Tuesday, 14 August 2018

MEMAHAMI TASAWWUF - SYARIAT,THORIQOH,HAKIKATdan MAKRIFAT



Membuka Gerbang Pintu Makrifat
Berdasar dari hadits Nabi Muhammad saw dari Sayyidina Umar r.a. dalam islam ada 3 rukun utama;

1. Rukun Iman
2. Rukun islam
3. Rukun ihsan


Penjelasan Ringkasnya ;

1. Rukun Iman = ilmunya tauhid thoriqohnya ma'rifat yg memahaminya adalah 'Ariif Billah

2. Rukun islam = ilmunya fiqih thoriqohnya syari'at yg mendalaminya disebut Faqiih

3. Rukun ihsan = ilmunya Zuhud dan tasawwuf yg mengumpulkan dari dua rukun sebelumnya, thoriqohnya Haqiqat (berdasar dengan kedua thoriqoh yg sebelumnya, dan melengkapinya dangan akhlaq dan adab yg ihsan) dan yg memahaminya adalah Sufi
 

TAREKAT sendiri artinya cara, jalan....

Adab yg sendiri artinya keindahan atau sesuatu yg menjadikan indah, dan adab secara umum terbagi 3; 1. adab terhadap diri sendiri 2. adab terhadap orang lain dan lingkungan 3. yg utama adab kepada Allah swt Sang pencipta

pengertian tarekat menurut saya sendiri adalah cara seorang mursyid dalam usaha membimbing seorang yg berusaha mendekatkan diri kepada Sang Kholiq dengan tata cara dan perilaku yg berdasar dari Al-Qur_an dan hadits dan atas pengalaman dirinya maupun atas petunjuk gurunya sendiri, maka orang yg mengamalkan tarekat harus dengan bimbingan seorang mursyid, tanpa mursyid maka bisa jadi gurunya adalah hawa nafsunya sendiri.


Mengenali Makrifat 


Seperti kita ketahui secara singkat kita mengenal Syariat, Tarekat, Hakikat, Makrifat adalah sebagai berikut:

1. Syariat (Islam) adalah hukum dan aturan (Islam) yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, syariat (Islam) juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebagian penganut Islam, syariat (Islam) merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini.

2. Tarekat berasal dari kata ‘thariqah’ yang artinya ‘jalan’. Jalan yang dimaksud di sini adalah jalan untuk menjadi orang bertaqwa, menjadi orang yang diredhoi Allah s.w.t. Secara praktisnya tarekat adalah kumpulan amalan-amalan lahir dan batin yang bertujuan untuk membawa seseorang untuk menjadi orang bertaqwa.

Ada 2 macam tarekat yaitu tarekat wajib dan tarekat sunat. tarekat wajib, yaitu amalan-amalan wajib, baik fardhu ain dan fardhu kifayah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim.

- Tarekat wajib yang utama adalah mengamalkan rukun Islam. Amalan-amalan wajib ini insya Allah akan membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa yang dipelihara oleh Allah. Paket tarekat wajib ini sudah ditentukan oleh Allah s.w.t melalui Al-Quran dan Al-Hadis. Contoh amalan wajib yang utama adalah shalat, puasa, zakat, haji. Amalan wajib lain antara lain adalah menutup aurat, makan makanan halal dan lain sebagainya.

- Tarekat sunat, yaitu kumpulan amalan-amalan sunat dan mubah yang diarahkan sesuai dengan 5 syarat ibadah untuk membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa. Tentu saja orang yang hendak mengamalkan tarekat sunnah hendaklah sudah mengamalkan tarekat wajib. Jadi tarekat sunnah ini adalah tambahan amalan-amalan di atas tarekat wajib.

Paket tarekat sunat ini disusun oleh seorang guru mursyid untuk diamalkan oleh murid-murid dan pengikutnya. Isi dari paket tarekat sunat ini tidak tetap, tergantung keadaan zaman tarekat tersebut dan juga keadaan sang murid atau pengikut. Hal-hal yang dapat menjadi isi tarekat sunat ada ribuan jumlahnya, seperti shalat sunat, membaca Al Qur’an, puasa sunat, wirid, zikir dan lain sebagainya. Hakikat artinya i`tikad atau kepercayaan sejati (mengenai Tuhan), maka hakikat ini pekerjaan hati. Sehingga tidak ada yang dilihat didengar selain Allah, atau gerak dan diam itu diyakini dalam hati pada hakikatnya adalah kekuasaan Allah. (Abdurrahman Siddik Al Banjari ,1857 kitab Amal Ma`rifat).

3. Hakikat; adalah kebenaran, kenyataan hakekat menyaring dan memusatkan aspek-aspek yang lebih rumit menjadi keterangan yang gamblang dan ringkas, hakikat mengandung pengertian-pengertian kedalam aspek yang penting dan instrinsik dari benda yang dianalisa (Konsep Dasain Interior II, Olih Solihat Karso). Hakikat berasal dari kata arab haqqo, yahiqqu, haqiqotan yang berarti kebenaran sedangkan dalam kamus ilmiah disebutkan bahwa hakikat adalah: Yang sebenarnya; sesungguhnya; keadaan yang sebenarnya (Partanto, pius A, M. Dahlan al barry, Kamus Ilmiah Populer, 1994, Arkola, Surabaya). Istilah bahasa hakikat berasal dari kata “Al-Haqq”, yang berarti kebenaran. Kalau dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk mencari suatu kebenaran.

4. Makrifat, Dari segi bahasa Makrifat berasal dari kata arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifat yang artinya pengetahuan dan pengalaman. yaitu perpaduan dari syariat-tarikat-hakikat yang nantinya menuju kepada “mengenal Allah dan keilmuan (kunci kode) alam semesta yang termuat dalam Al Quran serta mentaati syariat Rasulullah SAW.” Maka, apakah makrifat itu? Makrifat adalah pandai/ mengerti/ paham dan melaksanakan (dengan sempurna). Sayangnya dalam fase ini (makrifat), tidak ada seorang manusia pun yang mampu mendekati makrifat apalagi duduk dalam tahap tersebut. Alasannya mudah saja, karena syarat mutlak makrifat adalah “wahyu”. Mengapa harus mendapat wahyu untuk makrifat? secara mudah saja, Makrifat, artinya pengetahuan dan pengalaman, yaitu perpaduan dari syariat-tarikat-hakikat yang nantinya menuju kepada “mengenal Allah dan keilmuan (kunci kode) alam semesta yang termuat dalam Al Quran serta mentaati syariat Rasulullah SAW.” Maka bagaimana akan makrifat bila tanpa wahyu? Bagaimana menjadi makrifat? jawabannya adalah: “tidak mungkin.” Kecuali, bila seseorang itu adalah memiliki derajat nabi. Karena, seorang nabi pasti memperoleh wahyu.

Ma’rifatullah berasal dari kata Ma’rifat dan Allah, Ma’rifat artinya mengetahui atau mengenal, jadi Ma’rifatullah berarti juga mengenal Allah swt.

Ma’rifatullah (Mengenal Allah swt) bukanlah mengenali dzat Allah, karena hal ini tidak mungkin terjangkau oleh kapasitas manusia yang terbatas. Sebab bagaimana mungkin manusia yang terbatas ini mengenali sesuatu yang tidak terbatas?. Segelas susu yang dibikin seseorang tidak akan pernah mengetahui seperti apakah orang yang telah membuatnya menjadi segelas susu.

Menurut Ibn Al Qayyim:"Ma’rifatullah yang dimaksudkan oleh ahlul ma’rifah (orang-orang yang mengenali Allah) adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya”.

Ma’rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun ma’riaftullah dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Allah, mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah.

Ciri-ciri dalam Ma’rifatullah

Seseorang dianggap ma’rifatullah (mengenal Allah) jika ia telah mengenali
1. asma’ (nama) Allah
2. sifat Allah dan
3. af’al (perbuatan) Allah, yang terlihat dalam ciptaan dan tersebar dalam kehidupan alam ini.

Kemudian dengan bekal pengetahuan itu, ia menunjukkan:


1. sikap shidiq (benar) dalam ber–mu’amalah (bekerja) dengan Allah,
2. ikhlas dalam niatan dan tujuan hidup yakni hanya karena Allah,
3. pembersihan diri dari akhlak-akhlak tercela dan kotoran-kotoran jiwa yang membuatnya bertentangan dengan kehendak Allah SWT.
4. sabar/menerima pemberlakuan hukum/aturan Allah atas dirinya.
5. berda’wah/mengajak orang lain mengikuti kebenaran agamanya.
6. membersihkan da’wahnya itu dari pengaruh perasaan, logika dan subyektifitas siapapun. Ia hanya menyerukan ajaran agama seperti yang pernah diajarkan Rasulullah SAW.


Figur teladan dalam ma’rifatullah ini adalah Rasulullah SAW. Dialah orang yang paling utama dalam mengenali Allah SWT.
Sabda Nabi: “Sayalah orang yang paling mengenal Allah dan yang paling takut kepada-Nya”. HR Al Bukahriy dan Muslim.
Hadits ini Nabi ucapkan sebagai jawaban dari pernyataan tiga orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah dengan keinginan dan perasaannya sendiri.

Tingkatan berikutnya, setelah Nabi adalah ulama amilun (ulama yang mengamalkan ilmunya). Firman Allah : “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” {QS. 35:28}

Orang yang mengenali Allah dengan benar adalah orang yang mampu mewarnai dirinya dengan segala macam bentuk ibadah. Kita akan mendapatinya sebagai orang yang rajin shalat, pada saat lain kita dapati ia senantiasa berdzikir, tilawah, pengajar, mujahid, pelayan masyarkat, dermawan, dst. Tidak ada ruang dan waktu ibadah kepada Allah, kecuali dia ada di sana. Dan tidak ada ruang dan waktu larangan Allah kecuali ia menjauhinya.
Ada sebagian ulama yang mengatakan: “Duduk di sisi orang yang mengenali Allah akan mengajak kita kepada enam hal dan berpaling dari enam hal, yaitu : dari ragu menjadi yakin, dari riya menjadi ikhlash, dari ghaflah (lalai) menjadi ingat, dari cinta dunia menjadi cinta akhirat, dari sombong menjadi tawadhu’ (rendah hati), dari buruk hati menjadi nasehat”

Urgensi Ma’rifatullah

a. Ma’rifatullah adalah puncak kesadaran yang akan menentukan perjalanan hidup manusia selanjutnya. Karena ma’rifatullah akan menjelaskan tujuan hidup manusia yang sesungguhnya. Ketiadaan ma’rifatullah membuat banyak orang hidup tanpa tujuan yang jelas, bahkan menjalani hidupnya sebagaimana makhluk hidup lain (binatang ternak). {QS. 47:12}

b. Ma’rifatullah adalah asas (landasan) perjalanan ruhiyyah (spiritual) manusia secara keseluruhan. Seorang yang mengenali Allah akan merasakan kehidupan yang lapang. Ia hidup dalam rentangan panjang antara bersyukur dan bersabar.
Sabda Nabi : "Amat mengherankan urusan seorang mukmin itu, dan tidak terdapat pada siapapun selain mukmin, jika ditimpa musibah ia bersabar, dan jika diberi karunia ia bersyukur". {HR. Muslim}

Orang yang mengenali Allah akan selalu berusaha dan bekerja untuk mendapatkan ridha Allah, tidak untuk memuaskan nafsu dan keinginan syahwatnya.
c. Dari Ma’rifatullah inilah manusia terdorong untuk mengenali para nabi dan rasul, untuk mempelajari cara terbaik mendekatkan diri kepada Allah. Karena para Nabi dan Rasul-lah orang-orang yang diakui sangat mengenal dan dekat dengan Allah.
d. Dari Ma’rifatullah ini manusia akan mengenali kehidupan di luar alam materi, seperti Malaikat, jin dan ruh.
e. Dari Ma’rifatullah inilah manusia mengetahui perjalanan hidupnya, dan bahkan akhir dari kehidupan ini menuju kepada kehidupan Barzahiyyah (alam kubur) dan kehidupan akherat.

Sarana Ma’rifatullah

Sarana yang mengantarkan seseorang pada ma’rifatullah adalah:

a. Akal sehat
Akal sehat yang merenungkan ciptaan Allah. Banyak sekali ayat-ayat Al Qur’an yang menjelaskan pengaruh perenungan makhluk (ciptaan) terhadap pengenalan al KHALIQ (pencipta) seperti firman Allah:"Katakanlah “Perhatikanlah apa yang ada di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman". {QS 10:101}

Sabda Nabi : “Berfikirlah tentang ciptaan Allah dan janganlah kamu berfikir tentang Allah, karena kamu tidak akan mampu” {HR. Abu Nu’aim}

b. Para Rasul
Para Rasul yang membawa kitab-kitab yang berisi penjelasan sejelas-jelasnya tentang ma’rifatullah dan konsekuensi-konsekuensinya.
Mereka inilah yang diakui sebagai orang yang paling mengenali Allah. Firman Allah :“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan ) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan..” {QS. 57:25}

c. Asma dan Sifat Allah
Mengenali asma (nama) dan sifat Allah disertai dengan perenungan makna dan pengaruhnya bagi kehidupan ini menjadi sarana untuk mengenali Allah. Cara inilah yang telah Allah gunakan untuk memperkenalkan diri kepada makhluk-Nya. Dengan asma dan sifat ini terbuka jendela bagi manusia untuk mengenali Allah lebih dekat lagi. Asma dan sifat Allah akan menggerakkan dan membuka hati manusia untuk menyaksikan dengan seksama pancaran cahaya Allah. Firman Allah :


“Katakanlah : Serulah Allah atau serulah Ar Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asma’ al husna (nama-nama yang terbaik) {QS. 17:11}.

Asma’ al husna inilah yang Allah perintahkan pada kita untuk menggunakannya dalam berdoa. Firman Allah:“Hanya milik Allah asma al husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma al husna itu…” {QS. 7:180}

Inilah sarana efektif yang Allah ajarkan kepada umat manusia untuk mengenali Allah SWT (ma’rifatullah). Dan ma’rifatullah ini tidak akan realistis sebelum seseorang mampu menegakkan tiga tingkatan tauhid, yaitu : tauhid rububiyyah, tauhid asma dan sifat. Kedua tauhid ini sering disebut dengan tauhid al ma’rifah wa al itsbat (mengenal dan menetapkan) kemudian tauhid yang ketiga yaitu tauhid uluhiyyah yang merupakan tauhid thalab (perintah) yang harus dilakukan.


Mengenali Dzat Yang Tunggal Allah SWT :

Awaludin Ma’rifatullah, artinya “Awal-awal agama ialah mengenal Allah”. Paling wajib dan paling bermakna dalam kehidupan seseorang itu ialah apabila ia mempunyai agama. Ketamadunan dan kemuliaan hidup manusia itu diukur melalui agamanya. Sementara kemuliaan seseorang dalam beragama itu pula bergantung kepada sejauh mana dia kenal akan Tuhannya. Kalau seseorang itu tidak mengenali Tuhan yang menurunkan agama untuknya itu maka (akidah) itu tidak sah. Bagaimana bijak pum dia membaca ayat-ayat Tuhannya, tetapi kalau dia sendiri tidak kenal Tuhannya, ayat-ayat dibacanya itu sedikit pun tidak memberi apa-apa erti kepadanya. Dan taraf hidupnya juga tidak ubah seperti burung tiong yang pandai bersiul tetapi tidak tahu makna siulannya.

Justeru itu tugas untuk mengenali Allah bukan tugas yang ringan dan boleh diremeh-temehkan. Tugas mengenali Tuhan, adalah tugas zahir dan batin yang amat sulit dalam kehidupan manusia.

Tugas mengenal Tuhanlah tugas yang berat sekali. Lantaran itu terbit Hadis yang bermaksud “Awal-awal agama itu mengenal Allah”.
Kenapa susah untuk mengenali Tuhan? Ini keran Allah (Tuhan) itu tidak berbentuk, berhuruf (mempunyai) berwarna dan bertentangan dengan sifat-sifat zahir alam ini kerana ia berdiri di atas sifat “mukholafatuhulilhawadis” – Bersalahan dengan yang baharu.

Dan firman-Nya di dalam Surah As-Syura ayat 11, bermaksud : “Laisa Kamitslihi Syai’un.”

Artinya : ”Tiada sesuatu pun yang menyerupai Allah.”

Kalau silap pegangan dan pemahaman menyebabkan kita syirik dengan Allah ataupun menjadikan kita bertuhan kepada diri sendiri. Justeru itu tidak ada sesiapa di dalam dunia ini telah mengaku dapat berjumpa dengan Allah melainkan setakat kenal (dengan ilmu) pada Zat, Sifat, Asma dan Afa’alNya sahaja. Zat Allah pun tidak siapa kenal dengan pastinya.

Sabda Rasulullah SAW, bermaksud :

“Maha Suci Engkau ya Allah, tiada kami mengenal akan Dikau dengan sebenar-benarnya melainkan dengan ma’rifat Engkau.”
Seandainya ada dakwaan mengatakan seseorang itu pernah berjumpa dengan Allah seperti mana dia berjumpa dengan makhluk biasa, dakwaan itu tidak boleh dipercayai. Ia hanya dongeng dan satu rekaan semata-mata yang berlandaskan kepada fantasi fikirannya. Dakwaan itu hanya untuk menjual kehebatan diri, kononnya dia sudah sampai ke peringkat “muqarabbin”.

