Monday, 2 May 2016

KENAPA HENDAK MEMBACA TALKIN KEPADA AHLI SUNNAH WALJAMA'AH?



Salam penuh kasih sayang kepada semua, kepada yang sebaya apa khabar, pada yang peringkat anak-anak....sudah mulakah pengajian mencari jalan pulang, pada yang peringkat cucu-cucu.... dengarlah nasihat Atok.  "Terlalu jauh perjalanan ini dan menunggu hari esok sangatlah mudah hanya selang setengahari. Tapi yang jauh adalah MASA. Masa yang berlalu tidak mungkin dapat di panggil lagi.........dan tak mungkin ia datang kembali......

Dua malam Aki di Kedah, menziarah Ibu Mertua yang uzur sakit tua. Banyak yang di bincangkan. Aki BERMERTUAKAN Tok Imam Kg. Natoi Mukim Hosba, Jitra, Kedah. Nama Bapa Mertua Lebai Othman Bin Hj Ismail.  Berpuluh tahun dia menjadi Imam di Masjid Hosba. Tapi Iman tidak dapat di warisi. Anak-anak saudara sebelah Isteri Aki banyaklah yang berkejaya dan dalam kumpulan Profosional. 

Sebelah pagi semalam bersempena dengan Hari Buruh, Aki bersarapan dengan nasi goreng yang sangat sedap di hidangkan anak penakan. Lama Aki habislan masa di sini. Di pendekan cerita....Aki sudah jemu dengan "TAJUK MENEGAKKAN BENAG BASAH" ini. TALKIN, TAHLIL, KENDURI ARWAH, MAULID RASUL, QUNUD dan SEDEKAH KEPADA ARWAH. 

Sehingga sanggup kita mengkafirkan saudara sendiri(Islam) kerana PERTELINGKAHAN ini. Kenapa terjadi begini. Sebelum ini( Pengajian Hanya Di Sekolah Pondok) semua perkara ini tidak timbul. Tapi kernapa sekarang setelah banya anak-anak yang pergi belajar sejauh Mesir, Jordan, Madinah, Yaman, Syria, Iraq dan akhirnya kita jadi begini. 

Semua perkara ini telah selesai lama dahulu, sudah beratus tahun perkara ini TELAH DI PUTUSKAN ULAMAK. Kenapa kita terlalu BERANI menyanggah pada ULAMAK terdahulu sedangkan kita baru hanya lepas SPM dan sambung pengajian ke beberapa Universiti dan masih banyak kitab-kitab yang TERPOROK di Pondok Baling, Pondok Pengkalan Hulu, Pondok di Kelantan, Di Pettani, Di Aceh, Di Bagkahulu, Di Palembang, Di Minangkabau yang masih belum di selak? 

Tok tidak marah, tapi Atok sedih kerana kita dah PANDAI MENGHUKUM sedangkan BAIAH untuk menjadi Islam hanyalah MENGUCAPKAN "Assyadualla Illa Haillallah, Muhammada Rasullullah". Tanpa menggerakkan bibir dan hanya lidah yang menyebutnya. 

Mana yang akan di LIHAT ALLAH dan lebih baik/mulia, lidah yang menyebut "Assyadualla Illa Haillallah Muhammada Rasullullah" atau lidah yang MENGKAFIRKAN saudara sendiri?


Pernah terjadi pada Kawan Sekerja Aki, bapanya meninggal. Talkin dan Tahlil tidak dibuat....selepas beberapa bulan dia menyatakan pada Aki....."Macamnana ni....saya dah keluarga tidak membuat TALKIN dan TAHLIL semasa bapa saya meninggal....beberapa minggu sudah saya di tunjukkan hadis semasa saya mengikut TABLIQ di Masjid Sri Petalin?" luahannya pada Aki. Dan Aki nasihatkan supaya pergi mendapatkan pandanagn alim ulamak tentang hal ini. Bagaiman jika berlaku perkara ini berlaku pada saudara dan keluarga saudara?

Pada saudara-saudaraku, anak-anakku dan cucu-cucuku. Awaslah bila kita BERBICARA. Jangan sampai kita kehilangan saudara dan musibah yang berbalik kepada kita dan keturunana kita. Cukup-cukuplah.........kepada Azmil, Aban, Afiq, Haffiz......Pakcik bangga dapat anak-anak seperti hangpa. Tapi ingat....syaitan itu tidak pernah lalai untuk menyesatkan kita.
Ucapan Rasulullah s.a.w: “Manusia yang paling Allah benci ialah yang berkeras kepala dalam perbalahan” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim), .
Cuba memuhasabah diri sendiri dan melihat kepada perjalanan masyarakat Islam. Dalam hadis ini Nabi s.a.w memberitahu kita bahawa Allah teramat benci manusia yang apabila berbalah, dia melampaui batas. Menolak apa yang benar hanya semata ingin menegakkan hujah yang dia sendiri tahu telah tersasar dari kebenaran. Berkeras kepala dengan hujah sendiri lalu berusaha menegakkan benang yang basah.


Allah amat benci orang yang seperti ini. Inilah juga tabiat munafik yang disifat oleh al-Quran: (maksudnya)

“Dan di antara manusia ada mengkagumkan engkau tutur katanya mengenai hal kehidupan dunia, dan dia bersaksikan Allah (bersumpah dengan mengatakan bahawa Allah), padahal dia adalah orang yang amat keras permusuhannya (kepadamu Muhammad).” (Surah al-Baqarah: 204).
Dalam hadis yang lain Nabi s.a.w menyebut ciri manusia munafik itu empat, salah satunya:

“Apabila dia berbalah, dia jahat”. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Maksudnya untuk menang dalam perbalahan seorang munafik tidak kira apa pun caranya. Dia sanggup menyelewengkan fakta, menipu hakikat, mengelirukan orang ramai, menghalalkan cara dan apa sahaja watak sekalipun jahat akan digunakan dalam memenangkan diri. Inilah seorang munafik. Inilah orang jahat. Inilah orang yang amat dibenci oleh Allah.

Jangan Berdebat!


Larangan Debat
Larangan Debat


Sesungguhnya Allah melarang kita berdebat untuk menimbulkan fitnah. Meski itu berkaitan dengan Al Qur’an:


“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat[183], itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat[184].  Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” [Ali ‘Imran 7] [183]. Ayat yang muhkamaat ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah.


[184]. Termasuk dalam pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat: ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.


Larangan berdebat agar ummat Islam tidak berbantah-bantahan dan jadi lemah serta penakut:


“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” [Al Anfaal 46]


 Nabi bersabda:

اِقْرَأُوْا الْقُرْآنَ مَا ائْتَلَفَتْ عَلَيْهِ قُلُوْبُكُمْ فَإِذَا اخْتَلَفْتُمْ فَقُوْمُوْا عَنْهُ


“Bacalah Al-Qur`an selama hati-hati kalian masih bersatu, maka jika kalian sudah berselisih maka berdirilah darinya”. [Shohihain]


Dan dalam Al-Musnad dan Sunan Ibnu Majah –dan asalnya dalam Shohih Muslim- dari ‘Abdullah bin ‘Amr :

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ وَهُمْ يَخْتَصِمُوْنَ فِي الْقَدْرِ فَكَأَنَّمَا يَفْقَأُ فِي وَجْهِهِ حُبُّ الرُّمَّانِ مِنَ الْغَضَبِ، فَقَالَ : بِهَذَا أُمِرْتُمْ ؟! أَوْ لِهَذَا خُلِقْتُمْ ؟ تَضْرِبُوْنَ الْقُرْآنَ بَعْضَهُ بِبَعْضٍ!! بِهَذَا هَلَكَتِ الْأُمَمُ قَبْلَكُمْ


“Sesungguhnya Nabi SAW pernah keluar sedangkan mereka (sebagian shahabat-pent.) sedang berselisih tentang taqdir, maka memerahlah wajah beliau bagaikan merahnya buah rumman karena marah, maka beliau bersabda : “Apakah dengan ini kalian diperintah?! Atau untuk inikah kalian diciptakan?! Kalian membenturkan sebagian Al-Qur’an dengan sebagiannya!! Karena inilah umat-umat sebelum kalian binasa”.


Bahkan telah datang hadits (yang menyatakan) bahwa perdebatan adalah termasuk dari siksaan Allah kepada sebuah ummat. Dalam Sunan At-Tirmidzy dan Ibnu Majah dari hadits Abu Umamah radhiallahu ‘anhu, beliau berkata : Rasulullah SAW bersabda :

مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوْا عَلَيْهِ إِلاَّ أُوْتُوْا الْجَدَلَ، ثُمَّ قَرَأَ : مَا ضَرَبُوْهُ لَكَ إِلاَّ جَدَلاً


“Tidaklah sebuah kaum menjadi sesat setelah mereka dulunya berada di atas hidayah kecuali yang suka berdebat, kemudian beliau membaca (ayat) “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja”.


Perdebatan Yang Terpuji:

Adapun jika perdebatan itu untuk menampakkan kebenaran dan menjelaskannya, yang dilakukan oleh seorang ‘alim dengan niat yang baik dan konsisten dengan adab-adab (syar’iy) maka perdebatan seperti inilah yang dipuji.

Allah Ta’ala berfirman :

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ


“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”. (QS. An-Nahl : 125)


Dan Allah Ta’ala berfirman :

وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ إِلَّا بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ


“Dan janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab, melainkan dengan cara yang paling baik”. (QS. Al-‘Ankabut : 46)


Dan Allah Ta’ala berfirman :


قَالُوا يَانُوحُ قَدْ جَادَلْتَنَا فَأَكْثَرْتَ جِدَالَنَا فَأْتِنَا بِمَا تَعِدُنَا إِنْ كُنْتَ مِنَ الصَّادِقِينَ


“Mereka berkata: “Hai Nuh, sesungguhnya kamu telah berbantah dengan kami, dan kamu telah memperpanjang bantahanmu terhadap kami, maka datangkanlah kepada kami azab yang kamu ancamkan kepada kami, jika kamu termasuk orang-orang yang benar”. (QS. Hud : 32)


Ayat di atas membolehkan kita berdebat untuk meneru manusia ke jalan Allah denga cara yang BAIK. Tapi jika mereka tidak mau beriman setelah 2-3 kali peringatan, ya sudah. Tidak perlu berkepanjangan:


“Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” [Al Baqarah 6-7]


“Mereka menjawab: “Adalah sama saja bagi kami, apakah kamu memberi nasehat atau tidak memberi nasehat, (agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu.: [Asy Syu’araa’ 136-137]


Diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a., ia berkata, “Rasulullah saw. bersabda, ‘Orang yang paling dibenci Allah adalah orang yang paling keras permusuhannya lagi lihai bersilat lidah’.” (HR Bukhari [2457] dan Muslim [2668]).


Diriwayatkan dari Ziyad bin Hudair, ia berkata, “Umar pernah berkata kepadaku, ‘Tahukah engkau perkara yang merobohkan Islam?’ ‘Tidak! Jawabku.’ Umar berkata, ‘Perkara yang merobohkan Islam adalah ketergelinciran seorang alim, debat orang munafik tentang Al-Qur’an dan ketetapan hukum imam yang sesat’.” (Shahih, HR Ad-Darimi [I/71], al-Khatib al-Baghdadi dalam kitab al-Faqiih wal Mutafaqqih [I/234], Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd [1475], Abu Nu’aim dalam al-Hilyah [IV/196]).


Diriwayatkan dari Abu Ustman an-Nahdi, ia berkata, “Aku duduk di bawah mimbar Umar, saat itu beliau sedang menyampaikan khutbah kepada manusia. Ia berkata dalam khutbahnya, Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, ‘Sesungguhnya, perkara yang sangat aku takutkan atas ummat ini adalah orang munafik yang lihai bersilat lidah’.” (Shahih, HR Ahmad [I/22 dan 44], Abu Ya’la [91], Abdu bin Humaid [11], al-Firyabi dalam kitab Shifatul Munaafiq [24], al-Baihaqi dalam Syu’abul Iimaan [1641]).


Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., dari Rasulullah saw., “Perdebatan tentang Al-Qur’an dapat menyeret kepada kekufuran.” (HR Abu Daud [4603], Ahmad [II/286, 424, 475, 478, 494, 503 dan 528], Ibnu Hibban [1464]).


Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amru r.a., ia berkata, “Pada suatu hari aku datang menemui Rasulullah saw pagi-pagi buta. Beliau mendengar dua orang lelaki sedang bertengkar tentang sebuah ayat. Lalu beliau keluar menemui kami dengan rona wajah marah. Beliau berkata, ‘Sesungguhnya, perkara yang membinasakan ummat sebelum kalian adalah perselisihan mereka al-Kitab’.” (HR Muslim [2666]).


Diriwayatkan dari ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya (yakni ‘Abdullah bin ‘Amru r.a.), bahwa suatu hari Rasulullah saw. mendengar sejumlah orang sedang bertengkar, lantas beliau bersabda, “Sesungguhnya, ummat sebelum kalian binasa disebabkan mereka mempertentangkan satu ayat dalam Kitabullah dengan ayat lain. Sesungguhnya Allah menurunkan ayat-ayat dalam Kitabullah itu saling membenarkan satu sama lain. Jika kalian mengetahui maksudnya, maka katakanlah! Jika tidak, maka serahkanlah kepada yang mengetehuinya.” (Hasan, HR Ibnu Majah [85], Ahmad [II/185, 195-196], dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah [121]).


Telah terdapat dalam sebuah hadits tentang larangan berjidal (berdebat),

((ما ضلّ قوم بعد هدىً إلا أوتوا الجَدلّ)) ثم قرأ ) {مَا ضَرَبُوهُ لَكَ إِلَّا جَدَلاً بَلْ هُمْ قَوْمٌ خَصِمُونَ} (الزخرف:58)


“Tidaklah suatu kaum menjadi sesat setelah diberi petunjuk kecuali setelah mereka mendapati jidal/berdebat” kemudian Rasulullah SAW membaca ayat “Tidaklah mereka itu memberikan perumpamaan kepada engkau kecuali sekedar untuk untuk membantah saja, tetapi mereka itu adalah kaum yang suka bertemgkar.” (HR. At Tirmizi no: 3253, hasan shahih).


Contoh 1 perdebatan tentang Al Qur’an yang saling mengkafirkan adalah sebagai berikut:


Di mana Allah itu khilafiyyah. Harusnya jangan berdebat soal itu karena akhirnya saling mengkafirkan. Contohnya Wahabi menganggap Allah itu ada di langit. Kalau tidak percaya, maka dia kafir. Ada lagi yg menganggap Allah di atas ‘Arasy (Ar Ra’d 2).


Sebaliknya Aswaja menganggap Allah tidak berjism/berbadan sebagaimana makhluk dan tidak memerlukan tempat. Oleh karena itu kafirlah Wahhabi yg menganggap Allah berbadan dan perlu tempat. Dalilnya: Qaaf 16 yg menyatakan Allah lebih dekat dgn urat leher kita. Al Baqarah 115: kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah, Al Baqarah 186: Allah dekat dsb. “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. al-Hadid : 4)., ““Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya….” (QS. al-Mujadilah : 7).Banyakkan Pengajian dan mencari ilmu untuk kebenaran dan bukannya hendak mempertahankan sesuatu. Banyakkan perbandingan dan rujukan dengan Ulamak yang lebih memahami dan jangan mudah-mudah menolak HADDIS dan jangan MENGHUKUM. Jangan bersandarkan SATU ayat saja dan menolak ayat-ayat yang lainn yang bersangkutan dengannya.


Jangan hanya bermodalkan 1 ayat sahaja kita BERANI mengkafirkan orang yg memegang 5 ayat bahkan sebetulnya ramai lagi guru-guru yang MEMENCILKAN DIRI dan mengelak dari berlakunya pertelingkahan yang dapat mendatangkan mudhorat kepada MASYARAKAT. Sebaiknya kita jangan berdebat soal yang kita tidak faham dan jangan merasakan kita tahu segalanya. Serahkan itu kepada Allah.


“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat[183], itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat[184]. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” [Ali ‘Imran 7]

dan Nabi bersabda:

اِقْرَأُوْا الْقُرْآنَ مَا ائْتَلَفَتْ عَلَيْهِ قُلُوْبُكُمْ فَإِذَا اخْتَلَفْتُمْ فَقُوْمُوْا عَنْهُ


“Bacalah Al-Qur`an selama hati-hati kalian masih bersatu, maka jika kalian sudah berselisih maka berdirilah darinya”.


