah, Presiden Soeharto
merasa amat terkesan pada Khutbah Idhul Fitri Buya Hamka di Komplek
Istana Baitul Rahim, terutama pandangan Buya tentang Pancasila. Khutbah
itu berjudul “Pancasila akan hampa tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa”,
dimana Buya menguraikan makna sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha
Esa, yang tak lain artinya adalah Tauhid, sama seperti isi risalah yang
berjudul “Urat Tunggang Pancasila” yang ditulisnya sekitar tahun 50-an.
Pada bagian lain khutbah Buya yang menarik perhatian Pak Harto seperti
yang disampaikan oleh Mintaredja ialah ketika membantah penggolongan
Islam Abangan, dan Islam Putihan, semuanya itu adalah bikinan orang saja
yang bertujuan hendak memecah umat Islam.
PAHLAWANKU - Buya Hamka |
Presiden meminta Buya Hamka menyampaikan
pandangan Buya tentang Pancasila itu pada Tengku Daud Beureueh, pemimpin
dari Ulama Aceh yang terkenal. Untuk itu, sekiranya Buya tidak
keberatan, Presiden meminta Buya menemui Tengku Daud Beureueh langsung
dikediamannya di Aceh dalam waktu dekat.
Beberapa hari sesudah itu, Mintaredja
berulangkali berkunjung ke kediaman Buya, melanjutkan pembicaraan,
sampai saat keberangkatan beliau ke Aceh. Sebagai sekretaris, saya
menyertai penerbangan dari Jakarta ke Banda Aceh, dan ke Beureunuen,
desanya Tengku Daud Beureueh. Dalam perjalanan itulah, saya mengetahui
lebih jelas tentang misi Buya menemui Daud Beureueh itu. “Ini adalah
tanggung jawab berat”, ujar Buya. Dari Buya saya mendengar tentang
kebesarannya Daud Beureueh sebagai pimpinan rakyat, dan hubungan
beliau-beliau sejak lama.
Beratnya tugas itu, ialah karena pada
waktu itu di Jakarta tersebar fitnah tentang terjadinya pengusiran orang
Kristen di pulau Banyak wilayah Aceh, yang dihubung-hubungkan dengan
nama Daud Beureueh, tokoh pemberontakan DI. Presiden sendiri dalam waktu
dekat akan berkunjung ke Aceh. Oleh sebab itu, segala isu yang
mengurangi keberhasilan kunjungan Presiden itu agar dijauhkan.
Kami tiba di Aceh, dan disambut oleh Staf Gubernur Muzakir Walad, kemudian ditempatkan disebuah guest-house
milik pemda. Keesokan harinya, sehabis subuh kami naik mobil juga milik
pemda, menuju Beureunen yang jauhnya kira-kira setengah hari perjalanan
dari Banda Aceh. Daud Beureuh menanti dipondoknya, yang terketak di
depan mesjid yang belum selesai dibangun. Kedua orang itu berangkulan,
karena sudah lama tak bertemu. Setelah berbincang-bincang tentang
kesehatan masing-masing. Buya memulai dengan menyampaikan pandangan
Beliau tentang Pancasila dan Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, persis
seperti isi buku beliau “Urat Tunggang Pancasila”, dan isi khutbah di
Istana. “Betul, betul memang begitu” ujar Daud Beureueh yang memanggil
Buya Hamka dengan sebutan “tuan”.
PAHLAWANKU - Syeh Daud Beureueh |
Kemudian ganti Daud Beureueh yang
berbicara tentang Pancasila. “Yang jadi masalah bagi saya ialah keadaan
sehari-hari yang jauh berbeda dengan ucapan-ucapan para pemimpin”. Kita
percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, tapi kita membiarkan berlakunya
perbuatan-perbuatan syirik, memuja kubur, memuja api, bahkan ada
pemimpin yang ikut melakukannya. Disebutnya juga perjudian yang semakin
meluas. Bukankah itu namanya kita main-main dengan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Menyinggung perikemanusiaan dan keadilan
sosial, Tengku Daud menunjuk kenyataan-kenyataan yang jauh berbeda.