Kenapa kita berkata bergitu? Kerana selain daripad Nabi Besar Muhammad S.A.W. dan para Rasul lain, tidak ada manusia yang dapat melihat Nur Allah secara pasti atau dalam bentuk penglihatan biasa. Tidak mungkin bagi manusia biasa yang tidak terpilih, diistimewakan dapat berjumpa dengan Allah seperti mana yang pernah berlaku kepada Rasul-rasulNya dan para Nabi-nabiNya.

Sehebat-hebat Rasulullah S.A.W. yang menjadi penutup segala keNabian (nubuwah) pun tidak dapat berjumpa dengan Allah. Apa yang boleh dan mampu dilakukan oleh baginda hanya setakat berbicara dengan Allah tanpa dapat menyaksi wajahNya. Dalam erti kata lain tidak ada pertemuan secara bertentangan mata (face to face) berlaku di antara Rasulullah S.A.W. dengan Allah S.W.T.

Dari Abu Zar r.a. katanya aku bertanya kepada Rasulullah SAW, bermaksud :

“Adakah anda melihat Allah? Jawab beliau,…”Dia maha cahaya bagaimana aku boleh melihatNya.” [HR. Bukhari dan Muslim]

Artinya Rasulullah S.A.W. sewaktu dipimpin oleh Jibrail (naik ke langit/mi’raj) untuk menerima perintah solat (dalam peristiwa Isra’ Mi’raj), tidak dapat menyaksikan wajah Allah. Apa yang berlaku hanya beliau dapat berbicara dengan Allah untuk menerima perintah ibadat (solat).

Begitu juga dengan Nabi Musa a.s. Allah baru sahaja memancarkan NurNya ke bukit Tursina beliau sudah tidak tahan dan tidak sanggup untuk menyaksinya.

Seluruh bukit Tursina hancur lebur dan hangus.

Firman Allah Ta’ala di dalam Surah Al-Araf ayat 143, bermaksud :

“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan kami) pada waktu yang telah kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkata Musa, “Ya Tuhanku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku, agar dapat aku melihat kepada Engkau.”

Allah berfirman, “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tetapi lihatlah ke bukit itu maka jika ia tetap ditempatnya (sebagai sediakala) nescaya kamu dapat melihatKu.” 

Tatkala Tuhan nempakkan gunung itu kepadanya, kejadian itu menjadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun jatuh pengsan. 

Maka setelah Musa sedar kembali, dia berkata, “Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama ber-Iman.”

Jadi macam mana untuk Nabi Musa melihat wajah Allah….baru sahaja melihat Nur yang dipancarkan ke bukit pun dia sudah tidak sanggup untuk melihatnya.

Kesimpulannya Nabi Musa hanya dapat melihat Nur Allah yang tertimpa ke bukit sahaja, bukannya melihat wajah Allah yang sebenarnya.

Begitu juga dengan Nabi Ibrahim a.s. apa yang dapat dilihat oleh beliau hanya kerajaan Allah di langit sahaja.

Firman Allah Ta’ala Surah Al-An’aam ayat 75, bermaksud :

“Yang demikian Kami perlihatkan kepada Ibrahim kerajaan di langit dan bumi.”

Maknanya Allah hanya memperlihatkan kebesaran dan keagunganNya mencukupi langit dan bumi sahaja kepada Nabi Ibrahim a.s.tetapi tidak menunjukkan wajahNya.

Demikian sejarah antara manusia-manusia agung lagi maksum dan dipilih sendiri oleh Allah untuk melihat “wajah”Nya, tetapi gagal dan tidak sanggup untuk menyaksikan wajah Allah. Baru Allah memancarkan NurNya, meraka (Musa a.s.) sudah tidak tahan dan tidak sanggup untuk berhadapan denganNya.

Bila kita membaca sejarah “kegagalan” kedua orang Nabi itu untuk bertemu dengan Allah, maka akan timbul di kepala kita bolehkah kita mengenal dan berjumpa (ma’rifat) dengan Allah? 


Sedangkan mereka yang diistimewakan dan dipilih menjadi petunjuk kepada manusia pun gagal ataupun tidak sanggup untuk menatapi pancaran Nur Allah. Apa lagi bagi manusia biasa seperti kita ini amatlah dirasakan mustahil sekali untuk dapat melihat wajah Allah.

Bolehkah kita berhadapan dengan Allah dan mengenaliNya? Jawabnya boleh untuk kita berhadapan dengan Allah. Kerana di mana sahaja muka kita dihadapkan, maka di situlah adanya wajah Allah. Tetapi untuk melihatnya wajahNya dengan mata zahir ini tidak mungkin sama sekali.

Untuk berkenalan dengan Allah dan mengenaliNya memang boleh. Allah sendiri memberi penegasan dan meminta agar kita mengenaliNya dengan sebaik-baik pengenalan. Malah sesiapa yang tidak kenal Allah (ma’rifat denganNya) maka akan celakalah diri seseorang itu.

Firman Allah Ta’ala Surah An-Kabut ayat 23, bermaksud :

“Dan orang-orang yang kafir (tidak percaya) dengan ayat-ayat Allah dan pertemuan (menindakkan) dengan Dia, mereka akan putus asa dari rahmat-Ku dan mereka itu mendapat azab yang pedih.”

Melalui firman ini Allah memberi peringatan bahawa sesiapa yang tidak mempercayai dan yakin kepada kata-kataNya dan menindakkan khabar akan bertemu denganNya, orang itu akan mendapat azab yang pedih.

Dari firman ini Allah memperakui yang kita bisa menemuiNya untuk memastikan diri kita selamat. Hanya waktu dan tempat mungkin tidak di sini, tetapi di akhirat sesudah mati, karena dunia hanya tempat singgah sementara. Rasulullah S.A.W. dalam sebuah Hadits juga telah menerangkan bahwa siapa saja akan dapat berjumpa dengaNya, malahan dapat bercakap-cakap dengan Tuhannya.

Asalkan dia rajin menunaikan segala amal ibadat serta lain-lain perintah Allah.

FirmanNya Surah Al-Insyiqaq ayat 6, bermaksud :

“Hai manusia sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemuiNya.”

Sementara dalam sebuah Hadis pula Rasulullah S.A.W. bersabda, bermaksud : Dari Jarir r.a. katanya : ”Ketika kami sedang duduk dekat Rasulullah S.A.W. beliau memperhatikan bulan di malam purnama.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya kamu nanti akan melihat Tuhan kamu sebagai mana kamu melihat bulan ini dan kamu tidak terdesak-desak untuk melihatNya. Dan kalau kamu sanggup untuk tidak ketinggalan dalam mengerjakan sembahyang sebelum matahari terbit (Subuh) dan sembahyang sebelum matahari terbenam (Asar) perbuatlah!” (HR. Bukhari dan Muslim)

Melalui Hadis itu Rasulullah S.A.W memberi isyarat hanya kepada yang “sanggup” saja yang akan dapat menemui dan bercakap dengan Tuhannya.

Kesanggupan itu tentulah suatu perkara yang kena (wajib) dilakukan oleh hambaNya, ia tidak lain dan tidak bukan ialah menjalankan segala perintah dan menjauhi segala laranganNya.

Menurut gambaran Hadis Rasulullah itu, perjumpaan itu tidak dalam keadaan khayal ataupun sebagai rekaan kerana kita akan dapat berbicara dengan Allah secara langsung (direct), tidak ada apa-apa perantaraan.

Ini dijelaskan dalam sebuah Hadis lain yang diriwayatkan oleh Muslim dan Bukhari.

Dari Adi bin Hatim r.a katanya, Rasulullah S.A.W. bersabda, bermaksud :

“Setiap kamu nanti akan berbicara dengan Tuhan tanpa perantara juru bahasa dan tidak ada pula dinding yang membatasi.”

Allah sendiri juga memberi pengakuan sesiapa sahaja akan dapat berjumpa denganNya.

Firman Allah Ta’ala Surah Al-Baqarah ayat 115, yang bermaksud :

“Perjumpaan hamba dengan Allah adalah satu kemestian. Tidak boleh tidak.
Dari Tuhan kamu datang kepada Allah kamu kembali. Tidak sah seseorang hamba itu kalau ia tidak berjumpa dengan penciptanya. Perjumpaan itu sebagai menandakan seseorang itu memang mempunyai hubung kait di antara satu sama lain. Perjumpaan itu juga (wajib) untuk saling kenal mengenali di antara satu sama lain. Diri kita dengan Allah.

Sesiapa yang tidak kenal atau berjumpa dengan Allah, kesannya begitu amat buruk sekali. Orang yang tidak kenal Allah, keadaannya tak ubah seperti orang yang tidak ada Tuhan, ataupun orang yang tidak kenal dirinya sendiri.

Dan mereka yang tidak kenal Allah tidak membawa apa-apa erti, hidupnya sepertilah kayu-kayan ataupun daun-daun kering yang bergelimpangan di atas muka bumi.

Persoalan yang timbul berikutan apabila ada jawapan dan ketegasan mengatakan boleh untuk kita berjumpa (kenal) Tuhan, ialah bagaimana- kah caranya? Ataupun bagaimanakah kaidahnya dan apakah pula syarat- syarat untuk mengenalinya

Bagi orang yang belajar, menuntut dan rajin mencari adalah terlalu senang untuk ma’rifat dengan Tuhan. Bukankah kita ini hambaNya yang dicipta olehNya. Maka sudah pasti secara logikanya sebagai hamba yang dicipta mesti kenal penciptanya. Mustahil kalau kita tidak kenal?

Untuk mengenali Tuhan, prosesnya samalah seperti proses untuk kita mengenali sesuatu benda aataupun perkara. Ambil misalnya kita hendak mengenali kereta.

Apa yang terlebih dahulu kita harus mempelajari ialah ilmu-ilmu mengenai untuk mengenali kereta. Kita harus tahu sifat-sifatnya, namanya, zatnya (komponen) dan juga keagungan (kuasanya) itu.

Bila kita sudah mengenali atau memiliki segala ilmu-ilmu itu maka mudahlah bagi kita, mengenal kereta itu. Bila ia bertemu ataupun terjumpa dengan kita pasti kita akan kenal, sebab bentuknya (sudah kenal) sifatnya sudah kita ketahui dan mengerti kegunaannya!

Tetapi adalah amat sukar sekiranya kita tidak mengetahuinya atau tidak memiliki langsung ilmu-ilmu tentangnya. Seribu kali kita berjumpa dengan kereta pun kalau tidak ada ilmu (pengetahuan) untuk mengenalinya, maka kita tidak akan kenal walaupun kereta itu telah melanggar kita. Kita tidak akan tahu atau kenal benda itu (kereta) meskipun ia sebenarnya kereta.

Nah! begitulah juga cara untuk kita mengenal Tuhan. Kita terlebih dahulu kena mempelajari segala ilmu-ilmunya, Kita kena cari pengetahuan tentangnya.

Tanpa ilmu tidak mungkin untuk kita mengenal dan mengetahui apa-apa tentangnya.

Ada empat bidang ilmu yang paling penting yang wajib bagi kita ketahui dan memilikinya dalam usaha untuk berkenalan dengan Tuhan. Seandainya kita cari (amal dan pegang) dengan ilmu-ilmu ini, InsyaAllah kita akan kenal, tahu dan mengerti tentang Tuhan dan Ketuhanan itu.

1. Syariat
2. Tariqat
3. Hakikat
4. Ma’rifat

Perlu diingatkan untuk kita mengenali Allah dan berkenalan denganNya ia tidak seperti kita hendak mengenali kereta ataupun untuk mengenali sesama makhluk. Kerana Allah itu ghaib dan kita hanya boleh kenal pada Sifat, Asma, Afa’alNya saja, maka adalah tidak mungkin kita kenal Dia seperti kita mengenali makhluk. Justeru itu kita hanya boleh kenal pada Zat, Sifat, Asma, dan Afa,alNya, maka hendaklah kita mengetahui hal-hal itu terlebih dahulu.

Tanpa mengenali keempat-empat bidang ilmu itu tidak mungkin kita ma’rifat dengan Allah dan juga berkenalan denganNya. Sepertilah juga kalau kita tidak mengetahui empat ilmu itu, kita tidak akan kenal Tuhan. Apakah kita sudah mengetahui apa yang dikatakan Zat, Sifat, Asma’ dan Afa’al itu?

Kesimpulannya di sini jelas menunjukkan apabila kita sudah mengetahui akan segala ilmu ma’rifat itu, maka kita boleh berkenalan dengan Allah. Kita dapat mengetahui keseluruhan mengenai dirinya. Bukan itu saja bila kita sudah kenal dan berkenalan denganNya kita juga dapat berbicara denganNya. Bercakap-cakap, mengadu hal, minta tolong dan sebagainya.

Bukankah Allah itu Allahusamad (Allah adalah tempat bergantung (meminta, memohon, mengharap) – Al-Ikhlas.

Kalau ada orang mengatakan kita tidak dapat berkenalan dengan Allah, bercakap dengan Allah, berinteraksi, bermanja dan sebagainya. Bermakna orang itu masih belum mempunyai Tuhan. Karena bagi orang yang mengaku adanya Tuhan (Allah) dia akan dapat berkenalan dengan Tuhannya (Allah) seperti mana dia dapat berkawan dan meminta pertolongan daripada kawan-kawannya sesama makhluk.

Mereka juga sudah tentu tidak pernah berjumpa dengan Hadis seperti mana yang tersebut di atas dan juga menafikan penegasan Allah sendiri yang berbunyi :

“Karena itu ingatlah kamu kepadaKu, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu dan bersyukurlah kepadaKu dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)Ku.” [Al-Baqarah : 152]

Kesimpulannya, kita boleh berkenalan dan mengenali Allah, malah perkara ini wajib dan merupakan fardhu ain bagi setiap umat Islam. Penemuan (kenal) dengan Allah ialah sebagai bukti bahwa kita (manusia) mempunyai Tuhan dan menjadi hamba kepadaNya, serta untuk menyatakan sumpah janji semasa di Alam Roh.


Tentang Dzat Alif Satunggal (Makrifat Ismu Dzat Allah)

ISMU DZAT (ALLAH)...

ALIF, LAM, LAM, HA'...

Alif itu adalah kenyataan Dzatullah, Sang Hidup, yang tiada mengenal mati, asing tak terdefinisikan, hidup dan berdiri sendiri. Tiada gambaran atau penyerupaan apapun bagiNYA.

Lam (awal) dan Lam (akhir), itu adalah kenyataan SIFATULLAH, atau sifatnya Allah. Dua buah Lam ini adalah 2 kutub sifat yang berlawanan. yang pertama ada adalah Lam jalal (lam jalalah), yaitu sifat Keagungan Allah sendiri, Lam Jalal ini adalah kegelapan awal. Ruang gelap absolut.

Lam (akhir) adalah Lam Jamal yaitu yang mewakili sifat keindahan Allah, inilah terang itu. yang memancar dari setitik benih terang.

Dua buah lam itu (awal dan akhir), lalu dipadukan, dimana Lam Jamal menjadi terang yang bercahaya, sedang Lam Jalal menjadi gelap yang membungkus dan mengurangi terang itu secara berlapis-lapis.

Ketika Lam jalal sebagai hijab itu diangkat, maka musnahlah segala sesuatu sebab tergilas oleh terang (Lam Jamal). Dua buah Lam ini Jamal dan Jalal, membentuk suatu Kesempurnaan, sebab ada 2 Kutub sifat yang berlawanan, ada terang dan gelap, kesempurnaan itu adalah sifat Al-Kamal. Dan kesemuanya itu terangkum dalam Kemaha wenangan dan PaksaanNYA Al-Qohar.

Ha' itu adalah kenyataan bagi Af'al Allah. yaitu amar perbuatan Allah. Yang engkau kenali sebagai ruh itulah Ha'-NYA. ruh itu "min amri robbi" (dari amar Tuhan).

Alif ==> Dzatullah
Lam (awal) ==> sifat gelap (pemarah, pencemburu, menyesatkan dsb)
Lam (akhir) ==> sifat terang (indah, mulia, kaya, dsb)
Ha' ==> Af'al Allah

Lalu asma'NYA mana? Ketika keempat huruf itu digabung yaitu Alif, lam, lam, ha', maka membentuk asma Allah, itulah letak asma'NYA.

Dikarenakan sifat-sifat kegelapan itu bernada "negatif", maka DIA tak begitu menampilkan Lam awalNYA, lebih disembunyikan dari makhluk, yang ditampilkan acapkali hanyalah Lam akhirNYA (Jamal)/indahNYA. maka dari Alif, Lam, lam, Ha' (ALLAH) disembunyikan satu Lamnya menjadi Alif Lam Ha' (ILAH).

Dari Allah menjadi ILAH (Tuhan SESEMBAHAN), atau sederhananya DIRINYA menampilkan diri dalam aspek ILAHIYAHNYA. Atau Allah sebagai ILAHI, sebagai TUHAN sesembahanlah yang ditampilkan. Bahasa sederhana yang lain itu bahwa DIA mendahulukan rahmatNYA daripada murkaNYA.


Ketahuilah, bahwa jari-jari Tangan Anda (dari kelingking hingga ibu jari pada kedua tangan) tertulis Asma “Alloh (الله)”, maka angkatlah kedua tanganmu sebatas bahumu tinggikanlah Asma’ Alloh itu ketika Anda berdo’a dan janganlah Anda merusaknya dengan memegang (mengambil) sesuatu yg dilarang oleh Alloh SWT dan Rosul-Nya hingga perintah dipotong tangan didalam Kalam yang Maha Sempurna itu akan berlaku bagi siapa saja yang mencuri.