“Aku akan menjamin sebuah rumah di dasar surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun dia berada dalam pihak yang benar. Dan aku menjamin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun dalam keadaan bercanda. Dan aku akan menjamin sebuah rumah di bagian teratas surga bagi orang yang membaguskan akhlaknya.” (HR. Abu Dawud dalam Kitab al-Adab, hadits no 4167]

Referensi:
http://al-atsariyyah.com/larangan-berdebat-dalam-agama.html
http://alislamu.com/component/content/article/40-dalam-ilmu/1196-larangan-berdebat-jidal-dan-bertengkar-khususnya-dalam-masalah-al-quran.html
http://aini79.blogspot.com/2011/11/larangan-berdebat.html

JANGANLAH Kita Berbalah Sampai Di Murkai Allah

Mengapa Allah Mendatangkan Musibah?

Allah penguasa alam raya. Dengan kuasa-Nya, Allah dapat berbuat apa saja tanpa ada seorang pun yang mampu menghalanginya. Kita dan semua yang kita saksikan dalam kehidupan ini pun milik-Nya. Dengan hikmah-Nya yang maha tinggi, Allah berkenan memberi apa saja kepada kita, Allah pun mampu mengambilnya dari kita. 

Allah berkehendak mengaruniakan kebaikan yang kita inginkan, Allah pun berhak menurunkan musibah yang tidak kita harapkan.
Musibah, bencana dan malapetaka ada dalam kuasa-Nya pula. Kehidupan manusia di dunia ini hampir tak pernah sepi dari musibah yang datang silih berganti. Dari yang kecil sampai yang besar. Dari yang ringan sampai yang berat. Dari yang sedikit hingga yang banyak. Ada musibah yang bersifat umum dan ada yang bersifat individu. Ada musibah yang tidak melibatkan manusia dan ada yang musibah yang melibatkan manusia zalim.

Allah Mahabijaksana. Musibah adalah sunnah-Nya. Segala yang diperbuat-Nya selalu mengandung hikmah yang agung. Lalu, untuk tujuan apakah Dia mendatangkan musibah kepada manusia?

Pertama: Sebagai hukuman bagi orang-orang yang mansekutukan-Nya dan kufur kepada-Nya.

Allah akan menurunkan musibah kepada orang-orang yang ingkar, kufur dan menyekutukan-Nya, sebagai hukuman dan azab atas perbuatan mereka yang sangat buruk. Kekufuran dan syirik adalah dosa yang paling besar. Orang-orang yang memperbuatnya memang pantas mendapat hukuman dari Allah, apabila mereka telah mendapatkan peringatan dari para utusan-Nya.

Dalam sejarah manusia, musibah dan azab pernah turun kepada kaum-kaum terdahulu. Kaum Nabi Nuh Allah tenggelamkan dalam musibah banjir bandang. Kaum Nabi Hud, Shaleh dan Syu’ab Allah tiupkan angin yang membinasakan kepada mereka. Fir’aun dan bala tentaranya juga Allah tenggelamkan ke dalam samudera. Kaum Nabi Luth Allah balikkan tanah mereka lalu Allah hujani mereka dengan baru-baru kerikil yang panas. Kisah-kisah mereka Allah ceritakan dalam Al Qur`an agar menjadi pelajaran bagi manusia yang datang setelah mereka.
Allah berfirman,


وَمَا هِيَ مِنَ الظَّالِمِينَ بِبَعِيدٍ
dan siksaan itu Tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.” (QS. Huud: 83)
Kedua: Sebagai hukuman atas dosa-dosa dibawah syirik dan kekufuran, untuk mensucikan hamba-hamba-Nya.

Diantara sebab datangnya musibah yang menimpa manusia di dunia baik pada diri, keluarga atau harta mereka adalah karena perbuatan dosa dan maksiat yang mereka kerjakan, juga sebagai hukuman dari Allah atas mereka. Allah berfirman,


وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu Maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy Syuuraa: 30)


مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari dirimu sendiri.” (QS. An Nisaa`: 79) Ibnu Katsir berkata, “Maksud ‘dari dirimu’ adalah dengan sebab dosamu.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ingatlah, sungguh Allah akan menghalangi rizki seorang hamba disebabkan dosa yang dikerjakannya.” (HR Ibnu Majah, Ahmad, Hakim: Shahih Isnad)

Jika Allah menghendaki kebaikan atas hamba-Nya, Allah akan menyegerakan akibat dari kesalahan yang diperbuatnya di dunia dan tidak menangguhkannya di akhirat. Hingga ia bertemu dengan Allah di akhirat nanti dalam keadaan bersih dari kesalahan.

Dengan demikian, jika musibah datang menyapa kita, segeralah melakukan evaluasi diri dan bertobat kepada-Nya.

Ketiga: Untuk meninggikan derajat hamba-hamba-Nya

Allah menguji manusia dengan musibah dan nikmat, agar menjadi jelas kesyukuran orang yang beriman dan kesabarannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak Allah menetapkan suatu ketetapan bagi seorang mukmin melainkan menjadi kebaikan baginya. Hal itu tidak dimiliki kecuali oleh orang yang beriman. Jika ia mendapatkan kesenangan, maka ia bersyukur dan itu menjadi kebaikan baginya. Begitu pun jika ia ditimpa dengan musibah, maka ia bersabar dan itu pun menjadi kebaikan baginya.” (HR Muslim)

Dari sisi ini musibah menjadi cara Allah untuk meninggikan derajat seorang hamba, meluhurkan keutamaannya dan menambah pahalanya.

Keempat: Untuk membedakan orang yang jujur dan orang yang dusta dalam pengakuan imannya

Dunia adalah tempat ujian. Ujian datang diantaranya dalam bentuk musibah yang tidak diinginkan kehadirannya. Orang-orang yang mengaku beriman akan Allah uji, sejauh mana kebenaran dan kejujuran pengakuannya sebagai orang yang beriman. Allah berfiman,


الم (1) أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ (2) وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
“Alif laam miim. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al Ankabut: 1- 3)
Setiap orang yang mengatakan, “Aku beriman” akan diuji oleh Allah. Jika ia bersabar dan teguh, maka ia berarti jujur dalam imannya. Namun jika ia menyimpang dan berpaling dari agamanya tatkala mendapat ujian, maka ia berarti dusta dalam pengakuannya.

Kelima: Untuk membuat hamba-hamba-Nya berserah diri, mengadu dan berdoa kepada-Nya

Seorang mukmin, jika ia mendapat musibah, ia akan segera mengadu, tunduk, berserah diri dan berdoa kepada Allah. Ia juga akan memperbanyak ibadah, bersedekah dan shalat karena ia menyadari bahwa Allah-lah satu-satunya yang berkuasa mengangkat musibah itu dan menolong orang-orang yang kesusahan jika mereka memohon kepadanya.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Diantara hikmah ujian (yang Allah timpakan kepada orang beriman) adalah membuat mereka kian tunduk dan merendahkan diri kepada Allah, merasa butuh dan memohon pertolongan kepada-Nya.”
Dengan demikian, musibah bagi orang yang beriman juga bertujuan menjaga keimanan mereka dan kelurusan jalan hidup yang ditempuhnya. Andai mereka terus-menerus diberikan kesenangan, kemenangan dan kemudahan hidup, bisa jadi mereka menjadi lalai dan lupa kepada Allah dan agamanya.

Keenam: Mengingatkan hamba-Nya kepada akhirat

Sebagaimana yang telah dikatakan diatas, musibah adalah sunnatullah di dunia ini. Dunia bukan tempat kenikmatan. Mencari kesenangan dan kenikmatan selama-lamanya dan terus-menerus tidak mungkin akan didapatkan di dunia ini. Di dunia ini bercampur antara nikmat dan bencana, antara kemudahan dan kesusahan, antara kesenangan dan kesedihan. Jika begitu hakikat dari kehidupan dunia, maka musibah yang datang kepada seorang hamba sejatinya dapat mengingatkannya ke negeri akhirat, tempat cita-cita untuk meraih segala kenikmatan dapat ditambatkan.


لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي كَبَدٍ
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al Balad: 4)

Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya, susah payah dalam menghadapi musibah-musibah di dunia, dan kesulitan-kesulitan di akhirat.”
Wallahu a’lam, wa shallallahu wa sallam ‘alaa nabiyyinaa Muhammad.
Abu Khalid Resa Gunarsa – Subang, 5 Rabi’ul Akhir 1435 H (07 Maret 2013)

Rujukan
–          “Al Ibaadaat Asbaab Tahmii minal Mashaa`ib”, Dr. Munirah binti Muhammad al Muthlaq.
–          “Syarh Hadis Innaa Kunnaa Fii Jaahiliyyah”, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan
–          “Qashashu Al Anbiyaa`”, Dr. Abdulqadir bin Syaibah Al Hamd
–          “Qaa’idatun Fii Ash Shabri,” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah



Hafiz Al Za'farani
4 hrs ·

JAWAPAN kepada soalan Wahabi iaitu Cikgu Hairi Nonchi.
1) Adakah umat Islam mengadakan kenduri Arwah kepada Nabi Muhammad s.a.w?

Jawapannya:
Tiada seorang pun yang mengadakan kenduri arwah atau majlis tahlilan kepada Baginda s.a.w kerana Rasulullah s.a.w adalah MAKSUM dan telah dijamin Syurga.


》Majlis Tahlilan bertujuan untuk keluarga si mati sedekahkan makanan kepada keluarga jauh dan jiran tetangga yang mana sedekah itu diniatkan pahalanya kepada si mati. Dan hadirin berzikir, membaca Al-Quran, berdoa agar pahala disedekahkan kepada si mati.

عن عمرو بن عبسة قال اتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فقلت: يا رسول الله ما الاسلام؟ قال طيب الكلام واطعام الطعام

"Dari Amru bin Abasah berkata: Aku mendatangi Rasulullah s.a.w lalu aku bertanya: Wahai Rasulullah s.a.w, apakah Islam? Baginda s.a.w berkata: Perkataan yang baik dan menjamu makanan" (Hr. Ahmad)

》Jika ada yang mempertikaikan hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, mari kita lihat hadis Muslim:

عن عبد الله بن عمرو ان رجلا سال رسول الله صلى الله عليه وسلم اي الاسلام خير؟ قال "تطعم الطعام وتقرأ السلام على من عرفت ومن لم تعرف"

"Dari Abdullah bin Amru berkata, telah datang seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah shalallah alaihi wasallam, bagaimana Islam yang terbaik? Baginda s.a.w bersabda, yang menjamu makanan dan menyebarkan salam kepada yang kamu kenali atau kepada orang yang tidak kamu kenali" (Hr. Muslim, no.39)

》Mengenai persoalan sampai atau tidak kiriman pahala kepada si mati, ia telah dijawab bahawa pahala sampai kepada si mati oleh:

1) Imam Nawawi melalui kitab Fatawa Nawawi
2) Imam Ibnu Hajar Al-Haitami melalui kitab Al-Fatawa Al-Fiqhiah Al-Kubra, j.2, ms.30-31.
3) Ibnu Qayyim melalui kitab Al-Ruh, ms.143.
4) Ibnu Taimiyyah melalui kitab Hukm Al-Syar'iyyah Al-Islamiyyah fi Ma'tam Al-Arbain, ms.36
Dan lain-lain.

》Imam Suyuthi telah menyatakan boleh diadakan jamuan makan sebagai sedekah kepada si mati selama 7 hari atau 40 hari:

"Sesungguhnya At-Thowus berkata: Seorang yang mati akan beroleh ujian dari Allah dalam kuburnya selama 7 hari"

Untuk itu, sebaiknya mereka (yang masih hidup) mengadakan jamuan makan (sebagai sedekah) untuk si mati selama hari-hari tersebut."
Sahabat Ubaid bin Umair berkata: 

"Seorang mukmin dan munafiq sama-sama akan mengalami ujian dalam kubur. Bagi seorang mukmin akan beroleh ujian selama 7 hari, sedangkan seorang munafiq selama 40 hari di waktu pagi" (Rujuklah kitab al-Hawi, Imam Suyuthi, j.2, ms. 178)

》Selain itu, Imam Suyuthi telah bersaksi bahawa:

"Sesungguhnya sunatnya bersedekah memberi makan selama 7 hari telah sampai kepadaku, ia berterusan hingga sekarang di Mekkah dan Madinah. Secara zahirnya ia tidak ditinggalkan (daripada diamalkannya) dari masa sahabat sehingga sekarang dan mereka melakukannya sebagai tradisi diambil dari ulama Salaf sejak generasi pertama"
(Rujuklah kitab al-Hawi, Imam Suyuthi, j.2, ms. 194)

》Kelihatannya, persaksian Imam Syuthi yang hidup sepanjang tahun 849-911H ada benarnya juga kerana telah dinyatakan oleh Imam Ibnu Asakir:

"Beliau telah mendengar Al-Syeikh Al-Faqih Abu Al-Fath Nashrullah bin Muhammad bin Abd Al-Qawi Al-Masyisyi berkata: Telah wafat Al-Syeikh Nashr bin Ibrahim Al- Maqdisi pada hari Selasa 9 Muharram 490H di Damsyiq. Kami telah berhenti/berada di kuburnya selama 7 malam, membaca Al-Quran pada setiap malam 20 kali khatam.
(Rujuklah Tabyin Kazb Al-Muftari fi Ma Nusiba ila Al-Imam Abi Al-Hasan al-Asy'ari)
* Hal ini berlaku pada tahun 490H.

》Dan juga dibuktikan oleh Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani:

"Ahmad Ibn Muni' melaporkan di dalam Musnadnya daripada Al-Ahnaf Ibnu Qais berkata: Apabila Saidina Umar r.a telah ditikam (dibunuh) beliau telah memerintahkan Suhaib untuk mengerjakan sembahyang dengan orang ramai selama 3 hari dan beliau menyuruh agar disedikan makanan kepada orang ramai." Kata Amirul Mukminin Fil Hadis Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Isnadnya adalah hasan.

(Rujuklah Al-Mathalib Al-Aliyyah, j.1, ms.199, hadis no. 709)
* Hal ini berlaku sekitar tahun 23H.

》Dan juga, terdapat hadith dalam Sunan Abu Daud yang menyatakan selepas mengebumian jenazah, Rasulullah menerima jemputan ke rumah untuk makan. Menurut syarah Sunan Abu Daud:

(داعى امراة)...وفى المشكاة، داعي امرأته بالاضافة الى الضمير. فال القاري: أي زوجة المتوفي

(Da'i Imra'ah)... dan di dalam kitab al-Misykat digunakan 'da'i imra'atihi' yang disandarkan kepada dhamir (iaitu 'nya'). Al-Qari berkata: iaitu ISTERI SI MATI.
(Rujuklah 'Aun Al-Ma'bud Syarh Sunan Abi Daud)

* Hal ini menunjukkan ahli keluarga si mati menjemput nabi s.a.w makan seperti yang telah disimpulkan oleh Syeikh Ibrahim Al-Halabi:

"Hadith ini menunjukkan atas bolehnya ahli keluarga mayat menyediakan makanan dan menjemput orang lain untuk makan. Jika makanan itu diberikan kepada fakir miskin adalah baik. Melainkan (iaitu tidak boleh berbuat demikian) jika salah seorang dari ahli waris ada yang masih kecil makan tidak boleh diambol dari harta ahli waris si mati"
(Rujuklah Al-Bariqah Al-Muhammadiyyah, j.3, ms.235 dan Al-Masail Al-Muntakhabah,ms.49)

* Hal ini berlaku pada zaman Nabi s.a.w.


2. Siapa pula yang memimpin majlis tahlilan ketika Imam Syafie wafat?

Jawapannya:
Ia adalah seorang wali (penguasa) yang bernama Muhammad bin as-Suri bin al-Hakam.

Muhammad bin as-Suri bin al-Hakam adalah seseorang yang diwasiatkan oleh Imam Syafie, apabila beliau wafat agar dimandikan dan diurus oleh Muhammad bin as-Suri bin al-Hakam, dari kerja-kerja memandikan, memimpin solat jenazah, menguburkan, mendoakan serta mengadakan majlis tahlilan bersama jamaah yang lain yang hadir saat Imam Syafi’i wafat. 

Imam Syafie wafat pada malam Jumaat pada waktu subuh pada hari terakhir bulan Rejab tahun 204 Hijriyyah atau tahun 809 Masihi pada usia 52 tahun.
Jenazah kemudian dibawa, sampai ke tanah anak-anak Ibnu Abdi al-Hakam, disanalah ia dikuburkan, yang kemudian terkenal dengan Turbah asy-Syafie sampai hari ini, dan disana pula dibangun sebuan masjid yang diberi nama Masjid asy-Syafie. 

