SEJARAH - Kemasukan YAHUDI ke bumi PLASTINE tiada bezanya dengan
kemasukan KAFIRUN CINA ke Tanah Melayu dan Nusantara......Islamelayu
semakin mengecil di Tanah Airnya sendiri kerana PENGKHIANAT dan PEMBELUT
ada di dalam diri kita sendiri.......
PLASTINE SUATU KETIKA DULU
Keadaan Palestin Pada Tahun 1900 Sebelum Dijajah Israel
Beginilah
keadaan Palestin pada tahun 1900 jauh sebelum penjajahan Israel. Dalam
gambar-gambar di bawah ini terlihat jelas aktiviti warga Palestin yang
normal seperti berniaga, beribadah dll. Selain itu turut kelihatan
keadaan warga Palestin yang maju terlihat dari bangunan dan
gedung-gedungnya tidak seperti sekarang ini di mana semua itu direnggut
oleh kebiadaban Zionis dan sekutunya.
Kegiatan Pentanian dan Ternakan yang subur dan mewah
Kota yang besar dan gagah
Kegiatan ekonomi yang mantab dan bersih
Sinibena Islam yang nampak ketara
Nampak tentera yang berdisiplin
Nampak kegiatan Ugama dan Ahli fikir yang memainkan peranan di dalam masyarakat
Sistem Tukaran barang
Pasar yang besar dan teratur
Kota yang Gagah
Asal mula masuknya orang-orang Yahudi di Palestina hingga terbentuknya negara Israel
|
Lubang Biawak |
Hadith Akhir Zaman: Umat Islam Mengikuti Jejak Langkah Yahudi Dan Nasrani
Ertinya:
Daripada Abu Sa’id al-Khudri r.a berkata,
“Rasulullah S.A.W bersabda,
“Kamu akan mengikut jejak langkah umat-umat sebelum kamu, sejengkal
demi sejengkal, sehasta demi sehasta sehingga jikalau mereka masuk ke
lubang biawak pun kamu akan mengikuti mereka.”
Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah Yahudi dan Nasrani yang
Engkau maksudkan?” Nabi S.A.W menjawab, “Siapa lagi kalau bukan
mereka?”
Hadith riwayat Muslim.
From Abu Sa’id al-Khudri reported that, “The Prophet said,” You will
follow the footsteps of the nations before you, span by span, cubit by
cubit until if they entered a lizard’s hole you would follow them too. ”
The companions asked, “O Messenger of Allah, the Jews and the Christians
that you mean?” The Prophet said, “Who else if not them?”
Hadith narrated by Muslim.
Keterangan:
Umat Islam akan mengikuti jejak langkah ataupun gaya hidup
orang-orang Yahudi dan Nasrani sehinggakan dalam urusan yang kecil dan
perkara yang tidak munasabah. Contohnya; seandainya orang Yahudi dan
Nasrani masuk ke lubang biawak yang kotor dan sempit sekalipun, orang
Islam akan terus mengikuti mereka.
Pada masakini kita dapat menyaksikan sendiri kenyataan sabdaan
Rasulullah S.A.W ini. Ramai orang Islam yang kehilangan pegangan di
dalam kehidupan. Mereka banyak meniru ‘cara hidup’ Yahudi dan Nasrani
sama ada secara sedar atau tidak. Ramai orang Islam yang telah
terperangkap dengan tipu helah Yahudi dan Nasrani malah ramai pula di
kalangan kita yang menjadi alat dan tali barut mereka. Ya Allah, selamatkanlah kami daripada mereka!
Duka Rakyat Palestina Pasca 1948
|
Duka Rakyat Palestina Pasca 1948
|
Salah
satu peristiwa yang paling riuh dan berpengaruh dalam sejarah Islam
adalah terjadinya konflik Arab-Israel. Konflik ini beragam, kompleks,
dan salah satu masalah yang paling rumit dalam dunia hubungan
internasional. Salah satu dampak dari konflik ini adalah masalah
pengungsi yang disebabkan terbentuknya negara Israel pada tahun 1948. Di
tahun itu, lebih dari 700.000 warga Palestina menjadi pengungsi,
karenanya peristiwa ini disebut dengan “Nakba”, yang dalam bahasa Arab
berarti bencana.
Latar Belakang
Pada tahun 1800-an, muncul sebuah gerakan
nasionalis baru di tanah Eropa, gerakan itu dinamai dengan Gerakan
Zionis. Zionisme adalah gerakan politik yang mensponsori pembentukan
negara Yahudi. Banyak orang Yahudi percaya bahwa mereka perlu memiliki
negara sendiri untuk menghindari diskriminasi dan penindasan yang
dilakukan orang-orang Eropa. Setelah terjadi perdebatan di Kongres
Zionis I tahun 1897 mengenai dimana negara tersebut akan didirikan,
akhirnya gerakan Zionis memutuskan untuk membuat negara di tanah
Palestina, yang merupakan bagian dari Kekaisaran Turki Utsmani. Tentu
saja Sultan Utsmani, Sultan Abdulhamid II, tidak menerima usulan ini,
walaupun pendiri gerakan Zionis, Theodor Herzl, menyodorkannya uang
pembayaran sebanyak 150 juta poundsterling sebagai tebusannya.
Setelah Perang Dunia I, akhirnya pintu
itu terbuka untuk para Zionis. Inggris berhasil merebut Palestina dari
kekuasaan Utsmani pada tahun 1917. Tidak beberapa lama menteri luar
negeri Inggris, Arthur Balfour, mengeluarkan deklarasi untuk gerakan dan
Zionis menjanjikan dukungan Inggris dalam pembentukan negara Yahudi di
Palestina.
Surat mandat dari Arthur James Balfour adalah sebagai berikut:
Departemen Luar Negeri
2 November 1917
Lord Rothschild yang terhormat,
Dengan sangat gembira saya ingin
menyampaikan kepada Anda, atas nama Pemerintah Yang Mulia, deklarasi
tentang simpati terhadap aspirasi-aspirasi kaum Zionis Yahudi yang telah
diajukan dan disetujui oleh Kabinet.
Pemerintah Yang Mulia memandang perlu pembangunan di Palestina sebuah National Home bagi
masyarakat Yahudi, dan akan mengerahkan segala usaha yang terbaik demi
mencapai tujuan tersebut, dengan catatan bahwa hal itu tidak akan
merugikan hak-hak sipil dan religius berbagai komunitas non-Yahudi di
Palestina, atau hak dan status politik yang dinikmati oleh orang Yahudi
di negara lain.