Sembilan puluh sembilan Asma’ul Husna berada digaris tangan Telapak Tangan Anda yg mana sebelah Kanan tertulis 18 (Angka Arab) dan Kiri 81 (Angka Arab), maka itu kenalilah Af’al, Asma’, Sifat dan Dzat-nya yg Maha Jalaal (Maha Agung), Jamal (Maha Indah) dan Kamal (Maha Sempurna). Disitulah terdapat 50 ‘Aqoid sebagai Syahadat Tauhidnya, maka itu “Barangsiapa yang Makrifat akan Dirinya maka ia akan Makrifat kepada Tuhannya”.


Ketahuilah bahwa ditubuh Anda tertulis “Muhammad (محمّد)”, dimana Kepala Anda itu laksana hurup Mim (bulat), Bahu yang Rata seperti Ha’ (kecil), disambung dengan Mim diperut dan kemudian Dal di Kaki (lihatlah ketika Anda sedang Tahiyat Akhir pada ke-4 hurup itu yang satu hurup Mim Tasydid tersimpan di Shodr), maka itu kenalilah 9 Sifat bagi Rosul dan ke-4 Rukun Imannya. Disitulah terdapat 13 ‘Aqoid. Sebagai Syahadat Rosulnya, maka itu janganlah Anda rusak Diri Anda degan berbagai hal-hal yang dapat menjauhkan Diri Anda kepada ALooh SWT dan Rosul-Nya karena “Sungguh Alloh telah memuliakan Anak Cucu Adam (Manusia)”, sehingga Binatang Mati tidak usah dimandikan tetapi bila Manusia itu Wafat maka mandikanlah. Laailaaha Illalloh ada 12 Huruf dan Muhammadur Rosuululloh ada 12 Huruf didalam huruf arabnya, maka didalam 24 Jam jagalah Iman Islam Anda dari segala yang bertentangan dengan Dua Kalimah Shakti itu.

Belum cukup hanya Iman kepada Alloh SWT dan Nabi Muhammad S.A.W saja tetapi butuh pembuktian yang nyata, yakni : Rukun Islam dalam hal ini Sholat, baik secara Ritual maupun Aplikasinya.


Ketika Sholat Berdiri dengan menundukan Kepala Anda seperti halnya Huruf Alif, Rukuklah seperti Huruf Ha’ (kecil), Sujudlah seperti Huruf Mim dan Duduk Tahiyat Tawaruklah seperti huruf Dal, inilah Lafadz Ahmad (Bahasa Arab) untuk menyelamatkan Akhirat Anda, Insya Alloh.


Ketika Berdiri 180 derajat, Rukuk 90 derajat, Sujud 2x 45 derajat sehingga menjadi 90 derajat, inilah 360 derajat Dunia Anda yang merupakan simbol 360 hari didalam satu Tahun untuk mengaplikasikan sholat anda secara nyata. Mudah-mudahan Anda akan selamat dan beruntung di Dunia maupun di Akhirat nanti, Aamiiin.

Asma’ul Husna memiliki banyak Rahasia dan Keutamaannya dikarenakan setiap Kalimat memiliki arti : Lafadz, Makna maupun Haqiqatnya yang berlapis-lapis. Rosulallah S.A.W bersama Para Sahabatnya juga Para Ulama, disamping mencari Rahasia Kedalaman disetiap Asma Allah Ta’ala sebagai Peningkatan Iman, juga Mereka mengamalkan Asma’ul Husna ini sebagai Tambahan Dzikir dan Pelengkap Do’a-do’a mereka sesuai dengan perintah Allah Ta’ala didalam Kitab-Nya yang jelas (Al Mubiin). Pada penjelasan Ushuuluddin kali ini, Saya sedikit jelaskan tentang Asma Allah Ta’ala (Ismu Dzat) dari sisi Asal dan Perubahan Lafadznya, yakni sebagai berikut :

ALLAH (الله)… ALLAH (الله)… ALLAH (الله)…


Lafadz Alloh adalah Ismu Dzat Wajibul Wujud (Nama Dzat yang wajib adanya), jika nama ini disebut maka nama-nama-Nya yang lain ikut terpanggil, tetapi jika nama yang lain disebut maka nama-nama-Nya yang lain tidak ikut terpanggil.


Lafadz ini disebut juga Ismul Karim (Nama yang sangat Mulia) atau Ismul A’zhom (Nama yang sangat Agung) sehingga dari semua Makhluq-Nya diharamkan memiliki nama dengan lafadz ini terkecuali diawali dengan Lafadz “Abdu (Hamba) atau yang serupa dengan Lafadz Abdu” sehingga memiliki arti dan makna yang ndak menyimpang dari Petunjuknya. Didalam sejarah ada beberapa Orang yang berbeda zaman menamai anaknya dengan nama ALLOH, maka dalam hitungan hari anaknya itu meninggal dunia, peristiwa ini jika anda tidak percaya dapat anda coba lakukan sendiri.


Ini cerita seorang pedakwah ketika Ia menterapi TKW yang saat itu malam hari kesurupan massal di Messnya ada 70 TKW lebih, rupanya setelah ditelusuri ada yang Aborsi di Mess tersebut yang mana Bayinya itu disimpan didalam Kendi kemudian dikuburkan dikebun didalam Mess tersebut dan menamai bayinya itu dengan sebutan “ROBBANAA” padahal artinya: “Tuhan Kami” karena Qorinnya selalu menyebut “Ana” sehingga dinamai “Robbanaa” dan mereka tidak tahu artinya (ucap mereka), hingga saya ganti nama bayi itu dan saya perintahkan agar mereka Para TKW berwudhu, Saya ajarkan Cara Sholat Ghaib, lalu setelah Sholat Gaib berjama’ah kemudian Dzikir berjama’ah sekitar 10 menit beserta Pemantapan Aqidahnya dengan beberapa Nashihat yang saat itu sangat diperlukan.


Ketahuilah Lafadz Alloh (Bahasa Arab) berasal dari lafadz ILAHUN (Tuhan) dengan mengalami lima kali perubahan hingga membentuk Lafadz ALLOH, yakni dengan perincian dan penjelasan sebagai berikut :

1) ILAAHUN ( اله ) pakai Tanwin pada Hurup Ha’ (Besar)
Artinya Tuhan dan Lafadz ini termasuk Isim Nakiroh, yakni : Nama yang memiliki Makna Umum atau banyak versinya, maka itu boleh ditanwin. Dimana yang disebut Tuhan disini yang mana, maka ndak tahu. Lafadz ini disebut juga Isim Jinis, yakni : setiap apapun yang disembah baik yang Haq maupun yang Batil maka itu disebut ILAAHUN, Jika ada yang menyembah matahari maka matahari itu disebut ILAAHUN (Tuhan), jika ada yang menyembah kuburan maka kuburan itu disebut ILAAHUN (Tuhan), dan lain-lain maka didalam kalimat Thoyyibah menggunakan Lafadz : “Laa ILAAHA Illalloh” yang artinya Tiada Tuhan (yang Umum dan Banyak baik yang Haq maupun yang Bathil) kecuali hanya Alloh (yang khusus dan Tunggal yang Haq Wajib disembah).


Cobalah Anda berdzikir menyebut-nyebut ILAAHUN… ILAAHUN… ILAAHUN… sebanyak-banyaknya, maka tidak akan berfaedah Makrifat kepada Alloh SWT.

2) AL-ILAAHU ( الإله ) pakai Alif Lam Ma’rifat diawal
Artinya Alloh, yakni : Al HAQ yang wajib disembah dan Lafadz ini termasuk sudah Ma’rifat, yakni : Nama yang memiliki Arti dan Makna Khusus, karena kemasukan Alif Lam Ma’rifat (ال), yakni : sesuatu yang tadinya Umum (Nakiroh) takala dimasukkan Alif Lam Ma’rifat maka memiliki Arti dan Makna yang menunjukan Khusus (Ma’rifat). Setiap ada Alif Lam Ma’rifat dilarang menggunakan Tanwin, karena Tanwin itu menunjukan Isim Nakiroh (bermakna umum). Contoh : QS. Al Baqoroh ayat 2, berbunyi : “ذلك الكتاب” Lafadz “Al Kitaabu” sudah kemasukan Alif Lam Ma’rifat sehingga yang dimaksud “Al Kitaabu” disini bukan kitab-kitab yang lain (yang bersifat umum), tetapi bermakna yang menunjukan Arti Khusus (Ma’rifat), yakni : Satu Kitab itu yang dimaksud yang namanya Al Qur`an, tetapi jika Lafadznya “Dzaalika Kitaabun” maka bermakna banyak versi, yakni : Satu kitab yang mana saja karena Nakiroh, bisa Al Qur`an, bisa juga Taurot, bisa juga Injil dan lain-lain karena tidak memakai Alif Lam Ma’rifat.

3) AL-LAAHU ( اللاه ) pakai Sukun pada Lam Awal dan Lam kedua pakai Alif
Artinya Alloh, yakni : Al HAQ yang wajib disembah dan Lafadz ini sama seperti lafadz yang no. 2 tadi, tetapi pada bentuk Lafadz ini Hamzah yang ke-2 dari Lafadz AL-ILAAHU di Hadzef (dibuang), setelah itu di Naql (dipindahkan) harokatnya kepada LAM, yakni : dengan disukunkan (dimatikan) pada LAM pertamanya (الْ) dan dipanjangkan LAM yang ke-2 dengan memunculkan ALIF (yang awalnya masih tersimpan) dan memberi harokat Fathah yang tidak tegak berdiri (اللاه), karena sebagai tanda panjang huruf Alif boleh disimpan dan harokat Fathahnya ditegakkan (اله), tetapi bila Alifnya dimunculkan maka fathahnya biasa saja, yakni : ndak tegak berdiri (اللاه) inilah yang dinamakan Mad Thobi’i pada Ilmu Tajwid.

4) AL-LAAHU ( اللاه ) pakai Tasydid pada Lam kedua
Artinya Alloh, yakni : Al HAQ yang wajib disembah dan Lafadz ini sama seperti lafadz yang no. 3, tetapi pada bentuk Lafadz ini diberi tasydid pada LAM ke-2 dan Posisi Alif ke-2 masih tetap dimunculkan, krn bila LAM sukun (mati) bertemu dengan LAM yang hidup atau bertemunya dua huruf yang sama (Lam dgn Lam), maka Wajib diidghomkan atau ditasydidkan (satu hurufnya disimpan) yang disebut dengan Idghom Mitslain (Mutamatsilain) Bila Gunnah lihat pada ilmu Tajwid.

5) ALLAH (الله ) pakai Tafkhim
Artinya Alloh, yakni Al HAQ yang wajib disembah dan wajib ada-Nya dan Lafadz ini sama seperti lafadz yang no. 4, tetapi pada bentuk Lafadz ini huruf Alif yang ke-2 tadi disimpan dengan masih tetapnya dibaca panjang, yakni : menggunakan Fathah berdiri tegak sebagai tanda tersimpannya huruf Alif dan ini termasuk Mad Thobi’I, tetapi ketika mengucapkan Lafadz ALLAH jika di Tarqiq (ditipiskan) seperti Panggilannya Orang Nasrani, maka akan bermakna Orang yang mengucapkan itu tidak mengagungkan-Nya malah sebaliknya, yakni : sebagai bentuk Panggilan Penghinaan. Didalam mengucapkan Lafadz ALLOH dengan di Tafkhim (ditebalkan) sebagai tujuan Li’azhomahu, yakni: untuk mengagungkan dan memuliakan Alloh Azza wa Jalla itulah fungsi Tafkhim pada lafadz ini.


Cobalah Anda berdzikir Tarqiq menyebut-nyebut ALLAH… ALLAH… ALLAH… sebanyak-banyaknya, maka tidak akan berfaedah Makrifat kepada Alloh SWT.

Ketahuilah, Lafadz Allah (Ismu Dzat) ini merupakan Nama yang paling Agung dari nama-nama-Nya yang lain dapat juga disebut kepalanya Asma`ul Husna. Lafadz ini memiliki banyak rahasia pada setiap hurufnya dan temukanlah Natijah setiap hurufnya lalu temukan juga Tsamroh setap cabang hurufnya. Berikut ini sekilas tentang Natijah dan Tsamroh yg terdapat pada 4 huruf Asma Alloh (bahasa arab), sbb :

1. ALLAH ( الله)
Masih sempurna ke-4 hurufnya, artinya : Nama Dzat yang wajib disembah dan wajib ada-Nya, Lafadz ini terdiri dari 4 huruf yang merupaka Isyaroh bahwa Allah Swt itu memiliki Af’al, Asma, Sifat dan Dzat dan didalam ajaran tauhid ada rahasia angka 4 yang harus kita pelajari dan Imani yakni tentang Mentauhidkan Af’alullah (pekerjaan/perbuatan Allah), Mentauhidkan Asma’ullah (99 nama-nama Allah), Mentauhidkan Sifatullah (41 Sifat-sifat Allah) dan Mentauhidkan Dzatullah (Esa Dzatullah) inilah yang disebut dengan Syahadat Tauhid 50 ‘Aqo’idul Islamiyyah.


Dimana Rosulallah Saw bersabda : “Barangsiapa yang Ma’rifat kepada dirinya, maka sungguh ia akan Ma’rifat kepada Tuhannya dan barangsiapa yang Makrifat kepada Tuhannya maka sungguh ia telah (menjadi) Bodoh”.

Maka didalam pemahaman Saya bahwa gelar “Al Faqir” (sangat berkekurangan dalam hal duniawi) adalah sebutan bagi orang yang telah Makrifat karena lihatlah didalam kehidupan mereka, mereka bukanlah orang yang faqir tetapi memfaqir-faqirkan diri dengan memperbanyak puasa, sedikit makan, berpakaian sederhana dll., begitupun dengan “Al Haqir” (sangat bodoh tentang ilmu) termasuk juga dengan sebutan “Abdulloh” (hamba yg telah diakui Alloh sebagai hamba-NYA yang benar-benar patuh) karena ketiga gelar ini Alloh SWT berikan kepada orang-orang (Abdulloh tadi) yang telah mengenal-NYA baik secara zhahir maupun secara bathinnya, baik secara teoritis maupun secara pembuktian (makna QS. Al Fajr : 29) karena mereka yang Al Faqir, Al Haqir dan Abdulloh memahami betul tentang Maha Kayanya Alloh SWT, Maha Ilmu dan Maha Besarnya Alloh SWT sehingga gelar itu sangatlah pantas mereka sandang.


Adalah Sayyid Imam Abdulloh bin Ahmad Al Muhajir, beliau tidak mau dipanggil Abdulloh karena panggilan Abduloh adalah panggilan yang sangat Mulia sedangkan ia menyatakan dirinya sebagai orang yang benar-benar hina sehingga ia lebih suka dipanggil dengan sebutan Ubaidillah (ditasyghir) yang memiliki arti hamba Alloh yang benar-benar hina. Namun bila golongan kita dianggap Tawadhu dengan memakai Al Faqir, Al Haqir dan Abdulloh padahal didalam pemahaman Tasawuf termasuk orang-orang yang MENYOMBONG DIRI karena tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.

Takala kita lihat jari tangan mengapa panjangnya ndak sama karena membentuk lafadz Allah (الله), maka didalam hukum Islam jika mencuri pergelangan tangannya dahulu dipotong dan bila ingin cepat terkabulnya suatu hajat, maka berdoalah yg mantab dgn mengangkat kedua tangan anda hingga setinggi bahu. Dari sumber lafadz “Alloh” ini, maka berkembanglah rahasia yang lain dan mulailah terungkap tentang makna angka 4, misalnya saja : Af’al, Asma, Sifat dan Dzat, Asyhurul Hurum ada 4, yaitu ; Muharam, Rojab, Dzul Qo’dah dan Dzul Hijjah, Kitab Utama ada 4 yakni Taurot, Zabur, Injil dan Al Qur`an, Rusu’ul Malaikat ada 4, yaitu ; Jibril, Minka`il, Isrofil dan Izro`il, Kholafaur Rosyidin ada 4, yaitu ; Abu Bakar As Siddiq, Umar Al Faruq, Utsman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Tholib Rodhiallahu Anhum, Mujtahid Mutlaq ada 4 yakni Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal, Tasbih ada 4, yaitu ; Subhanallah, Alhamdulillah, Lailaahaillaah dan Allahu Akbar, Hari Utama ada 4, yaitu ; Hari Jum’at (Penghulunya hari), Hari Arofah (Hari banyak keistimewaan), Hari Nahr (Hari Penyembelihan Nafsu hewani) dan Hari Fitri (Hari kemenangan fitroh), Wanita Idaman Syurga ada 4, yaitu ; Maryam binti Imron (wanita suci), Khodijah binti Khuwailid (wanita pertama masuk Islam), Asiah binti Muzahim (Istri Fir’aun) dan Fathimah binti Muhammad (Tuan Putri wanita Syurga), Para Pendahulu Negeri yang Awal masuk Syurga ada 4, yaitu ; Rosulallah Saw pendahulu dari bangsa ‘Arab, Salman Al faritsi pendahulu dari bangsa Persia, Suhaib pendahulu dari bangsa Rum dan Bilal bin Rabbah pendahulu dari bangsa Habsyah, Orang yang dirindukan Syurga ada 4, yaitu ; Ali bin Abi Tholib, Salman Al Faritsi, Ammar bin Yasir dan Miqdad bin Al Aswad, Ilmu Syariat ada 4 bahasan utama, yaitu ; Ibadah, Mu’amalah, Munakahat dan Jinayat, Anggota Wudhu ada 4, yaitu ; Muka, Tangan, Kepala dan Kaki, Unsur Pokok Utama dalam badan ada 4 yakni : Empedu, Limpa, Darah dan Lendir, Musim ada 4, yaitu ; Musim Panas, Musim Dingin, Musim Semi dan Musim Gugur, Dasar Hitungan ada 4, yaitu ; satuan, Puluhan, Ratusan dan Ribuan, Tabi’at ada 4, yaitu ; Panas, Dingin, Basah dan Kering, Jangka Waktu ada 4 yakni Hari, Minggu, Bulan dan Tahun, Waktu ada 4, yaitu ; Detiko, Detik, Menit dan Jam dan lain-lain.