Penduduk Mesir terus menerus menziarahi makam sang Imam sampai 40 hari 40 malam, setiap penziarah tak mudah dapat sampai ke makamnya kerana banyaknya penziarah. (Sila rujuk kitab tarikh atau Manaqib Imam Syafie)

》Persoalan mengenai pendirian Imam Syafie:

Imam Al-Hasan bin Muhammad Az-Za'farani berkata: "Saya pernah bertanya kepada Imam Syafie mengenai bacaan Al-Quran di kubur. Ternyata beliau itu (Imam Syafie) membolehkannya".

》Hal ini dikukuhkan lagi apabila Imam Syafie sendiri pernah menziarahi makam Imam Laith bin Sa'ad, kemudian beliau membaca Al-Quran.

وقد تواتر ان الشافعي زار الليث بن سعد واثنى خيرا وقرأ عنده ختمة وقال: ارجوا ان تدوم فكان الامر كذلك

"Dan telah mutawatir (masyhur) riwayat bahawa Imam Syafie telag menziarahi makam Imam Laith bin Sa'ad. Beliau memujinya dan membaca Al-Quran di sisi kuburnya dengan sekali khatam. Imam Syafie berkata: Aku mengharapkan agar ia (amalan membaca Al-Quran seperti di sisi makan Imam Laith) akan berterusan, maka begitulah seperti apa yang dikatakan (didoakan) oleh Imam Syafie" (Rujuklah kitab az-Zakhirah Ath-Thaminah, ms.64)

》Bagaimana pula dengan perkataan Imam Syafie:

وأكره المأتم وهي جماعة وان لم يكن لهم بكاء فان ذلك يحدد الحزن ويكلف المؤنة

"Dan aku membenci ma'tam iaitu adanya perkumpulan walaupun tidaklah berlaku pada mereka perbuatan menangir kerana perbuatan itu akan mengembalikan kesedihan dan menambahkan bebanan." (Al-Umm, j.1, ms.318)

* Segelintir orang jahil bertopengkan 'ustaz' telah menyangka Majlis Ma'tam yang dibenci oleh Imam Syafie adalah sama dengan Majlis Tahlilan. Sedangkan "ma'tam ialah perkumpulan orang yang kebiasaannya akan bertambahlah kesedihan dalam perkumpulan mereka." (Rujuklah Al-Munjid, ms.2)

* Maka, illah larangan ma'tam ialah kerana ia termasuk dalam 'niyahah' iaitu meratap pemergian si mati. Hal ini dilarang dalam agama kerana Nabi s.a.w bersabda:

الميت يعذب ببكاء الحي عليه او ببكاء اهله عليه

"Mayat akan diazab kerana tangisan rantapan orang hidup ke atasnya atau tangisan rantapan keluarganya" (HR. Muslim)

* Konsep yang berbeza pada majlis tahlilan, kerana ia bukan majlis meratap dan bersedih. Melainkan sebagai suatu usaha keluarga si mati untuk mengirimkan pahala kepada si mati dengan pelbagai amalan kebaikan.
》Begitu juga seperti larangan kenduri wahsyah yang diterangkan dalam kitab-kitab fiqh yang lain, larangan tersebut berserta dengan illah yang berbeza. Sebab itulah, urusan menentukan hukum diberikan kepada alim ulama bukannya kepada cikgu geografi.

》Bagaimana pula, dengan pendapat Imam Syafie mengenai mengirim pahala bacaan Al-Quran? 

* Imam Nawawi telah menyatakan mengirim pahala doa dan sedekah adalah sampai dengan IJMAK ULAMA. 

يصله ثواب الدعاء وثواب الصدقة بالاجماع

(Rujuklah Fatawa Imam Nawawi, ms.146)

* Ini bermakna, usaha keluarga mengirim pahala sedekah makanan dalam majlis tahlilan itu SAMPAI kepada si mati dengan ijmak ulama.

》Namun, yang menjadi khilaf ialah 0ahala bacaam Al-Quran. Menurut Imam Nawawi, ia sampai. Dan menurut Syeikhul Islam Zakaria Al-Anshari:

ان مشهور المذهب اي فى تلاوة القران محمول على ما اذا قرأ لا بحضرة الميت ولم ينو الثواب له او نواه ولم يدع

"Sesungguhnya pendapat masyhur dalam mazhab Syafie mengenai bacaan Al-Quran (yang pahalanya dikirimkan kepada si mati) adalah apabila dibaca tidak dilakukan ketika mayat berada dihadapan pembaca, dan jika tidak diniatkan hadiah pahala kepadanya atau diniatkan pahala bacaan kepadanya tetapi tidak membaca doa sesudah bacaan Al-Quran tersebut." (Rujuklah Hukm Asy-Syar'iyyah Al-Islamiah fil Ma'tam Al-Arbain, ms.43)

* Maka, beginilah kesimpulan ulama bermazhab Syafie simpulkan setiap perbuatan, ijtihad dan wasiat Imam Syafie. Kerana mereka lebih memahami fiqh dalam mazhab berbanding cikgu geografi.

☆ Penulis kitab Al-Hawi iaitu Imam Suyuthi & penulis kitab Hukm Asy-Sya'iyyah Al-Islamiah fil Ma'tam Al-Arbain ialah Syeikh Hasanain Makhluf, kedua-duanya tinggal di Mesir. Mereka menyokong majlis tahlilan dengan pelbagai hujjah yang dinyatakan dalam kitab mereka tersebut.

SOALNYA, bilakah amalan hindu bertapak di Mesir?
"Jadilah seperti ulama bermazhab Syafie, Jangan jadi seperti cikgu Geografie."

PERINGATAN:
Tulisan ini sebagai merealisasikan kaedah ASWJ iaitu "Kamu Serang Kami Terang". Bukan kerana mahu menuntut duit daripada Wahabi.


Disediakan oleh: Hafiz Al Za'farani (HAZA)


DALIL Talqin Di Atas Kubur

Terhadap Orang yang Meninggal dan Ibadah serta Tradisi Islami


a. Pengertian



Arti talqin secara bahasa adalah Tafhim (memberikan pemahaman), memberi peringatan dengan mulut, mengajarkan sesuatu. Secara istilah talqin adalah mengajarkan kalimat tauhid terhadap orang-orang yang baru saja dikubur serta mengajarinya (menuntun) tentang pertanyaan-pertanyaan kubur.



b. Dalil dan Talqin



Hukum talqin menurut mayoritas ulama Syafi’iyah adalah sunnah. Di dasarkan pada sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Nabi Umamah:



عَنْ أَبِي أَمَامَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ اِذَا اِذَا مُتُّ فَاصْنَعُوْا بِي كَمَا اَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنْ نَصْنَعَ بِمَوْتَانَا. اَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ اِذَا مَاتَ اَحَدٌ مِنْ اِخْوَانِكُمْ فَسَوَّيْتُمُ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ فَلْيَقُمْ اَحَدٌ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ ثُمَّ لْيَقُلْ : يَافُلَانُ بْنُ فُلَانَةَ فَاِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلَا يُجِيْبُ ثُمَّ يَقُوْلُ يَافُلَانُ بْنُ فُلَانَةَ فَاِنَّهُ يَسْتَوْى قَاعِدًا. ثُمَّ يَقُوْلُ يَافُلَانُ بْنُ فُلَانَةَ فَاِنَّهُ يَقُوْلُ: أَرْشَدَنَا يَرْحَمُكَ اللهُ وَلَكِنْ لَاتَشْعُرُوْنَ فَلْ يَقُل اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَتَ اَنْ لَااِلَهَ اِلَّااللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وُاِنَّكَ رَصَيْتَ بِااللهِ رَبًّا وَبِااْلاِسْلَامِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا وَبِااْلقُرْاَنِ اِمَامًا فَاِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيْرًا يَأْخُذُ كُلَ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ. وَيَقُوْلُ اِنْطَلِقْ بِنَا مَا يُقْعِدُنَا عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتُهُ. فَقَالَ رَجُلٌ يَارَسُوْلَ اللهِ فَاِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمُّهُ؟ قَالَ يَنْسِبُهُ اِلَى أُمِّهِ حَوَّاءَ: بَا فُلَانُ بْنُ حَوَاءَ (رواه الطبرني في المعجم كبير،٧٩٧٩، ونقله الشيخ محمد بن عبد الوهاب في كتابه احكام تمني ٩ بدون اي تعليق(



“Dari Abi Umamah RA,beliau berkata, “Jika aku kelak telah meninggal dunia, maka perlakukanlah aku sebagaimana Rasulullah SAW memperlakukan orang-orang yang wafat diantara kita. Rasulullah SAW memerintahkan kita, seraya bersabda, “Ketika di antara kamu ada yang meninggal dunia, lalu kamu meratakan tanah di atas kuburannya, maka hendaklah salah satu diantara kamu berdiri pada bagian kepala kuburan itu seraya berkata, “Wahai fulan bin fulan”. 
Orang yang berada dalam kubur pasti mendengar apa yang kamu ucapkan, namun mereka tidak dapat menjawabnya. Kemudian (orang yang berdiri di kuburan) berkata lagi, “Wahai fulan bin fulan”, ketika itu juga si mayyit bangkit dan duduk dalam kuburannya. Orang yang berada diatas kuburan itu berucap lagi, “Wahai fulan bin fulan”, maka si mayyit berucap, “Berilah kami petunjuk, dan semoga Allah akan selalu memberi rahmat kepadamu. Namun kamu tidak merasakan (apa yang aku rasakan disini).” 
(Karena itu) hendaklah orang yang berdiri diatas kuburan itu berkata, “Ingatlah sewaktu engkau keluar kealam dunia, engkau telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan Nabi Muhammad SAW adalah hamba serta Rosul Allah. (Kamu juga telah bersaksi) bahwa engkau akan selalu ridho menjadikan Allah sebagai Tuhanmu, Islam sebagai agamamu, Muhammad SAW sebagai Nabimu, dan al – Qur’an sebagai imam (penuntun jalan )mu. 
(Setelah dibacakan talqin ini ) malaikat Munkar dan Nakir saling berpegangan tangan sambil berkata, “Marilah kita kembali, apa gunanya kita duduk ( untuk bertanya) dimuka orang yang dibacakan talqin”. Abu Umamah kemudian berkata, “Setelah itu ada seorang laki – laki bertanya kepada Rasulullah SAW, “Wahai Rasulullah, bagaimana kalau kita tidak mengenal ibunya?” Rasulullah menjawab, “(Kalau seperti itu) dinisbatkan saja kepada ibu Hawa, “Wahai fulan bin Hawa.”(HR. al – Thabrani dalam al – Mu’jam al – Kabir :7979, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab juga mengutip hadits tersebut dalam kitabnya Ahkam Tamanni al – Mawt hal. 9 tanpa ada komentar dari para Ulama Hadits).



MAJORITI ULAMAK mengatakan bahwa hadits tentang talqin ini termasuk hadits dha’if, karena ada seorang perawinya yang tidak cukup syarat untuk meriwayatkan hadits. Namun dalam rangka fadha’il al – a’mal, hadits ini dapat digunakan. Sebagian ahli hadits mengatakan bahwa Hadits Abi Umamah ini Hasan Lighairihi sebab sudah diperkuat dengan hadits lain yang senada sebagai syahid.



Hadits diatas juga sesuai dengan al – Qur’an surat Adariyat ayat 55:



وَذَكِّرْ فَاِنَّ الذِّكْرَ تَنْفَعُ اْلمُؤْمِنِيْنَ (الذارريات:٥٥)



Dan berilah peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang – orang yang beriman”.



Imam Nawawi dalam kitab al – Majmu’li an Nawawy juz 7, halaman 254 dan Imam Muslim dalam kitab Shahih Muslim juz 1, halaman 63, memberikan komentar tentang hadits Abi Umamah yaitu:



قُلْتُ: حَدِيْثُ اَبِي أُمَامَةَ رَوَاهُ أَبَو الْقَاسِمِ الطَّبْرَنِي فِي مُعْجَمِهِ بِاسْنَادِ ضَعِيْفٍ وَلَفْظُهُ: عَنْ سَعِيْدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْاَزْدِى قَالَ: شَهِدْتُ أَبَا أُمَامَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَهُوَ فِي نَزَعٍ فَقَالَ اِذَا مُتُّ فَاصْنَعُوْا بِي كَمَا أَمَرَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: “اِذَا مَاتَ اَحَدٌ مِنْ اِخْوَانِكُمْ فَسَوَيْتُمُ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ فَالْيَقُمْ اَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ ثُمَّ لْيَقُلْ : يَافُلَانُ بْنُ فُلَانَةَ فَاِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلَا يُجِيْبُ.(الحديث) اِلَى اَنْ قَالَ اِتَّفَقَ عُلَمَاءُ اْلمُحَدِّثِيْنَ وَغَيْرُهُمْ عَلَى اْلمُسَامَحَةِ فِى اَحَادِيْثِ الْفَضَائِلِ وَالتَّرْغِيْبِ وَالتَّرْهِيْبِ وَقَدِ اعْتَضَدَ بِشَوَاهِدَ مِنَ اْلاَحَادِيْثِ كَحَدِيْثِ وَاسْئَلُوْا لَهُ التَّثْبِيْتَ وَوَصِيَّةُ عَمْرُو بْنُ اْلعَاصِ وَهُمَا صَحِيْحَانِ سَبَقَ بَيَانُهَا قَرِيْبًا.



Hadits Abu Umamah, riwayat abu Qasim at – Thabrani dalam kitab Mu’jam – nya dengan sanad dhaif, teksnya demikian : Dari Said ibnu Abdullah al – Azdi, ia mengatakan : Saya melihat Abu Umamah dalam keadaan naza’ (sekarat), kemudian ia berpesan: Jika saya meninggal maka berbuatlah seperti yang telah diperintahkan Rasulullah SAW. Rasul pernah bersabda : Jika ada yang meninggal diantara kalian, ratakanlah tanah kuburannya, dan hendaknya berdiri salah seorang dari kalian di arah kepalanya, lalu katakan: Hai fulan bin Fulan …… sesungguhnya ia (mayit) mendengar dan dapat menjawab (keterangan al – Hadits). Sampai kata – kata : para ulama pakar hadits sepakat dapat menerima hadits – hadits tentang keutamaan amal untuk menambah semangat beribadah. Dan telah dibantu bukti – bukti adanya hadits – hadits lain seperti hadits “Mintalah kalian kepada Allah kemampuan (menjawab pertanyaan Munkar da Nakir) dan “wasiat Amr bin ‘Ash” tentang memberi hiburan ketika ditanya malaikat di mana kedua hadits tersebut sahih seperti yang telah disinggung sebelumnya .