Saya sangat berterima kasih jika Anda dapat menyampaikan deklarasi ini untuk diketahui oleh Federasi Zionis.
(Tertanda)
Arthur James Balfour1
———————————————————————————
Setelah perang, Palestina menjadi mandat Liga Bangsa-Bangsa di bawah
kendali Inggris di tahun 1920. Karena di bawah kendali Inggris, gerakan
Zionis sangat menganjurkan Yahudi Eropa bermigrasi ke Palestina.
Hasilnya adalah kenaikan signifikan jumlah orang Yahudi yang tinggal di
Palestina. Menurut data sensus Inggris, pada tahun 1922, ada 83.790
orang Yahudi di Palestina. Pada tahun 1931, ada 175.138. Dan tahun 1945,
jumlah itu melonjak menjadi 553.600 orang. Sehingga dalam 25 tahun,
prosentase orang-orang Yahudi melonjak menjadi 11% dari total populasi
31%.
Tentu saja, reaksi dari orang-orang Arab
Palestina adalah kekecewaan. Akibatnya ketegangan antara pemukim baru
Yahudi dan orang Palestina asli terjadi pada berbagai kesempatan. Lalu,
pada tahun 1940-an Inggris memutuskan bahwa mereka tidak bisa lagi
mengontrol wilayah itu, mereka mengakhiri mandat Palestina dan
meninggalkan wilayah tersebut.
Terbentuknya Negara Israel
Memandang akan berakhirnya kontrol
Inggris atas Palestina, dan kepastian konflik antara Arab dan Yahudi
sebagai dampaknya, PBB yang baru dibentuk mengangkat masalah itu pada
tahun 1947 sebagai sebuah masalah yang harus dicarikan solusinya.
Muncullah sebuah rencana yang dikenal sebagai United Nations Partition Plan for Palestine (rencana
pembagian wilayah Palestina oleh PBB). PBB menganjurkan pembentukan dua
negara di dalam wilayah Palestina, satu wilayah untuk orang-orang
Yahudi, yang dikenal sebagai Israel, dan satu untuk orang Arab yaitu
negara Palestina.
Orang-orang Yahudi di Palestina menerima
rencana itu dengan suka cita, sementara orang-orang Arab dengan keras
menolak ketidakadilan ini. Dalam pandangan mereka, itu sama saja dengan
merampas tanah yang telah mereka miliki secara historis sejak terjadinya
Perang Salib dan menyerahkannya kepada minoritas pendatang Yahudi.
Ketegangan pun kembali meningkat di antara kedua belah pihak.
Di tengah-tengah ketegangan yang
meningkat ini, Inggris menyatakan mengakhiri Mandat Palestina, dan
menarik diri dari negara itu pada 14 Mei 1948. Hari itu, gerakan Zionis
di Palestina menyatakan pembentukan sebuah negara baru, Israel.
Negara-negara Arab menyatakan penolakan mereka terhadap deklarasi dan
menyerang Israel.
Singkat cerita, hasil dari perang tahun
1948 adalah semakin besarnya wilayah Israel –karena sekutu negara-negara
Arab kalah dalam perang-. Teritorial Negara Israel pun kian jauh lebih
besar dari yang semula diusulkan oleh PBB, 50% lebih besar dari yang
diusulkan.
Lonjakan Pengungsi Palestina
Dampak terbesar dari Perang 1948 adalah
pengusiran sebagian besar penduduk Palestina. Sebelum perang, setidaknya
ada sekitar 1.000.000 orang Arab Palestina di perbatasan Israel. Pada
akhir perang tahun 1949, 700.000 sampai 750.000 dari mereka telah
terusir, hanya 150.000 saja yang tetap tinggal di Israel.
Begitulah adanya, pengungsi selalu
menjadi objek penderita dari buah peperangan. Sepanjang peristiwa ini,
beberapa kelompok orang telah melarikan diri demi menghindari
pertempuran dan penaklukan. Alasan yang membuat orang-orang Palestina
mengungsi di tahun 1948 terbilang unik, mengapa mereka menjadi
pengungsi? Padahal itu seolah tak berarti, karena masih sangat banyak
konflik di berbagai wilayah di sana sampai hari ini. Sejarawan
menganalisis penyebab eksodus warga Palestina sangat dipengaruhi oleh
politik dan hubungan internasional. Beberapa alasan utama eksodus
tersebut adalah:
Ketakutan: Banyak warga Palestina
mengungsi karena karena takut akan serangan dan kekejaman Israel.
Ketakutan mereka sangat beralasan, pada 9 April 1948, sekitar 120
penjajah Israel memasuki kota Deir Yassin, dekat Yerusalem, lalu
membantai 600 penduduk desa. Beberapa meninggal membela kota dalam
pertempuran melawan pasukan Israel, sementara yang lain dibunuh dengan
granat tangan yang dilemparkan ke rumah-rumah mereka, atau dieksekusi
setelah diarak melewati jalan-jalan Jerusalem.
Setelah kejadian ini, pembantaian pun
menyebar ke seluruh Palestina, orang-orang Palestina sangat takut akan
kemungkinan terburuk yang ditimbulkan orang-orang Yahudi ini. Dalam
banyak kasus, warga-warga di seluruh desa Palestina melarikan diri dari
kebengisan Yahudi. Mereka berharap dapat menghindari jatuh pada nasib
yang sama dengan penduduk Deir Yassin. Beberapa kelompok Yahudi Israel,
seperti Yishuv, menyebarkan perasaan takut ini melalui perang psikologis
yang dimaksudkan untuk mengintimidasi warga kota-kota Palestina agar
menyerah atau melarikan diri. Siaran radio yang disiarkan dalam bahasa
Arab, memperingatkan warga Arab bahwa mereka tidak akan mampu menghadapi
serangan orang-orang Israel, perlawanan adalah kesia-siaan.
Pengusiran oleh Pasukan Israel: Ketakutan
adalah faktor pendorong utama bagi pengungsi di awal perang. Lalu,
Perang yang berlarut-larut sampai tahun 1948, membuat aksi pengusiran
oleh orang-orang Israel kian marak. Yahudi Israel terus menaklukkan
wilayah demi wilayah, pasukan mereka kian tersebar dalam jumlah besar di
seluruh negeri. Akibatnya, desa-desa yang baru ditaklukkan dikosongkan
secara paksa oleh pasukan Israel.
