Tiada yang indah selain dari dunia kanak-kanak. Tiada yang lebih seronok melainkan zaman kanak-kanak. Tiada yang bersarang di hati penuh dengan kerinduan melainkan di zaman kanak-kanak. Semuanya bermula dengan kampung atau desa. Jom Aki nak coretkan sepanjang riwayatku......
Mengikut mak kesawah.....mengikut mak mencari kayu....mengikut mak mengutip cabai....mengikut mak mengutip pucuk paku.....mengikut mak mengutip kulat.....itu di kira "MENGIKUT ARAHAN".
Ini pula buat hal sendiri dan kawan-kawan.....main wau...mandi sungai....main polis sentry....main lastik....curi rambutan.....tahan burung serindik.....berkelah di hulu kampung.....kutip kekatu nak buat umpan kail....tahan taut....cari ikan karing(Ikan Laga).....tahan ciding(Jerat)....menyelok ikan di musim kemarau.....menjala.....tahan kelong.....bakar tebuan.....timba telaga......mengendap orang mandi......hahahahaha.....main rakit di musim banjir......
Tapi kini Aku amat rindu dengan sungai yang mengalir. Dinginnya menggigit hingga ke tulang sum-sum. Dari gertak(Titi) Tok Sahak di Kampung Tengah hinggalah ke Hemouk adalah jajahanku. Ada 7 empangan di sungai ini. Empangan Kampung Tengah mengalir di dusun macang di kaki Bukit Suro. Empangan ini menjadi tempat untuk berehat sambil makan macang atau durian yang di curi dari kaki Bukit Suro.
Jika menghulu.....dibawah rumpun bambu yang melayut hingga terendam air pucuknya...kawasan ini sunyi dan terasa dingin airnya.....dihadapan telah tersergam Empangan Tey Kok. Disini sekali di tebarkan jala....memuteh ikan terebo melekat kat jala aku......di bawah empangan ini sudah terjadi seperti lubuk......airnya separa dada.....dari empangan Kampung Tengah hingga Empangan Tey Kok tiada rumah orang di tebing sungainya. Itu menjadikan kawasan ini sunyi.......takut oooooooo..........
Keheningan air yang mangalir laju diatas empangan kedalam parit untuk di salirkan ke sawah, amat memukau pandangan ku. Sesekali air menjadi berpusar atau berliku bila ada kayu yang menghalang alirannya.... cukup mempesonakan.....jelas dalam air yang jernih itu Aku melihat anak-anak ikan berkejaran antara satu sama dengan yang lainnya. Seperti ada sempadan antara anak-anak ikan ini. Ikan puyu, haruan, keli dan sepat ronggeng seperti menguasai petak-petak sawah atau telaga/kubang di dalam sawah.
Sementara anak-anak seluang, terebo, tebal sisik, sebarau, kedereng dan ikan lampam menguasai sungai dan parit sebelum masuk kesawah. Untuk parit buang pula di kuasai oleh ikan seperti didalam petak sawah, walau pun tak di nafikan ada juga keli, haruan, puyu dll di dalam sungai. Air yang mengalir dalam parit ini sama dinginnya dengan air di dalam sungai. Hampir di setiap perenggan tanah ada jambatan yang merintangi parit ini. Ia sebenarnya adalah tempat mandian atau tempat membasuh kaki selepas naik dari sawah.
Aku amat rindu dengan sungai yang mengalir.....selalunya di tepi titian ini adalah dangau pisang sesikat yang di buat dari buluh atau kayu hutan. Disinilah tempat melepas lelah. Jika adek-adek mengikut ke sawah, disinilah tempat bermain. Dan disini juga ayah membuat buaian untuk adek kecil di tidurkan. Sehinggalah terdengar puisi ini yang lebih kepada lagu untuk dodoikan adek untuk tidur.
LAGU DODOI ADEK
Lailla...Haillallah.... La.....Hillaaaa....Haillallah......
Pucuk pauhhhh delima batuuuu, anak sembilang di tapak tangannnnn,
Sungguh jauh beribuuu batuuuuu, hilang dimata di hati jangannnnn.
Lailla...Haillallah.... La.....Hillaaaa....Haillallah......
Pisang emassss dibawa belayarrrr, masak sebiji diatas petiiiiii,
Hutang emas boleh di bayarrrr, hutang budi dibawa matiiii.
Lailla...Haillallah.... La.....Hillaaaa....Haillallah.....
Air sungai keruh di huluuuuu, Anak Raja mencari ikannnnn,
Biar jauh mencari ilmuuuu, doa Ibu Allah makbulkannnnn.
Lailla...Haillallah.... La.....Hillaaaa....Haillallah......