Dalam kitab Dalil al Falihin, juz 71, halaman 57 disebutkan :



وَفِي مَتْنِ الرَّوْض لِابْنِ اْلمُقْرِى مَا لَفْظَهُ: يُسْتَحَبُّ اَنْ يُلَقِّنَ اْلمَيِّتُ بَعْدَ الدَّفْنِ بِاْلمَأْثُوْرِ. قَالَ شَارِحُهُ شَيْخُ اْلاِسْلَامِ بَعْدَ اَنْ بَيَّنَ ذَلِكَ مَا لَفْظُهُ: قَالَ النَّوَاوِيُّ وَهُوَ ضَعِيْفٌ لَكِنْ اَحَادِيْثَ اْلفَضَائِلِ يَتَسَامَحُ فِيْهَا عِنْدَ اَهْلِ اْلعِلْمِ. وَقَدِ اعْتَضَدَ هَذَا الْحَدِيْثِ شَوَاهِدَ مِنَ اْلاَحَادِيْثَ الصَّحِيْحَةِ كَقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَسْأَلُ اللهَ التَّثْبِيْتَ. وَوَصِيُّ عَمْرُو بْنَ اْلعَاصِ السَّابِقِيْنَ. قَالَ بَعْضُهُمْ وَقَوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ لَااِلَهَ اِلَّا اللهُ دَلِيْلٌ عَلَيْهِ لِاَنَّ الْحَقِيْقَةَ اْلَمِّيتِ مَنْ مَاتَ. وَاَِمَّا قَبْلَ اْلمَوْتِ وَهُوَ مَا جَرَى عَلَيْهِ كَمَا مَرَّ فَجَازَ. ثُمَّ قَالَ بَعْدَ كَلَامٍ. وَمُعْتَمَدُ مَذْهَبِ الشَّافِعِيَّةِ سُنَّةُ النَّلْقِيْنِ بَعْدَ الدَّفْنِ كَمَا نَقَلَهُ الْمُصَنِّفُ فِي اْلمَجْمُوْعِ عَن جَمَاعَاتٍ مِنَ اْلاَصْحَابِ. قَالَ وَمِمَّنْ نَصَّ عَلَى السْتِحْبَابِهِ اْلقِاضِى حُسَيْنُ وَمُتَوَالِى وَالشَّيْخُ نَصْرُ الْمُقَدَّسِ وَالرَّافِعِي وَغَيْرُهُمْ. وَنَقَلَ اْلقَاضِى حُسَيْنُ عَنْ اَصْحَابِنَا. مُطْلَقًا. وَقَالَ ابْنُ الصَّلاَحِ هُوَ اَّلَذِي نَخْتَارُهُ وَنَعْمَلُ بِهِ. وَقَالَ السَّخَاوِيْ وَقَدْ وَافَقَنَا الْمَالِكِيَّةِ عَلَى اسْتِحْبَابَِهِ اَيْضًا وَمِمَّنْ صَرَّحَ بِهِ مِنْهُمْ القَاضِى اَبُوْ بَكْرِ اْلغَزِى. قَالَ وَهُوَ فِعْلُ اَهْلِ اْلمَدِيْنَةِ وَالصَّالِحِيْنَ وَاْلاَخْيَارِ وَجَرَى بِهِ اْلعَمَلُ بِقُرْطُوْبَةِ وَاَمَّااْلحَنِيْفَةَ فَاخْتَلَفَ فِيْهِ مَشَايِخُكُمْ كَمَا فِى اْلمُحِيطِ وَكَذَا احْتَلَفَ فِيْهِ الْحَنَابِلَةُ.



Disunahkan mentaqlin mayit setelah dikubur berdasarkan hadis. Syaikhul Islam sebagai persyarahnya menjelaskan: Imam an – Nawawi berkata bahwa hadits tersebut dha’if, iatermasuk hadits Fadhail al-‘Amal yang di kalangan pakar ilmu hadits ditoleransikan bisa digunakan. Hadits tersebut diperkuat oleh banyak hadis-hadis sahih yang lain, seperti: asal Allah at-tasbit (mohonlah kepada Allah agar tetap di dalam keimanan) dan wasiatnya kepada Amr bin Ash dari kalangan orang pertama yang masuk Islam. Sabda Rasulullah: Laqqinu mautakun la Illallah (Bacakan la ilaha Illallah kepada seorang mati diantara kalian). Menurut pendapat sebagiaan ulama, hadis ini merupakan dalil dibolehkannya talqin bagi seorang yang sudah mati karena hakekat “al-mayyit” sebagaimana tertera dalam hadis itu adalah seorang yang sudah mati. 
Sedangkan sebelum mati juga boleh dibacakan talqin seperti yang banyak dilakukan para ulama. Menurut madzhab Syai’i, kesunnahan talqin itu setelah dikuburkan. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan pula dalam al-Majmu’ berdasarkan pendapat dari banyak ulama. Di antara yang menyatakan kesunnahannya itu adalah al-Qadhi Husain, al-Mutawalli, Syaikh Nashir al- Muqaddasi, Rafi’I, Ibnu Shalah dan Sakhawi. 
Pendapat kami tentang kesunnahan talqin tersebut sesuai dengan pendapat dari kalangan al-Maliki, seperti yang dinyatakan di antaranya al-Qadhi Abu Bakar Al- Azzi yang menyebutkannya sebagai amalan penduduk Madinah dan orang-oarang saleh serta yang banyak dilakukan oleh umat Islam di Spayol. Sedang di kalangan al-Hanafi, para tokoh mereka saling bersilang pendapat sebagaimana tertera dalam al-Mubith sebagaimana silang pendapat yang terjadi di kalangan ulama Hambali.



Dalil lain juga menerangkan dalam kitab Nihayat al-Muhtaj, Juz III,hal. 4:



وَيُسْتَحَبُّ تَلْقِيْنُ اْلمَيِّتِ اْلمُكَلَّفِ بَعْدَ تَمَامِ دَفْنِهِ لِخَبَرِ اَنَّ اْلعَبْدَ اِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتَوَلَّى عَنْهُ اَصْحَابٌ اَنَّهُ يَسْمَعُ قَرْعُ نِعَالِهِمْ. فَاِذَانْصَرَفُوْا اَتَاهُ مَلَكَانِ-الحديث.



Disunnahkan mentalqin mayyit yang sudah mukallaf usai dikuburkan berdasarkan hadits: Seorang hamba ketika ia diletakan dikuburnya dan para pengirimnya pulang,ia mendengar suara alas kaki mereka. Kalau para pengantar sudah pulang semua, ia segera di datangi dua malaikat.



Dalm kitab al- Hawy li al – Fatawa li al – Hafizh as- suyuthy, Juz II, halaman 176 – 177: juga diterangkan.



وَعِبَارَةُ التَّتِمَّةِ اْلاَصْلُ فِى التَّلْقِيْنِ مَا رَوَى اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا دَفَنَ اِبْرَاهِيْمَ قَالَ:قُلْ “الله رَبِّي”- اِلَى اَنْ قَالَ –وَيَدُلُّ عَلَى صِحَّةِ مَا قُلْنَاهُ مَا رَوَى عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ لَمَّا دَفَنَ وَلَدَهُ اِبْرَاهِيْمَ وَقَفَ عَلَى قَبْرِهِ فَقَالَ: يَابُنَيَّ، اَلْقَلْبُ يَحْزُنُ وَاْلعَيْنُ تَدْمَعُ وَلَا نَقُوْلُ مَا يَسْحُطُ الرَّبُّ-اِنَّاللهِ وَاِنَّا اِلَيْهِ رَاجِعُوْنَ-يَابُنَيَّ قُلْ الله رَبِّي وَاْلاِسْلَامُ دِيْنِي وَرَسُوْلُ اللهِ اَبِي فَبَكَتِ الصَّحَابَةُ وَبَكَى عُمَرُ بْنُ اْلخَطَّابِ بُكَاءً اِرْتَفَعَ لَهُ صَوْتَهُ.



Teks lengkap mengenai Talqin ini seperti yang diriwayatkan bahwa Rasulullah saat mengubur anaknya, Ibrahim, mengatakan:  Katakanlah: Allah Tuhanku….sampai kata-kata: Hal itu menunjukan atas benarnya apa yang aku ucapkan, apa yang diriwayatakan dari Nabi, sesungguhnya saat dia menguburkan anaknya, Ibrahim, dia berdiri diatas kubur dan bersabda: Hai anakku, hati ini sedih, mata ini mencucurkan air mata, dan aku tidak akan berkata yang menjadikan Allah marah kepadaku. Hai anakku, katakana Allah itu Tuhanku, Islam agamaku, dan Rasulullah itu bapakku ! Para sahabat ikut menangis, bahkan Umar bin Khattab menangis sampai mengeluarkan suara yang keras.

Dalam kitab Hasyiah Umairah bi Asfali Hasyiah Qalyuby Mahally, Juz I, halaman 353: Menegaskan tenteng kesunnahan Hukum mentalqin mayit.



يُسَنُّ اَيْضًا اَلتَّلْقِيْنُ-فَيُقَالُ لَهُ يَا عَبْدُ اللهِ ابْنِ اَمَةِ اللهِ اذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ اَنْ لَااِلَهَ اِلَّااللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَاَنَّ الْجَنَّةَ حَقٌّ وَاَنَّ النَّارَ حَقٌّ وَاَنَّ الْبَعْثَ حَقٌّ وَاَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لَارَيْبَ فِيْهَا وَاَنَّ اللهَ يُبْعَثُ مَنْ فِى اْلقُبُوْرِ وَاِنَّكَ رَضَيْتَ بِااللهِ رَبًّا وَبِالْاِسْلَامِ دِيْنًا وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَبِيًّا وَبِااْلقُرْآنِ اِمَامًا وَبِاالْكَعْبِة قِبْلَةً وَبِااْلمُؤْمِنِيْنَ اِخْوَانًا-لِحَدِيْثٍ وَرَدَ فِيْهِ-فِى الرَّوْضَةِ الْحَدِيْثِ وَاِنْ كَانَ ضَعِيْفًا لَكِنَّهُ اعْتَضَدَ بِشَوَاهِدِهِ.



Talqin itu disunnahkanmaka dikatakan kepadanya (mayit): Hai hamba Alla, ingatlah engkau telah meninggal, bersaksilah tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, surga adalah haq (benar adanya), neraka adalah haq, dan kebangkitan di Hari Kiamat juga haq. Hari Kiamat pasti akan datang , tidak bisa diragukan lagi, Allah akan membangkitkan kembali manusia dari kuburnya, dan hendaknya engkaun rela Allah sebagai Tuhan, Islam sebagain agama, Muhammad sebagi Nabi, al-Qur’an sebagi kitab suci, Ka’bah sebagi kiblat, dan kaum muslimin sebagai saudra. Hal ni berkenaan dengan danya hadits dalam masalah ini, dan dalam kitab ar-Raudhah ditambahkan: Hadits ini, meskipun dhaif, tapi lengkap panguat-penguatnya.



Sebagamana diketahui bahwa hadits dhaif namun dikuatkan atau didukung oleh riwayat lainnya bisa naik derajat menjadi Hadits Hasan Lighairih.



Dalam kitab I’anah al – Thalibin karya Sayid Abu Bakar Syatha al – Dimyati, juz ll hal 140 dijelaskan:

)قَوْلُهُ وَتَلْقِيْنُ بَالِغٍ) مَعْطُوْفٌ عَلَى اَنْ يُلَقِّنَ اَيْضًا اَيْ وَيُنْذَبُ تَلْقِيْنُ بَالِغٍ الخ. وَذَالِكَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: وَذَكِّرْ فَاِنَّ الذِّكْرَتَنْفَعُ اْلمُؤْمِنِيْنَ (الذاريات:55) وَاَحْوَجَ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ اِلَى التَّذْكِيْرِ فِيْ هَذِهِ الْحَاَلِة.



“Yang dimaksud dengan “membacakan talqin bagi orang yang baligh” yaitu, disunnahkan mentalqinkan orang yang sudah baligh (mukallaf). Hal itu berdasarkan firman Allah SWT: Dan tetaplah memberi perihgatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang – orang mukmin. (al – Dzariyat : 55). Dan yang paling diperlukan oleh seorang hamba untuk mendapat peringatan pada saat ini (setelah dikubur).”



Dalam kitab ‘I’anatul Thalibin juz ll hal 140 disebutkan :



)قَوْلُهُ وَتَلْقِيْنُ بَاِلغٍ) اَيْ وَيُنْذَبُ تَلْقِيْنُ بَالِغٍ الخ وَذَالِكَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: وَذَكِّرْ فَاِنَّ الذِّكْرَ تَنْفَعُ اْلمُؤْمِنِيْنَ. وَاَحْوَجُ مَا يَكُوْنُ اْلعَبْدُ اِلَى التَّذْكِيْرِ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ (اعانة الطالبين قبيل باب الزكاة ٢/١٤٠)



Dan disunnahkan orang yang sudah baligh, dst. Demikian itu sesuai dengan firman Allah Swt : “Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman”. (al-Dzariyat : 55). Dalam keadaan seperti inilah seorang hamba sangat membutuhkan terhadap peringatan tersebut.



Dalam kitab Nihayatul Muhthaz juz III hal 4 disebutkan :



وَيُسْتَحَبُّ تَلْقِيْنُ اْلمَيِّتِ اْلمُكَلَّفِ بَعْدَ تَمَامِ دَفْنِهِ لِخَبَرِ اَنَّ اْلعَبْدَ اِذَا وُضِعَ فِيْ قَبرِهِ وَتَوَلَّى عَنْهُ اَصْحَابٌ اَنَّهُ يَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ. فَاِذَانْصَرَفُوْا اَتَاهُ مَلَكَانِ. الحديث ( نهاية المحتاج ٣/٤)



Disunahkan mentalqini mayyit yang sudah mukallaf setelah selesai dikuburkan, berdasarkan hadits: “Sesungguhnya seorang hamba ketika sudah diletakkan dikuburnya dan para pengiringnya berpaling pulang, ia mendengar suara gema alas kaki mereka. Jika mereka sudah pergi semua, kemudian ia didatangi oleh dua malaikat (Al Hadits).



Dalam kanzu al-‘Umal karya Syaih Ibnu Hisammudin Al Hindi Al Burhanfuri, jilid 15 hal 737 disebutkan sebagai berikut;



عَنْ سَعِيْدِاْلاُمَوِىِّ قَالَ: شَهِدْتُ اَبَا أُمَاَمةَ وَهُوَ فِى النِزَاعِ اِذَا اَنَا مُتُّ فَافْعَلُوْا بِيْ كَمَا اَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا مَاتَ اَحَدٌ مِنْ اِخْوَانِكُمْ فَسَوَيْتُمْ عَلَيْهِ التُّرَابُ فَلْيَقُمْ رَجُلٌ مِنْكُمْ عِنْدَ رَأْسِهِ ثُمَّ لْيَقُلْ يَا فُلَانُ بْنُ فُلَانَةَ فَاِنَّهُ يَسْمَعُ وَلَكِنَّهُ لَايُجِيْبُ ثُمَّ لْيَقُلْ يَا فُلَانُ بْنُ فُلَانَةَ فَاِنَّهُ يَسْتَوِى جَالِسًاثُمَّ لْيَقُلْ يَافُلَانُ بْنُ فُلَانَةَ فَاِنَّهُ يَقُوْلُ اَرْشَدَنَا رَحِمَكَ اللهُ ثُمَّ لْيَقُلْ اُذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ اَنْ لَااِلَهَ اِلَّا اللهُ وَاَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ وإِنَّكَ رَضَيْتَ بِاللهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ نبِيًّا وَبِالْاِسْلَامِ دِيْنًا وَبِالْقُرْآنِ اِمَامًا فَاِنَّهُ اِذَا فَعَلَ ذَالِكَ أَخَذٌ مُنْكَرٌ وَنَكِيْرٌ اَحَدُهُمَا بِيَدِ صَاحِبِهِ ثُمَّ يَقُوْلُ لَهُ اُخْرُجْ بِنَا مِنْ عِنْدِهَذَا مَا نَصْنَعُ بِهِ قَدْ لَقَّنَ حَجَّتَهُ فَيَكُوْنُ اللهُ حَجِيْجَهُ دُوْنَهُمَا. فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: يَا رَسُوْلَ اللهِ فَاِنْ لَمْ يَعْرِفْ أُمُّهُ؟ قَالَ: اِنْسِبْهُ اِلَى حَوَاءَ.



“Diceritakan “dari Said al-Umawi, ia berkata: Saya menyaksikan Abu Umamah sedang naza’ (sakaratul maut). Lalu ia berkata kepadaku : Hai Said ! Jika aku mati, perlakukanlah olehmu kepada diriku sebagaimana yang diperintahkan oleh Rasulullah Saw kepada kita. Rasulullah SAW bersabda kepada kita : Jika diantara kamu meninggal dunia maka timbunlah kuburannya dengan tanah sampai rata. Dan hendaknya salah seorang di antara kamu berdiri disamping arah kepalanya, lalu ia berkata: Hai fulan bin Fulanah, sesungguhnya mayit itu mendengar, akan tetapi tidak dapat menjawab. Kemudian hendaklah ia berkata : Hai Fulan bin Fulanah, maka ia akan duduk tegap. 
Kamudian hendaklah ia berkata: Hai Fulan bin Fulanah, lalu ia berkata: Semoga Allah Swt memberikan petunjuk kepada kita dan juga memberikan rahmat kepadamu. Kemudian hendaklah ia berkata: Ingatlah bahwa engkau telah keluar dari alam dunia ini: Dengan bersaksi bahwa tiada yang berhak disembah selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, dan bahwasannya engkau rela Allah sebagai Tuhanmu, Muhammad sebagai Nabimu, Islam sebagai agamamu, dan al-Qur’an sebagai imammu. 
Sesungguhnya jika seseorang mengerjakan itu maka malaikat munkar dan Nakir akan menyambut salah satunya dengan tangan sahabatnya yang kemudian ia berkata : Keluarlah bersama kami dari tempat ini. Kami tidak akan memperlakukan apa yang telah ia nyatakan. Maka Allah Swt akan memenuhi keperluannya tanpa kedua malaikat itu. Lalu seseorang bertanya kepeda Rasulullah SAW: Wahai Rasulullah, bagai mana jika saya tidak mengetahui ibunya? Rasulullah SAW menjawab : “Hendaklah kamu menasabkannya kepada (ibu) Hawa.”