Contoh nyata dari hal ini adalah
kota-kota di Lida dan Ramla, dekat Yerusalem. Ketika wilayah tersebut
ditaklukkan pada bulan Juli 1948, Yitzhak Rabin menandatangani sebuah
perintah mengusir semua warga Palestina dari dua kota yang memiliki
populasi sebesar 50.000 hingga 70.000 orang itu. Pasukan Yahudi Israel
menekan penduduk hingga ke garis perbatasan Arab, sementara yang lain
dipaksa untuk berjalan dan hanya diizinkan mengangkut barang yang bisa
mereka bawa. Pengusiran ini prosentasenya hanya sekitar 10% dari total
pengusiran warga Palestina di tahun 1948.
Anjuran Pasukan Arab: Dalam beberapa
kesempatan, tentara Arab dari negara-negara tetangga, khususnya
Yordania, menganjurkan agar penduduk di kota-kota Palestina mengungsi.
Salah satu alasannya adalah untuk memberikan medan perang terbuka antara
Arab-Israel tanpa ada warga sipil dalam baku tembak tersebut. Apapun
latar belakangnya, banyak warga sipil Palestina meninggalkan rumah
mereka di bawah arahan dari tentara Arab, mereka berharap bisa segera
kembali setelah kemenangan pasukan Arab, dan hanya menjadi pengungsi di
negara-negara tetangga –bukan menetap terus-menerus-.
Dampak Peperangan
Perang Arab-Israel tahun 1948 menciptakan
masalah pengungsian besar-besaran di Timur Tengah. Lebih dari 500 kota
besar dan kecil di seluruh Palestina benar-benar kehilangan penghuni
selama perang ini berlangsung. 700.000 lebih pengungsi dari kota-kota
tersebut menjadi beban ekonomi dan sosial di negara-negara tetangga dan
Tepi Barat, terutama di wilayah Yordania. Pada tahun 1954, Israel
membuatPrevention of Infiltration Law –sebuah hukum yang dibuat
Israel untuk mengatur orang-orang yang masuk dari dan ke wilayah mereka
baik bersenjata maupun tidak-. Hukum ini memungkinkan pemerintah Israel
mengusir setiap warga Palestina yang berhasil menyelinap kembali ke
rumah mereka yang telah menjadi wilayah Israel.
Saat ini, hak kembali masih merupakan
masalah utama yang belum bisa diselesaikan oleh perundingan damai antara
Palestina dan Israel. Pengusiran paksa warga Palestina pada tahun 1948
terbukti menjadi masalah yang terus berlangsung bahkan setelah para
pengungsi tahun 1948 telah meninggal semuanya di awal tahun 2000-an,
masalah pun tetap ada.
Keterangan:
1. Disadur dari buku Jerusalem 33 karya Trias Kuncahyono
Israel Melakukan Pembunuhan Beramai2 Rakyat Palestine 1948 Atau Perang Nakba
Peperangan Nakba ialah peperangan pertama yang berlaku di
antara dunia arab dengan israel secara rasminya pada tahun 1948.
Peperangan
nakba berlangsung selama setahun lebih lamanya dengan kemenangan diraih
oleh israel. Peperangan Suez pada tahun 1956, peperangan arab-israel
sekali lagi pada tahun 1967 dan 1973 dan berakhir dengan peperangan
Lubnan pada tahun 1982.
Peperangan
Nakba berlaku merujuk kepada keputusan PBB pada tahun 1947 yang
menyaksikan Palestine berpecah kepada 2 bahagian dimana 55% dari kota
itu termasuklah Jerusalem jatuh ke tangan israel manakala bakinya pula
kekal di pihak penduduk asal Palestine. Atas alasan ini ISRAEL
menggunakan kekuatannya untuk menghalau penduduk asal PALESTINE ke GAZA.
Bagi
israel, peperangan NAKBA ialah peperangan suci bagi kepercayaan
ZIONISME mereka. Agenda pembentukkan negara ZIONISME ISRAEL tidak hanya
bermula pada tahun 1948 bahkan sebelum itu lagi. Ketika zaman Turki
Uthamniyah masih tegak berdiri di dunia ini. ZIONIS sudah beberapa kali
berjumpa dengan beberapa sultan dari pemerintahan TURKI ketika itu untuk
mendapatkan tanah suci PALESTINE bagi mendirikan NEGARA mereka namun
permintaan tersebut itu ditolak mentah2.
ZIONIS
kemudiannya membuat rancangan dengan BRITISH dan USA ketika itu yang
menjadi KUASA BESAR di BLOCK BARAT yang menakluki dunia arab. British la
yang berjanji akan menyerahkan tanah PALESTINE kepada ZIONIS meskipun
BRITISH bukan la yang berhak untuk memutuskan perkara tersebut (yakni
pemilik kepada wilayah itu, bahkan hanya penjajah sementara akibat TURKI
yang kalah PEPERANGAN). Alat mereka ketika itu ialah PBB dan beberapa
siri perjanjian damai (kononnya).
ZIONISME memang dah lama aim
PALESTINE. Sebab itu dari tahun 1900 daripada 5% orang YAHUDI ZIONIS
yang menduduki PALESTINE kehadiran mereka bertambah kepada 31%
banyaknya. Dan, satu lagi ketika 5% yang menduduki kota PALESTINE mereka
tak claim mereka YAHUDI ZIONISME tau. Mereka menyamar sebagai PENGANUT
KRISTIAN, YAHUDI pengikut MUSA ataupun PENGANUT ISLAM. Senang cakap
berpura2. Bahkan siap tukar nama lagi. Untuk memastikan tiada sesiapa
yang mengetahui bahawa mereka ada rancangan besar iaitu pembentukkan
negara ZIONISME di PALESTINE.
Tindakan
mereka terancang dan tersusun. Yang membuatkan aku tertanya2 sampai
sekarang. Apa yang mengikat kuasa2 besar seperti USA dan BRITISH ketika
itu untuk tunduk kepada RANCANGAN ZIONIS? Tak cukup kot dengan sekadar
hujah ZIONIS berjanji akan runtuhkan kerajaan ISLAM Uthmaniyah. Aku rasa
ada perkara lain neh.
Peperangan NAKBA menyaksikan ;
1. Ribuan kanak2 Palestine dibunuh dengan begitu kejam.
2.
Ribuan wanita menjadi mangsa kekejaman, ada yang dibunuh, ada yang
dirogol dan pelbagai lagi kekejaman yang tidak dapat tergambarkan.