Bila jauh diri terbuanggggg, jaga diri di tempat orangggg,
Jangan di bawa rasminya lalanggggg, makin berdiri di tebas oranggg.
Lailla...Haillallah.... Laa...Hillaaaa....Haillallah......
Bila dada penuh berisiiiii, jangan kita menyombong diriiiii,
Ikutlah rasminya padiiiii, makin tunduk makin berisiii.
Lailla...Haillallah.... La.....Hillaaaa....Haillallah.......
Masih terbayang di ruang mata "MENGULIK ADEK" yang menangis nak ke petak sawah mendapatkan Mak.....inilah lagunya yang Aku sering dodoikan adek.... dan di bawah ini pula adalah lagu bermain dengan adek yang duduk di dalam buaian tapi tak mahu tidur........
Ndoi-ndoi ciak, ciak makan padi,
Adek jangan teriak, Mak ketam padi.....
Ndoi-ndoi ciak, ciak makan padi,
Adek jangan gelak nanti nampak gusi....
Ndoi-ndoi ciak, ciak makan padi,
Adek kepala botak, belum tumbuh gigi....
Ndoi-ndoi ciak, ciak makan padi,
Adek jangan teriak, Mak atas titi.....
Tu dia Mak dah balik.........
Alangkah indahnya di waktu itu....kita satu keluarga. Susah dan senang kita bersama. Jauh di tengah sawah Ayah dan Ibu terbongkok-bongkok membuang rumput di tengah petak. Abang di hujung sawah di kubang kerbau mengail puyu dengan umpan kelkatu yang di kutip semalam. Kata Abang kailnya "DEKO". Dah setimba puyu yang di kailnya.
Adek perempuan pula membasuh beras di titi untuk ditanak sementara menunggu Ayah dan Ibu pulang ke dangau. Adek-adek yang lain "BERHIKA" di dalam parit yang jernih dan berpasir itu. Angin dari gunung berhembus lembut menyapa telingaku yang kerinduan dengan air yang mengalir. Aku ingin pulang. Ibu....dengarlah rintihanku ini.......
Ku Membasuh Lelah di Tempat Terindah Bernama Desa
Pulanglah...
Aku terjaga dari tidur
Bagai ada satu suara
Yang lembut membisik padaku...
pulanglah...
Termenung di pagi yang dingin
Terkenangkan kampung halaman
Terbayang wajah wajah sayu...
kurindu...
Kenangan mengusik jiwaku
Berlari di pinggiran desa
Damainya di pangkuan bumi... tercinta
Meskipun kini ku bahgia
Namun jiwaku keresahan
Padamu kasihku tercurah... desaku
Tiba-tiba aku tersedar
Langkah kakiku terhenti
Ku aturkan jejak kembali... padamu
Bersama pengalaman ini
Dewasa bersama cabaran
Akan ku curahkan padamu... oh ibu
Perjuanganmu yang abadi
Akan ku teruskan semula
Membangunkan tanah pusaka... yang indah
Bertapa kesedaran kini
Bumiku dahagakan baktinya
Terimalah pulangku ini...oh ibu...
Lagu nyanyian Datok Shake.
Bagai ada satu suara
Yang lembut membisik padaku...
pulanglah...
Termenung di pagi yang dingin
Terkenangkan kampung halaman
Terbayang wajah wajah sayu...
kurindu...
Kenangan mengusik jiwaku
Berlari di pinggiran desa
Damainya di pangkuan bumi... tercinta
Meskipun kini ku bahgia
Namun jiwaku keresahan
Padamu kasihku tercurah... desaku
Tiba-tiba aku tersedar
Langkah kakiku terhenti
Ku aturkan jejak kembali... padamu
Bersama pengalaman ini
Dewasa bersama cabaran
Akan ku curahkan padamu... oh ibu
Perjuanganmu yang abadi
Akan ku teruskan semula
Membangunkan tanah pusaka... yang indah
Bertapa kesedaran kini
Bumiku dahagakan baktinya
Terimalah pulangku ini...oh ibu...
Lagu nyanyian Datok Shake.
Banyak orang berbangga diri hidup di kota metropolitan seperti KL, tapi tidak bagiku. Mungkin saja ramai yang merasa paling beruntung kerana tinggal di kota yang serba ada dan serba maju. Tapi bagiku tak ada tempat seindah tempat ini, di mana saat kaki memijak tanahnya, seketika itu luntur segenap keegoan dek belahan jiwa. Kerana itulah desaku.
Pemandangan indah di depan rumahku di kampung tidak seindah Taman di KLCC. Tapi disitu Aku sering merinduinya. Tempat inilah yang selalu saya tuju jika harus "melarikan diri" dari kesebukan KL. Suasana dingin pemandangan indah desa seperti ini tidakk pernah mendustaiku dan tidak pernah gagal mengubati hati yang terlara. Kesunyian di sini adalah kenikmatan yang membuatkan lelah berlalu pergi bersama bayu yang berhembus, kekotoran dari kehidupan kota Ku cucikannya disini.