Dengan wajah serius dan suara berat, Daud waktu itu berumur sekitar 70
tahun, kemudian menyatakan kekhawatirannya come back-nya PKI,
yang sulit dihindarkan akibat kesenjangan-kesenjangan antara segelintir
orang dengan mayoritas rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan.
“Tolonglah hal ini, tuan sampaikan kepada
Presiden”. Pinta Daud. Buya Hamka menyatakan keyakinan beliau, Bahwa
Presiden Soeharto seorang yang benar-benar anti-komunis. Sehubungan
dengan itu, Buya Hamka menyatakan, “Ulama perlu bekerjasama dengan
Pemerintah. Bila tidak, orang lain yang masuk”. Ujar Buya. Pembicaraan
pun sampai pada kemungkinan pihak ketiga yang selalu memfitnah mengadu
domba umat Islam dengan pemerintah.
Penulis yang selama pembicaraan duduk
menyandar di sudut ruangan, tidak mengingat lagi seluruh pembicaraan,
yang masih tampak ialah pembicaraan itu berjalan lama, dan diselingi
dengan makan siang dan sholat dzuhur.
Ketika sedang makan, penulis menanyakan
tentang kasus “Pulau Banyak” pada Abu Daud, bagaimana keadaanya. “Jelas
itu fitnah” jawab Daud Beureueh. Antara orang Aceh dan Nias yang
beragama Kristen sejak dulu hidup rukun. Tapi kenapa sekarang tiba-tiba
mereka menyerbu ke Pulau Banyak, mau mendirikan gereja dan menyiarkan
agamanya di tengah-tengah orang Aceh. Daud menyebut nama beberapa media
Kristen di Medan yang membesar-besarkan berita itu, seolah-olah rakyat
Aceh anti-Pancasila dan akan memberontak melawan pemerintah orde baru.
“Fitnah itu ke itu saja diulang-ulang.
dikiranya kita takut digertak”. katanya lagi dengan suara yang serak dan
berat. Pembicaraan pun beralih pada pekerjaan yang sedang dihadapi oleh
Daud Deureueh saat itu, yang sedang membangun proyek irigasi guna
mengairi ratusan hektar sawah rakyat. “Kecuali hari ini, berhubung
karena kedatangan Tuan Hamka, biasa saya berada di Paya Rao”. ceritanya.
Setiap hari dia turut bergotong royong
bersama rakyat di proyek itu. Sambil tertawa dia kemudian bertanya
“Masih dituduh juga saya anti pembangunan?.” Pembicaraan yang tadinya
berjalan serius kemudian, berakhir dengan suasana penuh gelak tawa.
Beberapa orang pembantu Daud dan orang-orang Pemda yang mengiringi Buya
Hamka dari Banda Aceh yang tadinya menunggu di luar, ketika waktu makan
dan sholat dzuhur ikut bersama kami sampai pertemuan berakhir.
Para pejabat itu memberikan penjelasan
tentang proyek irigasi yang sedang dibangun ayah Daud itu. Saya
memperhatikan kulit muka dan tangan beliau yang berwarna hitam terkena
sinar matahari. Beberapa waktu kemudian saya menyaksikan orang-orang
datang bergantian, membawa bata atau apa saja untuk membangun mesjid
-yang waktu itu belum ada dinding dan lantainya. Ada juga wanita-wanita
membawa makanan untuk yang bekerja di mesjid itu. Jelaslah bagi saya
kesibukan Daud Beureueh saat itu, membangun irigasi dan mesjid.
Buya Hamka memberi isarat dan mohon diri
untuk kembali ke Banda Aceh. Sebelum berpisah, kedua orang itu kembali
berangkulan seperti ketika datang tadi. “Insya Allah saya akan datang
menjemput Presiden Soeharto, ke lapangan udara Blang Bintang, bila
Beliau tiba di Aceh”. Ujar Daud Beureueh.