3.
Orang tua, lelaki ada yang turut disembelih hidup2 oleh askar israel
atas nama 'memberikan pengajaran' dan 'mendorong rasa takut' agar arab
tidak melawan dan tidak menentang pengusiran.
Sebenarnya.
Aku baru tahu. Bila tengok pengakuan rakyat israel mengenai kekejaman
yang mereka lakukan ketika peperangan Nakba. Beberapa pendedahan dia
yang buat aku rasa sayu.
-
Rakyat Palestine tidak dilengkapi dengan sebarang persenjataan. Tidak
ada. Tidak, waima pistol sekalipun. Tidak ada. Kenapa? Kerana mereka
tidak menjangkakan peperangan dan konflik akan berlaku untuk mengusir
kehadiran mereka.
-
Rakyat Palestine juga tidak dilengkapi dengan latihan ketenteraan
langsung. Mereka tiada base latihan untuk berperang dan tidak tersusun.
Dalam erti kata lain, mereka tidak menjangkakan akan menghadapi
peperangan yang bakal mengorbankan ribuan nyawa anak bangsa mereka
ketika itu.
-
Tiada mana2 wilayah arab yang melawan secara keras pencerobohan askar
israel di penempatan mereka ketika itu. Tiada. Mereka dipindahkan dan
mungkin ketika itu tidak menyangka bahawa mereka sebenarnya baru sahaja
MENYERAHKAN TANAH MEREKA, NEGARA MEREKA, HAK MEREKA kepada israel tanpa
melawan dan yang lebih teruk, rupa2ya takan mendapatkan kembali tanah
yang telah mereka kehilangan suatu ketika dulu.
-
Yang lebih menyedihkan, ada di antara wilayah2 ini sangat miskin
keadaan penduduknya. Sangat daif. Makanan pun takde. Rumah yang selesa
jauh sekali. Dengan keadaan yang miskin mana boleh mereka melawan
mempertahankan tanahair yang ditakluki oleh israel. Jadi tak aneh juga
kenapa israel boleh mengusir rakyat Palestine dengan mudah dan
seterusnya memenangi peperangan tersebut pada tahun 1948 sehingga
terbentuknya sebuah negara bernama ISRAEL.
-
Israel juga sewenang2nya membunuh mana2 pihak yang melawan arahan
mereka untuk berpindah ke GAZA. Dan jika ada mana2 arab yang datang
kembali ke wilayah asal mereka secara sembunyik2, israel yang memang
bersedia dan mengetahui akan perkara tersebut telah memilih untuk
menembak mati mereka semua tanpa sebarang AMARAN DIKELUARKAN.
Menangis
aku tengok luahan dia. Saudara kita di Palestine diseksa sedemikian
rupa dan ada juga di antara kita TEGAR MENYURUH RAKYAT PALESTINE KELUAR
DARI GAZA?
Memang
komen tak pakai otak kerana tak melihat kepada faktor sejarah. Cubaan
menyamakan apa yang berlaku di GAZA dengan hijrah Nabi SAW ialah perkara
yang BODOH lagi membodohkan. Ya, HAMAS perlu meletak senjata. Ya,
israel juga perlu meletak senjata. Mereka perlu hentikan peperangan in
order untuk mencapai persefahaman walaupun total loss yang ditanggung
oleh rakyat Palestine adalah perit dan tiada mana2 NILAI DI DUNIA INI
yang boleh MEMBAYAR segala PENDERITAAN yang dialami oleh mereka.
Namun
dalam waktu yang sama kita juga perlu bersikap adil. Lalu bagaimana
untuk PALESTINE berlapang dada dengan israel apabila israel tidak pernah
kenal ERTI PUAS dan BERTOLENRASI?
Tak guna sebelah pihak aje yang bertolenrasi.
Ia bukan HAMAS yang enggan mengalah. Ia adalah ISRAEL yang tidak mahu mengalah dari dulu sampai sekarang.
65 Tahun Pendirian Negara Israel
Negara Israel didirikan tahun 1948 di daerah Palestina. Setelah itu,
Israel beberapa kali terlibat perang dengan negara tetangga. Konflik
Israel-Palestina belum selesai.
14 Mei 1948 adalah hari yang mengguncang Timur Tengah. Di sebuah musium
di Tel Aviv dideklarasikan pembentukan negara Israel. Pemimpin gerakan
warga Yahudi di Palestina ketika itu, Ben Gurion, membacakan
deklarasinya. ”Dengan ini kami menerangkan pendirian negara Yahudi di
Israel. Inilah Negara Israel”.
Setahun sebelumnya, tahun 1947, PBB menyetujui pembagian kawasan
Palestina yang menjadi daerah jajahan Inggris menjadi dua bagian, yaitu
bagian Yahudi dan bagian Arab. Mandat Inggris atas kawasan Palestina
berakhir 14 Mei 1948. Tapi negara-negara Arab tidak setuju atas
pembagian itu. Akhirnya, warga Yahudi di Palestina mendeklarasikan
negara Israel di bawah pimpinan Ben Gurion.
Kelompok Yahudi kemudian berusaha menguasai kawasan Palestina yang
menjadi bagian mereka. Karena jumlah warga Palestina di daerah itu lebih
banyak dari warga Yahudi, Ben Gurion berusaha mengusir warga Palestina
keluar dari daerah Israel. Terjadilah pertempuran antara kelompok
bersenjata Yahudi dan Arab. Ben Gurion ingin mengusir lebih dari satu
juta warga Palestina ke luar kawasan Israel.
Warga Palestina kemudian mengungsi ke negara-negara Arab lain dan ke
kawasan Palestina yang tidak dikuasai Israel, yaitu kawasan Jalur Gaza
dan Tepi Barat Yordan. Selama pertempuran itu, sekitar 750.000 warga
Palestina terpaksa mengungsi. 530 desa dan 13 kota Palestina hancur.
Israel menyebut pertempuran ini sebagai "perang kemerdekaan“. Warga
Palestina melihat perang ini sebagai invasi Israel atas wilayah mereka,
yang mendapat legitimasi dari PBB.
Negara-negara Arab di sekitar Israel, yaitu Lebanon, Mesir, Yordania dan
Suriah mengerahkan pasukan untuk memukul mundur tentara Israel. Namun
pasukan Israel mempertahankan wilayahnya. Tahun 1949 dicapai kesepakatan
gencatan senjata yang rapuh.