Tinggal di kota besar seperti KL memang menyenangkan. Layaknya kota besar, banyak fasilitis penunjang hidup yang dinikmati, tapi indah lagi didesaku yang seba kekurangan. Kemewahan hidup di KL menjadikan kita alpa dengan kerdipan neonnya, tapi indah lagi kerdipan lampu pelita yang menerangi anjung rumah Mak yang bertikar mengkuang itu. Cantiknya KL dan sapah sarap yang dicuci rapi......tapi cantik lagi belukar di belakang rumah Atok yang menjadi tempat Aku bersembunyi tika bermain polis sentri.
Memang banyak orang mengaku betah dan baiknya tinggal di KL, tapi tidak bagiku. Aku sentiasa ingin kembali menyapa desa yang telah lama ku tinggalkan. Aku ingin menyapanya. Namun seperti umumnya apabila kita sudah kehilangannya, kita akan amat merindunya, tapi itu lebih baik dari kita benar-benar menyayanginya setelah kita terlambat untuk kembali kepadanya.
Seperti berlari di permatang sawah, degup jantungku begitu kuat, irama kehidupan kotanya sering kali mudah mendatangkan lelah. Akhirnya untuk “melarikan diri”, untuk memulihkan kesegaran jiwa dan fikiran yang kusut.....tiada yang dapat menghalangnya, kedamaian dan lambaian desa terus bermain disudut mata......di sana tempatnya untuk melepas lelah dan di sana tempat untuk mengenang semua yang telah berlalu.....
Sungai yang jernih seperti ini tiada di KL, ianya hanya ada di kampung.....orang berwuduk seperti ini tiada di KL atau Pulau Punang, tapi ianya ada di Desa.....bagaimana untuk aku melupakan ketenangan yang menyegarkan seperti ini. Aku bebas disini.....mandi berhika, terjun dari pokok atau jambatan di tepat yang dalam, berakit dengan batang pisang semasa air banjir.......tapi di KL di JB di PP semua orang gundah gulana bila hujan tidak berhenti.....dan selepas banjir...kena ambil cuti untuk mencuci rumah.....tapi tidak di kampung....
Jika tidak pulang kekampung, maka aku akan bersendirian atau berkeluarga "MEMANDU" hati yang lara hinggga ke luar dari KL dan sudah semestinya ke Kuala Selangor. Tanjung Karang menjadi pilihan untuk membasuh lelah yang ditimbulkan oleh hentakan kehidupan KL. Disana ada sawah seluas mata memandang. Di sana ada hijau yang mengasikkan pemandangan. Di sana ada parit yang airnya jernih mengalir.........walaupun bukan air bukit seperti di Kapung Chepor tempat kelahiranku.
Di sana tinggal juga keluarga adekku Fazila namanya. Oleh karena itu ketika berkunjung ke sana selalu ada banyak suara yang menyapa. Meski tak seperti sapaan orang tua yang tiada bandingan, sapaan saudara-saudara sebelah isterinya tetaplah sesuatu yang “mahal”. Apalagi dapat bermain dan anak-anaknya yang datang bermanja, desa adek iparku ini masih lagi suci dengan pemandangan yang indah. Di belakang rumahnya ada sungai yang mengalir kelaut dan sawah yang luas menghijau.
Setiap orang yang Aku jumpai selalu menghadirkan kehangatan. Tak peduli kenal atau tidak, jika bertemu atau mereka melewati di depan kita, anggukan kepala disertai sapaan “assalamualaikum” atau sekadar senyuman begitu terasa menyentuh hati kecil ini.Apabila masuk kekawasan kampung.....semuanya indah belaka.
Bahkan daun pisang kering yang tidak di potong dan bergayutan juga akan menyingkap memori semalam......masa sekolah dulu, daun pisang kering ini di jadikah pembalut untuk bungkusan nasi yang kadang-kadang berlaukan sekadar air garam atau sisa minyak gorengan ikan.
Di sini Aku suka memperlahankan kelajuan kenderaan demi melempar pandangan ke arah samping. Hamparan sawah dan luasnya langit begitu nyata di depan mata. Bahkan jika beruntung Aku akan ketemu dengan kanak-kanak yang mandi disungai atau mereka mencari ikan atau udang. Mesti pun sekilas pandang......dapat ku lihat mereka yang tersenyum dan malu-malu dan manis sekali.