Orang yang sudah meninggal dunia sebenarnya masih mendengar ucapan salam dan bisa menerima doa orang lain.Rasulullah SAW selalu mengucapkan salam kepada ahli kubur pada saat ziarah kubur atau melintasi kuburan. Demikian juga Rasulullah Saw pada saat putranya Ibrahim wafat mentalqinkannya dengan kalimat tauhid. Logikanya, seandainya talqin itu tidak berguna niscaya Rasulullah SAW tidak akan mengerjakannya. Kesimpulannya hukum mentalqinkan mayat yang sudah mukallaf hukumnya adalah sunnah.



RUJUKAN
Keterangan tentang kesunnahan talqin ini juga dapat dilihat dalam kitab sebagai berikut:



a. At – Tukhfah juz ll, hal 19

b. Al – Mughni juz lll, hal 207

c. Al – Majmu Syarah Muhadzab juz 7, hal 303

d. Al – Iqna’juz l, hal 183

e. Tassyikhil Mustafidin 142

f. Busra al Karim juz ll, hal 38

g. Nikhayah al – Zain 162

h. Al – Anwar juz l, hal 124

i. Fathul Barri juz l, hal 449

j. Irsyadus syari juz ll, hal 434

k. Matan al – Raudhah



Kaitannya dengan firman Alla Swt:



( وَمَا اَنْتَ بِمُسْمِعٍ مَنْ فِى اْلقُبُوْرِ (فاطر :  ٢٢ )



“Dan engkau (wahai Muhammad) sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” (QS. Fathir: 22).



Firman Allah di atas sering dijadikan untuk menolak hukum sunnah talqin namun dalam Tafsir al-Khazim diterangkan bahwa yang dimaksud denan kata Man Fi al-Qubur (orang yang berada di dalam kubur) dalam ayat ini ialah orang-orang kafir yang diserupakan orang mati karena sama-sama tidak menerima dakwah. Kata mati tersebut adalah metaforis (bentuk majaz)dari hati mereka yang mati (tafsir al-Khazim, juz 7, hal 347).



Dengan demikian dapat dipahami bahwa orang yang beriman itu dalam kubur bisa mendengar suara orang yang membimbimg talqin tersebut dengan kekuasaan Allah Swt. Hal ini dapat diperkokoh dengan kebiasaan Rasulullah SAW apabila berziarah kekuburan selalu menguicapkan salam. Seandainya ahli kubur tidak mendengar salam Rasulullah SAW, tentu Rasulullah SAW melakukan sesuatu yang sia- sia dan itu tidak mungkin.
Wallahu A’lam .

DALIL Tarawih 20 Raka'at

Dalil Shalat Tarawih 20 Raka'at dan Ibadah serta Tradisi Islami



Tarawih, 20 raka’at


1. Pengertian



Shalat tarawih adalah shalat sunat dengan niat tertentu yang dikerjakan pada setiap malam Bulan Ramadhan setelah shalat isya’. Hukum shalat tarawih adalah sunah ‘ainiyah Muakkadah baik bagi laki-laki maupun perempuan yang mukallaf.

Shalat tarawih 20 rakaat ini dikerjakan dengan dua-dua rakaat sekali salam, hal ini berdasarkan hadist Nabi tentang tata cara melaksanakan shalat malam. Nabi ShallalLahu 'alaihi wasallam bersabda:





عَنِ ابْنِ عُمَرَ اَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. عَنْ صَلَاةِ الَّليْلِ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص.م. صَلَاةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى (رواه البخار ٩٣٦ ومسلم ١٢٣٩ والترمذى ١٠٤والنسائ١٦٥٩وابو داود١١٣وابن ماجه١١٦٥)



Dari Ibnu Umar, Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah tentang shalat malam. Nabi menjawab, Shalat malam itu dilakukan dua rakaat- dua rakaat” (HR al-Bukhari: 936, Muslim: 1239, al-Tirmidzi: 401, al-Nasa’i: 1650, Abu Dawud: 1130 dan Ibnu Majah: 1165).



2. Dalil Tarawih 20 Raka’at



Di antara Dalil yang di gunakan Hujjah oleh orang NU dalam menjalankan tarawih 20 Raka’at yaitu:

Pertama Hadist Imam Malik dari Shahabat Yazid bin Rumman.



عَنْ مَالِكٍ عَنْ يَزِيْدَ بْنِ رُمَّانَ اَنَّهُ قَالَ: كَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ فِىْ زَمَنِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ بِثَلَاثِ وَعِشْرِيْنَ رَكْعَةً. (رواه الامام مالك فى الموطأ(



“Dari Malik, dari Yazid bin Rumman, ia mengatakan: Orang-orang mengerjakan (salat Tarawih dan witir) pada zaman Umar bin Khattab sebanyak 23 rakaat”. (HR Imam Malik, dalam kitab al-Muwatha, Juz I hlm. 138)



Kedua Hadist riwayat al-Baihaqi dari sahabat saib bin Yazid dalam kitab Al-Hawy li Al Fatawa li As Suyuthy, Juz I hlm. 350, juga kitab fath al-wahhab Juz I, hlm. 58.



وَمَذْهَبُنَا اَنَّ التَّرَاوِيْحَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً لِمَا رَوَى اْلبَيْهَقِيُّ وَغَيْرُهُ باِلْاِسْنَادِ الصَّحِيْحِ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ الصَّحَابِيِّ رَضِيَ للهُ عَنْهُ قَالَ: كُنَّا نَقُوْمُ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ بِعِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَاْلوِتْرِ هَكَذَا ذَكَرَهُ اْلمُصَنِّفِ وَاسْتُدِلَّ بِهِ.



Mazbab kita (Syafi’iyah) menyatakan : salat Tarawih itu dijalankan 20 rakaat. Ini berdasarkan pada periwayatan dari Imam Baihaqi dengan sanad shahih, dari Saib bin Yasid, ia mengatakan: kami mengerjakan salat Tarawih pada masa Umar bin Khattab dengan 20 rakaat dan kemudian shalat witir.



Ketiga, pendapat Jumhur fiqih yang terdapat dalam kitab fiqih as-Sunah, Juz II. Hlm. 45



وَصَحَّ النَّاسُ كَانُوْا يُصَلُّوْنَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ وَعُثْمَانَ وَعَلِيِّ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً. وَهُوَ رَأْىُ الْجُمْهُوْرِ الْفُقَهَاءِ.



Betul bahwa kaum muslimin mengerjakan salat pada zaman Umar, Utsman, dan Ali sebanyak 20 rakaat, dan ini pendapat mayoritas Ulama.



Dalil keempat, dalam kitabTaudhiih al-Adillah, Juz III, hlm. 171.



عَنْ اِبْنِ عَبَاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى فِىْ شَهْرِ رَمَضَانَ فِىْ غَيْرِ جَمَاعَةٍ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً وَاْلوِتْرَ.رواه البيهقى والطبرنى عن عبد بن حمد.



Ibnu Abbas mengatakan: Rasul salat di bulan Ramadhan sendirian sebanyak 20 rakaat ditambah Witir (HRز Baihaqi dan Thabrani, dari Abd bin Humaid)



CATATAN PERTAMA



Hadits dengan matan di atas diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dalam kitab Sunan Kubra 2/192
Sanad dan matannya sbb:


أنبأ أبو سعيد الماليني ثنا أبو أحمد بن عدي الحافظ ثنا عبد الله بن محمد بن عبد العزيز ثنا منصور بن أبي مزاحم ثنا أبو شيبه عن الحكم عن مقسم عن بن عباس قال كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي في شهر رمضان في غير جماعة بعشرين ركعة والوتر تفرد به أبو شيبه إبراهيم بن عثمان العبسي الكوفي وهو ضعيف



Adapun riwayat Imam ath Thabarani dalam al Mu’jam al Kabir Sanad dan matannya sbb:



حدثنا محمد بن جعفر الرازي ثنا علي بن الجعد ثنا أبو شيبة إبراهيم بن عثمان عن الحكم عن مقسم عن بن عباس قال كان النبي صلى الله عليه وسلم يصلي في رمضان عشرين ركعة والوتر



Adapun riwayat Imam ‘Abd ibn Humaid dalam kitab Musnadnya Sanad dan matannya sbb:



حَدَّثَنِي أَبُو نُعَيْمٍ ، قَالَ : حَدَّثَنِي أَبُو شَيْبَةَ ، عَنِ الْحَكَمِ ، عَنْ مِقْسَمٍ ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ ، قَالَ : " كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً ، وَيُوتِرُ بِثَلاثٍ



CATATAN KEDUA

Hadits di atas termasuk hadits dha'if.


Imam Baihaqi berkata:



تَفَرَّدَ بِهِ أَبُو شَيْبَةَ إِبْرَاهِيمُ بْنُ عُثْمَانَ الْعَبْسِىُّ الْكُوفِىُّ. وَهُوَ ضَعِيفٌ.



Menyendiri dengan hadits ini Abu Syaibah Ibrahim bin 'Utsman al 'Absi al Kuufi. Dia dhaif Imam Suyuthi dalam kitab Al Mashaabih Fii shalaatit tarawih (Al Haawi lil fatawi) halaman 413 berkata:



هذا الحديث ضعيف جدا لا تقوم به حجة



Hadits ini dha'if sekali, tidak bisa dijadikan hujjah

Al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Taqriibuttahdziib 1/92 menjelaskan:



إبراهيم بن عثمان العبسي بالموحدة أبو شيبة الكوفي قاضي واسط مشهور بكنيته متروك الحديث من السابعة مات سنة تسع وستين



Kedhaifan hadits-hadits tersebut dikuatkan dengan ijma' shahabat pada masa Kekhalifahan 'Umar bin Khattab.
Wallaahu A'lam



Dalil kelima, dalam kitab Hamisy Muhibbah, Jus II, hlm. 446-467.



وَفِىْ تَخْرِيْجِ أَحَادِيْثَ الرَّافِعِيْ لِلْاِمَامِ اْلحَاِفظْ اِبْنِ حَجَرَ مَا نَصَّهُ حَدِيْثُ اَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّ بِالنَّاسِ عِشْرِيْنَ رَكْعَةً لَيْلَتَيْنِ فَلَمَّا كَانَ فِىْ لَيْلَةِ الثَّالِثَةِ اجْتَمَعَ النَّاسُ فَلَمَّا يَخْرُجَ اِلَيْهِمْ ثُمَّ قَالَ مِنَ الْغَدِّ خَشِيْتُ اَنْ تَفْرُضَ عَلَيْكُمْ فَلَا تُتِيْقُوْنَهَا. متفق على صحته من حديث عائسة رضي الله عنها دون عدد الركعات.



Ada komentarnya Imam Rafi’I untuk hadist riwayat Imam Ibnu hajar tentang teks hadist Rasul salat bersama kaum muslimin sebanyak 20 rakaat di malam Ramadhan. Ketika tiba di malam ketiga, orang-orang berkumpul, namun Rasulullah tidak keluar. Kemudian, paginya dia bersabda, Aku takut Tarawih diwajibkan atas kalian, dan kalian tidak mampu melaksanakannya. Hadist ini disepakati keshahihannya, tanpa mengesampingkan hadits yang diriwayatkan Aisyah yang tidak menyebut rakaatnya. Sedangkan salat Tarawih berjama’ah hukumnya sunat ainiyah, menurut ulama Hanafiyah hukumnya sunat kifayah. Dalil ini bedasarkan hadist Abu Durahman bin Abdul Qari dalam kitab shaih al-Buhkari.



عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ الْقَارِيِّ اَنَّهُ قَالَ خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَيْلَةٌ فِىْ رَمَضَانَ اِلَى اْلمَسْجِدِ فَاِذَا النَّاسُ اَوْزَاعٌ مُتَفَرَّقُوْنَ يُصَلِّ الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّ الرَّجُلُ فَيُصَلِّ بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ اِنِّي اَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ اَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيَّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خّرَجَتْ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرَ نِعْمَ البِدْعَةُ هَذِهِ. (رواه البخاري١٨١٧)


“Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abd al-Qari, beliau berkata, “Saya keluar bersama Sayyidina Umar bin al-Khabtbab ke masjid pada bulan Ramadhan. (Didapati dalam mesjid tersebut) orang-orang shalat tarawih sendiri-sendiri. Ada yang shalat sendiri-sendiri dan ada yang shalat dengan berjama’ah ”. Lalu Sayyidina Umar berkata, “Saya punya pendapat andaikata mereka aku kumpulkan dalam jama’ah dengan satu imam, niscaya itu lebih bagus”. Lalu beliau mengumpulkan mereka dengan seorang imam, yakni sahabat Ubay bin Ka’ab. Kemudian satu malam berikutnya, kami datang  lagi ke masjid. Orang-orang sudah melaksanakan satu imam. Umar berkata, “ Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini. (Shalat tarawih dengan berjama’ah)”. (HR al-Bukhari :1871).



Dalam tradisi NU, di dalam melaksanakan shalat tarawih berjama’ah biasanya bilal membaca  صلّوا سنة التَّرَاوِيْحِ yang dibaca pada waktu akan melakukan jama’ah shalat tarawih. Hal ini berdasarkan dalil dalam kitab Al-Qalyubi Juz, I hlm. 125.



)وَيُقَالُ فِى اْلعِيْدِ وَنَحْوِهِ) مِمَّا تُشْرَعُ فِيْهِ الْجَمَاعَةُ كَاالْكُسُوْفِ وَالْاِسْتِسْقَاءِ وَالتَّرَاوِيْحِ (اَلصَّلَاةُ جَامِعَةً) لِوُرُوْدِ فِيْ حَدِيْثِ الشَّيْخَيْنِ فِى اْلكُسُوْفِ وَيُقَاسُ بِهِ وَنَحْوِهِ (اَلصَّلَاةُ جَامِعَةً) وَمِثْلُهُ “هَلُمُّوْا اِلَى الصَّلَاةِ اَوِالْفَلَاحِ اَوِالصَّلَاةِ يَرْحَمُكُمُ اللهُ وَنَحْوُ ذَلِكَ.ھ



“Di dalam shalat ied dan shalat-shalat yang disyariatkan dilaksanakan secara berjama’ah (seperti shalat khusuf, shalat istisqa’ dan shalat tarawih) disunnahkan membaca الصلاة جامعة dan bacaan semisalnya seperti هلموا الى الصلاة atau هلموا الى الفلاح يرحمكم الله dan lain sebagainya. Hal ini berdasarkan hadist Bukhari Muslim tentang shalat kusuf, adapun yang lainnya diqiyaskan”.



Kaitannya dengan hadist Riwayat Al Bukhari yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah RA



عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ مَا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيْدُ فِى رَمَضَانَ وَلَافِى غَيْرِهِ عَلَى اِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً (رواه البخارى,١٠٧٩)



“Dari Sayyidatuna Aisyah-Radiyallahu’anha, ia berkata ,”Rasulullah saw tidak pernah menambah shalat malam pada bulan Ramadhan atau bulan lain melebihi sebelas rekaat”.(HR. al-Bukhari,1079)

Hadist diatas sering dijadikan dalil shalat tarawih 11 rakaat. Namun menurut keterangan dalam Kitab Tuhfah al-Muhtaj, Juz 11, hal 229 yang mengutip pendapat Ibnu Hajar A-Haitami (seorang Ulama ahlussunah) meengatakan bahwa hadist tersebut bukanlah dalil salah tarawih 11 rakaat melainkan dalil shalat witir. Sebab berdasarkan kebanyakan riwayat disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW melaksanakan shalat witir dan bilangan maksimalnya adalah sebelas rakaat.