Perang Enam Hari
Tahun 1967 terjadi perang enam hari. Ketika itu Israel berperang dengan
pasukan dari Mesir, Yordania dan Suriah. Antara tanggal 5 sampai 10 Juni
1967, pasukan Israel berhasil menguasai kawasan Tepi Barat, Jalur Gaza
dan Dataran Tinggi Golan. Israel berhasil merebut kota Yerusalem, yang
punya nilai simbolis penting bagi agama Yahudi.
Sejak 1967, Israel kemudian menduduki Tepi Barat dan Jalur Gaza. Warga
Yahudi mulai membangun pemukiman-pemukiman di kawasan yang diduduki.
Warga Palestina di daerah yang diduduki ditekan dan diawasi dengan
ketat. Mereka tidak boleh membentuk admistrasi sendiri.
1979 disepakati Perjanjian Perdamaian dengan Mesir. Proses Perdamaian
dengan Palestina dimulai 1993. Tahun 2005 pasukan Israel mulai ditarik
dari Jalur Gaza. Tapi Israel tetap membangun pemukiman Yahudi di kawasan
yang diduduki. Bahkan PM Israel Yitzhak Rabin, yang menentang pemukiman
Yahudi, dibunuh oleh seorang ekstrimis Yahudi.
Hingga kini, masalah pemukiman Yahudi menjadi hambatan utama dalam proses perdamaian Israel-Palestina.
Hubungan Israel Dengan Jerman
Republik Federal Jerman mulai membuka hubungan diplomatik dengan Israel
1965. Sebelumnya, 1952, Jerman menyetujui pembayaran ganti rugi senilai 3
miliar D-Mark kepada warga Yahudi di Eropa, yang menjadi korban
kekejaman rejim NAZI selama Perang Dunia II.
Kanselir Jerman saat itu, Konrad Adenauer menegaskan, kejahatan yang
dilakukan NAZI terhadap warga Yahudi sedapat mungkin harus "diperbaiki“.
Tahun 1960, Konrad Adenauer untuk pertama kalinya bertemu dengan Ben
Gurion di New York. "Saya senang bisa bertemu dengan Kanselir Adenauer.
Saya sudah mengatakan kepada Knesset (parlemen Israel), bahwa Jerman
yang sekarang bukan Jerman yang kemarin. Setelah bertemu dengan
Adenauer, saya yakin bahwa pandangan itu memang benar“, kata Ben Gurion.
Kini Jerman memiliki hubungan erat dengan Israel. Kanselir Jerman saat
ini, Angela Merkel mengatakan, Jerman punya tanggung jawab sejarah
terhadap Israel dan terhadap keamanan negara itu.
PBB Akui Palestine Sebagai Negara Berdaulat
Pemungutan
suara di PBB mengakui Palestina sebagai negara berdaulat, namun jalan
masih panjang untuk kemerdekaan penuh bagi Palestina.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas berpidato di Majelis Umum PBB sebelum pemungutan suara (29/11). (AP/Richard Drew)
PBB — Lebih dari dua pertiga dari 193
negara anggota PBB mengakui Palestina sebagai negara berdaulat, dalam
pemungutan suara yang diadakan Majelis Umum PBB pada Kamis (29/11) waktu
setempat.
Hal tersebut merupakan kemenangan bagi Palestina setelah puluhan tahun
pendudukan dan perang, serta pukulan keras bagi Israel dan sekutunya
Amerika Serikat. Bendera Palestina langsung dikibarkan di gedung Majelis
Umum, di belakang delegasi Palestina, begitu suara terakhir dimasukkan.
Dari 193 negara anggota, 138 menyetujui peningkatan status Palestina
dari “entitas” menjadi “negara pengamat non-anggota” seperti Vatikan,
sembilan negara menolak dan 41 tidak memberikan suara.
Pemungutan suara bersejarah ini datang 65 tahun setelah Majelis Umum PBB
sepakat pada 1947 untuk membagi Palestina menjadi dua negara, satu
untuk kelompok Yahudi, dan lainnya untuk Arab. Israel menjadi negara
namun Palestina menolak rencana pembagian tersebut, sehingga
berlangsunglah puluhan tahun penuh ketegangan dan kekerasan.
Namun kemerdekaan yang sesungguhnya masih belum nyata sampai Palestina
menegosiasikan perjanjian perdamaian dengan Israel, yang memperingatkan
bahwa tindakan Majelis Umum hanya akan menunda solusi panjang. Israel
masih mengontrol Tepi Barat, Yerusalem timur dan akses ke Gaza, dan
menuduh Palestina melewatkan negosiasi dengan kampanye peningkatan
status mereka ke PBB.
Di kota Tepi Barat Ramallah, warga Palestina berkumpul di alun-alun
utama, mengibarkan bendera Palestina dan meneriakkan “Tuhan Maha
Besar!”. Ratusan orang menonton pemungutan suara di layar-layar dan
televisi di luar ruangan, kemudian berpelukan, membunyikan terompet dan
menyalakan kembang api begitu suara terakhir masuk.
Pemungutan suara dilakukan setelah Presiden Palestina Mahmoud Abbas
berpidato dan menyebut momen tersebut “kesempatan terakhir” untuk
menyelamatkan solusi dua negara.
“Majelis Umum diminta menerbitkan akte kelahiran Palestina,” ujar pemimpin Palestina tersebut.
Amerika Serikat dan Israel langsung mengkritik pemungutan suara tersebut.
“Resolusi yang sangat disayangkan dan tidak produktif terjadi hari ini,
yang akan menghambat jalan perdamaian,” ujar Duta Besar PBB Susan Rice.
“Pernyataan besar hari ini akan hilang sebentar lagi dan warga Palestina
akan bangun besok dan menemukan bahwa hidupnya tidak begitu berubah dan
prospek untuk perdamian yang berkelanjutan telah berkurang.”
Menyebut pemungutan suara tersebut “tidak berarti,” Perdana Menteri
Israel Benjamin Netanyahu menuduh Abbas menyebarkan “propaganda palsu”
melawan Israel dalam pidato yang ia sebut “fitnah dan berbisa.”
“Resolusi PBB hari ini tidak akan mengubah apapun di lapangan,” ujar
Netanyahu. “Hal ini tidak akan memajukan pendirian negara Palestina,
namun malah menghambatnya.”