2. LILLAAHI ( لله)
Dibuang Alif, artinya : Karena Allah inilah tujuan segala Ibadah apapun seperti halnya puasa ada sebagian orang berpendapat tujuan dari Puasa adalah “La’alakum Tattaqun” untuk bertaqwa, pendapat ini kuranglah tepat karena tujuan segala ibadah apapun hanya satu yakni Li Mardhotillah, Liwajhillah, Lillahi Ta’ala yaitu Karena Allah. Hal inilah yg sealu diajarkan disetiap lafadz niat Ibadah apapun yang selalu diakhiri dengan kalimat “Lillahi Ta’ala” seperti : Nawaitu Showma Ghodin terakhirnya Lillahi Ta’ala, Usholi Fardoz Zhuhri terakhirnya Lillahi Ta’ala, Nawaitu Ghusla terakhirnya Lillahi Ta’ala dan lain-lain. jikalau Taqwa adalah sebagian dari hikmah ibadah dan salah satunya adalah puasa, ini Allah SWT berikan bilaa didalam mengerjakan Ibadahnya tadi dilakukan dengan penuh keIkhlasan dan Syari’atnya benar.

Lafadz ini juga yang memiliki Makna segala apapun tertuju kepada Allah Swt yakni: Semua Makhluq diciftakan oleh Allah, Semua Makhluq menghadap kehadirat Allah, Semua Makhluq bertanggung jawab kepada Allah, Semua Makhluq dalam kekuasaan Allah, Semua Makhluq dalam pengawasan Allah, Semua Makhluq akan kembali kepada Allah, Semua Ibadah ditujukan kepada Allah, Semua Amalan hasilnya diserahkan kepada Allah, Semua kejadian dari Allah dan lain-lain.


Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah Minallaahi, Billaahi, ‘Indallaahi, Ilallaahi, Fillaahi, Inna Lillaahi wa Innaa Ilayhi Rooji’uun.

3. LAHU ( له )
Dibuang Alif dan Lam awal, Artinya : bagi-Nya atau kepunyaan-Nya. Pada lafadz ini memiliki makna “Lilmilki”, yakni : Kepunyaan atau Kepemilikan seperti yang Allah Swt firmankan :

“adalah Kepunyaan Allah apa yang ada di (7 lapis) Langit dan di (7 lapis) Bumi”

Dari ayat ini jelas sekali bahwa semua ini adalah Makhluq-Nya dan setiap Makhluq-Nya adalah milik-Nya dan bagi-Nya bebas tanpa paksaan dari siapapun untuk mengambil dan menghilangkan Makhluq-Nya, untuk mengampuni atau menyiksa Makhluq-Nya, untuk menjadikan atau tidak, memberi atau tidak, karena semua ini adalah Makhluq-Nya.

4. LAA ( لا )
Dibuang Alif, Lam Awal dan Ha’, Artinya: LAA Nafiyyah maksudnya didalam qoidah Tasawuf dikenal dengan kalimat: “Jika aku berkata LAA (Tidak ada Tuhan), maka Tujuannya adalah ILLAA (hanya Allah) begitupun sebaliknya jika aku berkata ILLAA (hanya Allah) maka Tujuannya adalah LAA (Tidak ada Tuhan)”. LAA adalah NAFI sedangkan ILLAA adalah ITSBAT, dan NAFI mengandung ITSBAT sedangkan ITSBAT mengandung NAFI tidak bisa bercerai antara ITSBAT dan NAFI. Lafadz ILAAH adalah MUNFI (yang ditiadakan) sedangkan lafadz ALLAH adalah Mutsbat (yang ditetapkan). LAA ILAAHA (ditenggelamkan) ILLAAH (dimunculkan), LAA ILAAHA (ditiadakan) ILLAAH (ditetapkan) dst.

5. AL ( أل )
Dibuang Lam kedua dan Ha`, Artinya : AL (alif lam) Ma’rifat bukan Nakiroh yang selama ini kita sembah, yakni : Tuhan yang kita sembah bukan yang Nakiroh (Umum dan Banyak) tetapi yang sema’rifat-ma’rifatnya (sekhusus-khususnya), yaitu : ALLAH Azza wa Jalla, jikalau kita berdzikir dengan lafadz Nakiroh, seperti : ILAAHUN, ILAAHUN, ILAAHUN tentunya keyaqinan kita akan bercabang, karena yang dipanggil-panggil dan yang disebut-sebut adalah Tuhan yang Umum dan Banyak. Ketahuilah yang menemukan Alif Lam disini sbg Ma’rifat adalah Imam Sibaweih seorang fakar Ilmu Nahwu, yaitu ; muridnya dari Imam Kholil fakar Ilmu ‘Arudh, takala berdzikir para Ahli Thoriqot dengan lafadz ALLAH, ALLAH, ALLAH terinkisyaf bahwa Imam Sibaweih mendapatkan Rahmat Allah di Alam Barzah yang begitu melimpah ruah sehingga bertanya: Apa sebabnya Anda mendapatkan Rahmat Allah yang begitu melimpah di Alam Barzah ini?. Imam Sibaweih menjawab : Ini disebabkan telah aku tuliskan didalam Kitab-kitab karanganku bahwa lafadz ALLAH itu adalah Ma’rifat yakni Isyaroh dari huruf Alif dan Lam diawal kalimat ALLAH (bahasa).

6. HU ( ه )
Dibuang Alif, Lam awal dan Lam kedua, Lafadz ini merupakan asal dari Lafadz HUU atau HUWA yang Artinya Dzat. Ketahuilah arti kata “Dzat” yg sering kita sering dengar itu jaganlah diartinya bahwa Alloh SWT itu bertitik, bernoktah, berunsur, beratom dll. Karena itu semua Makhluk Ciftaannya tetapi maksud dari DZAT yang dimaksud adalah hanya sebuah kata yang berhampiran (mendekati) kepada yang benar agar mudah didalam memahami perihal konsep ketuhanan, dan janganlah Dzat disini diartikan yang sesungguhnya karena bisa salah menyangka dan salah memaknainya inilah Qoul yang benar. Ketahuilah, bahwa Lafadz HU atau HUU atau HUWA ini Allah SWT perintahkan agar selalu disebut-sebut atau dipanggil-panggil sebanyak-banyaknya tak berhingga, Sebagaimana firman Allah SWT QS. Al Ikhlas ayat 1, yg berbunyi : “Katakanlah (ya Muhammad) HUWA/ HU/ HUU (yakni Dzat yang Maha Sempurna yang dinamai) ALLAH yang Maha Esa (Tunggal)”.

Jika ada yang berdzikir HU HU HU atau HUU HUU HUU atau HUWA HUWA HUWA artinya adalah sama, yakni : Dzat Dzat Dzat, bagi Ulama Tasawuf lafadz ini merupakan amalan Bathiniyyah sehingga takala Nafasnya Naik (Tarik nafas) berdzikir HUU dan ketika Nafasnya Turun (membuang nafas) berdzikir ALLAH artinya Dzat Allah, karena setiap nafas yang Allah karuniakan harus ada laporannya yakni Dzikrullah ini dilakukan ketika nafas Naik Turun atau Keatas Kebawah atau Masuk Keluar atau Kembali dan Pulang kepada yang memberikan Nafas ini yakni Allah SWT. Inilah yang disebut dengan Insan Kamil.

Bagi setiap Insan Kamil selalu berdzikir didalam Qolbi Bathinnya lafadz HUU ALLAH, HUU ALLAH, HUU ALLAH atau ALLAH HUU, ALLAH HUU, ALLAH HUU. Ini dilakukan karena diakhirat nanti ada pertanyaan : Untuk apa saja Umurmu dihabiskan? Umur (usia) itu adalah saling bersambungnya antara Nafas yang masuk dengan Nafas yang keluar, antara Nafas yang Naik dengan Nafas yang Turun, antara yang Keatas dengan Nafas yang Kebawah, antara Nafas yang Kembali dengan Nafas Pulang kepada yang memberikan Nafas ini yakni Allah maka pentingnya Dzikrullah di Qolbi Bathiniyyah agar mudah menjawab pertanyaan ini sebab keseluruhan Nafas ini telah diisi dengan Dzikrullah (mengingat Allah).

7. AH ( أه )
Dibuang Lam awal dan lam kedua, didalam bahasa Arab lafadz ini merupakan singkatan dari lafadz INTAHAA (انتهى) yg Artinya Kesudahan (Akhiran). Maksudnya adalah didalam perjalanan mencari Allah SWT yang Zhohir maupun yang Bathin ada permulaan dan ada kesudahannya (akhirannya), maka jika sudah berdzikir kalimat AH AH AH di Qolbi Robbani (bukan di Qolbi Bathiniyyah) berarti perjalanannya sudah sampai Tujuan, sudah sampai diperbatasan, berlayar sudah sampai dipulau.

8. ALIF ( ا )
Dibuang Lam awal, Lam kedua dan Ha`, ini merupakan Huruf yang Tunggal (Wahdaniyyah) dan Berdiri Sendiri tanpa butuh bantuan siapapun (Qiyamuhu Binafsihi), jika diberi Harokat Fathah, Kasroh dan Dhomah maka akan berbunyi A, I, U bahkan E dan O pun didalam Ilmu Tasawuf dipahami bahwa itu semua adalah Dzikir menyebut nama “Allah”. Ketahuilah bahwa disetiap bunyi apapun di Alam Jagat Raya ini pada haqiqatnya berdzikir ALLAH, ALLAH, ALLAH, maka terbitnya bunyi itu dari 4 Anasir (unsur) yg sering kita dengar, yakni : dari Anasir Api, Anasir Angin, Anasir Tanah dan dari Anasir Air.


Ketahuilah setiap bunyi atau suara yang berasal dari 4 Anasir ini pada haqiqatnya berdzikir menyebut nama ALLAH, ALLAH, ALLAH apakah suara Kendaraan bermotor, Bom, Kereta, Pesawat Terbang, Jam Dinding, Detak Jantung anda dan lain-lain baik yang berdentum, berdesir, berderu, berdentang dan lain-lain. Coba heningkan hati dan pikiran anda sejenak lalu dengarkan suara-suara Alam Semesta yang setiap saat menegur kita untuk selalu mengingat Alloh, Alloh, Alloh, secara berkekalan.

Huruf Alif disebut juga huruf yang bisa membunuh dan ndak bisa terbunuh atau disebut juga Huruf yang bisa menghidupkan yang lain tetapi Ia ndak bisa dihidupkan oleh yang lain atau disebut juga Huruf yang Hidup (Al Hayyu) dan Bisa Berdiri Sendiri tanpa bantuan siapapun. Huruf Alif merupakan Asal (dasar) dari semua huruf-huruf hija`iyyah yang 29 huruf. Jika kita lihat huruf Alif seolah-olah kita melihat huruf yang 28 huruf yang tersimpan didalam huruf Alif dan sebaliknya jika kita melihat yang 28 huruf seakan-akan kita hanya melihat satu huruf, yakni : “Huruf Alif”. Menurut Kaidah Tasawuf berbunyi: “Syuhudul Wahdah Fil Kasroti, wa Syuhudul Kasroh Fil Wahdati”, artinya : jika memandang yang satu maka yang kelihatan banyak, jika melihat yang banyak maka tampaklah hanya satu yakni Allah Azza wa Jalla.

Sebagai contoh :
a. Jika Anda memandang Biji mangga maka sebenarnya yang kelihatan bukan satu tetapi banyak yakni didalam biji mangga itu ada akar, batang, daun, ranting buah dan lain-lain kalu Anda tidak percaya coba Anda tanam biji mangga itu maka akan terbukti didalam mangga ada akar, batanng, daun dan lain-lain, dan sebaliknya jika Anda memandang pohon mangga yang besar maka sebenarnya Anda sedang melihat yang satu yakni biji mangga.

b. Jika Anda Melihat Alam semesta, Alam Jagat Raya maka yang tampak sebenarnya yang Anda pandang itu seakan akan yang Maha Pencifta yakni Allah Azza wa Jalla begitupun sebaliknya

Inilah mengapa didalam huruf Alif itu ada dan tersimpan 28 huruf hija`iyyah. Ketahuilah semua Kitabullah yang 104 tersimpan maknanya pada 4 Kitab dan dari 4 Kitab ini terkumpul maknanya didalam Kitab Al Qur`anul Karim dan makna Al Qur`an yang 6666 Ayat (bila memakai basmalah) terhimpun di QS. Yasin dan makna QS. Yasin yang 83 Ayat terkumpul didalam QS. Al Fatihah dan makna QS. Al Fatihah yang 7 Ayat terhimpun didalam lafadz Bismillaahir Rohmaanir Rohiim, dan makna Basmalah yang 19 huruf itu terdapat pada huruf Ba dan makna huruf Ba itu adalah “Dengan-Ku ada maka apa-apa menjadi ada, dan dengan-Ku jadikan maka apa-apa menjadi terjadi.

Ketahuilah bahwa asal dari Lafadz Bismi (بسم) adalah Bi`ismi (بإسم) ada huruf Hamzahnya tetapi ditulis dan dibaca seakan-akan ndak ada Hamzahnya, ini merupakan Isyaroh bahwa Allah Swt itu ADA (wujud) tetapi seakan-akan TIDAK ADA, padahal kita semua ini menyembah kepada Dzat yang Wajibul Wujud (yang wajib adanya) yakni ALLAH Azza wa Jalla. Arti dari Wajibul wujud adalah bila Alloh SWT tak ada maka yang lain pun tak ada dan berbeda dengan diri kita contohnya : bila diri kita tak ada di dunia ini maka yang lain tetap ada, berarti diri kita ini tak wajib adanya.

Ketahuilah jika Anda ingin menulis huruf Ba maka ini merupakan gabungan beberapa Alif yang ditarik kebawah, kesamping dan keatas. Ketahui pula bila huruf Alif ditarik keatas dan kebawah, kesamping dan diputar maka akan tampak huruf hija`iyyah yang semuanya 28 huruf ditambah huruf Alif satu sehingga berjumlah 29 huruf dan dari 29 huruf hija`iyyah ini terbentuklah Kitab Suci Al Qur`an yang 6666 Ayat yang Mulia.


Inilah makna kaidah: “Syuhudul Wahdah Fil Kasroti, wa Syuhudul Kasroh Fil Wahdati”.

9. TIDAK BERHURUF ( … )
Dibuang huruf Alif, Lam awal, Lam kedua dan Ha`, Artinya : Laa Showtun wa Laa Harfun yakni tidak ada suara dan tidak ada rupa, inilah yang disebut dengan Kalam Allah SWT yang Qodim (terdahulu), Kalam Allah Swt yang sesungguhnya di Lauhil Mahfuzh. Kalam di Lauhil Mahfuzh ini Allah Swt turunkan kedunia melalui Malaikat Jibril sebagai Tugasnya menyampaikan Wahyu kepada para Rosul kemudian Kalam ini dikenal sebagai Wahyu Ilahi, Kalamullah, Firman Allah dan Kitabullah yang berjumlah 104 Kitab dan yang Allah SWT sempurnakan didalam Kitabullah Al Qur`an. Al Qur`an yang kita kenal dan kita pegang disebut Mushaf karena ada rupa dan tidak ada suara, atau ada juga yang disebut Hatif berupa Kaset yakni ada suara tidak ada rupa, atau ada juga disebut Al Quran Digital yakni ada suara dan ada rupa tulisannya.


Oleh karena itu sudah seharusnyalah anda berwudhu dahulu sebelum Anda menyentuh Mushaf Al Qur`an dan tidak perlu berwudhu jika menyentuh Kaset Al Qur`an karena tidak berhuruf inilah Qoul yang benar dalam mengimani Kitabullah (pelajari makrifat huruf hija’iyyah).


Allah SWT berfirman: “Janganlah menyentuh-Nya (Al Qur`an) kecuali bagi mereka yang suci (Muslim yang sudah berwudhu)”.