Dalam Kitab Kasyfu At-tabarih dikatakan



وَلمَاَّ كَانَتْ تِلْكَ اْلَاحَادِيْثُ مُتَعَارِضَةٌ وَمُحْتَلِمَةٌ لِلتَّأْوِيْلِ لَمْ تَقُمْ بِهَا الْحُجَّةُ فِى اِثْبَاتِ رَكَعَاتِ التَّرَاوِيْحِ لِتَسَاقُطِهَا فَعَدَّ لْنَا عَنِ اسْتِدْلَالِ بِهَا اِلَى الدَّلِيْلِ اْلقَاطِعِ وَهُوَ اْلاِجْمَاعُ وَهُوَ اِجْمَاعُ اْلمُسْلِمِيْنَ فِى زَمَنِ عُمَرَ بْنِ اْلخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى فِعْلِهَا عِشْرِيْنَ رَكْعَةً رَوَاهُ الْبَيْهَقِى بِااسْنَادِ الصَّحِيْحِ عَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ كَانُوْا يَقُوْمُوْنَ عَلَى عَهْدِ عُمَرُ بْنِ اْلخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِى شَهْرِ رَمَضَانَ بِعِشْرِيْنَ رَكْعَةً اھ كشف التاريح ص ١٣



“Karena dalil-dalil tentang bilangan shalat rakaat shalat tarawih saling berlawanan dan memungkinkan adanya ta’wil maka tidak memungkinkan untuk dijadikan hijjah dalam menetapkan rakaat shalat tarawih karena dalil-dalil tersebut saling menjatuhkan maka dari itu kami tidak mengambil dalil dari hadist-hadist tersebut melainkan menggunakan dalil yang Qath'i  yaitu ijma’ kebanyakan orang islam ( di zaman Sayyidina Umar RA ) yang melaksanakan shalat tarawih 20 rakaat berdasarkan hadist riwayat Baihaqi dari sahabat As-saib bin Yazid RA dengan isnad yang shahih, saib mengatakan : Mereka (orang-orang muslim) mengerjakan shalat tarawih 20 rakaat pada bulan Ramadan di zaman Khalifah Umar RA”.



Lebih lanjut dalam kitab Kasyfu at-tabarih dikatakan.



وَاِذَا كَانَ اْلاَمْرُ كَذَلِكَ عَلِمْنَا اَنَّ اللَّذِيْنَ صَلُّوْا التَّرَاوِيْحَ الْيَوْمَ ثَمَانَ رَكَعَاتٍ مُخَلِّفُوْنَ لِلْاِجْمَاعِ اِنْ كَانَ فِى اَمْرٍ مَعْلُوْمٍ مِنَ الدِّيْنِ بِاالضَّرُوْرَةِ فَهُوَ كَافِرٌ وَاِلَّا فَهُوَ فَاسِقٌ وَهُمْ مُخَالِفُوْا أَيْضًا لِسُنَّةِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ وَمَنْ خَالَفَ سُنَّةَ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ فَقَدْ خَالَفَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ غَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِاَنَّهُ قَالَ فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ خُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اْلمَهْدِيِّيْنَ مِنْ بَعْدِيْ (رواه ابو داود والترميذ اھ كشف التاريح ص ١٤)




“Dan jika permasalahannya seperti itu (dalil yang Qath'i adalah dalil ijma yang membenarkan bilangan rakaat tarawih 20 rakaat) maka dapat kita ketahui bahwa mereka yang melaksanakan shalat tarawih 8 rakaat adalah bertentangan dengan ijma dan orang yang mengingkari ijma' tentang permasalahan yang sudah pasti dalam agama adalah kafir*. Dan mereka juga bertentangan dengan sunah khulafaur Rasyidin dan orang yang bertentangan dengan khulafaur Rasyidin juga bertentangan dengan Nabi SAW, karena ia pernah bersabda, “Berpegang teguhlah kamu sekalian dengan sunnahku dan dengan sunnah Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk sesudahku. (HR. Abu Daud dan At-Tirmizi).



*Mengingkari Ijma' yang telah maklum secara dharuri di kalangan masyarakat awam bisa mengakibatkan seseorang menjadi kafir.



DALIL Membaca Doa Qunut 

Membaca Do'a Qunut pada Shalat Shubuh



Hukum Qunut adalah sunat, diantara sahabat yang mensunahkan diantanya Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Abbas dan Barra Bin Aziz. Dalil yang dijadikan pedoman untuk mensunnahkan qunut shubuh adalah hadist Nabi Muhammad SAW:


عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكِ قَالَ مَا زَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْنُتُ فِى اْلفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا (رواه أحمد(



Diriwayatkan dari Anas bin Malik R.A Beliau berkata, “Rasulullah senantiasa membaca qunut ketika shalat subuh sehingga beliau wafat.” (HR. Ahmad).



Pakar hadis Muhammad bin Alan as-Sidiqi dalam kitabnya Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah mengatakan bahwa hadis ini yang benar dan diriwayatkan serta disahihkan oleh golongan pakar yang banyak yang banyak hadist.



Sedangkan do`a qunut yang diajarkan langsung oleh Nabi SAW adalah sebagai berikut :



اَلَّلهُمَّ اهْدِنَا فِيْمَنْ هَدَيْتَ,وَعَافِنَا فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنّا فِيْمَنْ تَوَلَّيَتَ، وَبَارِكْ لِي فِيْمَا اَعْطَيْتَ، وَقِنَا شَرَّ مَا قَضَيْتَ، فَاِنَّكَ تَقْضِى وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ، وَاِنَّهُ لَايَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلَايَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ، فَلَكَ اْلحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، نَسْتَغْفِرُكَ وَنَتُوْبُ اِلَيْكَ. (رواه النسائ ١٧٢٥،وأبو داود ١٢١٤،والترميذى ٤٢٦،وأحمد ١٦٢٥،والدارمي ١٥٤٥بسند الصحيح(



“Ya Allah, berikanlah kami petunjuk seperti orang-orang yang telah Engkau beri petunjuk, Berilah kami perlindungan seperti orang-orang yang telah Engkau beri perlindungan. Berilah kami pertolongan sebagaimana orang-orang yang telah Engkau beri pertolongan. Berilah berkah pada segala yang telah Engkau berikan kepada kami. Jauhkanlah kami dari segala kejahatan yang telah Engkau pastikan. 
Sesungguhnya Engkau adalah Dzat yang Maha menentukan dan Engkau tidak dapat ditentukan. Tidak akan hina orang yang Engkau lindungi. Dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Engkau Maha Suci dan Maha luhur. Segala puji bagi-Mu dan atas segala yang Engkau pastikan. Kami memohon ampun dan bertaubat kepada-Mu.” (HR. An-Nasa’I : 1725, Abu Dawud : 1214, Al-Tirmidzi : 426, Ahamad : 1625 dan Al-Darimi : 1545 dengan Sanad yang Shahih)



Dalil kedua disebutkan dalam kitab fiqh as-Sunah Juz II halaman 38-39 :



وَمَذْهَبُنَا الشَّافِعِيُّ: اِنَّ الْقُنُوْتَ فِى صَلَاةِ الصُّبْحِ بَعْدَ الرُّكُوْعِ مِنَ الرُّكُوْعِ الثَّانِيَّةِ سُنَّةٌ لِمَا رَوَاهُ الْجَمَاعَةُ الِاَّ التِّرْمِيْذِى عَنِ ابْنِ سِيْرِيْنَ اَنَّ أَنَسَ بْنِ مَالِكِ سُئِلَ هَلْ قَنَتَ النَّبِيُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ِفى صَلَاةِ الصُّبْحِ؟ فَقَالَ: نَعَمْ. فَقِيْلَ لَهُ قَبْلَ الرُّكُوْعِ اَوْ بَعْدَهُ؟ قَالَ: بَعْدَ الرُّكُوْعِ.



Ulama As-Syafi’iyah mengatakan: Kedudukan qunut pada shalat subuh persisnya ketika bangkit dari rakaat kedua, hukumnya sunah karena ada hdist yang diriwayatkan ahli hadis kecuali at-Tirmidzi. Hadis itu diriwayatkan dari ibnu Sirin, Anas bin Malik pernah ditanya: Apakah Nabi menjalankan qunut pada shalat subuh? Jawab anas: Ya! Kemudian ditanya lagi: letaknya dimana sebelum atau sesudah ruku’? Jawabnya: Sesudah ruku’ (fiqh As-Sunah,Juz 11,hlm.38-39)



Dalil ketiga sebagaimana disebutkan dalam kitab Hamizsy Qalyubi Mahalli Juz I halaman 57



وَيُسَنُّ الْقُنُوْتُ فِي اعْتِدَالٍ ثَانِيَةِ الصُّبْحِ- اِلَى اَنْ قَالَ- لِلاتِّبَاعِ رَوَاهُ الْحَاكِمُ فِى اْلمُسْتَدْرَكِ عَنْ اَبِىْ هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوْعِ فِى صَلَاةِ الصُّبْحِ فِى الرَّكْعَةِ الثَّانِيَّةِ رَفَعَ يَدَيْهِ وَيَدْعُ بِهَذَا الدُّعَاءِ “اَللَّهُمَّ اهْدِنِيْ …. اِلَى اَخِرِ مَا تَقَدَّمَ- لَكِنْ لَمْ يَذْكُرْ رَبَّنَا. وقال صحيح.



Qunut itu disunahkan letaknya ketika I’tidal, raka’at kedua shalat subuh (Keterangan tersebut sampai) karena mengikuti Nabi. Hadis telah diriwayatkan Hakim dalam kitab Mustadrak dari Abu Hurairah: Rasulullah mengangkat kepalanya dari ruku’ pada shalat subuh pada raka’at kedua, dia mengangkat tangannya kemudian berdo’a: Allahumma ihdini fi-man hadait ……… Rasulullah tidak memakai kata-kata rabbana …. Hadis ini shahih.



Ketiga, dalam Nail al-Authar, Juz II hlm 387 :



فَاِنَّهُ اِنَّمَا سَأَلَ اَنَسًا عَنْ قُنُوْتِ اْلفَجْرِ فَأَجَابَهُ عَمَّا سَأَلَهُ عَنْهُ وَبِأَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاَلِهِ وَسَلِّمْ كَانَ يُطِيْلُ صَلَاةِ اْلفَجْرِ دُوْنَ السَّائِرِ الصَّلَوَاتِ. قَالَ وَمَعْلُوْمٌ اِنَّهُ كَانَ يَدْعُوْ رَبَّهُ وَيُثَنَّى عَلَيْهِ وَيُمَجِّدُهُ فِى هَذَا اْلاِعْتِدَالِ. وَهَذَا قُنُوْتٌ مِنْهُ بِلَارَيْبٍ فَنَحْنُ لَانَشُكُّ وَلَا نَرْتَابُ اِنَّهُ لَمْ يَزَلْ يَقْنُتُ فِى اْلفَجْرِ حَتَّى فَارَقَ الدُّنْيَا.



Ketika ditanya sahabat tentang qunut fajar, Anas menjawab: Rasulullah (ketika qunut), ia memanjangkan shalat fajar (Subuh) tidak seperti shalat lainnya. Panjang, karena ia membaca do’a, memuji Allah, mengagungkan-Nya dalam I’tidal ini. Inilah yang dikatakan qunut, tidak diragukan lagi. Kita tidak perlu syak (bimbang) dan ragu lagi bahwa Nabi membaca qunut dalam shalat subuh sampai beliau wafat.

DALIL Perayaan Maulid Nabi

Dalil Perayaan Maulid Nabi Muhammad



Perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW


a. Pengertian



Secara bahasa Maulid adalah waktu kelahiran. Secara istilah diartikan sebagai: Perayaan sebagai rasa syukur dan gembira atas kelahiran Rasul SAW yang biasanya dilakukan pada bulan rabi’ul awal atau Mulud (Jawa, Aceh).

b. Dalil-dalil perayaan Maulid Nabi SAW



Walaupun dalam kenyataannya tata cara perayaan Maulid Nabi SAW berbeda-beda, Namun esensi dari peringatan Maulid Itu sama yaitu Marasa gembira dan bersyukur atas kelhiran Rasulullah SAW yang mana kelahiran Rasulullah SAW adalah sebuah anugerah Allah kepada kita yang harus disyukuri, sebagaimana firman Allah SWT:



(قُلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَالِكَ فَلْيَفْرَحُوْا (يونس١٥٨)



“Katakanlah (Muhammad), sebab anugerah dan rahmat Allah (kepada kalian), maka bergembiralah mereka.”(QS.Yunus:58)



Dalam sebuah hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim dikatakan bahwa Rasulullah SAW mensyukuri hari kelahirannya dengan berpuasa. Dalam sebuah hadis diriwayatkan:



عَنْ أَبِي قَتَادَتَ اْلاَنْصَارِيِّ اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الْاِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ ولُدِتْ ُوَفِيْهِ أُنْزِلَ عَلَيَّ (رواه مسلم ١٩٧٧)



“Diriwayatkan dari Abu Qatadah al-Anshari RA bahwa Rasulullah pernah ditanya tentang puasa senin, maka beliau menjawab:” Pada hari itulah aku dilahirkan dan wahyu diturunkan kepadaku.”(HR.Muslim:1977)



Dalil Kedua,



وَقَالَ اْلاُسْتَاذُ اْلاِمَامُ الْحَافِظُ اْلمُسْنَدُ الذُّكْتُوْرُ اْلحَبِيْبُ عَبْدُ اللهِ بْنِ عَبْدِ اْلقَادِرِ بَافَقِيْهِ بِأَنَّ قَوْلَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ عَظَمَ مَوْلِدِيْ كُنْتُ شَفِيْعًا لَهُ يَوْمَ اْلِقيَامَةِ مَارَوَاهَ ابْنُ عَسَاكِرَ فِى التَّاريْخِ فِى الْجُزْءِ اْلاَوَّلِ صَحِيْفَةُ سِتَّيْنِ وَقَالَ الذَّهَبِى صَحِيْحٌ اِسْنَادُهُ.



Ustadz Imam al-Hafidz al-Musnid DR. Habib Abdullah Bafaqih mengatakan bahwa hadis “man ‘azhzhama maulidy kuntu syafighan lahu yaum al-qiyamati” seperti diriwayatkan Ibnu Asakir dalam Kitab Tarikh, juz 1,hlm 60, menurut Imam Dzaraby sahih sanadnya.



Dalil ketiga dalam kitab Madarij As-shu’ud Syarah al-Barzanji, hlm 15:



قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ عَظَمَ مَوْلِدِيْ كُنْتُ شَفِيْعًا لَهُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ.



Rasulullah bersabda: Siapa menhormati hari lahirku, tentu aku akan memberikan syafa’at kepadanya dihari Kiamat.



Dalil keeempat dalam Madarif as-Shu’ud, hlm.16



وَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَنْ عَظَمَ مَوْلِدِ النَّبِي صَلًّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَدْ اَحْيَا الْاِسْلَامَ.



Sayyidina Umar ra mengatakan: Siapa menghormati hari lahir Rasulullah sama artinya menghidupkan Islam.



Sekitar lima abad yang lalu Imam Jalaluddin al-Shuyuthi (849-910 H/1445-1505 M) pernah menjawab polemik tentang perayaan Maulid Nabi SAW. Di dalam al-Hawi li al-Fatawi beliau menjelaskan:



“Ada sebuah pertanyaan tentang perayaan Maulid Nabi Saw pada bulan Rabi’ul Awal, bagaimana hukumnya menurut syara’. Apakah terpuji ataukah tercela? Dan apakah orang yang melakukannya diberi pahala ataukah tidak? Beliau menjawab, “Jawabannya menurut saya bahwa semula perayaan Maulid Nabi Saw, yaitu manusia berkumpul, membaca al- Qur’an dan kisah-kisah teladan Nabi SAW sejak kelahirannya sampai perjalanan kehidupannya. 
 Kemudian menghidangkan makanan yang dinikmati bersama, setalah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk Bid’ah hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi SAW, manampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad SAW, yang mulia.” (Al-Hawi li al-Fatawi,juz1,hal.251-252).



Bahkan hal ini juga diakui oleh Ibnu Taimiyyah (tokoh panutan wahabi), sebagaimana dikutip oleh Sayyid Muhammad bin Alawi al – Maliki:



“Ibnu Taimiyyah berkata,”Orang-orang yang melaksanakan perayaan Maulid Nabi SAW, akan diberi pahala. Demikian pula yang dilakukan oleh sebagian orang, adakalanya bertujuan meniru kalangan Nasrani yang memperingati kelahiran Isa AS, dan ada kalanya juga dilakukan sebagai ekspresi rasa cinta dan penghormatan kepada Nabi SAW. Allah SWT akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaan mereka kepada Nabi mereka, bukan dosa atas bid’ah yang mereka lakukan.” (Manhaj al-Salaf fi Fahm al-Nushush Bain al-Nazhariyyah wa al-Tathbiq, hal 399).