Begitulah kehidupan aku kini setelah bergelar PERANTAU. Alang-alang menjadi perantau, biarlah mati juga di perantauan. Sampai di rumah adek yang ku dodoikan dulu di dangau di tepi sawah, kebiasaannya Aku akan menyapa abang iparnya lalu duduk sejenak bersama abang iparnya di bangsal dihadapan rumahnya. Selepas itu barulah Aku akan masuk kerumah adekku dan melepaskan lelah diruang tamunya.
Dari daun tingkap yang terkuak lebar itu Aku dapat menikmati indahnya desa di Kuala Selangor ini. Tak perlu jauh untuk memulai mencari keindahan itu karena ianya sama seperti sawah Mak di Kasai, di depan dangau yang Ayah dirikan di seberang parit terbentang sawah berlatarbelakang pergunungan yang biru dengan suara ungka yang bersahutan yang jelas kedengaran.
Kenyutttttt.......kenyut.........kenyut.......kenyut.......aung......aung.....dan suara ungka ini akan bersahutan sehingga senja menjelang.......
Di hadapan dangau ini pula tebing yang agak tinggi menjadi tempat adek-adekku menjadikannya PAPAN ANJAL untuk terjun kedalam parit. Sementara di kiri arah ke Hemouk.... matahari terbit akan langsung berhadapan dengan mata bila kita berada di atas titi. Sungguh menyenangkan.
Sorotan matahari pagi menyinari perjalanan kembali kedesa di tengah sawah dalam kerinduan menyingkap kenangan lalu. Tepat di ujung batas sawah ayah, disana adalah sungai Chepor yang mengalir laju dan aku amat rindu dengan sungai yang mengalir.
Di tepian sawah sejumlah petani siap menanam padi. Aku bertanya pada adekku adakah dia juga membuat sawah. Dia hanya tersenyum dan mengatakan.....mana ada sawah....saya hanya menumpang Tanah bini....aku tunduk rasa bersalah kerana adek yangku buaikan dahulu kini telah jauh meninggalkan kehidupan lampau. Hidupnya kini mengambil upah menjaga kebun sawit orang.....tapi Alhamdulillah.... kehidupannya dah banyak berubah jika di bandingkan dengan beberapa tahun dahulu.
Balik dari rumah adekku, Aku singgah lagi di Tanjung Karang. Aku memasuki simpang ke kawasan persawahan. Selanjutnya Aku dan anak-anakku...Idayu, Ika dan Najwa memulai memasuki batas-batas sawah. Berjalan perlahan menyisiri pinggiran jalan, aliran air parit mengalir menuju petak-petak sawah.
Beningnya memancarkan kesegaran, aduh......indahnya alam ini. Di sisi kanan dan kiri jalan bunga-bunga telipok dan leweh kembang keputihan dan kekuningan memenuhi kolam yang dalam berair. Dan bunga-bunga air yang lain pun bermekaran memberi warna yang garang dan berlawanan dengan hijaunya rumput.
Dinginnya angin petang semakin menyentuh dan membalut rasa rinduku yang masih menggantung butiran-butiran hujan yang turun sebentar tadi dan masih bersisa di ujung daun. Aku kerap menemukan kupu-kupu di balik dedaunan itu. Mungkin ia baru bangun dari berselindung dari hujan yang panjang. Cantik sekali pemandangan ini.
Indahnya desaku tercinta, ianya semakin cantik selepas hujan. Tidak sama dengan pemandangan dipagi hari kala embun masih menitis, saat kupu-kupu baru bangun tidur di balik dedaunan. Pemandangan petang selepas hujan bagaikan semuanya segar dan riang gembira.
Melihat pepatung yang terbang berkupulan dan sesekali mengacah untuk hinggap di kepalaku. Di tiang pagar yang berjajaran di pinggir sawah menjadi tempat pepatong ini hinggap dan berpacaran. Sementara kumbang-kumbang pula berpeleseran di SUNTINGNYA bunga yang sedang kembang di petang hari.
Bunga-bunga bermekaran di pagi hari mempercantikan jalanan di pinggir sawah. Saya suka berdiam di pinggir sawah. Sambil duduk melipat kaki, helaan nafas begitu segar. Warga desa pun mulai nampak sebuk menjelang senja. Menyenangkan sekali melihat para orang tua membuat persediaan menjelang malam. Dengan berbasikal melintasi batas-batas sawah yang sememangnya rumah mereka di tengah sawah. Para orang tua itu adalah para petani dan pesawah. Dengan basikal tua mereka sering berkayuh beriringan bila sampai di jalan besar.
Di belakang basikal mereka biasanya membawa bakul atau raga atau pun kosong begitu sahaja. Sementara di handle basikal tergantung sebiji botol besar yang di panggil botol sekati. Mereka akan terus kekedai dan lepak bersama kawan-kawan di pangkin kedai runcit. Sambil menggulung rokok daun dengan tembakau cap kerengga.....mereka akan bercerita hal kampung dan keluarga. Sesekali terdengar hilai tawa mereka yang tidak berapa nyaring dan sesekali juga terdengar batuk-batuk kecil....tanda sudah di mamah usia.