Janganlah mengartikan Al Qur`an pada ayat ini adalah Kalamullah yang Qodim di Lauhil Mahfuzh karena itu penafsiran yang berlebihan. Kitabullah Al Qur`an Allah SWT turunkan sebagai petunjuk bagi Orang yang bertaqwa (Hudaa Lilmuttaqiin), petunjuk bagi Manusia (Hudal Linnaas) dan juga golongan Jin (Li Ya’buduun). Pada ayat diatas adalah jelas untuk Makhluk Alloh khususnya Manusia, yang tidak mungkin dapat ke Lauhil Mahfuzh untuk menyentuh Kalamullah yang Qodim itu, sedangkan Kalamullah yang Qodim itu ndak ada suara dan ndak ada rupa dan juga tempat yang bernama Lauhil Mahfuzh itu sudah termasuk Alam Lahut (ketuhanan) maka jirin Jin dan Manusia akan hancur lebur sebelum memasuki Alam itu (gunakan juga konsep Quantum fisika dan quantum makrifat sebagai dasar penafsirannya agar lebih ilmiah). Ketahuilah bahwa Kalam atau Mutakalimun adalah Sifat Allah SWT dan hanya Dzat Allah SWT saja yang LAA MAUJUDA ILLALLAAH, yakni ndak ada yang berwujud kecuali hanya Allah Swt yang wajib adanya.

Sayid Abdul Qodir Al Jailani berkata : “Kalimat ALLAH itu merupakan Ismul A’zhom (Nama yang Agung) dan sesungguhnya Allah SWT kabulkan jika kamu berkata YA ALLAH dan tidak ada di Qolbi kamu selain-Nya, dan kalimat ini disebut Ismul Khowash (nama yang Khusus) dan Ismul ‘Aja`ib (nama yang mengagumkan) jika kamu berkholwat mengucapkan ALLAH, ALLAH, ALLAH, sampai Qolbu anda fana (kosong dari yang Alam), maka anda akan menyaksikan Alam Malakut yang mengagumkan dan segala sesuatu apapun dengan Izin Allah SWT berkata “KUN.. !!. Terjadilah”.


Berkata Para Ulama : “Orang yang berdzikir 70.000 kali kalimat ALLAH ditempat yang sepi dari segala suara (kholwat), maka tidaklah ia meminta sesuatu kepada Allah melainkan Allah SWT berikan”.


Berkata Para Ulama : “Orang yang berdzikir tiap hari setelah Sholat Subuh kalimat HUWALLAH sebanyak 77 kali maka ia akan melihat keberkahannya dalam urusan Agama dan Dunia dan akan menyaksikan sesuatu pada dirinya yang begitu mengagumkan (istimewa).


Berkata Para Ulama : “Orang yang melazimkan mengucapkan kalimat ALLAH sebanyak 500 kali setelah sholat dua roka’at (Sholat Hajat atau Tahajud), maka akan berpengaruh besar akan terkabulnya apa yang ia hajatkan”, dan lain-lain.
Mohon dima’afkan atas segala Kekhilafan dan Dosa Saya selama ini, karena Manusia itu tidak ada yang sempurna, semoga kita semua selalu di-Berkahi dan di-Ijabah pada setiap Hajat dan Cita-cita kita yang baik, Aamiin.

Sebelum kita di jelaskan tentang pengertian Syariat, Tarekat, Hakekat dan Makrifat, marilah kita jelaskan bila datangnya istilah-istilah tersebut. Istilah tersebut sebenarnya jaman Rasulullah tidak ada, istilah tsb muncul ke generasi yang ke tiga dari Rasulullah saw, yaitu setelah Rasulullah saw, Shahabat Nabi, Tabi'in, Itabi'in, setelah kegenerasi ketiga itulah munculnya para Tasawuf pada Abad ke 11 (5 H) Tasawuf dipakai setiap calon

Sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah atau berada dalam kehadiratnya tanpa dibatasi hijab.Bagaimana menurut syareat Islam? Ahlus sunah Waljama'ah? Suatu cara mendekat diri kepada Allah dengan istilah diatas dipersilahkan yang terpenting sesuai dengan sumber hukum dalam Islam (Al-Qur'an, Hadist) dan Syariat yang sudah ditetapkan oleh Allah.
Jadi para tasawuf, itu menyatukan lahir dan batin dalam mengamalkan syariat itu bersungguh secara istiqomah dalam mendekatkan diri kepada kepada Allah swt.





SYARIAT,THORIQOH,HAKIKATdan MAKRIFAT ADALAH proses manusia untuk mencapai CINTA dari ALLAH pencipta sekelian alam.


1. SYARIAT: aturan hidup manusia dengan tuhannya dan sesama mahluk ciptaaNYA.BILA DI JABARKAN LAGI AKAN SANGAT BANYAK tulisan dan waktu.

Pengertian Syariat

Syariat (Islam) adalah hukum dan aturan (Islam) yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat Muslim. Selain berisi hukum dan aturan, syariat (Islam) juga berisi penyelesaian masalah seluruh kehidupan ini. Maka oleh sebagian penganut Islam, syariat (Islam) merupakan panduan menyeluruh dan sempurna seluruh permasalahan hidup manusia dan kehidupan dunia ini.

 
Syariat yaitu segala aturan yang sudah ditentukan oleh Allah swt, atau aturan yang sudah dilegalisasi oleh Rasulullah saw yang berkenaan dalam soal Aqidah, masalah hukum baik haram halal, syarat atau rukun dsb yang mengatur hubungan manusia dengan penciptaNya atau Sesama Manusia.

 
Dalam Syariat aturan udah baku tidak dapat dirubah, tidak seperti ilmu fikih dapat dirubah. Dalam ilmu Tasawuf syariat adalah yang mengatur amal ibadat dan muamalat secara lahir.

Dalam tingakat ini, membahas soal amalan hati atau batiniah atau rohani yah disebut Tasawuf dan ilmu bagi amalan lahir, dalam tingkat ini Syariat itu di ibaratkan suatu benih biji yang akan kita tanam.


2. Tareqat; jalan untuk continu atau melanggengkan/dawam dalam menjalankan syariat tentunya dengan bimbingan seorang MURSYID/guru thoriqoh karena di dalam thoriqoh akan di bahas semua hal dalam aspek kehidupan.
 
Pengertian Tareqat

 
Tarekat berasal dari kata ‘thariqah’ yang artinya ‘jalan’. Jalan yang dimaksud di sini adalah jalan untuk menjadi orang bertaqwa, menjadi orang yang diredhoi Allah s.w.t. Secara praktisnya tarekat adalah kumpulan amalan-amalan lahir dan batin yang bertujuan untuk membawa seseorang untuk menjadi orang bertaqwa.

Ada 2 macam tarekat yaitu tarekat wajib dan tarekat sunat.


~ Tarekat wajib, yaitu amalan-amalan wajib, baik fardhu ain dan fardhu kifayah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim. tarekat wajib yang utama adalah mengamalkan rukun Islam. Amalan-amalan wajib ini insya Allah akan membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa yang dipelihara oleh Allah. Paket tarekat wajib ini sudah ditentukan oleh Allah s.w.t melalui Al-Quran dan Al-Hadis. Contoh amalan wajib yang utama adalah shalat, puasa, zakat, haji. Amalan wajib lain antara lain adalah menutup aurat, makan makanan halal dan lain sebagainya.

~ Tarekat sunat, yaitu kumpulan amalan-amalan sunat dan mubah yang diarahkan sesuai dengan 5 syarat ibadah untuk membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa. Tentu saja orang yang hendak mengamalkan tarekat sunnah hendaklah sudah mengamalkan tarekat wajib. Jadi tarekat sunnah ini adalah tambahan amalan-amalan di atas tarekat wajib. Paket tarekat sunat ini disusun oleh seorang guru mursyid untuk diamalkan oleh murid-murid dan pengikutnya. Isi dari paket tarekat sunat ini tidak tetap, tergantung keadaan zaman tarekat tersebut dan juga keadaan sang murid atau pengikut. Hal-hal yang dapat menjadi isi tarekat sunat ada ribuan jumlahnya, seperti shalat sunat, membaca Al Qur’an, puasa sunat, wirid, zikir dan lain sebagainya.

Secara harfiah berarti jalan, metoda, cara, dalam lapangan tasawuf istilah ini dipakai calon sufi adalah jalan yang ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Allah yang sedekat-dekatnya atau mendapat maqam yang mahmudah, jadi dalam tingkatan ini ada maqam yang harus dikerjakan secara istiqamah yaitu maqam taubat, zuhud, sabar, ridlo dsb.

Dalam tingkat ini adalah menghidupkan Syareat sebagai amalan lahir atau amalan batin secara sungguh-sungguh dan istiqamah dalam rangka mengnguatkan keimanan dalam hati. Pada tingkat tarekat ini di ibaratkan menanam benih biji (Syariat) tumbuh menjadi kecambah atau sebatang pokok yang bercabang dan berdaun.

3. HAKIKAT adalah hasil yang bisa kita rasakan,setelah melalui proses di atas tentunya di butuhkan waktu lama sampai 10 tahun.

Pengertian Hakikat 


Hakikat artinya i`tikad atau kepercayaan sejati (mengenai Tuhan), maka hakikat ini pekerjaan hati. Sehingga tidak ada yang dilihat didengar selain Allah, atau gerak dan diam itu diyakini dalam hati pada hakikatnya adalah kekuasaan Allah. (Abdurrahman Siddik Al Banjari ,1857 kitab Amal Ma`rifat).

~ Hakikat; adalah kebenaran, kenyataan (Poerwadarminta,1984) hakekat menyaring dan memusatkan aspek-aspek yang lebih rumit menjadi keterangan yang gamblang dan ringkas, hakikat mengandung pengertian-pengertian kedalam aspek yang penting dan instrinsik dari benda yang dianalisa (Konsep Dasain Interior II, Olih Solihat Karso).


~ Hakikat berasal dari kata arab haqqo, yahiqqu, haqiqotan yang berarti kebenaran sedangkan dalam kamus ilmiah disebutkan bahwa hakikat adalah: Yang sebenarnya; sesungguhnya; keadaan yang sebenarnya (Partanto, pius A, M. Dahlan al barry, Kamus Ilmiah Populer, 1994, Arkola, Surabaya).


~ Istilah bahasa hakikat berasal dari kata “Al-Haqq”, yang berarti kebenaran. Kalau dikatakan Ilmu Hakikat, berarti ilmu yang digunakan untuk mencari suatu kebenaran.
Hakikat yang berarti kebenaran atau benar-benar ada, orang-orang sufi menjadikan Allah sebagai sumber kebenaran, dan meyakini seyakin-yakinya, tiada yang lebih indah kecuali mencitai Allah swt dan mentaatinya. Hakekat ini akan di akan dicapai seseorang setelah mencapai makrifat yang sebenar-benarnya dalam tingatan ini benar-benar tiada tabir atau hijab dengan Allah artinya sinyal kita benar nyambung kepada Allah, sehingga ada diantara kita yang memiliki indra ke 6.

Dapat di ibaratkan buah , jadi yaitu biji benih (syariat) pada tingkatan tharikat menjadi batang yang becabang, berdaun jika pada tingkatan ini kita amalkan buah dari tharekat, akhlak, bisa menahan nafsu, sabar, tawaduk kita akan memperoleh buah (maqam mahmudah) jadi dengan Allah tiada hijab atau tabir atau penghalang lagi.

4. MAKRIFAT sudah bukan urusan kita karena makrifat adalah bahasa cinta di dalam hati mahluk kepada tuhannya.karena makrifat ada 40 maqom atau tingkatan 1.

makrifatul linnafsi:mengetahui /mengenal tentang hakikat diri kita sendiri....dan yang ke.40 makrifatulloh=urusan mahluk yg mendapat anugrah dgn tuhannya.

Makrifat
 

Istilah Ma'rifat berasal dari kata "Al-Ma'rifah" yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila dihubungkan dengan pengamalan Tasawuf, maka istilah ma'rifat di sini berarti mengenal Allah ketika Shufi mencapai maqam dalam Tasawuf.

Kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama Tasawuf; antara lain:


a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pendapat Ulama Tasawuf yang mengatakan : "Marifat adalah ketetapan hati (dalam mempercayai hadirnya) wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala kesempurnaannya."

b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kadiriy mengemukakan pendapat Abuth Thayyib As-Saamiriy yang mengatakan: "Ma'rifat adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Shufi)...dalam keadaan hatinya selalu berhubungan dengan Nur Ilahi..."

c. Imam Al-Qusyairy mengemukakan pendapat Abdur Rahman bin Muhammad bin Abdillah yang mengatakan: "Ma'rifat membuat ketenangan dalam hati, sebagaimana ilmu pengetahuan membuat ketenangan (dalam akal pikiran). Barangsiapa yang meningkat ma'rifatnya, maka meningkat pula ketenangan (hatinya)." marifat arti secara umum adalah yang dilakukan orang alim yang sesuai dengan maksud dan tujuan ilmu sendiri.

Ma‘rifat menurut ahli fiqhi adalah ilmu. setiap ilmu itu ma’rifat, ma‘rifat itu ilmu, setiap orang alim arif dan setiap ‘arif itu alim. Ma‘rifat menurut ahli shufi ialah rasa kesadaran kepada Alloh akan sifat dan AsmaNYA.

Marifat menurut bahasa adalah menggetahui Allah SWT. Marifat menurut istilah adalah sadar kepada Allah SWT, yakni : hati menyadari bahwa segala menemukan, bergerak, berdiam, berangan-angan, berfikir dan sebagainya semua adalah Alloh SWT, yang menciptakan dan yang mengerakan. Jadi semuanya dan segala sesuatu adalah Billah. Makrifat, sebagai pengetahuan yang hakiki dan meyakinkan, menurut al-Gazali, tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak dicapai lewat penalaran rasional, tetapi lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan n­ur dari Tuhan sebagai pengalaman sufistik.

Di sini, tersingkap segala realitas yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan tidak terjangkau oleh akal (rasio). Teori pengetahuan kasyfiy atau ‘irfaniy yang tidak menekankan peran indera dan rasio dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk bergelimang dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Orang lari dari dunia nyata yang obyektif ke dunia gaib yang tidak dapat ditangkap oleh indera dan nalar. Orang lebih mementingkan kebahagiaan diri sendiri daripada kebahagiaan dan keselamatan umat manusia. Karenanya, orang lebih tertarik pada sikap hidup isolatif daripada sikap hidup partisipatif. Sikap hidup seperti ini berakibat pada banyaknya persoalan kemanusiaan tidak terurus yang sebenarnya menjadi tugas manusia.

Makrifat, menurut al-Gazali, ialah pengetahuan yang meyakinkan, yang hakiki, yang dibangun di atas dasar keyakinan yang sempurna (haqq al-yaqin). Ia tidak didapat lewat pengalaman inderawi, juga tidak lewat penalaran rasional, tetapi semata lewat kemurnian qalbu yang mendapat ilham atau limpahan nur dari Tuhan sebagai pengalaman kasyfiy atau ‘irfaniy.

Teori pengetahuan ala sufi ini dipandang telah ikut melemahkan semangat seseorang untuk aktif dalam kehidupan nyata secara seimbang antara tuntutan pribadi dan sosial, antara jasmani dan ruhani.


Makrifat merupakan ilmu yang tidak menerima keraguan (العلم الذى لا يقبل الشك) yaitu ”pengetahuan” yang mantap dan mapan, yang tak tergoyahkan oleh siapapun dan apapun, karena ia adalah pengetahuan yang telah mencapai tingkat haqq al-yaqin. Inilah ilmu yang meyakinkan, yang diungkapkan oleh al-Gazali dengan rumusan sebagai berikut:

ان علم اليقين هو الذي هو الذى ينكشف فيه المعلوم انكشافا لا يبقى معه ريب ولا يقالانه امكان الغلط والوهم ولا يتسع القلب لتقدير ذلك
“Sesungguhnya ilmu yang meyakinkan itu ialah ilmu di mana yang menjadi obyek pengetahuan itu terbuka dengan jelas sehingga tidak ada sedikit pun keraguan terhadapnya; dan juga tidak mungkin salah satu keliru, serta tidak ada ruang di qalbu untuk itu”.

Secara definitif, makrifat menurut al-Gazali ialah :

الإطلاع على أسرار الربوبية والعلم بترتب الأمور الإلهية المحيطة بكل الموجودات.
“Terbukanya rahasia-rahasia Ketuhanan dan tersingkapnya hukum-hukum Tuhan yang meliputi segala yang ada”.

Dari definisi di atas, dapat dikatakan bahwa obyek makrifat dalam ajaran tasawuf al-Gazali tidak hanya terbatas pada pengenalan tentang Tuhan, tetapi juga mencakup pengenalan tentang segala hukum-hukum-Nya yang terdapat pada semua makhluk. Lebih jauh, dapat pula diartikan bahwa orang yang telah mencapai tingkat makrifat (al-‘arif) mampu mengenal hukum-hukum Allah atau sunnah-Nya yang hanya tampak pada orang-orang tertentu - para ’arifin. 


Karena itu, adanya peristiwa-peristiwa “luar biasa”, seperti karamah, kasyf dan lain-lain yang dialami oleh orang-orang sufi, sebenarnya, tidaklah keluar dari sunnah Allah dalam arti yang luas, karena mereka mampu menjangkau sunnah-Nya yang tak dapat dilihat atau dijangkau oleh orang-orang biasa. Karena itu, dapat dikatakan, bahwa obyek makrifat dalam pandangan al-Gazali mencakup pengenalan terhadap hakikat dari segala realitas yang ada. Meskipun demikian, pada kenyataannya, al-Gazali lebih banyak membahas atau mengajarkan tentang cara seseorang memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, yang memang tujuan utama dari setiap ajaran sufi. Dengan demikian, al-Gazali mendefinisikan makrifat dengan. (النظر الى وجه الله تعالى) (memandang kepada wajah Allah ta’ala).