Negara-negara kunci yang menyetujui status Palestina di PBB adalah
Perancis, Italia, Spanyol, Swiss, Swedia dan Irlandia, selain Jepang dan
Selandia Baru. Jerman dan Inggris tidak memberikan suaranya.
Selain Amerika Serikat dan Israel, yang menolak adalah Kanada, Republik
Ceko, Kepulauan Marshall, Mikronesia, Nauru, Palau dan Panama.
Meski meraih kemenangan di PBB, Palestina menghadapi keterbatasan yang
besar. Mereka tidak mengontrol perbatasan, wilayah udara atau
perdagangan, dan mereka memiliki pemerintahan terpisah dan bersaing di
Gaza dan Tepi Barat, serta tidak ada militer atau polisi yang bersatu.
Dengan status barunya ini, Palestina mendapat akses ke lembaga-lembaga
PBB dan internasional, terutama Mahkamah Pidana Internasional, yang bisa
menjadi pijakan untuk mengejar Israel dalam kasus kejahatan perang atau
pendudukan dan perebutan lahan.
Abbas tidak menyebut-nyebut soal Mahkamah tersebut dalam pidatonya.
Namun Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki memberitahu wartawan
setelah pemungutan suara bahwa jika Israel terus membangun pemukiman
ilegal, Palestina mungkin akan mengajukan kasus ke Mahkamah Pidana
Internasional (ICC). (AP/Reuters)
Israel: Layak Jadi Negara dan Punya Hak Membela Diri?
Salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah manusia modern
terulang lagi. Konflik Israel-Palestina di Jalur Gaza kembali memanas.
Bahkan pada 20 Juli 2014 lalu, terjadi kontak senjata yang disebut
sebagai salah satu kontak senjata yang paling banyak memakan korban jiwa
sejak Perang Enam Hari di tahun 1967.
80 warga sipil Palestina meninggal di wilayah Sheijaya, bagian timur
Gaza. 18 tentara Israel dilaporkan tewas. Hingga saat ini, konflik tahun
2014 ini telah menimbulkan korban jiwa dari warga sipil Palestina yang
mencapai lebih dari 400 orang (data,
disini).
Di Indonesia, dukungan untuk Palestina terus meningkat. Hal ini tentu
wajar; sebagian besar warga negara Indonesia memiliki
kedekatan akidah dengan sebagian besar warga Palestina. Satu hal yang
menarik, kecaman atas tindakan keji Israel selalu dibingkai lewat sudut
pandang agama dan kejahatan kemanusiaan.
Ada perspektif lain yang kerap terlupakan dalam pembahasan media tentang konflik Israel-Palestina:
eksistensi Israel menunjukkan betapa sistem politik internasional masih rapuh terhadap gempuran kepentingan pihak yang berkuasa.
Cukup Layakkah Menyebut Israel Sebagai Negara?
Apakah Israel cukup memiliki syarat sebagai sebuah negara? via
ivarfjeld.com
Perdebatan tentang terpenuhinya syarat sebagai negara berdaulat oleh
Israel masih belum terjawab hingga saat ini. Amerika Serikat pada 14 Mei
1948 dibawah pemerintahan Truman-lah yang pertama kali memberikan
pengakuan terhadap berdirinya Israel.
Pengakuan dari Amerika Serikat tersebut kemudian dilanjutkan dengan
upaya untuk mendapatkan legitimasi sebagai negara berdaulat dari
Perserikatan Bangsa-Bangsa. Perjalanan Israel tidak semulus yang
dibayangkan.
Berita tentang berdirinya negara Israel via elmed.io
Pada 15 Mei 1948, sehari setelah pengakuan Amerika Serikat atas
Israel, permohonan negeri Yahudi itu untuk bergabung dengan PBB ditolak
oleh Dewan Keamanan PBB. Permohonan kedua Israel pada 17 Desember 1948
menghadapi penolakan keras dari Syria. Lima negara lain di Dewan
Keamanan PBB: Inggris, Belgia, Perancis, Cina, dan Canada menyatakan
abstain. Selama belum diakui sebagai anggota, Israel bergantung
pada Amerika untuk memperjuangkan kepentingannya di PBB.
Barulah selepas Israel mengadakan pemilu presiden dan legislatif
pertamanya di tahun 1949, pengakuan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa
didapatkan. Pengakuan tersebut disahkan lewat Resolusi Majelis Umum PBB
no. 273, tanggal 11 Mei 1949. Namun hingga hari ini, 32 dari 192 negara
anggota PBB masih belum memberikan pengakuannya terhadap Israel.
The Montevideo Convention
Melihat perjalanan Israel, muncul pertanyaan sederhana:
apa yang dibutuhkan oleh sebuah entitas politik untuk membuat dirinya diakui sebagai sebuah negara?
Lemahnya penegakan sistem internasional jadi penyebab konflik ini makin berkepanjangan via www.theatlantic.com
Aturan tentang apa yang dibutuhkan sebuah entitas untuk diakui
sebagai negara sebenarnya telah disepakati dalam Perjanjian Montevideo,
yang ditandangani di Uruguay pada tahun 1933. Dalam pertemuan yang hanya
dihadiri oleh 2o negara tersebut, ditentukan 4 syarat utama sah-nya
sebuah negara:
- Memiliki populasi permanen
- Memiliki wilayah yang tetap (defined territory)
- Memiliki pemerintahan yang berdaulat
- Memiliki kapasitas untuk membangun hubungan diplomatik dengan negara lain
(Pasal 1 Perjanjian Montevideo Tentang Syarat Sah Sebuah Negara)
Hingga hari ini, hanya 4 poin sederhana itulah yang menjadi panduan
masyarakat dunia untuk menentukan sah atau tidaknya sebuah negara baru.
Pembentukan entitas politik yang berdaulat di abad ke 20 ini,
lucunya, ternyata masih menganut pada perjanjian yang belum juga
diperbarui dari 80 tahun lalu.
Padahal dinamika politik internasional tidak lagi sesederhana masa
dimana Perjanjian Montevideo dilahirkan. Perubahan iklim dan kenaikan
permukaan air laut telah jadi sesuatu yang tak terhindarkan. Upaya
pencaplokan wilayah negara lain kerap terjadi sepanjang periode Perang
Dingin. Itu bahkan masih terjadi hingga saat ini — dibuktikan, misalnya,
dengan saling klaim wilayah Laut Cina Selatan oleh negara-negara Asia.
Sementara pasca-Perang Dingin, konflik horizontal dan separatisme
menggoyahkan stabilitas banyak negara (Rwanda, Bosnia, bahkan Indonesia) serta menantang legitimasi pemerintahnya.