Sekembali nanti.....botol tadi diisi dengan minyak Tanah untuk pelita, ini semasa kampung tiada lagi letrik. Gula sekati, sedikit bawang, tepung dan ikan kedera kering atau sardin. Untuk anak-anak di belinya roti akar kelapa atau roti gula,roti bulat yang ada jambut dari gula yang berwarna-warni. Sangat ikhlas bapa-bapa yang pulang dari kedai......dan di letakkan semua itu dimuka pintu dapor. Selepas itu terus ke perigi berwuduk dan ke masjid atau surau.
Wajah-wajah mereka terlihat sangat bersih walaupun sedikit kehitaman di makan matahari...tapi jelas wajah yang ceria seolah-olah tak mengenal beratnya kehidupan yang sering mereka lalui dan tidak seperti mereka yang agak BERPENDIDIKAN tinggal di KL seperti Aku tapi selalu banyak perkara yang di keluhkan. Biasanya Aku juga duduk di atas parit besar(Ban) yang mengalir di pinggir sawah demi melihat lebih banyak lagi orang-orang tua yang berbasikal mengayuh pulang sama seperti burung-burung yang berkicauan kembali kesarang.
Melihat mereka mengayuh basikal dengan songkok lusuh atau ketayap yang putih kini kekuningan di kepala mereka sambil cerut tergonggong di bibir sungguh menyenangkan dan penuh nostalgia. Putaran roda basikalnya bagaikan berbahasa bahawa hidup harus terus diteruskan walau seberat mana sekalipun kaki yang melangkah meranjaui batas-batas masa yang masih jauh untuk menjalaninya.
Menjelang pagi yang cerah kita dapat lihat satu demi satu petani tiba di sawah. Senyuman mereka sehangat pagi. Puas dipinggir sawah Aku tidak beranjak menapaki pematang-pematang sawah untuk mendekat ke arah para petani ini. Melihat ada orang asing yang mendekat sambil membawa kamera para petani desa itu biasanya akan berkata;
“Walaikumsalam selepas menjawab salamku mereka berkata lagi, nak ambil gambar ke? Tak payahlah, gambar Pakcik bukanya elok....dah tua pun”.
Itu pertanda baik kerana mereka tak keberatan untuk kita mendekati mereka dan kerjayanya sebagai petani turun-temurun. Melihat para petani membungkuk dan meletakkan makanan atau bekal di atas dangu, lantas kenangan lampau menjengah di ruang kenangan.
Pagi-pagi begini aku juga sudah berangkat menembus dinginnya embun pagi lalu meletakkan kaki ke dalam tanah sawah yang becak dan berselut. Sepanjang setengah hari Aku, Mak dan Ayah biasanya akan bertahan di sana melakukan pekerjaan yang sama. Sepintas apa yang mereka kerjakan itu. Nampak sangat mudah dan bersahaja. Jika musim menanam hanya membenamkan semai kedalam lumpur, jika padi dah besar....ikut ayah merumput dan membuang rumput sambau yang bercampur dengan padi.
Jika musim menuai....membantu mak mengerat padi dan yang membanting adalah ayah. Sudah beberapa kali tanganku terluka di makan pisau pengerat padi.....berjujuran darah dari kelinkingku.....Ayah dan Ibu menerpa....dan terkeluar dari mulut ayah......"Ya Allah anakku"....sementara Mak pula membuka kain batik yang menutup di kepalanya.....seperti di fahami, Mak memberi pada Ayah dan Ayah mengoyaknya dan kain yang di koyak selebar tiga jari itu di jadikan pembalut luka.
Banyak parut-parut kenangan itu di tanganku.....tapi banyak lagi luka di tangan Ayah dan Mak. Tapi nyatanya mereka yang selama ini nampak riang dan gembira sebenarnya banyak menyimpan duka nestapa untuk membesarkan kita. Mereka adalah Ibubapa yang tabah dan berhasil mendidik kita dengan TAUHID yang tinggi dan mereka sanggup melakukan apa saja dei untuk kebahgian kita, katanya...hilai dan tangisan anak-anak itu adalah hiburang selepas penat di sawah dan melepaskan lelah adalah dengan melihat kelakuan anak-anak.