Perlu disadari, betapapun tingginya pengenalan (al-makrifat) seseorang terhadap Allah, ia tidak akan mungkin dapat mengenal-Nya dengan sempurna, sebab manusia itu bersifat terbatas (finite), sedangkan Allah bersifat tak terbatas (infinite). Makrifat dalam arti yang sesungguhnya, menurut al-Gazali, tidak dapat dicapai lewat indera atau akal, melainkan lewat n­ur yang diilhamkan Allah ke dalam qalbu. Melalui pengalaman sufistik seperti inilah, didapat pengetahuan dalam bentuk kasyf.

Dengan kata lain, makrifat bukanlah pengetahuan yang dihasilkan lewat membaca, meneliti, atau merenung, tetapi ia adalah apa yang disampaikan Tuhan kepada seseorang (sufi) dalam pengalaman sufistik langsung.

Makrifat sebagai ilmu mukasyafah, kata al-Gazali, tidak bisa dikomunikasikan kepada orang yang belum pernah mengalaminya, atau belum mencapai tingkat kualifikasi yang mampu mengerti pengalaman sufistik semacam itu. Setiap pengalaman pribadi antara seorang sufi dengan Tuhannya, jika diungkapkan dengan kata-kata, sudah dapat dipastikan salah paham dari pendengar yang tak mampu melepaskan ikatan duniawi. Paling-paling seorang sufi hanya mencoba mengungkapkannya secara simbolik dan metaforik, karena tidak ada bahasa yang dapat menuturkan secara tepat, tidak ada ungkapan yang tidak mengandung penafsiran ganda.

Selain itu Al-Gazali juga sangat menentang orang yang tidak peduli terhadap hukum-hukum syariah karena menganggap telah mencapai tingkat tertinggi (wali) dan telah memperoleh pengetahuan langsung dari sumbernya, yaitu Allah SWT. berupa pengetahuan kasyfi, yang membawanya tidak terikat lagi pada hukum-hukum taklifiy.

Kenyataan ini, menurut ‘Abd. al-¦alim Mahm­d, adalah tindakan bid’ah yang sangat menyesatkan, yang lahir dari orang-orang yang sama sekali tidak mengerti agama (Islam), terutama tentang hakikat tasawuf. Jika ada orang berkata, demikian Ibnu Taimiyah, bahwa ia telah menerima pengetahuan berdasarkan kasyf, tetapi bertentangan dengan sunnah Rasul, maka kita wajib menolaknya. Menurut Ab­ al-A’la al-Maud­diy, antara syariah dan tasawuf terdapat hubungan yang tidak bisa dipisahkan. Jika syariah (fiqh) mengatur aspek lahir, maka tasawuf berhubungan dengan aspek batin untuk kesempurnaan ibadah kepada Allah SWT. Salah satu perbedaan lain antara ma’rifat dan jenis pengetahuan lain adalah cara memperolehnya. Jenis pengetahuan biasa diperoleh melalui usaha keras; belajar keras; merenung keras; berpikir keras. Akan tetapi ma’rifat tidak bisa sepenuhnya diusahakan manusia.

Pada tahap akhir semuanya bergantung pada kemurahan Allah Swt. Manusia hanya bisa melakukan persiapan (isti’dad) dengan cara membersihkan diri dari segala dosa dan penyakit-penyakit hati atau akhlak tercela lainnya. Adapun Tanda-Tanda bagi adanya ma'rifat adalah hidupnya hati beserta Allah Ta'ala.

Ditulis oleh al-Ghazali, bahwasanya pernah terjadi dialog antara Allah dan Nabi Daud A.S. dimana Daud ditanya oleh Allah, "Adakah Engkau tahu apakah ma'rifat kepadaku ?", Daud menjawab, "Tidak". Dijelakan oleh Allah, "Ia itu adalah hidupnya hati dalam musyahadah (menyaksikan) kepadaku.

Ma'rifat hakiki terdapat dalam maqam ru'yat wa al--musyahadah bi sirr al-qalb. Orang yang ma'rifat melihat sekedar hanya untuk mengetahui. Karena ma'rifat yang hakiki ada di dalam (bathin) iradah Allah. Allah, ketika ini, hanya membuka sebagian hijab sehingga memungkinkan hambanya untuk mengenali-Nya. Akan tetapi, Ia tidak membuka seluruh hijab, agar yang melihat-Nya tidak terbakar. Tanda adanya ma'rifat hakiki pada diri seseorang adalah jika di hatinya telah tidak dijumpai tempat untuk lain selain Allah.

Ini erat kaitannya dengan apa yang dikatakan sebagian para Ulama tentang hakikat ma'rifat bahwa hakikatnya adalah menyaksikan (musyahadat) al-haqq dengan tanpa perantaraan, tidak bisa digambarkan, dan tanpa ada kesamaran. Potret dan contoh figur yang telah sampai pada tingkatan ini, sebagaimana dicontohkan oleh al-Ghazali, misalnya Ali bin Abi Thalib, Ja'far Shadiq. Ketika Ali ditanya oleh seseorang, "Wahai Amir al-Mu'minin, apakah engkau menyembah seseuatu yang engkau lihat atau sesuatu yang tidak engkau lihat ?", Ali menjawab, "Tidak, bahkan aku menyembah dzat yang aku lihat tidak dengan mata kepalaku, tetapi dengan mata hatiku".

Demikian juga ketika Ja'far al-Shadiq R.A. ditanya "Apakah engkau melihat Allah ?", ia menjawab, "Apakah aku menyembah tuhan yang tidak bisa aku lihat". Lalu ia ditanya lagi, "Bagaimana engkau dapat melihatnya pada-hal Ia (Tuhan) adalah sesuatu yang tidak terjangkau oleh peng-lihatan". Ja'far Shadiq menegaskan, "Mata tidak bisa melihat Tuhan dengan penglihatannya, tetapi hati bisa melihat-Nya dengan hakikat iman. Ia tidak mungkin dapat diindera oleh pan-caindera dan dipersamakan dengan manusia.

Dalam pandangan al-Ghazali, rahasia serta "ruh" yang terkandung dalam ma'rifat adalah tauhid, yaitu penyucian sifat hayat 'ilmu, qudrat, iradat, sam', bashar, dan kalam Allah dari penyerupaan.

Adapun sumber ma'rifat menurut al-Ghazali ada empat yaitu :
a. Pancaindera; Menurut al-Ghazali, pancaindera adalah termasuk juga sumber ma'rifat. Akan tetapi bekerjanya hanya dalam beberapa sumber, akan tetapi tidak dalam yang lain.

b. Akal; Sebagaimana pancaindera, akal juga adalah merupakan salah satu sumber ma'rifat dalam beberapa sumber. Tetapi sekali lagi, ditegaskan bahwa ia bukanlah segala-galanya. Menganggap dan memberikan cakupan yang luas bagi akal sebagai sumber ma'rifat dapat menyebabkan penyepelean terhadap al-Qur'an sebagaiutama.

c. Wahyu; Menurut al-Ghazali, wahyu adalah sumber terbesar bagi Ma'rifat. Wilayah cakupannya sangat luas, sesuai dengan posisinya sebagai sumber pertama dan utama bagi ajaran Islam.

d. Kasyf; yang dimaksud dengan kasyf oleh al-Ghazali adalah cahaya yang dihunjamkan ke dalam hati hamba, sehingga hati dapat melihat dan merasakan sesuatu dengan 'ain al-yaqin. Kasyf adalah sumber kedua bagi ma'rifat yang terbesar setelah wahyu.

Tingkatan ma'rifat, menurut al-Ghazali berjenjang sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Karena itu, tingkatan ma'rifat dibagi menjadi tiga sesuai dengan tingkatan iman seseorang. Tiga tingkatan tersebut yaitu :


a. Tingkatan pertama; imannya orang awam. Iman dalam tingkatan ini adalah iman taqlid yang murni.

b. Tingkatan kedua; Imannya para ahli kalam. Mereka adalah orang-orang yang mengaku ahli akal dan berpikir atau mengaku sebagai tokoh penelitian dan istidlal.

c. Tingkatan ketiga; Imannya para 'arifin yaitu orang-orang yang menyaksikan dengan 'ainul yaqin.

Berkaitan dengan jalan perolehan ma’rifat ini Imam Ibnu ‘Atha’illah As-Sakandari dalam al-Hikam menulis: “Apabila Tuhan membukakan jalan bagimu untuk Ma’rifat, maka jangan hiraukan amalmu yang masih sedikit itu, karena Allah tidak membuka jalan tadi melainkan Dia (sendiri yang) berkehendak memperkenalkan diri-Nya kepada kamu. Tidakkah anda ketahui bahwa perkenalan itu adalah pemberian Allah pada anda. Sedangkan amal-amal (yang anda kerjakan) anda berikan amal-amal itu untuk Allah, dan dimanakah fungsi pemberian anda kepada Allah apabila dibandingkan pada apa yang didatangkan Allah atas anda ?”

Salah satu pendidikan yang dapat ditemukan dari laku lampah Dunia Ruhani bahwa setiap penempuh jalan ruhani dituntut agar melihat kecil apa yang datang dari hamba dan betapa besar apa yang dikurniakan oleh Allah. Ruhani yang terdidik seperti ini akan membentuk sikap beramal tanpa melihat kepada amal itu sendiri, sebaliknya melihat amal itu sebagai kurnia Allah yang wajib disyukuri.

Orang yang terdidik seperti ini tidak lagi membuat tuntutan kepada Allah tetapi membuka hati nuraninya untuk menerima hidayah dan taufik dari Allah. Orang yang hatinya suci bersih akan menerima pancaran Sirr dan mata hatinya akan melihat kepada hakikat bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Mulia, Maha Suci dan Maha Tinggi. Ia tidak mungkin ditemui dan dikenali kecuali jika Dia (sendiri yang) mau untuk ditemui dan dikenali.

Tidak ada ilmu dan amal yang mampu menyampaikan seseorang kepada Allah. Tidak ada jalan untuk mengenal Allah. Allah hanya (dapat) dikenali apabila Dia memperkenalkan ‘diri-Nya’. Penemuan kepada hakikat (bahwa tidak ada jalan yang terluhur kepada gerbang makrifat) merupakan puncak yang dapat dicapai oleh ilmu. Ilmu tidak mampu berjalan lebih jauhdari itu. Apabila seseorang mengetahui dan mengakui bahwa tidak ada jalan atau tangga yang dapat mencapai Allah, maka seseorang itu tidak lagi bersandar kepada ilmu dan amalnya, apa lagi kepada ilmu dan amal orang lain.

Sampai disini seseorang tidak ada pilihan lagi melainkan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah SWT. Ada orang yang mengetuk pintu gerbang ma’rifat dengan doanya. Jika pintu itu tidak terbuka maka semangatnya akan menurun hingga membuatnya putus asa. Ada pula orang yang berpegang dengan janji Allah bahwa Dia akan membuka jalan-Nya kepada hamba-Nya yang berjuang pada jalan-Nya. Kuatlah dia beramal dengan harapan dirinya layak untuk menerima kurnia Allah sebagaimana janji-Nya. Dia menggunakan kekuatan amalnya untuk mengetuk pintu gerbang makrifat.

Bila pintu tersebut tidak terbuka juga maka dia menjadi ragu-ragu. Dalam perjalanan menggapai ma’rifat seseorang tidak terlepas dari perasaan ragu, lemah semangat dan berputus asa. Jika dia masih bersandar kepada sesuatu selain Allah Swt, si hamba tidakada pilihan lain kecuali berserah kepada Allah Swt. Ma’rifat menurut Drs Imron Rosadi MA, adalah pengetahuan, dan dalam arti umum ialah ilmu atau pengetahuan yang diperoleh melalui akal. Dalam kajian ilmu tasawuf “Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dari dekat, sehingga hati sanubari dapat melihat Tuhan”. Inilah yang dikemukakan Harun Nasution dalam Falsafat & Mistisisme dalam Islam.

Lewat hati sanubariseorang sufi dapat melihat Tuhan. Dan kondisi seperti itu (Ma’rifat) diungkapkan para sufi dengan menyatakan “Kalau mata yang terdapat dalam hati sanubari manusia terbuka, maka kepalanya akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya hanya Allah SWT”.

Kondisi Ma’rifat dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam (jilid tiga) bahwa Ma’rifat merupakan cermin. Jika seorang sufi melihat ke cermin, maka yang akan dilihatnya hanya Allah SWT. Artiny bahwa yang dilihat orang Arif sewaktu tidur maupun bangun hanya Allah SWT. Dengan ungkapan ini terlihat begitu dekatnya seorang sufi dengan Tuhannya,
dan kondisi Ma’rifat ini mengisyaratkan bahwa Ma’rifat adalah anugerah dari Tuhan. Tuhanlah yang berkenan memberikan pengetahuan langsung dengan mengenugerahkan kemampuan kepada orang yang dikehendaki untuk menerima Ma’rifat. Ma’rifat merupakan cahaya yang memancar ke dalam hati, menguasai yang ada dalam diri manusia dengan sinarnya yang menyilaukan. Sekiranya Ma’rifat mengambil bentuk materi, semua orang yang melihat akan mati karena tak tahan melihat kecantikan serta keindahannya, dan semua cahaya akan menjadi gelap di samping cahaya keindahannya yang gilang gemilang.

Sufi pertama yang menonjolkan konsep Ma’rifat dalam tasawufnya adalah ZUNNUN al-MISRI (Mesir, 180 H / 796 M – 246 H / 860 M). Ia disebut “Zunnun” yang artinya “Yang empunya ikan Nun”, karena pada suatu hari dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat lain ia menumpang sebuah kapal saudagar kaya. Tiba-tiba saudagar itu kehilangan sebuah permata yang sangat berharga dan Zunnun dituduh sebagai pencurinya. Ia kemudian disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk mengembalikan permata yang dicurinya. Saat tersiksa dan teraniaya itu Zunnun menengadahkan kepalanya ke langit sambil berseru: ”Ya Allah, Engkaulah Yang Maha Tahu”. Pada waktu itu secara tiba-tiba muncullah ribuan ekor ikan Nun besar ke permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata di mulut masing-masing. Zunnun mengambil sebuah permata dan menyerahkannya kepada saudagar tersebut.

Dalam pandangan umum Zunnun sering memperlihatkan sikap dan perilaku yang aneh-aneh dan sulit dipahami masyarakat umum. Karena itulah ia pernah dituduh melakukan Bid’ah sehingga ditangkap dan dibawa ke Baghdad untuk diadili di hadapan Khalifah al-Mutawakkil (Khalifah Abbasiyah, memerintah tahun 232 H / 847 M – 247 H / 861 M). Zunnun dipenjara selama 40 hari. Selama di dalam penjara, saudara perempuan Zunnun setiap hari mengirimkan sepotong roti, namun setelah dibebaskan, di kamarnya masih didapati 40 potong roti yang masih utuh.

Dzunun Al-Mishriy yang mengatakan; alat untuk mencapat ma'rifat ada 3 macam; yakni: Qalby (hati), Sirr (perasaan) dan Ruh. Sedangkan tanda-tanda yang dimiliki oleh Shufi bila sudah sampai kepada tingkatan ma'rifat, antara lain:


a. Selalu memancar cahaya ma'rifat padanya dalam segala sikap dan perilakunya. Karena itu, sikap wara' selalu ada pada dirinya.

b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hal yang nyata menurut ajaran Tasawuf, belum tentu benar.

c. Tidak menginginkan nikmat Allah yang banyak buat dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.

Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang Shufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT., sehingga Asy-Syekh Muhammad bin Al-Fadhal mengatakan bahwa ma'rifat yang dimiliki Shufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan batin padanya, karena merasa selalu bersama-sama dengan Tuhan-nya.

Begitu rapatnya posisi hamba dengan Tuhan-nya ketika mencapai tingkat ma'rifat, maka ada beberapa Ulama yang melukiskannya sebagai
berikut:


a. Imam Rawiim mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma'rifat, bagaikan ia berada di muka cermin; bila ia memandangnya, pasti ia melihat Allah di dalamnya. Ia tidak akan melihat lagi dirinya dalam cermin, karena ia sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya. Maka tiada lain yang dilihatnya dalam cermin, kecuali hanya Allah SWT saja.

b. Al-Junaid Al-Bahdaadiy mengatakan, Shufi yang sudah mencapai tingkatan ma'rifat, bagaikan sifat air dalam gelas, yang selalu menyerupai warna gelasnya. Maksudnya, Shufi yang sudah larut (hulul) dalam Tuhan-nya selalu menyerupai sifat-sifat dan kehendak-Nya. Lalu dikatakannya lagi bahwa seorang Shufi, selalu merasa menyesal dan tertimpa musibah bila suatu ketika ingatannya kepada Allah terputusmeskipun hanya sekejap mata saja.

c. Sahal bin Abdillah mengatakan, sebenarnya puncak ma'rifat itu adalah keadaan yang diliputi rasa kekagumam dan keheranan ketika Shufi bertatapan dengan Tuhan-nya, sehingga keadaan itu membawa kepada kelupaan dirinya.
Keempat tahapan yang harus dilalui oleh Shufi ketika menekuni ajaran Tasawuf, harus dilaluinya secara berurutan; mulai dari Syariat, Tarekat, Hakikat dan Ma'rifat. Tidak mungkin dapat ditempuh secara terbalik dan tidak pula secara terputus-putus.Dengan cara menempuh tahapan Tasawuf yang berurutan ini,seorang hamba tidak akan mengalami kegagalan dan tidak pula mengalami kesesatan.