Dengan kondisi
seperti ini, keempat poin dalam Perjanjian Montevideo tidak lagi cukup
memberikan jawaban. Dibutuhkan kerangka yang lebih detail untuk
menentukan sah-tidaknya sebuah negara.
Di sisi lain, keempat poin di atas adalah standar yang paling diakui
masyarakat internasional sebagai penentu sah tidaknya sebuah
negara. Jadi, apakah Israel telah memenuhinya?
1. Populasi Tetap
Definisi tentang populasi permanen sebenarnya cukup sederhana. Hanya
sekelompok orang yang meninggali suatu wilayah untuk waktu yang lama,
sehingga akan tercipta persamaan kultural diantara mereka. Dengan cara
inilah peradaban terbentuk. Etnis dan ras negara baru tersebut tercipta
dari interaksi antar penduduk permanen di dalamnya.
Jika dilihat sekilas, Israel tentu memenuhi persayaratan kepemilikan
populasi permanen. Hingga hari ini populasi Israel telah meningkat 1000
persen, dari hanya 806.000 penduduk di tahun 1948 ke angka 8.180.000
penduduk pada tahun 2104 (data,
disini).
Namun jika ditilik lebih dalam, definisi populasi permanen sebetulnya
tidak sepenuhnya dimiliki oleh Israel. Perubahan angka yang cukup
fantastis dalam jumlah penduduk tersebut tidak didapatkan secara alami.
Pertumbuhan penduduk Israel lebih banyak disebabkan oleh migrasi dan
masih banyaknya warga negara Palestina yang berdiam di wilayah yang
telah diduduki.
Dalam sebuah
tulisan yang dilansir oleh Al-Jazeera
dijelaskan bahwa jika dihitung dengan tingkat kesuburan Eropa,
dikurangi angka migrasi dan keluarnya penduduk Palestina dari wilayah
yang baru diduduki maka sebenarnya tingkat pertumbuhan demografi Israel
tidak akan sepesat sekarang.
2. Wilayah yang tetap (Defined Territory)
Israel memang memiliki wilayah yang terus berkembang. Pendudukan
Jalur Gaza oleh tentara Zionis terbukti efektif untuk melumpuhkan
perlawanan Palestina. Dari gambar diatas, bisa dilihat bahwa wilayah
Israel (warna kuning) berkembang menjadi lebih luas dengan sangat pesat.
Tapi, perkembangan wilayah tersebut tidak dapat dipisahkan dari
pelanggaran Hukum Humaniter Internasional dan terjadinya krisis
kemanusiaan. Kepemilikan wilayah ini juga dapat berubah lagi, dan
bergantung pada kondisi antara Israel dan Palestina.
3. Pemerintahan yang Berdaulat
Sejak pertama kali berdiri, Israel memang selalu sukses
menyelenggarakan pemilu. Pemerintahannya demokratis – dalam artian
pejabat-pejabat negara diganti secara berkala, ditopang oleh sistem
multipartai yang stabil meskipun anggota-anggotanya kerap
berpindah koalisi.
Tapi perlu diingat bahwa kedaulatan pemerintahan Israel tidak bisa
dilepaskan dari dukungan negara adidaya yang ada di baliknya. Konsep
mengenai
kedaulatan juga perlu ditinjau ulang. Apakah
pemerintahan Israel benar-benar memiliki daulat di setiap wilayah yang
mereka kuasai? Artinya, apakah warga di setiap wilayah yang mereka
kuasai itu bisa menerima kekuasaan Israel, atau justru sedang
menjalankan perlawanan karena enggan dipimpin?
4. Kapasiti Untuk Membangun Hubungan Diplomatik
PM Israel, Benjamin Netanyahu di sebuah pertemuan internasional via bostonherald.com
Apabila hubungan diplomatik hanya didefinisikan sebagai pengakuan
atas keberadaan sebuah negara dan/atau pertukaran duta besar dan
konsulat, maka Israel sudah memiliki pengakuan dan hubungan diplomatik
dengan 160 negara dunia yang bergabung dalam PBB.
Namun bukankah bergabungnya sebuah negara dengan komunitas
internasional juga harus sejalan dengan upayanya untuk menghargai
prinsip perdamaian dan kemanusiaan internasional? Dari pendudukan Israel
ke Jalur Gaza selama ini, tanggung jawab Israel sebagai aktor
internasional yang wajib menjaga perdamaian dunia patut dipertanyakan.
Apakah Israel Punya Hak Untuk Membela Diri? (Right of Self-Defence)
PBB dan beberapa negara dibelakang Israel mencoba
menjustifikasi serangan yang dilakukan oleh tentara Zionis dengan hak
negara untuk membela diri, yang tercantum dalam Pasal 51 Piagam
Persatuan Bangsa-Bangsa:
“Nothing in the present
Charter shall impair the inherent right of collective or individual
self-defence if an armed attack occurs against a member of the United
Nations, until the Security Council has taken the measures necessary to
maintain international peace and security…”
Dalam artikel di atas, dijelaskan bahwa sebuah negara berhak membela
diri jika terjadi serangan yang membahayakan warga negaranya — sampai
Dewan Keamanan PBB menyatakan keputusannya untuk menengahi konflik.
Sayangnya, terdapat dua lubang di balik pemahaman Israel dan pendukungnya atas hak untuk membela diri ini.
Pertama adalah efektivitas Dewan Keamanan PBB yang dipertanyakan
dalam usaha penyelesaian konflik Israel-Palestina. Tanggal 18 Juli lalu,
Perwakilan Palestina Untuk PBB Riyad Mansour menyatakan permohonannya
agar Dewan Keamanan segera mengeluarkan resolusi gencatan senjata untuk
Israel dan Palestina. Namun hingga hari ini tanggapan resmi PBB hanya
ditunjukkan melalui Sekjen Ban Ki-Moon, yang mengecam
respon berlebihan (heavy response) yang dilancarkan Israel.
Kedua,
state practice menerjemahkan hak membela diri sebagai hak untuk mempertahankan keutuhan sebuah negara dari serangan
negara lain.
Tentu ini tidak berlaku dalam kasus Israel dan Gaza, karena Gaza
bukanlah negara dan Palestina – sedihnya – belum diakui sebagai negara
anggota PBB. Lebih lagi, Israel mengokupasi Jalur Gaza. Alih-alih hak
membela diri, yang dipunyai Israel sebagai pengokupasi adalah kewajiban
menjaga stabilitas dan keamanan warga di daerah yang diokupasinya.