Padi-padi dara yang kehijauan nampak cantik berendam di sawa yang berair. Sesekali terdengar haruan menyabar atau ternampak puyu yang berkejaran dalam air sawah yang jernih itu. Melihat pemandangan bak lukisan ini siapapun pasti akan tersenyum dan terpegung dengan kuasa Allah. Dua orang petani berjalan di perbatasan itu sambil menunjuk-nunjuk karah aku menjadikan Aku tergaman.....sampai di hadapanku, mereka menjemput aku dan anak-anak kedangau untuk menikmati ubi rebus yang campur kelapa tumbuk yang sememangnya bukan makanan anak-anakku.
Para petani itu biasanya tak pernah bekerja tanpa berbincang dengan keluarga;. Di tengah sawah sambil menanam padi atau meruput, mereka berbincang bahkan seringkali terdengar ketawa mereka yang bukan dibuat-buat. Tawa mereka di sambut oleh kawan-kawan bila mereka asyik menikmati kopi sejuk dan ubi rebus. Aku yang menyaksikannya pun ikut tersenyum menumpang rasa gembira walaupun pemandanganku semakin kelabu.
Mereka seperti Ayah dan Mak, mereka tak memerlukan kemewahan untuk tertawa tapi mungkin itulah kunci kebahagiaan walaupun mereka petani.....tapi mereka punyai rumah dan basikal mungkin HONDA CUP 70 tanpa kad kredit dan buku bank.....mereka tiada hutang seperti kita yang tinggal di Banglow mewah dan dihiasi dengan bunga-bunga yang berkembang ditaman larangan dengan pasu yang berharga ratusan ringgit.
Melihat kambing dilepas liar untuk mencari makan di tanah lapang adalah hal yang menarik dan mengesankan. Tak terasa hari sudah menjelang zohor dan Aku makin larut menikmati satu persatu keindahan desa. Berjalan meninggalkan sawah saya menuju tanah lapang sebelum kembali ke rumah. Tanah lapang yang terlalu luas itu digunakan untuk menggembala kambing atau kerbau sebelum mereka di tarik untuk berkubang.
Bermain dengan sekawan kerbau yang sedang berkubang mungkin asing bagi anak-anak sekarang, tapi tidak bagiku. Pada penghujung tahun 60an, kerbau biasa menjadi teman bermain bagi aku dan kawan-kawan. Kami bermain dengan lumpur dan berkubang bersama kerbau dan kami menunggang kerbau di kawasan sawah di Kampung Chepor Lenggong Perak. Sebagian anak-anak yang tinggal di kota besar seperti KL disaat ini mulai asing dan kian berjarak dengan kehidupan alam bebas. Mereka tidak lagi bermain dan hidup dengan alam.
Di atas tanah yang sama rumah Tok dikampung, hampir sekelilingnya di tanam dengan pokok buah-buahan. Tambahan jalan kesungai di rumah Pek Aji, kembali dari sekolah...jika ikut jalan rumah Tok Yang Goleng....konpom panjat pokok jambu dulu sebelu balik kerumah. Hampir tidak tersisa tanah yang ada, semuanya dimanfaatkan dan sebahagian halaman rumah juga ditanam mangga dan jambu. Aku dan kawan-kawan di desa biasanya suka singgah di halaman rumah Pek Aji untuk memetik jambu biji yang tak terlalu tinggi tapi rajin berbuah atau rambutan bila tiba masanya.
Di rumah Tok di kampung Aku puas menikmati buah-buahan hanya di halaman rumah. Tak jauh dari rumah Tok berdiri rumah Pek Teh yang juga penuh dengan pokok buah-buahan. Yang menyenangkan jika di rumah Pek Teh Aku dapat menikmati jambu pelang atau jambu keling dan buah seto sepuasnya, di rumah Pek Teh juga penuh dengan warna-warni rambutan merah dan kuning berserakan di atas pohon di halaman rumahnya.
Kini semuanya tinggal kenangan. Dulu aku bersama sepupuku Zi dan Marzuki sering memanjat atau mengait untuk memetiknya. Jika menggunakan galah buluh, satu persatu rambutan Aku dan kekawan mengait rambutan dari tangkainya. Sambil duduk di halaman rumah, Aku menikmati manisnya rambutan. Isi buahnya sangat tebal, sedikit air dan mudah dilepaskan dari bijinya. Rasanya tidak terlalu manis sehingga tak cepat bosan jika memakannya dalam jumlah banyak. Tapi Aku benci bila masuk di celah gigi.
Pemandangan desa di kala petang bagaikan gambaran dari syurga. Sangat nostalgia dan bisa menggamit perantau pulang. Alam pedesaan yang terbentuk dari tenteramnya senja tiada duanya. Melihat seorang petani yang masih bekerja membajak sawah di kala matahari nyaris terbenam sungguh mengharukan.