Menurut Abu Bakar al-Kalabazi (W. 380 H / 990 M) dalam al-Ta’aruf li Mazahib Ahl at Tasawwuf (Pengenalan terhadap mazhab-mazhab Ahli Tasawuf), Zunnun telah sampai pada tingkat Ma’rifat yaitu maqam tertinggi dalam Tasawwuf setelah menempuhj alan panjang melewati maqam-maqam: Taubat, Zuhud, Faqir, Sabar, Tawakal, Ridha dan cinta atau Mahabbah. Kalau Ma’rifat adalah mengetahui Tuhan dengan hati sanubari, maka Zunnun telah mencapainya. Maka, ketika ditanya tentang bagaimana Ma’rifat itu diperoleh ia menjawab : “Araftu rabbi bi rabbi walau la rabbi lama araftu rabbi”. (Aku mengetahui Tuhanku karena Tuhanku, dan sekiranya tidak karena Tuhanku, niscaya aku tidak akan mengetahui Tuhanku). Kata-kata Zunnun ini sangat populer dalam kajian ilmu Tasawwuf.

Zunnun mengetahui bahwa Ma’rifat yang dicapainya bukan semata-mata hasil usahanya sebagai sufi, melaikan lebih merupakan anugerah yang dilimpahkan Tuhan bagi dirinya. Ma’rifah tidak dapat diperoleh melalui pemikiran dan penalaran akal, tetapi bergantung pada kehendak dan rahmat Tuhan. Ma’rifat adalah pemberian Tuhan kepada Sufi yang sanggup menerimanya.

Selanjutnya ketika mengungkapkan tokoh Zunnun Ensiklopedi Islam menjelaskan bahwa Zunnun membagi Ma’rifat ke dalam tiga tingkatan yaitu: Tingkat awam. Orang awam mengenal dan mengetahui Tuhan melalui ucapan Syahadat. Tingkat Ulama. Para Ulama, cerdik – pandai mengenal dan mengetahui Tuhanberdasarkan logika dan penalaran akal.

Tingkat Sufi. Para Sufi mengetahui Tuhan melalui hati sanubari. Ma’rifat yang sesungguhnya adalah Ma’rifat dalam tingkatan Sufi, sedangkan Ma’rifat pada tingkat awam dan tingkat ulama lebih tepat disebut ilmu. Zunnun membedakan antara ilmu dan Ma’rifat.

Ciri-ciri orang ‘Arif atau orang yang telah sampai kepada Ma’rifat adalah Cahaya Ma’rifatnya yang berupa ketaqwaan tidak pernah padam dalam dirinya. Tidak meyakini hakikat kebenaran suatu ilmu yang menghapuskan atau membatalkan Zahirnya. Banyaknya nikmat yang dianugerahkan Tuhan kepadanya tidak membuatnya lupa dan melanggar aturan Tuhan. Dijelaskan bahwa akhlaq Sufi tidak ubahnya dengan akhlaq Tuhan. Ia baik dan lemah lembut serta senantiasa berusaha agar seluruh sikap dan perilakunya mencerminkan sifat-sifat Tuhan.

Namun demikian untuk mencapai tingkat ini tidaklah mudah meskipun selintas dapat dipahami bahwa Ma’rifat didapat dengan ikhlas beribadah dan sungguh-sungguh mencintai dan mengenal Tuhan, sehingga Allah SWT berkenan menyingkap tabir dari pandangan Sufi untuk menerima cahaya yang dipancarkan, yang pada akhirnya Sufi dapat melihat keindahan dan keesaan-Nya. Jalan yang dilalui seorang Sufi tidaklah mulus dan mudah. Sulit sekali untuk pindah dari satu maqam ke maqam yang lain. Untuk itu seorang Sufi memang harus melakukan usaha yang berat dan waktu yang panjang, bahkan kadang-kadang ia masih harus tinggal bertahun-tahun di satu maqam.

Dalam pada itu Ma’rifatpun harus dicapai melalui proses yang terus-menerus. Semakin banyak seorang Sufi mencapai Ma’rifat, semakin banyak yang diketahui tentang rahasia-rahasia Tuhan, meskipun demikian tidak mungkin Ma’rifatullah menjadi sempurna, karena manusia sungguh amat terbatas, sementara Tuhan tidak terbatas. Karena itu al-Junaid al-Baghdadi, seorang tokoh Sufi modern berkomentar tentang keterbatasan manusia dengan mengatakan “Cangkir teh takkan mungkin menampung semua air laut”. Paham Ma’rifat Zunnun dapat diterima al-Ghazali sehingga paham ini mendapat pengakuan Ahlussunah wal Jama’ah. Al-Ghazali sebagai figur yang berpengaruh di kalangan Ahlussunah wal Jama’ah diakui dapat menjadikan Tasawwuf diterima kaum syari’at.

Sebelumnya para ulama memandang Tasawuf seperti yang diajarkan al-Bustami (W. 261 H / 874 M) dan al-Hallaj (244 - 309 H / 858 – 922 M) khususnya menyimpang dengan paham Hulul / Ittihad / penyatuan yang dalam pemahaman “Kejawen” dikenal
dengan “Manunggaling Kawulo Gusti”

Ma’rifat menurut al-Ghazali adalah maqam kedekatan (qurb) itu sendiri yakni maqam yang memiliki daya tarik dan yang memberi pengaruh pada kalbu, yang lantas berpengaruh pada seluruh aktivitas jasmani (jawarih). `Ilm (ilmu) tentang sesuatu adalah seperti “melihat api” sebagai contoh, sedangkan ma`rifat adalah “menghangatkan diri dengan api”.

Menurut bahasa, ma`rifat adalah pengetahuan yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya. Adapun menurut istilah yang sering dipakai menunjukkan ilmu pengetahuan tentang apa saja (nakirah). Menurut istilah Sufi, ma`rifat adalah pengetahuan yang tidak ada lagi keraguan, apabila yang berkaitan dengan objek pengetahuan itu adalah Dzat Allah swt. dan Sifat-sifat-Nya. Jika ditanya, `Apa yang disebut ma`rifat Dzat dan apa pula ma’rifat Sifat?” Maka dijawab bahwa ma’rifat Dzat adalah mengetahui bahwa sesungguhnya Allah swt. adalah Wujud Yang Esa, Tunggal, Dzat dan “sesuatu” Yang Mahaagung, Mandiri dengan Sendiri-Nya dan tidak satu pun yang menyerupai-Nya. Sedangkan ma’rifat Sifat adalah mengetahui sesungguhnya Allah swt. Maha Hidup, Maha Mengetahui, Mahakuasa, Maha Mendengar dan Maha Melihat, dan seluruh Sifat-sifat Keparipurnaan lainnya.

Kalau ditanya, `Apa rahasia ma`ri fat?” Rahasia dan ruhnya adalah tauhid. Yaitu, jika anda telah menyucikan sifat-sifat Mahahidup, Ilm (Ilmu), Qudrah, Iradah, Sama ; Bashar dan Kalam Allah dari segala keserupaan dengan sifat-sifat makhluk [dengan penegasan bahwa tiada satu pun yang menyamai-Nya]. Lalu, apa tanda-tanda ma`rifat? 


Tanda-tandanya adalah hidupnya kalbu bersama Allah swt. Allah swt. mewahyukan kepada Nabi Dawud a.s., “Mengertikah engkau, apakah ma’rifat-Ku itu?” 

Dawud menjawab, “Tldak.”Allah berfirman, “Hidupnya kalbu dalam musyahadah kepada-Ku. “ Kalau ditanya, “Tahap atau maqam manakah yang dapat disahkan sebagai ma `rifat yang hakiki?” [Jawabnya] adalah tahap musyahadah (penyaksian) dan ru’yat (melihat) dengan sirr qalbu. Hamba melihat untuk mencapai ma’rifat. 

Karena ma’rifat yang hakiki ada dalam dimensi batin pada iradah, kemudian Allah swt. menghilangkan sebagian tirai (hijab), lantas kepada mereka diperlihatkan nur Dzat-Nya dan Sifat-sifat-Nya dari balik hijab itu agar mereka sampai pada ma’rifat kepada Allah swt. Hijab itu tidak dibukakan seluruhnya, agar yang melihat-Nya tidak terbakar.

Sang Sufi bersyair dengan ungkapan pencapaian pada tahap spiritual tertentu :
Seandainya Aku tampak tanpa hijab, Pastilah seluruh makhluk sempurna, Namun hijab itu amat halus, Agar merevitalisasi kalbu para hamba yang `asyiq.

Ketahuilah, bahwa manifestasi (tajalli) keagungan melahirkan rasa takut (khauf) dan keterpesonaan (haibah). Sedangkan manifestasi keelokan (al-Hasan) dan Keindahan (al-Jamal) melahirkan keasyikan. Sementara manifestasi Sifat-sifat Allah melahirkan mahabbah. Dan manifestasi Dzat meniscayakan lahirnya penegasan keesaan (tauhid).

Sebagian ahli ma’rifat berkata, “Demi Allah, tidak seorang pun yang mencari dunia, selain orang itu dibutakan kalbunya oleh Allah, dan dibatalkan amalnya. Sesungguhnya Allah menciptakan dunia sebagai kegelapan, dan menjadikan matahari sebagai cahaya. Allah menjadikan kalbu juga gelap, lalu dijadikan ma’rifat sebagai cahayanya. Apabila awan telah tiba, cahaya matahari akan terhalang. Begitupun ketika kecintaan dunia tiba, cahaya ma’rifat akan terhalang dari kalbu.” Ada pula yang mengatakan, “Hakikat ma’rifat adalah cahaya yang dikaruniakan didalam kalbu Mukmin, dan tiada yang lebih mulia dalam khazanah kecuali ma’rifat.”

Sebagian Sufi berkata, “Matahari kalbu Sang `Arif lebih terang dan bercahaya dibandingkan matahari di siang hari. Karena matahari pada siang hari kemungkinan menjadi gelap karena gerhana, sedangkan matahari kalbu tiada pernah mengalami peristiwa gerhana (kusuf). Matahari siang tenggelam ketika malam, namun tidak demikian pada matahari kalbu.” Mereka mendendangkan syair: Matahari siang tenggelam di waktu senja, matahari kalbu tiada pernah tenggelam. Siapa yang mencintai Sang Kekasih, Kan terbang sayap rindunya menemui Kekasihnya.

Dzun Nun berkata bahwa hakikat ma’rifat adalah penglihatan al-Haq atas rahasia-rahasia relung kalbu melalui perantaraan (muwashalah) Kilatan-kilatan lembut (latha’if) cahaya-cahaya: Bagi orang `arifin, terdapat kalbu-kalbu yang diperlihatkan Cahaya I1ahi dengan rahasia di atas rahasia Yang terdapat dalam berbagai hijab Tu1i dari makhluk, buta dari pandangan mereka Bisu dari berucap dalam klaim-klaim dusta. Sebagian di antara mereka ditanyai, “Kapankah seorang hamba mengetahui bahwa dia telah mencapai ma’rifat yang hakiki?” Dijawab, “Tatkala dia mencapai tahapan tidak menemukan dalam kalbunya sedikit pun ruang bagi selain Tuhannya.”

Sebagian Sufi ada pula yang berkata, “Hakikat ma’rifat adalah musyahadah kepada Yang Haq tanpa perantara, tanpa bisa diungkapkan, tanpa ada keraguan (syubhah).” Seperti ketika Amirul-Mukminin Ali bin Abi Thalib r.a. ditanya, “Wahai Amirul-Mukminin, apakah yang anda sembah itu yang dapat anda lihat atau tidak dapat anda lihat?” “Bukan begitu, bahkan aku menyembah Yang aku lihat, bukan dengan penglihatan mata, tetapi penglihatan kalbu,” jawab Ali.


Ja’far ash-Shadiq ditanya, “Apakah anda pernah melihat Allah swt.?”
“Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak bisa kulihati” Ditanyakan lagi,
“Bagaimana anda melihat-Nya, padahal Dia tidak dapat dilihat mata?”
Ja’far menjawab, “Mata penglihatan fisik tidak bisa melihat-Nya, tetapi mata batin (al-qulub) dapat melihat-Nya melalui hakikat iman. Tidak diketahui melalui penginderaan dan tidak pula dianalogikan dengan manusia.”

Sebagian `arifin ditanya seputar hakikat ma’rifat. Mereka berkata, “Menyucikan sirr (rahasia) kalbu dari segala kehendak ‘ dan meninggalkan kebiasaan sehari-hari, tentramnya kalbu kepada Allah swt. tanpa ada ganjalan (`alaqah), berhenti dari sikap berpaling dari Allah swt. dan menuju selain Allah swt. Mustahil, ma’rifat kepada substansi Dzat-Nya dan Sifat-sifat-Nya, dan tidak akan diketahui siapa Dia, kecuali melalui Dia sendiri, Yang Mahaluhur, Mahatinggi, serta Kemuliaan hanya kepada Diri-Nya saja.”

Bashirah, Mukasyafah, Musyahadah dan Mu’ayanah Bashirah, Mukasyafah, Musyahadah dan Mu`ayanah merupakan term-term yang sinonim. Perbedaannya pada tataran makna penjelasannya yang utuh, bukan pada tataran makna asalnya. Kedudukan bashirah (mata batin) pada akal sama dengan kedudukan cahaya mata (batin) pada mata penglihatan (fisik). Kedudukan ma’rifat pada bashirah adalah seperti kedudukan bola matahari yang berpijar pada cahaya mata, sehingga dengan sinar itu, objek-objek yang jelas dan yang tidak tampak dapat dikenali. Di dalam kehidupan (hayah) itu sendiri, Tauhid dapat diketahui.Allah swt. berfirman: “Bukankah orang yang sudah mati, kemudian dia Kami hidupkan?” (Q. s. al-An’am:122).

Sedangkan al-yaqin - ketahuilah-keyakinan (al-i`tiqad) dan ilmu, apabila telah bersemayam dalam kalbu dan tidak ada yang menjadi penghalang (ma’aridh) bagi masing-masing, akan membuahkan ma`rifat dalam kalbu. Dan ma’rifat tersebut dinamakan al-yaqin. Karena hakikat yakin adalah kejernihan ilmu yang didapatkan (acquired) melalui perolehan karunia (muktasab), sehingga menjadi seperti ilmu aksiomatik, dan kalbu menyaksikan keseluruhan, sebagaimana dikabarkan oleh syariat, baik dalarn persoalan dunia maupun akhirat. Dikatakan, Air menjadi jelas ketika bersih dari kekeruhannya.”

Ilham adalah pencapaian (hushul) ma’rifat tersebut tanpa disertai sebab dan upaya, tetapi dengan ilham langsung dari Allah swt. setelah kalbu menjadi jernih dari segala sikap memandang baik (istihsan) dua jagad – jagad dunia maupun akhirat. Sementara firasat adalah pengetahuan akan perlambang dari Allah swt., antara Dia dan hamba-Nya, yang memberi petunjuk pada segi esoterik (sisi paling dalam) hukum-hukumNya. Firasat tidak akan hadir, kecuali pada derajat taqarrub. Tetapi dia berada di bawah ilham. Karena ilham tidak membutuhkan alamat-alamat. Namun firasat membutuhkan alamat atau tanda perlambang, baik bersifat umum maupun khusus.

Abu Said al Kharraz rahimahullah pernah ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia menjawab, “Ma’rifat itu datang lewat dua sisi: Pertama, dari anugerah Kedermawanan Allah langsung, dan kedua, dari mengerahkan segalakemampuan atau yang lebih dikenal sebagai usaha (kasab) seorang hamba.”

Sementara itu Abu Turab an-Nakhsyabi rahimahullah ditanya tentang sifat orang yang arif, lalu ia menjawab, “Orang arif adalah orang yang tidak terkotori oleh apa saja, sementara segala sesuatu akan menjadi jernih karenanya.” 


Ahmad bin ‘Atha’ rahimahullah berkata, “Ma’rifat itu ada dua : Ma’rifat al-Haq dan ma’rifat hakikat. Adapun ma’rifat al-Haq adalah ma’rifat (mengetahui) Wahdaniyyah-Nya melalui Nama-nama dan Sifat-sifat yang ditampakkan pada makhluk-Nya. Sedangkan ma’rifat hakikat, tak ada jalan untuk menuju ke sana. Sebab tidak memungkinkannya Sifat Shamadiyyah (Keabadian dan Tempat ketergantungan makhluk)-Nya, dan mengaktualisasikan Rububiyyah (Ketuhanan)-Nya. Karena Allah telah berfirman: “Sedangkan ilmu mereka tidak dapat meliputi (memahami secara detail) Ilmu-Nya”.(Q.s. Thaha: 110).