Selama ini Ibnu Taimiyah dijadikan panutan bagi kelompok-kelompok yang mengingkari bahkan mengatakan bahwa tradisi dan Amaliah-amaliah NU sebagai bid’ah meskipun Tokoh panutan mereka sendiri mengatakan sebaliknya.

 
DALIL  KENDURI TAHLIL

BID’AHKAH KENDURI TAHLILAN ??


Tahlilan merupakan istilah bagi orang-orang yang berkumpul atau berjama’ah dan membacakan beberapa ayat Al-qur’an , dzikir serta do’a dan di mohonkan kepada allah agar bermanfa’at bagi si mayit, kita kaji isi dari tahlilan tersebut:
Thawus al-Yamani adalah seorang tabi`in terkemuka dari kalangan ahli Yaman. 

Beliau bertemu dan belajar dengan 50 – 70 orang sahabat Junjungan Nabi s.a.w. Thawus menyatakan bahawa orang-orang mati difitnah atau diuji atau disoal dalam kubur-kubur mereka selama 7 hari, maka adalah mereka menyukai untuk diberikan makanan sebagai sedekah bagi pihak si mati sepanjang tempoh tersebut.

Hadis Thawus ini dikategorikan oleh para ulama kita sebagai mursal marfu’ yang sahih. Ianya mursal marfu’ kerana hanya terhenti kepada Thawus tanpa diberitahu siapa rawinya daripada kalangan sahabi dan seterusnya kepada Junjungan Nabi s.a.w. 

Tetapi oleh kerana ianya melibatkan perkara barzakhiyyah yang tidak diketahui selain melalui wahyu maka dirafa’kanlah sanadnya kepada Junjungan Nabi s.a.w. Para ulama menyatakan bahawa hadis mursal marfu’ ini boleh dijadikan hujjah secara mutlak dalam 3 mazhab sunni (Hanafi, Maliki dan Hanbali, manakala dalam mazhab kita asy-Syafi`i ianya dijadikan hujjah jika mempunyai penyokong (selain daripada mursal Ibnu Mutsayyib). 

Dalam konteks hadis Thawus ini, ia mempunyai sekurang-kurangnya 2 penyokong, iaitu hadis ‘Ubaid dan hadis Mujahid. Oleh itu, para ulama kita menjadikannya hujjah untuk amalan yang biasa diamalkan oleh orang kita di rantau sini, iaitu apabila ada kematian maka dibuatlah kenduri selama 7 hari di mana makanan dihidangkan dengan tujuan bersedekah bagi pihak si mati.
Hadis Thawus ini dibahas oleh Imam Ibnu Hajar dalam “al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah” jilid 2 mukasurat 30. Imam besar kita ini, Syaikh Ahmad Ibnu Hajar al-Haitami as-Sa’di al-Anshari ditanya dengan satu pertanyaan berhubung sama ada pendapat ulama yang mengatakan bahawa orang mati itu difitnah/diuji atau disoal 7 hari dalam kubur mereka mempunyai asal pada syarak.

Imam Ibnu Hajar menjawab bahawa pendapat tersebut mempunyai asal yang kukuh (ashlun ashilun) dalam syarak di mana sejumlah ulama telah meriwayatkan (1) daripada Thawus dengan sanad yang shahih dan (2) daripada ‘Ubaid bin ‘Umair, dengan sanad yang berhujjah dengannya Ibnu ‘Abdul Bar, yang merupakan seorang yang lebih besar daripada Thawus maqamnya dari kalangan tabi`in, bahkan ada qil yang menyatakan bahawa ‘Ubaid bin ‘Umair ini adalah seorang sahabat kerana beliau dilahirkan dalam zaman Nabi s.a.w. dan hidup pada sebahagian zaman Sayyidina ‘Umar di Makkah; dan (3) daripada Mujahid.

Dan hukum 3 riwayat ini adalah hukum hadis mursal marfu’ kerana persoalan yang diperkatakan itu (yakni berhubung orang mati difitnah 7 hari) adalah perkara ghaib yang tiada boleh diketahui melalui pendapat akal. Apabila perkara sebegini datangnya daripada tabi`i ianya dihukumkan mursal marfu’ kepada Junjungan Nabi s.a.w. sebagaimana dijelaskan oleh para imam hadits. 


Hadits Mursal adalah boleh dijadikan hujjah di sisi imam yang tiga (yakni Hanafi, Maliki dan Hanbali) dan juga di sisi kita (yakni Syafi`i) apabila ianya disokong oleh riwayat lain. Dan telah disokong Mursal Thawus dengan 2 lagi mursal yang lain (iaitu Mursal ‘Ubaid dan Mursal Mujahid), bahkan jika kita berpendapat bahawa sabit ‘Ubaid itu seorang sahabat nescaya bersambunglah riwayatnya dengan Junjungan Nabi s.a.w.

Selanjutnya Imam Ibnu Hajar menyatakan bahawa telah sah riwayat daripada Thawus bahawasanya “mereka menyukai/memustahabkan untuk diberi makan bagi pihak si mati selama tempoh 7 hari tersebut.” Imam Ibnu Hajar menyatakan bahawa “mereka” di sini mempunyai 2 pengertian di sisi ahli hadis dan usul. 


Pengertian pertama ialah “mereka” adalah “umat pada zaman Junjungan Nabi s.a.w. di mana mereka melakukannya dengan diketahui dan dipersetujui oleh Junjungan Nabi s.a.w.”; manakala pengertian kedua pula ialah “mereka” bermaksud “para sahabat sahaja tanpa dilanjutkan kepada Junjungan Nabi s.a.w.” (yakni hanya dilakukan oleh para sahabat sahaja).

Ikhwah jadi kita dimaklumkan bahawa setidak-tidaknya amalan “ith’aam” ini dilakukan oleh para sahabat, jika tidak semuanya maka sebahagian daripada mereka. Bahkan Imam ar-Rafi`i menyatakan bahawa amalan ini masyhur di kalangan para sahabat tanpa diingkari. Amalan memberi makan atau sedekah kematian selama 7 hari mempunyai nas yang kukuh dan merupakan amalan yang dianjurkan oleh generasi awal Islam lagi, jika tidak semua sekurang-kurangnya sebahagian generasi awal daripada kalangan sahabi dan tabi`in. 

Oleh itu, bagaimana dikatakan ianya tidak mempunyai sandaran.
Imam as-Sayuthi juga telah membahaskan perkara ini dengan lebih panjang lebar lagi dalam kitabnya “al-Hawi lil Fatawi” juzuk 2 di bawah bab yang dinamakannya “Thulu’ ats-Tsarayaa bi idhzhaari maa kaana khafayaa” di mana antara kesimpulan yang dirumusnya pada mukasurat 194:-

· Sesungguhnya sunnat memberi makan 7 hari. Telah sampai kepadaku (yakni Imam as-Sayuthi) bahawasanya amalan ini berkekalan diamalkan sehingga sekarang (yakni zaman Imam as-Sayuthi) di Makkah dan Madinah. 


Maka zahirnya amalan ini tidak pernah ditinggalkan sejak masa para sahabat sehingga sekarang, dan generasi yang datang kemudian telah mengambilnya daripada generasi terdahulu sehingga ke generasi awal Islam lagi (ash-shadrul awwal). 

Dan aku telah melihat kitab-kitab sejarah sewaktu membicarakan biografi para imam banyak menyebut: ” dan telah berhenti/berdiri manusia atas kuburnya selama 7 hari di mana mereka membacakan al-Quran”.
· Dan telah dikeluarkan oleh al-Hafidz al-Kabir Abul Qasim Ibnu ‘Asaakir dalam kitabnya yang berjodol “Tabyiin Kadzibil Muftari fi ma nusiba ilal Imam Abil Hasan al-’Asy’ariy” bahawa dia telah mendengar asy-Syaikh al-Faqih Abul Fath NashrUllah bin Muhammad bin ‘Abdul Qawi al-Mashishi berkata: “Telah wafat asy-Syaikh Nashr bin Ibrahim al-Maqdisi pada hari Selasa 9 Muharram 490H di Damsyik. 

Kami telah berdiri/berhenti/berada di kuburnya selama 7 malam, membaca kami al-Quran pada setiap malam 20 kali khatam.”
Ikhwah, “ith`aam” ini boleh mengambil apa jua bentuk. Tidak semestinya dengan berkenduri seperti yang lazim diamalkan orang kita. Jika dibuat kenduri seperti itu, tidaklah menjadi kesalahan atau bid`ah, asalkan pekerjaannya betul dengan kehendak syarak.

(1)-perkumpulan dzikir dalilnya:


لإيقعد قوم يذكرون الله ألا حفتهم الملائكة وعشيتهم الرحمة ونزلت عليهم السكينة وذكرهم الله فيمن عنده
Tidaklah segerombolan orang itu duduk2 dalam keadaan berdzikir kepada Alloh, kecuali para malaikat mengepungi mereka, dan Rahmat menyelimuti mereka, dan ketenangan turun atas mereka, dan Alloh menyebut mereka kepada para malaikat di sisiNya (HR.muslim, tirmidzi,ibnu majah)

(2)-bacaan tahlil, tahmid, dan sebagainya. Dalilnya:
يصبح على كل سلامى من أحدكم صدقة فكل تسبيحة صدقة وكل تحميدة صدقة وكل تهليلة صدقة وكل تكبيرة صدقة وأمر بمعروف صدقة ونهي عن منكر صدقة ويجزء من ذلك ركعتان من الضحى
Pada waktu pagi terdapat sodaqoh yang harus atas tiap persedian kalian, maka tiap tasbih itu merupakan sodaqoh, dan tiap tahmid itu sodaqoh, dan tiap tahlil itu sodaqoh, dan tiap takbir itu sodaqoh, memerintahkan kebaikan juga sodaqoh dan melarang kemungkaran itu sodaqoh, dan dua Rokaat saja dari sholat dhuha itu sudah mencukupi dari semua itu (HR.muslim)
Mahallus syahid atau tempat pengambilan faedah yaitu sabda nabi yang mengatakan bahwa tiap tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir itu oleh beliau di katakan sebagai sodaqoh.

(3)-doa bersama. Dalilnya:
لإيجتمع ملاء فيدعو بعضهم ويوءمن بعضهم ألا أجابهم الله
Tidaklah segerombolan orang itu berkumpul lalu ada sebagian dari mereka yang berdoa dan ada sebagiannya yang mengamini kecuali Alloh pasti mengabulkan doa mereka (HR.al hakim, hadits hasan. Jamiul ahadits: 17/36)

(4)-sodaqoh buat mayyit. Dalilnya:
Dan para ulama semuanya ittifaq bahwa pahala sodaqoh itu sampai kepada mayyit, dan telah telah di sebutkan di atas bahwa tasbih, tahmid, tahlil dan takbir itu merupakan sodaqoh.

memberikan sedekah dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yang telah meninggal dunia adalah Sunnah berdasarkan Hadis:

عَنْ عَائِشَةَ رضى الله عنها أَنَّ رَجُلاً قَالَ لِلنَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – إِنَّ أُمِّى افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا ، وَأُرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ ، أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ ، تَصَدَّقْ عَنْهَا » .(رواه البخاري ومسلم)
Artinya: Aisyah menceritakan bahwa ada seorang laki-laki yang datang menghadap Rasulullah SAW lalu bertanya: “Wahai rasulullah, ibuku meninggal dunia tiba-tiba. Aku kira bila sempat berbicara tentulah ia akan bersedekah. Apakah aku bersedekah atas nama dia?”. Rasulullah SAW bersabda: “Ya, bersedekahlah atas namanya” (HR Al Bukhari dan Muslim).

أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ – رضى الله عنهم – أَخَا بَنِى سَاعِدَةَ تُوُفِّيَتْ أُمُّهُ وَهْوَ غَائِبٌ ، فَأَتَى النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّى تُوُفِّيَتْ وَأَنَا غَائِبٌ عَنْهَا ، فَهَلْ يَنْفَعُهَا شَىْءٌ إِنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَنْهَا قَالَ « نَعَمْ » . قَالَ فَإِنِّى أُشْهِدُكَ أَنَّ حَائِطِى الْمِخْرَافَ صَدَقَةٌ عَلَيْهَا . (رواه البخاري)
Artinya: Bahwasanya Ibunda Sa’ad bin Ubadah RA seorang keluarga Bani Sa’idah meninggal dunia ketika Sa’ad tidak ada di tempat. Ia pun bertanya kepada Rasulullah SAW: “Wahai Rasulullah, ibuku telah meninggal dunia pada saat aku tidak di sampingnya. Apakah ada sesuatu yang dapat aku sedekahkan atas nama dia?” Rasulullah SAW bersabda: “Ya”. Sa’ad berkata: “Aku persaksikan kepada engkau, sungguh aku punya sebidang kebun, kini aku sedekahkan atas nama ibuku” (HR Al Bukhari dan Muslim).
 

(5) Kita kutip pendapat para ulama dari berbagai madzhab sebagaimana di bawah ini sampainya pahala selain sodaqoh dan doa:
     (1)-Madzhab hanabilah: Al imam baha’uddin abdurrohman Al maqdisi Al hambali berkata dalam kitabnya Al uddah syarhul umdah:

وأما قراءة القرءان وأهداء ثوابه للميت فالأجماع واقع على فعله من غير نكير . وقد صح الحديث ان الميت ليعذب ببكاء أهله . والله سبحانه أكرم من ان يوصل اليه العقوبة ويحجب عنه المثوبة
Adapun membaca Al qur’an dan menghadiahkan pahalanya untuk mayyit maka perbuatan itu telah di sepakati tanpa ada yang mengingkarinya.­­ Sedangkan telah di sebutkan dalam hadits soheh “sesungguhnya mayyit itu akan di siksa sebab tangisan keluarganya” dan Alloh SWT, tidak mungkin (Alloh maha pemurah) untuk menyampaikan siksaan kepada mayyit itu sedangkan DIA menghalangi sampainya pahala kepadanya.. (Al uddah syarh Al umdah: 1/115)
     (2)-madzhab malikiyah: imam ibnul haj berkata:

لو قرأ فى بيته واهدى اليه لوصلت وكيفية وصولها انه إذا فرغ من تلاوته وهب ثوابها له أو قال اللهم اجعل ثوابها له فإن ذلك دعاء بالثواب لأن يصل إلى أخيه والدعاء يصل بلا خلاف
Jika seseorang membaca Al qur’an di rumahnya lalu menghadiahkan pahalanya kepada mayyit maka akan sampai. Dan untuk menyampaikan yaitu dengan cara berdoa setelah selesai membaca Al qur’an itu dan menghadiahkan pahalanya buat mayyit tersebut. Atau dengan berdoa “ya Alloh sampaikanlah pahala bacaan qur’an ini padanya” karna itu merupakan doa agar pahala tersebut di sampaikan kepada mayyit itu. Sedangkan doa itu akan sampai tanpa ada khilafiyah antar ulama. (Al madkhol: tahqiqul amal: 35)
     (3)-madzhab syafi’iyah: Al imam nawawi berkata:

ويستحب ان يقرأ من القرءان ما تيسر ويدعو لهم عقبها نص عليه الشافعي واتفق عليه الأصحاب
Dan di sunnahkan membaca apa yang mudah dari Al qur’an lalu berdoa buat ahli kubur itu sesudahnya. Hal ini telah di jelaskan imam syafii dan telah di sepakati ulama madzhab syafii (Al majmu’: 5/276)
     (4)-madzhab hanafiyah: imam Az-zailaa’i Al hanafi berkata:

الاصل فى هذا الباب ان الانسان له ان يجعل ثواب عمله لغيره عند أهل السنة والجماعة صلاة كان أو صوما أو حجا أو صدقة أو قراءة قرءان أو إلاذكار إلى غير ذلك من جميع أنواع البر ويصل ذلك إلى الميت وينفعه
Pokok permasalahan dalam bab ini adalah: bolehnya bagi seseorang untuk menghadiahkan pahala amalnya kepada orang lain menurut ahlussunnah wal jamaah, baik berupa sholat, puasa, haji, sodaqoh, membaca al qur’an atau dzikir dzikir (tahlilan) dan semacamnya dari semua amal amal kebaikan dan pahala tersebut akan sampai dan bermanfaat baginya. (Tabyinul haqo’iq: 2/83)
Dan semacamnya. 