Sekitar jam 9 atau jam 10 malam kami tiba
di tempat penginapan. Keesokan harinya, Buya Hamka dijemput oleh Wakil
Gubernur, memenuhi undangan makan siang di rumah Pak Gubernur. Janji
Ayah Daud akan menjemput Presiden di Blang Bintang, rupanyatelah lebih
dahulu di dengar orang-orang Gubernur sebelum Buya datang, rupanya yang
amat diharapkan.
Beberapa hari setelah kami tiba di
Jakarta, dibeberapa koran terpampang foto Presiden Soeharto berjabat
tangan dengan Daud Deureueh di lapangan udara ketika beliau berkunjung
ke Aceh untuk pertama kalinya.
Demikianlah pengalaman penulis mengikuti
Buya Hamka bertemu dengan Ulama Besar, yang sebelumnya penulis kenal
namanya di koran-koran. Sungguh suatu pengalaman yang tak terlupakan.
Setelah itu beberapa kali penulis baca
tentang Daud Beureuh, misalnya tentang lawatan beliau ke luar negeri
menjelang pemilu tahun 1971 atas biaya pemerintah. Kemenangan Parmusi
tahun 1971 kemudian PPP dalam pemilu tangun 1977 dan sesudahnya, akibat
sikap ayah Daud yang konsisten memihak partai Islam itu.
Sekitar tahun 78 Tengku Daud dibawa ke
Jakarta untuk beberapa waktu, konon untuk menjauhkannya dari Gerakan
Aceh Merdeka. Terakhir berita-berita tentang sikap beliau yang berubah
memihak Golkar dalam usia menjelang 90 tahun pada pemilu baru lalu (1987-red).
Pada koran-koran yang terbit, dimuat foto beliau dalam keadaan
berbaring dan tak berdaya, waktu itu konon ayah Daud menyatakan restunya
agar Golkar menang di Aceh dengan kata-katanya “get, get”. Percaya atau
tidak, konon berkat restu itu, pada pemilu 87 untuk pertama kalinya
Golkar berhasil meraih kemenangan di daerah Istimewa Aceh.
Hari Rabu tanggal 10 Juni (1987) Tengku
Daud Beureueh berpulang ke Rahmatullah di Rumah Sakit Zainoel Arifin
Banda Aceh, akibat mengidap penyakit komplikasi beberapa jenis penyakit
lanjut usia : Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Roji’un.
Rakyat Aceh dan segenap kaum Muslimin
Indonesia, berduka cita ditinggalkan seorang ulama dan pemimpin yang
tiada gantinya. Nampaknya untuk kurun waktu yang akan datang, sangat
sulit umat Islam mengharap hadirnya seorang Ulama yang memiliki wibawa
yang begitu kuat, pendirian teguh dan keberanian seperti dimiliki Tengku
Daud Beureueh tatkala hidupnya.
Namun kita percaya, jejak yang
ditinggalkanya tidak akan terhapus begitu saja oleh perkembangan Zaman.
Jejak itu terbentang terus bagi generasi muda Aceh pewaris cita-cita
beliau.
Semoga Allah menerima arwah Daud Beureueh disisi-Nya Amin.Ditulis ulang dari Majalah Panji Masyarakat No. 543
Penulis artikel ini (tidak menyebutkan namanya) adalah sekretaris Buya Hamka, yang menyertai kunjungan Buya ke Aceh untuk menemui Daud Beurueh, sesuai amanat yang diberikan oleh Presiden. Penulis menceritakan apa-apa saja yang penulis dengar dan lihat selama pertemuan tersebut berlangsung.
AMUKANMELAYU - Mereka berani kerana Allah, mereka bijak kerana PERJUANGAN MEREKA kerana UGAMA, Bangsa dan PERTIWI.