Kewajiban ini tercantum dalam Konvensi Den Haag 1907,
sebuah perangkat hukum internasional yang telah menjadi bagian dari
hukum kebiasaan internasional sehingga harus ditaati setiap negara di
dunia. Pada
Pasal 43 disebutkan:
“The authority of the legitimate power having in fact
passed into the hands of the occupant, the latter shall take all the
measures in his power to restore, and ensure, as far as possible, public
order and safety, while respecting, unless absolutely prevented, the
laws in force in the country.”
Apakah korban sipil yang terus jatuh di pihak Palestina karena
serangan Israel menunjukkan komitmen Israel untuk menjaga kehidupan
normal di wilayah Gaza? Semua pihak yang memiliki rasionalitas tentu
akan dengan tegas menjawab tidak.
Konflik Israel-Palestina: Rapuhnya Sistem Internasional Kita
Konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina bukan lagi perkara
agama atau kepercayaan mana yang lebih berhak mendapatkan tanah
perjanjian, melainkan soal hak hidup warga sipil yang tidak berdosa dan
tidak memiliki otoritas politik apapun untuk memperbaiki nasib mereka.
Setelah sekian lama sistem internasional kita terbentuk, konflik
Israel-Palestina adalah ujian terhadap efektivitas hukum internasional.
Apakah memang rezim internasional yang sudah didirikan berpihak terhadap
nilai-nilai kemanusiaan, atau tetap saja didominasi kepentingan negara
adidaya? Keputusan yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB akan
mempertaruhkan integritas organisasi internasional ini.
Di balik kecaman yang tidak henti ditujukan pada Israel, ternyata
masih ada pihak lain yang juga memiliki dosa yang sama besarnya:
organisasi internasional dan negara-negara lain yang membiarkan konflik
ini terus berlanjut tanpa melakukan apapun.
Selama bertahun-tahun, Perserikatan Bangsa-Bangsa membiarkan Israel
terus melancarkan serangan ke Jalur Gaza. Ini adalah tindakan yang
mengebiri hak dasar warga sipil serta mengambil nyawa anak-anak Gaza
yang tidak berdosa.
Tujuan awal PBB sebagai organisasi yang berupaya menyatukan seluruh
negara agar bisa saling mendukung untuk mewujudkan perdamaian dunia
sudah tamat dalam kasus Israel-Palestina. Apakah masih layak kita
berikan kepercayaan pada organisasi internasional ini untuk menengahi
konflik Gaza yang makin memanas?
Konflik Israel-Palestina juga menunjukkan bahwa kita perlu mengkaji
ulang konvensi mengenai syarat terbentuknya sebuah negara. Kerangka yang
diberikan oleh Konvensi Montevideo sudah tidak lagi cukup menjawab
dinamika tentang kedaulatan yang kerap muncul dewasa ini. Jika tidak
segera ditentukan kerangka yang lebih tepat, tidak menutup kemungkinan
konflik dengan latar belakang sama bisa kembali muncul di belahan dunia
lain.
Sementara komunitas internasional masih terseok-seok berusaha
mewujudkan perdamaian di wilayah Israel dan Palestina, tentu ada hal
yang bisa kita lakukan. Sebagai bangsa yang masih bisa hidup damai tanpa
terhantui serangan roket, sudah sepantasnya kita–
sebagai manusia – berupaya membantu saudara-saudara yang menjadi korban rapuhnya sistem internasional terhadap penegakan hak asasi manusia.
Bagaimana pendapatmu? Yakin satu-satunya pihak yang harus bertanggung
jawab disini hanya pemerintah Israel? Yuk, coba buka mata lebih lebar
lagi untuk mengamati fenomena yang terjadi disekitar kita.
Lakonan Media Israel kritik John Kerry
WASHINGTON 29 Julai - Hubungan Amerika Syarikat (AS) dan Israel mula
goyah apabila Washington terpaksa mempertahankan kenyataan Setiausaha
Negara AS, John Kerry berhubung operasi ketenteraan ganas tentera rejim
di Genting Gaza, yang mengundang kritikan hebat daripada media rejim
Zionis.
Kemelut antara dua sekutu rapat itu tercetus selepas kegagalan Kerry
membantu persetujuan gencatan senjata antara pergerakan Hamas dan
Israel, selain beliau menyifatkan tindakan rejim Zionis di Gaza sebagai
'operasi neraka kecil' ketika ditemubual dalam rangkaian berita Fox News
awal bulan ini.
Media Israel mengkritik keras idea Kerry selepas maklumat usul
perjanjian gencatan senjata itu bocor ke pengetahuan pihak media bahawa
beliau mahu operasi ketenteraan untuk memusnahkan terowong Hamas
dihentikan bagi membuka jalan rundingan antara rejim Zionis dan Hamas.
Malah media Israel menuduh Kerry sebagai pengkhianat apabila
meletakkan tajuk besar, John Kerry: The Betrayal (John Kerry: Si
Pengkhianat) dalam satu ruangan pendapat akhbar Times of Israel sambil
menyifatkan campur tangan beliau dalam konflik di Gaza memberi kekuatan
kepada Hamas untuk memusnahkan Israel.
Jurucakap Jabatan Negara AS, Jen Psaki bagaimanapun menolak kritikan
Israel dengan menyifatkan alasan Kerry terlibat dalam konflik di rantau
Asia Barat itu bertujuan untuk menghentikan serangan roket Hamas dari
Gaza. Jelasnya, Kerry masih merupakan sekutu rapat Israel dan kritikan
media terhadap beliau bukan cara dua sekutu rapat saling berhubung.
"Saya tidak mahu mengulas motif kebocoran maklumat usul perjanjian
itu, tetapi mereka (Israel) perlu menyokong usaha berkenaan dan tidak
patut mengecam atau menyerang pihak yang memainkan peranan penting untuk
menjayakan perjanjian tersebut," katanya.
Di White House, Timbalan Penasihat Keselamatan Negara, Tony Blinken
berkata, usul gencatan senjata tersebut bukan idea AS tetapi draf awal
yang dibuat oleh kerajaan Mesir bagi mendapatkan maklum balas daripada
Israel. - REUTERS
AMUKANMELAYU - Jika di biarkan Cina bersama Islamelayu LIBERAL, Malaysia akan menjadi Plastine kedua...........