Bahkan ibnu taimiyah sendiri mengamini bahwa bacaan tahlil tahmid dan semacamnya itu sampai kepada mayyit dan bermanfaat baginya, seperti kutipan tanya jawab berikut ini:

وسئل عن قراءة أهل الميت تصل اليه والتسبيح والتحميد والتهليل والتكبير إذا أهداه إلي الميت يصل ثوابها أم لا؟ فأجاب : يصل إلى الميت قراءة أهله وتسبيحهم وتكبيرهم وسائر ذكرهم لله تعالى إذا أهدوه إلى الميت وصل اليه والله أعلم
 Ibnu taimiyah di tanya tentang bacaan qur’an dari keluarga mayyit apakah sampai padanya? Juga tasbih, tahmid, tahlil dan takbir apabilah di hadiahkan kepada mayyit apakah pahalanya sampai apa tidak? Beliau menjawab: bacaan keluarga mayyit akan sampai kepada mayyit itu begitu juga tasbih, dan takbir mereka apabila mereka menghadiahkannya kepada mayyit maka akan sampai padanya wallohu a’lam. (Majmu’ fatawa ibnu taimiyah:24/324)


TUDUHAN SALAFY BAHWA TAHLILAN ADALAH TASYABBUH
Akhir akhir ini banyak dalil-dalil baru setelah dalil dalil pengharaman terhadap tahlilan dapat di jelaskan oleh mereka yang memahami bidang ilmunya.  Sekarang dalil dari kitab-kitab agama lain seperti  hindu (wedha) pun sanggup di jadikan sandaran untuk menyatakan dalil yang mereka bawa adalah benar seperti mereka mengatakan tahlil itu serupa dengan tradisi agama hindu. Mereka berdalil dengan hadits:

من تشبه بقوم فهو منهم
Barangsiapa yang berserupa dengan satu kaum, maka dia termasuk dari kaum itu [Abu dawud, Nasa’i]
 
Padahal maksud hadits tersebut ialah sebagaimana di jelaskan oleh ibnu taimiyah yang di kutip dalam kitab fatawal Azhar :

ومعنى قولهم فهو منهم انه كافر مثلهم ان تشبه بهم فيما هو كفر كأن عظم يوم عيدهم تبجيلا لدينهم أو لبس زنارهم أو ما هو من شعارهم قاصدا بذلك التشبه بهم استخفافا بالإسلام كما قيد به أبو السعود والحموي على الأشباه وإلا فهو مثلهم فى الإثم فقط لا فى الكفر كما فى الفتاوى المهدية. وإنما شرطنا فى الإثم قصد التشبه لأن فى الحديث ما يدل على ذلك إذ لفظة التشبه تدل على القصد

Maksud dari sabda nabi [maka dia termasuk dari kaum itu] ialah dia kafir apabila meniru mereka dalam perkara kekafiran, seperti memuliakan hari raya mereka dengan maksud mengagungkan agama mereka. Atau seperti memakai sabuk mereka atau syiar mereka dengan sengaja meniru mereka dengan maksud meremehkan (aturan) agama Islam. Sebagaimana yang telah di syaratkan oleh abu sa’ud dan Al hamawi dalam syarah Al asybaah. 

Dan jika tidak bermaksud demikian maka orang itu hanya berdosa saja tidak sampai kafir sebagaimana yang telah di jelaskan dalam kitab Al fatawa Al mahdiyah.

Dan sesungguhnya kami menyaratan di dalam masalah memperoleh dosa itu harus dengan adanya kesengajaan meniru, itu di karenakan dalam hadits tersebut menunjukkan keharusan adanya kesengajaan meniru tersebut. Karna lafadz “At-tasyabbuh” itu menunjukkan adanya kesengajaan. [Fatawal Azhar: 5/472]

Dan kaum muslimin nusantara jelas tidak ada maksud untuk meniru tradisi apalagi agama mereka. Tetapi mengikuti fatwa ulama islam sendiri. Di sebutkan bahwasannya ulama pakar hadits yaitu Al Allamah imam ibnu hajar Al asqolani menjelaskan tentang hadits

عن ابن عمر رضي الله عنهما قال كان النبي صلى الله عليه وسلم يأتي مسجد قباء كل سبت ماشيا وراكبا وكان عبد الله رضي الله عنه يفعله
Dari ibnu umar RA, beliau berkata: nabi SAW, selalu mendatangi masjid quba’ tiap hari sabtu dengan berjalan kaki dan berkendaraan, Abdulloh bin umar RA, juga melakukan hal yang sama (HR.bukhori,muslim)
Mengomentari hadits ini beliau berkata:

وفى هذا الحديث على اختلاف طرقه دلالة على جواز تخصيص بعض الأيام ببعض الأعمال الصالحة والمداومة على ذلك
Dalam hadits ini dengar berbagai jalurnya yang berbeda beda, terdapat petunjuk atas bolehnya menentukan sebagian hari hari dengan sebagian amal saleh dan melakukannya secara terus menerus [Fathul bari: 3/69]
Dan fatwa syekh nawawi Al bantani dalam kitabnya nihayatuz zain bahwa adanya pelaksanaan sodaqoh pada waktu waktu tertentu itu hanya merupakan tradisi saja beliau menjelaskan:

والتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب ولا يتقيد بكونه فى سبعة أيام أو أكثر أو أقل وتقييده ببعض الأيام من العوائد فقط كما افتى بذلك السيد احمد دحلان . وقد جرت عادة الناس بالتصدق عن الميت فى ثالث من موته وفى سابع إلى تمام العشرين وفى الأربعين وفى المائة وبعد ذلك يفعل كل سنة حولا فى يوم الموت كما أفاده شيخنا يوسف السنبلاويني
Dan bersedekah untuk mayyit dengan jalan yang di syariatkan itu di anjurkan. Dan sedekah itu tidak terikat dengan tujuh hari atau lebih banyak atau sedikit. Dan melaksankan sedekah itu dengan hari hari yang di tentukan itu hanya merupakan tradisi saja seperti yang di fatwakan sayyid ahmad zaini dahlan, dan orang orang telah membuat tradisi dengan bersedekah untuk mayyit pada ketiga hari atau tujuh hari sampai dua puluh hari dari kematiannya si mayyit, juga pada ke empat puluh harinya dan seratus harunya. 

Setelah itu di laksanakan pada tiap tiap tahun yang bertepatan dengan hari kematiannya. Sebagaimana di fatwakan oleh guru kami syekh yusuf As-sambalawini (nihayatuz zain:281)

Sebagian dari wahhabi berkata: dalil sodaqoh kok di jadikan dalil tahlilan?? Saya katakan: memangnya tahlilan itu tidak ada sodaqoh di dalamnya??


DALIL  Sadaqah Kepada Orang Meninggal

Dalil Sampainya Pahala Bacaan, Doa dan Sadaqah Kepada Orang Meninggal



Sampainya Pahala, Doa dan Sadaqah Kepada Orang yang Sudah Meninggal.



Menurut pendapat ahli sunnah pahala, doa dan sadaqah  bisa sampai kepada orang yang sudah meninggal dan dapat bermanfaat bagi mereka.


Kalangan Ahlusunnah wal Jamaah berhujjah dengan beberapa firman Allah Swt dan beberapa hadits shahih diantaranya:



وَالَّذِيْنَ آمَنُوْا وَاتَّبَعْهُمْ ذُرِّيَّتَهُمْ بِاِيْمَانٍ اَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا اَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْئٍ كُلُّ إمْرِئٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنٌ (تاطور ٣١)

Dan orang – orang yang beriman dan anak cucu mereka mengikuti dalam keimanan, kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap – tiap manusia terpikat dengan apa yang dikerjakannya.

Allah juga berfirman :

(أَبَائُكُمْ وَأَبْنَائُكُمْ لَاتَدْرُوْنَ اَيُّهُمْ اَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا (النساء :١١)



Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu.



Dalam sebuah hadits shahih  disebutkan:



عَنْ عَائِشَةَ اَنَّ رَجُلًا اَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ أُمِّيَ افْتُلِتَتْ نَفْسَهَا وَلَمْ تُوْصِ وَاَظُنُّهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ اَفَلَهَا اَجْرٌ اِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ (رواه مسلم ١٦٧٢)



“Dan ‘Aisyah RA, “Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW, “Ibu saya meninggal secara mendadak dan tidak sempat berwasiat. Saya menduga seandainya ia dapat berwasiat, tentu ia akan bersedekah. Apakah ia akan mendapat pahala jika saya bersedekah atas namanya?” Nabi menjawab, “Ya”.” (HR.Muslim, :1672).



Dalam kitab Nail al Authar juz IV juga disebutkan sebuah hadits shahih yang berbunyi:



وَعَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمِ اِنَّ أَبِي مَاتَ وَلَمْ يُوْصِ أَيَنْفَعُهُ اِنْ اَتَصَدَّقُ عَنْهُ؟ قَالَ نَعَمْ، (رواه أحمد ومسلم والنساء وابن ماجه(



Dari Abu Hurairah, ia meriwayatkan: Ada laki-laki datang kepada Nabi lalu ia berkata: Ayahku telah meninggal dunia dan ia tidak berwasiat apa-apa. Apakah saya bisa memberikan manfaat kepadanya jika saya bersedekah atas namanya? Nabi menjawab: Ya, dapat (HR. Ahmad, Muslim, Nasa’i, dan Ibnu Majah).



Hadits tersebut diatas menegaskan bahwa pahala sadaqah itu sampai kepada ahli kubur. Sementara di hadits shahih yang lain dijelaskan bahwa sadaqah tidak hanya berupa harta benda saja, tapi juga dapat berwujud bacaan dzikir seperti kalimat la illaha illallah, subhanallah, dan lain-lain sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih berikut ini:



عَنْ اَبِي دَرْأَنْ نَاسًا مِنْ اَصْحَابِ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالُوْا لِلنَّبِي ص.م يَارَسُوْلَ اللهِ ذَهَبَ اَهْلِ الدُّثُوْرِ بِالْاُجُوْرِ يُصَلُّوْنَ كَمَا تُصَلَّى وَيَصُوْمُوْنَ كَمَا تَصُوْمُ وَيَتَصَدَّقُوْنَ بِفُضُوْلِ اَمْوَالِهِمْ قَالَ اَوَ لَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللهُ لَكُمْ مَا تَصَدَّقُوْنَ اِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَكْبِيْرَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقَةٌ (رواه مسبلم١٦٧٤)



“Dari Abu Dzar RA, ada beberapa sahabat berkata kepada Nabi SAW,” Ya Rasulullah, orang-oarng yang kaya bisa (beruntung) mendapatkan banyak pahala. (Padahal) mereka shalat seperti kami shalat. Mereka berpuasa seperti kami berpuasa. Mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka. Nabi SAW menjawab, “ Bukankah Allah SWT telah menyediakan untukmu sesuatu yang dapat kamu sedekahkan? Sesungguhnya setiap satu tasbih (yang kamu baca) adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, dan setiap tahlil adalah sedekah.” (HR. Muslim :1674 ).



Dalam hadits lain disebutkan:



وَعَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اَنَّهُ قَالَ: تَصَدَّقُوْا عَلَى اَنْفُسِكُمْ وَعَلَى اَمْوَاتِكُمْ وَلَوْ بِشُرْبَةِ مَاءٍ فَاِنْ لَمْ تَقْدِرُوْا عَلَى ذَالِكَ فَبِأَيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللهِ تَعَالَى فَاِنْ لَمْ تَعْلَمُوْا شَيْئًا مِنَ اْلقُرْآنِ فَادْعُوْا لَهُمْ بِالْمَغْفِرَةِ وَالرَّحْمَةِ فَاِنَّ اللهَ وَعَدَكُمُ اْلاِجَابَةِ.



Sabda Nabi: Bersedekahlah kalian untuk diri kalian dan orang-orang yang telah mati dari keluarga kalian walau hanya air seteguk. Jika kalian tak mmampu dengan itu, bersedekahlah dengan ayat-ayat suci al-Qur’an, berdoalah untuk mereka dengan memintakan ampunan dan rahmat. Sungguh, Allah telah berjanji akan mengabulkan doa kalian.



Adzarami dan Nasa’i juga meriwayatkan hadis tentang tahlil dari Ibnu ‘Abbas RA.



قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ اَعَانَ عَلَى مَيِّتٍ بِقِرَائَةٍ وَذِكْرٍ اِسْتَوْجَبَ اللهُ لَهُ الْجَنَّةَ. (رواه الدارمى والنساء عن ابن عباس(



Rasulullah bersabda: Siapa menolong mayit dengan membacakan ayat-ayat al-Qur’an dan Zikir, Allah akan memastikan surga baginya. (HR.ad-Darimy dan Nasa’i dari Ibnu Abbas).



Hadis diatas juga didukung oleh hadis Nabi yang diriwayatkan oleh ad-Daraqutni dari Anas bin Malik:



رَوَى اَبُوْ بَكْرٍ النَحَادِ فِىْ كِتَابِ السُّنَنِ عَنْ عَلِى بْنِ اَبِي طَالِبِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ مَرَّ بَيْنَ اْلمَقَابِرِ فَقَرَأَ قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ اِحْدَى عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ وَهَبَ اَجْرَهَا لِلْاَمْوَاتِ أُعْطِيَ مِنَ اْلاَجْرِ بِعَدَدِ اْلاَمْوَاتِ.



Diriwayatkan oleh Abu Bakar an-Najjad dalam kitab Sunan bersumber dari Ali bin Abi Thalib, ia mengatakan, Nabi bersabda: Siapa lewat diantara batu nisan, lalu membaca surat al-Ikhlas 11 kali dan menghadiahkan pahalanya untuk yang meninggal maka Allah akan mengabulkannya.



Dalil-dalil inilah yang dijadikan dasar oleh para ulama tentang sampainya pahala bacaan al-Qur’an, tasbih, tahlil, shalawat yang dihadiahkan kepada orang yang meninggal dunia. Begitu pula dengan sedekah dan amal baik lainnya.



Bahkan Ibnu Taimiyah (tokoh panutan kaum wahabi) mengatakan dalam kitab Fatawa-nya, “sesuai dengan kesepakatan para Imam bahwa mayit dapat memperoleh manfaat dari semua ibadah,baik ibadah badaniyah seperti shalat, puasa, membaca al-Qur’an, ataupun ibadah maliyah seperti sedekah dan lain-lainnya. Hal yang sama juga berlaku bagi orang yang berdoa dan membaca istighfar untuk mayit.” (Hukm al-Syari’ah al-Islamiyah fi Ma’tam al_Arba’in,hal 36).



Mengutip dari kitab Syarh al-Kanz, Imam al-Syaukani juga mengatakan bahwa seseorang boleh menghadiahkan pahala perbuatan yang ia kerjakan kepada orang lain, baik berupa shalat, puasa, haji, shadaqah, bacaan al-Qur’an atau semua bentuk perbuatan baik lainya, dan perbuatan baik tersebut sampai kepada mayit dan memberi manfaat kepada mayit tersebut menurut ulama Ahlussunnah. (Nail al-Awthar, Juz IV, hal. 142).



Kaiatnnya dengan firman Allah dalam Sura an-Najm ayat 39 yang sering dijadikan sebagai dalail bagi orang yang mengatakan bahwa do’a atau pahala yang tidak sampai kepada mayit yaitu:



وَاَنْ لَيْسَ لِلْاِنْسَانِ اِلَّا مَا سَعَى (النجم: ٣٩)



“Dan bahwa seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.”(QS. an-Najm:39)



Berikut ini beberapa penafsiran para ulama ahli tafsir mengenai ayat di atas:



Syekh Sulaiman bin Umar Al-‘Ajili menjelaskan



قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ هَذَا مَنْسُوْخُ الْحُكْمِ فِي هَذِهِ الشَّرِيْعَةِ أَيْ وَإِنَّمَا هُوَ فِي صُحُفِ مُوْسَى وَاِبْرَاهِيْمَ عَلَيْهِمَا السَّل



Telah berkata Ibnu ‘Abbas : Ayat tersebut telah dimansukh (dihapus) hukumnya dalam syari’at Nabi Muhammad saw, hukum yang terkandung dalam ayat itu hanya berlaku pada syari’at Nabi Musa ‘as dan Nabi Ibrahim ‘as.



 AMUKAMelayu - Jangan di ikut RESMInya lalang.....semakin tinggi tegak berdiri tapi tidak berisi. Kenapa tidak di ikut RESMInya PADI, semakin TUNDUK semakin berisi?