Pemandangan manis kala senja melukiskan seribu kenangan. Di tengah sawah masih ada petani yang sedang menhabiskan sisa-sisa kerja yang tidak mahu di tangguh. Di saat siang sudah resmi berakhir, petani ini masih hanyut di tengah sawah melangkah longlai meninggalkan pokok-pokok padi yang hijau merimbun.
Desa, inilah tempat terindah untuk mengubati orang KL yang keletihan. |
Aktiviti Masa Kecil yang Akan Membuatkanku Mengukir Senyum Bila Sendirian
Kadang merasa sangat iri hati tika melihat kanak-kanak kecil bermain sambil tertawa riang sedangkan kita harus bersengkang mata dengan deadline kerajaan atau tugas sampingan. Namun, melihat mereka membuat kita jadi mengenang sejenak hal-hal yang mengasyikan yang pernah dilakukan di masa kecil dulu. Senyum pun merekah begitu mengingat kita pernah melakukan hal-hal lucu seperti bermain bola hingga petang yang harus diakhiri dengan ibu membawa batang kail, bermain masak-masakan dan budak perempuan di suruh kita makan daun yang kononnya ikan kari............gilaaa..... benar-benar di suruh mencubanya.
Rasanya ingin kembali ke masa lalu. Masa di mana hidup tidak serumit hari ini. Tapi, tentu sangat mustahil. Namun hal tersebut patut kita syukuri, karena setidaknya kita bisa mengingatnya terus sebagai salah satu kenangan indah yang tidak semua orang pernah melakukannya, termasuk anak-anak zaman sekarang. Biar hari ini makin menyenangkan tapi mengenang kembali kegiatan yang pernah kita lakukan ketika kecil dulu amat menarik dan membuatkan menjadi rindu dan kekadang kita senyum sendirian dan kekadang kita melepaskan keluhan yang amat dalam.
1. Mencari Ikan dengan Teknik menahan TAUT Amat Menyenangkan
Agenda hiburan waktu pulang sekolah anak-anak dulu penuh dengan agenda kehidupan, peraminan atau keasyikan yang penuh dengan pengajaran sebagai persedian sebuah kehidupan mendatang. Bukan main PSP atau terperap di hadapan komputer melayari internet, . Mungkin ada antara kita yang dulu hobi sangat gila dengan aktivitas satu ini, pasti ingat sekali kalau mencari ikan.Ia amat berbeza dengan pekerjaan yang susahnya bahkan melebihi Pelajaran matematik atau bermain game. Namun hobi menahan "TAUT" di petak sawah amatlah mengasyiknya.
Taut
Merupakan alat yang mudah untuk menangkap ikan yang masyhur di
kalangan kaum petani. Bentuknya seperti bok kail atau joran tetapi
bersaiz kecil. Taut biasanya dibuat dalam kuantiti yang banyak
lebih kurang 30 batang sehingga 100 batang bertujuan untuk ditahan/dipasang
dengan cara mencacak di tepi-tepi batas di sekitar kawasan bendang. Ia digunakan ketika air bendang ditakung atau semasa padi bunting. Fokus tanggapan hanya pada ikan haruan dan keli sahaja. Terdapat 2 cara taut dikendalikan iaitu dijaga pada setiap masa, ditahan dan dijenguk pada masa-masa yang tertentu sahaja. Adakalanya taut dipasang sepanjang malam dan dijenguk pada keesokan harinya. Apabila ikan mengena ia akan dikutip dan umpan disimpan semula.
Ada teknik tersendiri untuk mentaut ikan. Sekiranya untuk mendapatkan ikan keli, umpan taut biasanya cacing dibiarkan tenggelam di dalam air. Untuk mendapatkan ikan haruan, mata kail berumpankan anak ikan sepat akan digantung sehingga tenggelam ridipnya sahaja. Sekiranya berumpankan katak, dibiarkan berlompatan di atas permukaan air. Ikan haruan yang makan umpan bersifat menyambar akan mengena.
Taut dipasang dengan tali hujungnya sepanjang sekaki dan diperambut dengan mata kail yang agak besar saiznya. Batangnya diperbuat daripada buluh beting atau buluh duri. Batang taut biasanya lebih besar daripada hujungnya yang diraut nipis sehingga boleh dilenturkan bagaikan 'spring'. Pangkalnya ditajamkan untuk senang dipacak ke dalam tanah.
Pertama yang kita perlukan adalah mata kail, tali tangsi dan mata pancing. Selepas itu merayap di kebun getah mencari anak-anak pokok "TEMBERAS", anak pokok ini ianya lurus penjangnya 1 meter. Ia bertindak seperti batang joran. Bila semuanya dah siap....jeng...jeng...jom cari umpan, biasanya cacing tanah atau anak katak yang di tangkap di sekeliling kubang kerbau. Setelah persiapan selesai, saatnya pergi ke persawahan sekitar.