Syekh Abu Nashr as-Sarraj rahimahullah menjelaskan: Makna ucapan Ahmad bin’Atha’, “Tak ada jalan menuju ke sana,” yakni ma’rifat (mengetahui) secara hakiki. Sebab Allah telah menampakkan Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya kepada makhluk-Nya, dimana Dia tahu bahwa itulah kadar kemampuan mereka. Sebab untuk tahu dan ma’rifat secara hakiki tidak akan mampu dilakukan oleh makhluk. Bahkan hanya sebesar atom pun dari ma’rifat-Nya tidak akan sanggup dicapai oleh makhluk. Sebab alam dengan apa yang ada di dalamnya akan lenyap ketika bagian terkecil dari awal apa yang muncul dari Kekuasaan Keagungan-Nya. Lalu siapa yang sanggup ma’rifat (mengetahui) Dzat Yang salah satu dari Sifat-sifat-Nya sebagaimana itu? Oleh karenanya ada orang berkata, “Tak ada selain Dia yang sanggup mengetahui-Nya, dan tak ada yang sanggup mencintai-Nya selain Dia sendiri. Sebab Kemahaagungan dan Keabadian (ash-Shamadiyyah) tak mungkin dapat dipahami secara detail. Allah swt. berfirman: “Dan mereka tidak mengetahui apa apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya”.” (Q.s. al-Baqarah: 255).

Sejalan dengan makna ini, ada riwayat dari Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. yang pernah berkata, “Mahasuci Dzat Yang tidak membuka jalan untuk ma’rifat-Nya kecuali dengan menjadikan seseorang tidak sanggup mengetahui-Nya.”

Asy-Syibli rahimahullah pernah ditanya, “Kapan seorang arif berada dalam tempat al-Haq?”
Ia menjawab, “Tatkala Dzat Yang menyaksikan tampak, dan bukti-bukti fenomena alam yang menjadi saksi telah fana’ (sirna) indera dan perasaan pun menjadi hilang.” “Apa awal dari masalah ini dan apa pula akhirnya?” Ia menjawab, “Awalnya adalah ma’rifat dan ujungnya adalah mentauhidkan-Nya.” Ia melanjutkan, “Salah satu dari tanda ma’rifat adalah melihat dirinya berada dalam ‘Genggaman’ Dzat Yang Mahaagung, dan segala perlakuan Kekuasaan Allah berlangsung menguasai dirinya. Dan ciri lain dari ma’rifat adalah rasa cinta (al-Mahabbah). Sebab orang yang ma’rifat dengan-Nya tentu akan mencintai-Nya.”

Abu Nazid Thaifur bin Isa al-Bisthami rahimahullah pernah ditanya tentang sifat orang arif, lalu ia menjawab, “Warna air itu sangat dipengaruhi oleh warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Jika air itu anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna putih maka anda akan menduganya berwarna putih. Jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna hitam, maka Anda akan menduganya berwarna hitam. Dan demikian pula jika Anda tuangkan ke dalam tempat yang berwarna kuning dan merah, ia akan selalu diubah oleh berbagai kondisi. Sementara itu yang mengendalikan berbagai kondisi spiritual adalah Dzat Yang memiliki dan menguasainya.”

Syekh Abu Nashr as-Sarraj rahimahullah menjelaskannya: Artinya, : hanya Allah Yang Mahatahu, bahwa kadar kejernihan air itu akan sangat bergantung pada sifat dan warna tempat (wadah) yang ditempatinya. Akan tetapi warna benda yang ditempatinya tidak akan pernah berhasil mengubah kejernihan dan kondisi asli air itu. Orang yang melihatnya mungkin mengira, bahwa air itu berwarna putih atau hitam, padahal air yang ada di dalam tempat tersebut tetap satu makna yang sesuai dengan aslinya. Demikian pula orang yang arif dan sifatnya ketika “bersama” Allah Azza wa jalla dalam segala hal yang diubah oleh berbagai kondisi spiritual, maka rahasia hati nuraninya “bersama” Allah adalah dalam satu makna.

Al-junaid rahimahullah pernah ditanya tentang rasionalitas orang-orang arif (al-’arifin). Kemudian ia menjawab, “Mereka lenyap dari kungkungan sifat-sifat yang diberikan oleh orang-orang yang memberi sifat.”

Sebagian dari para tokoh Sufi ditanya tentang ma’rifat. Lalu ia menjawab, “Adalah kemampuan hati nurani untuk melihat kelembutan-kelembutan apa yang diberitahukan-Nya, karena ia telah menauhidkan-Nya.”

Al-Junaid rahimahullah ditanya, “Wahai Abu al-Qasim, (nama lain dari panggilan al-junaid, pent.). apa kebutuhan orang-orang arif kepada Allah?” Ia menjawab, “Kebutuhan mereka kepada-Nya adalah perlindungan dan pemeliharaan-Nya pada mereka.”

Muhammad bin al-Mufadhdhal as-Samarqandi rahimahullah berkata, “Akan tetapi mereka tidak membutuhkan apa-apa dan tidak ingin memilih apa pun. Sebab tanpa membutuhkan dan memilih, mereka telah memperoleh apa yang semestinya mereka peroleh. Karena apa yang bisa dilakukan orang-orang arif adalah berkat Dzat Yang mewujudkan mereka, kekal dan fananya juga berkat Dzat Yang mewujudkannya.”

Muhammad bin al-Mufadhdhal juga pernah ditanya, ” Apa yang dibutuhkan orang-orang arif?” Ia menjawabnya, “Mereka membutuhkan moral (akhlak) yang dengannya semua kebaikan bisa sempurna, dan ketika moral tersebut hilang, maka segala kejelekan akan menjadi jelek seluruhnya. Akhlak itu adalah istiqamah.”

Yahya bin Mu’adz rahimahullah ditanya tentang sifat orang arif, maka ia menjawab, “Ia bisa masuk di kalangan orang banyak, namun ia terpisah dengan mereka.” Dalam kesempatan lain ia ditanya lagi tentang orang yang arif, maka ia menjawab, “Ialah seorang hamba yang ada (di tengah-tengah orang banyak) lalu ia terpisah dengan
mereka.”

Abu al-Husain an-Nuri rahimahullah ditanya, “Bagaimana Dia tidak bisa dipahami dengan akal, sementara Dia tidak dapat diketahui kecuali dengan akal”
Ia menjawab, “Bagaimana sesuatu yang memiliki batas bisa memahami Dzat yang tanpa batas, atau bagaimana sesuatu yang memiliki kekurangan bisa memahami Dzat Yang tidak memiliki kekurangan dan cacat sama sekali, atau bagaimana seorang bisa membayangkan kondisi bagaimana terhadap Dzat, Yang membuat kemampuan imajinasi itu sendiri, atau bagaimana orang bisa menentukan ‘di mana’ terhadap Dzat yang menentukan ruang dan tempat itu sendiri. Demikian pula Yang menjadikan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir, sehingga Dia disebut Yang Pertama dan Terakhir. Andaikan Dia tidak mengawalkan yang awal dan mengakhirkan yang terakhir tentu tidak bisa diketahuimmana yang pertama dan mana yang terakhir.”

Kemudian ia melanjutkannya, “Al-Azzaliyyah pada hakikatnya hanyalah al-Abadiyyah (Keabadian), di mana antara keduanya tidak ada pembatas apa pun. Sebagaimana Awwaliyyah (awal) adalah juga Akhiriyyah (akhir) dan akhir adalah juga awal.

Demikian pula lahir dan batin, hanya saja suatu saat Dia menghilangkan Anda dan suatu saat menghadirkan Anda dengan tujuan untuk memperbarui kelezatan dan melihat penghambaan (‘ubudiyyah). Sebab orang yang mengetahui-Nya melalui penciptaan makhluk-Nya, ia tidak akan mengetahui-Nya secara langsung. Sebab penciptaan makhluk-Nya berada dalam makna firman-Nya, ‘Kun’ (wujudlah). Sementara mengetahui secara langsung adalah menampakkan kehormatan, dan sama sekali tidak ada kerendahan.”

Saya (Syekh Abu Nashr as Sarrai) katakan: Makna dan ucapan an-Nuri, “mengetahui-Nya secara langsung,” ialah langsung dengan yakin dan kesaksian hati nurani akan hakikat-hakikat keimanan tentang hal-hal yang gaib.

Syekh Abu Nashr as-Sarraj – rahimahullah – melanjutkan penjelasannya: Makna dari apa yang diisyaratkan tersebut – hanya Allah Yang Mahatahu – bahwa menentukan dengan waktu dan perubahan itu tidak layak bagi Allah swt. Maka Dia terhadap apa yang telah terjadi sama seperti pada apa yang bakal terjadi. Pada apa yang telah Dia firmankan sama seperti pada apa yang bakal Dia firmankan. Sesuatu yang dekat menurut Dia sama seperti yang jauh, begitu sebaliknya, sesuatu yang jauh sama seperti yang dekat. Sedangkan perbedaan hanya akan terjadi bagi makhluk dari sudut penciptaan dan corak dalam masalah dekat dan jauh, benci dan senang (ridha), yang semua itu adalah sifat makhluk, dan bukan salah satu dari Sifat-sifat al-Haq swt. – dan hanya Allah Yang Mahatahu-.

Ahmad bin Atha’ rahimahullah pernah mengemukakan sebuah ungkapan tentang ma’rifat. Dimana hal ini konon juga diceritakan dari Abu Bakar al-Wasithi. Akan tetapi yang benar adalah ungkapan Ahmad bin ‘Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya (tidak ada nilai-nilai Ketuhanan). Sedangkan segala Sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya (terdapat nilai-nilai Ketuhanan).

Sebab keduanya merupakan sifat yang selalu berlaku sepanjang masa, sebagaimana keduanya berlangsung sejak azali. Dimana tampak dua ciri yang berbeda pada mereka yang diterima dan mereka yang ditolak. Mereka yang diterima, benar-benar tampak bukti-bukti Tajalli-Nya pada mereka dengan sinar terangnya, sebagaimana tampak jelas bukti bukti tertutup hijab-Nya pada mereka yang tertolak dengan kegelapannya. Maka setelah itu, tidak ada manfaatnya lagi warna-warna kuning, baju lengan pendek, pakaian serba lengkap maupun pakaian-pakaian bertambal (yang hanya merupakan simbolis semata, pent.).” 


Saya katakan, bahwa apa yang dikemukakan oleh Ahmad bin Atha’ maknanya mendekati dengan apa yang dikatakan oleh Abu Sulaiman Abdurrahman bin Ahmad ad-Darani – rahimahullah – dimana ia berkata, “Bukanlah perbuatan-perbuatan (amal) seorang hamba itu yang menjadikan-Nya senang (ridha) atau benci. 


Akan tetapi karena Dia ridha kepada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan (amal) orang-orang yang diridhai-Nya. Demikian pula, karena Dia benci pada sekelompok kaum, kemudian Dia jadikan mereka orang-orang yang berbuat dengan perbuatan orang-orang yang dibenci-Nya.”

Sedangkan makna ucapan Ahmad bin Atha’, “Segala sesuatu yang dianggap jelek itu akan menjadi jelek hanya karena tertutupi hijab-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia berpaling dari kejelekan tersebut. 


Sementara ucapannya yang menyatakan, “Segala sesuatu yang dianggap baik itu menjadi baik hanya karena tersingkap (Tajalli)-Nya.” Maksudnya adalah karena Dia menyambut dan menerimanya. Makna semua itu adalah sebagaimana yang diterangkan dalam sebuah Hadits:

Dimana Rasulullah saw. pernah keluar, sementara di tangan beliau ada dua buah Kitab : Satu kitab di tangan sebelah kanan, dan satu Kitab yang lain di tangan sebelah kiri. Kemudian beliau berkata, “Ini adalah Kitab catatan para penghuni surga lengkap dengan nama-nama mereka dan nama bapak-bapak mereka. Sementara yang ini adalah Kitab catatan para penghuni neraka lengkap dengan nama-nama mereka beserta nama bapak-bapak mereka.”(H.r. Tirmidzi dari Abdullah bin Amr bin Ash. Hadist ini Hasan Shahih Gharib. Juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani, dari Ibnu Umar). 


Ketika Abu Bakar al-Wasithi – rahimahullah – mengenalkan dirinya kepada kaum elite Sufi, maka ia berkata, “Diri (nafsu) mereka (kaum arif telah sirna, sehingga tidak menyaksikan kegelisahan dengan menyaksikan fenomena-fenomena alam yang menjadi saksi Wujud-Nya al-Haq, sekalipun yang tampak pada mereka hanya bukti-bukti kepentingan nafsu.”
 

Demikian juga orang yang memberikan sebuah komentar tentang makna ini. Artinya – dan hanya Allah Yang Mahatahu -, “Sesungguhnya orang yang menyaksikan bukti-bukti awal pada apa yang telah ia ketahui, melalui apa yang dikenalkan Tuhan Yang disembahnya, ia tidak menyaksikan kegelisahan dengan hanya menyaksikan apa yang selain Allah (yakni fenomena alam), dan juga tidak merasa senang dengan mereka (makhluk).”





























Syeikh Amdan Maulana

Berkata selanjutnya TUAN GURU AWANG KENALI dlm kitab beliau " Ilmu Ma'rifat " tentang :
KELAKUAN SOLAT

Adapun " Solat " itu keluar drp huruf nama " ALLAH " bersama "Sifat 20. Oleh hal yg demikian , KELAKUAN SOLAT itu terbahagi kpd empat ( 4 ) bahagian :

Pertama : BERDIRI

Kedua : RUKU'

Ketiga : SUJUD

Keempat : DUDUK


BERDIRI - itu :

# Tabiatnya : Api

# Hurufnya : Alif

# Sifatnya : Jalal Allah , yakni kebesaran Allah yg ertinya dua ( 2 ) hal , iaitu :

( 1 ) Kuat , iaitu ALLAH

( 2 ) Lemah , iaitu HAMBA , yakni yg mempunyai " kuat " dan " lemah " itu ialah Qudrat n Iradat Allah jua.

Ini bererti " si hamba " tdk memiliki " kuat n lemah " , tetapi " kuat " hamba itu kerana dikuatkan oleh Allah , lemahnya kerana dilemahkan oleh Allah jua.

Ini bererti tatkala " BERDIRI " itu dilenyapkan kesemua perbuatan nafsu hamba itu. Inilah " hakikat kita berdiri " .

Jadi , ketika "BERDIRI " itu menunjukkan " SIFAT NAFSIYAH " , iaitu " Satu Wujud " dlm ertikata menyatakan Qidam n Baqa' Zat Allah S.W.T.

RUKU' - itu :

# Tabiatnya : Angin

# Hurufnya : Lam Awal

# Sifatnya : Jamal Allah ertinya " muda " dan " tua " itu ialah Qudrat n Iradat Allah.

Ini bererti hamba itu tdk mempunyai " muda " dan " tua " kerana hamba itu mudanya dimudakan oleh Allah n tuanya pun dituakan oleh Allah juga.

Namun hamba itu hanya membentukkannya sahaja n tatkala " RUKU' " itu hilang lenyaplah segala nama hamba. Itulah " HAKIKAT RUKU' "

Jadi , ketika " RUKU' " itu menunjukkan " SIFAT SALBIYAH " , iaitu Qidam , Baqa' , Mukhalafatuhu Lilhawadits , Qiyamuhu Binafsihi n Wahdaniyah dlm ertikata menyatakan "Esa Zat Allah Taala " .

SUJUD - itu :

# Tabiatnya : Air

# Hurufnya : Lam Akhir

# Sifatnya : Qahhar Allah " , yakni kekerasan Allah , ertinya hidup n mati.

Yg hidup itu Zat Allah n yg mati itu hayat hamba , yg mempunyai hidup n mati kerana hidupnya itu dihidupkan oleh Allah n dimatikan matinya itu pun dimatikan oleh Allah juga.

Namun hamba itu hanya lah membentukkannya sahaja , dlm ertikata tatkala " SUJUD " itu dihilangkan segala sifat hamba. Itulah " HAKIKAT SUJUD " .

Jadi , tatkala "SUJUD " itu menunjukkan " SIFAT MA'ANI " iaitu Hayat , Ilmu , Qudrat , Iradat , Sama' , Bashar n Kalam dlm ertikata menyatakan " Zat n Sifat Allah Taala "


DUDUK - itu :

# Tabiatnya : Tanah

# Hurufnya : Ha

# Sifatnya : Kamal Allah , yakni kesempurnaan Allah , ertinya ada n tiada.

Yg " ada " itu ialah " Zat Allah " , sedang " tiada " itu ialah " wujud hamba " dlm ertikata mempunyai ada n tiada itu adalah Qudrat n Iradat Allah.

Adapun hamba itu tdk mempunyai ada n tiada , kerana adanya itu diadakan oleh Allah n tiadanya itupun ditiadakan oleh Allah juga.

Namun hamba itu hanyalah membentukkannya sahaja. Ini bererti tatkala " DUDUK " itu dihilang lenyapkan kesemua " wujud hamba " itu kerana hamba itu tdk sekali-kali mempunyai wujud , hanyalah " kenyataan " pada Zat Allah Taala.

Jadi , tatkala " DUDUK " itu menunjukkan " SIFAT MA'NAWIYAH " yakni Haiyun , 'Alimun , Qadirun , Muridun , Sami'un , Bashirun n Mutakallimun yg bererti menyatakan " Serupa Zat Allah Semuanya " .

Demikian lah " hakikat kita " , n jika tdk ada " hakikat kita " sedemikian di dlm SOLAT itu , sudah tentu SIA-SIA sahaja kita " Menyembah Tuhan " .

Ini lah RUKUN yg dipelihara di dlm SOLAT , redha DISERAHKAN kepada Zat Allah.

ALLAHU AKBAR