Ikan keli, haruan, puyu atau sepat lebih banyak di sawah yang padinya masih kecil atau padi dara, walaupun kadang ada pula di sawah yang sudah siap di tuai, tapi dalam tempat yang berair atau kubang.....ia menjadi tempat ikan berhimpun selepas kawasan lain telah menjadi kering. Kubang berair di bagian tengah sawah atau sememangnya telaga yang di buat untuk ikan MENYABUNGKAN kadar hayatnya selepas musim menuai menjadi tempat untuk menahan taut.
Tapi jangan mengarapkan semestinya iakn sahaja yang kena, bahkan kadang-kadang kura-kura belut dan ada kalanya ular, ini yang akan membuat kita lari tunggang langgang sampai TERJEREBAB kedalam lumpur sawah yang indah walau pun kotor bagi pandangan orang bandar.
2. LAYANG-LAYANG
Main layang-layang memang masih sering dimainkan anak-anak zaman sekarang. Namun hanya layang-layang mudah yang di beli dari kedai atau sekedar mengisi waktu di taman atau di pantai. Dulu, layangan adalah aset berharganya anak-anak dan tidak ada hal lain yang bisa menyaingi kegembiraan ketika memainkannya dan mereka mebuatnya sendiri.
Anak-anak zaman dulu bermain layang-layangan sendiri. Dari menebang buluh hinggalah melekatkan kertas. Benang, bilah buluh, gam dan kertas kajang adalah alat penting dalam pembuatan wau atau layang-layang.
Dulu anak-anak yang paling ditakuti bukan pada yang berduit atau punya banyak mainan. Tapi mereka takut bila di katakan beli wau atau beli lastik atau beli gasing. Ia bagaikan MARUAH diri jika kita anak lelaki tapi tidak mampu memanjat pokok atau berenang. Ini di kira haga diri.
Seua benda mainan di buat sendiri dan yang uniknya lagi, ang sekali campur tangan orang tua dan jika ada pun ada orang tua yang menunjukkan cara bagaimana untuk membuat sesuatu alat permainan itu. Bila wau sudah di udara.....mereka menambatnya dan dimasa itu juga mereka bermain lastik atau bermain guli.
Dan bila angin kencang mereka berlari mendapatkan wau masing-masing dan menarik dan menggulung benang. Jika ada wau yang putus talinya.....mereka berjejaran mengejarnya.....maka riuh rendahlan kawasan itu dengan suara anak-anak yang jatuh dan bangun mengejar layang-layang yang putus talinya.
Mengejar layangan putus sendiri juga adalah aktivitas yang sangat indah untuk di kenang.
3. Mandi Sungai.
Sungai adalah surganya anak-anak zaman dulu. Sensasi bahagia ketika bermain di sini lebih dari asyiknya terjun di GERETAK rumah Yak. Sungai Chepor dengan air yang jernih itu membuatkan lupa yang hari telah menjelang senja. Sungai adalah hiburan yang menawarkan banyak sekali aktiviti yang menyenangkan dan menyeronokkan. Mulai dari mancing, menangkap atau menyauk anak-anak ikan kecil, membasuh kain, berenang dan terjun "TARZAN" di samping di tebing sungai banyak sayur-sayuran semula jadi seperti pucuk paku, kangkong, kemahang dan ulam-ulaman yang lain. Bermain perahu daun juga amat mengasyikkan.4. Mandi Hujan Sampai Sakit
Sekarang hujan adalah musuh kanak-kanak, dulu justru sebaliknya. Begitu mendengar suara rintik hujan, anak-anak akan berhamburan keluar rumah bermain dan bermanja dengan hujan. Makin lebat hujannya, maka kita akan makin bersorak riang. Bahkan sampai menjerit-jerit minta hujan turun dengan lebat. |
Aktiviti ketika hujan ini berbagai-bagai. Dari bermain bola sampai berlarian ke rumah-rumah tetangga untuk duduk di bawah air "palong" yang mengalir dari talang rumah. Mencari ikan juga adalah yang paling sering dilakukan. Saat banjir, biasanya ikan akan lebih mudah ditangkap.Menyejar pepatong di musim hujan juga amat menyeronokkan.
Anehnya, hampir jarang sekali ditemui kanak-kanak yang sakit meskipun mereka mandi hujan seharian. Paling tak tahan pun mungkin di hinggap selesema yang mudah di sembuhkan dengan hanya mandi air panas serta di rebus dengan daun "BEKA" oleh ibu mereka yang pasti kita masih ingat semua itu. Begitu menyenangkan dan membahagiakan. Rasanya ingin kembali ke zaman itu dengan hujan yang dingin membelit tubiuhku, tapi sayangnya kini kita akan dikira orang gila kalau bermain dengan hujan.