,مليسيا دان اسلام بوکن ميليک اورڠ ڤوليتيک
, مک ڤرجواڠن اݢام تتڤ دڤرجواڠکن اوليه اومت اسلام دري بيدڠ يڠ لاءين
سام اد كامي منڠ اتاو كامي ماتي

PERJALAN HAJI AKI


Friday, 27 May 2016

PENDEKAR SUFI - Syeikh Abdus Somad Al-Falimbani



SYEH ABDUS SOMAD AL-PALIMBANI
~  SYEH ABDUS SOMAD AL-FALIMBANI  ~

Syeh  Abdus Somad Al-Palimbani adalah anak seorang ulama terkenal bernaama Syeh Abdul Jalil bin Abdul Wahab bin Syeh Ahmad Al-Madani Al-Yamani. Bapak Syeh Abdus Somad Al-Palimbani ini adalah tokoh sufi, dia senang berkelana ke mana-mana. Setelah enam bulan  Syeh Abdul Jalil  berada di Palimbang, dia terus mengembara ke tanah Jawa. Dari Jawa , dia terus berkelana  ke India.  

Sesudah itu dia menuju ke  Murqui di Selatan Burma. Dia juga pernah pergi ke Kedah, dia berada di sini pada 1 Jumadil Akhir 1122 H. Di antara muridnya di Kedah adalah Sultan Kedah yang bernama Tengku Muhammad Jiwa.

Sultan Kedah, Tengku Muhammad Jiwa, mengangkat gurunya, Syeh Abdu Jalil sebagai  Mufti. Sultan Kedah mengawinkan gurunya dengan Wan Zainab binti Dato’ Seri Maharaja Putera Dewa. Dari perkawinannya ini, dia mendapat dua orang anak, yaitu Wan Abduk Qadir, dan Wan Abdullah.

Pada suatu ketika datanglah seorang muridnya di Palimbang bernama Raden Siran ke Kedah. Raden Siran minta kesediaan gurunya, Syeh Abdul Jalil untuk berkunjung ke Palimbang, karena banyak murid-muridnya yang merindukannya di sana. Permintaan Raden Siran itu disetujui oleh Syeh Abdul Jalil.

Setelah Syeh Abdul Jalil melapor kepada Sultan Kedah, Tengku Muhammad Jiwa, Maka berangkatlah dia bersama muridnya Raden Siran menuju Palimbang. Raden Siran dengan penuh kesungguhan meminta agar Syeh Abdul Jalil berkenan kawin lagi di Palimbang. Permintaan Raden Siran ini ternyata tidak sia-sia, ternyata gurunya, Syeh Abdul Jalil memperkenankan harapan muridnya. 

Dikawinkanlah Syeh Abdu Jalil dengan Raden Ranti. Dari perkawinannya inilah melahirkan seorang putera bernama Abdus Somad, yang dikemudian hari dikenal nama Syeikh Abdus Somad Al-Palimbani.

Setelah beberapa waktu berselang, Syeh Abdul Jalil kembali menuju Kedah, melanjutkan tugasnya sebagai Mufti Kedah. Ketiga puteranya, Abdul Qadir, Abdullah, dan Abdus Somad, pada mulanya dididiknya sendiri, dia berikan pelajaran keagamaan, kemudian ketiganya melanjutkan pendidikannya ke salah satu pondok di negeri Patani. Dari sana terus dua di antaranya, Wan Abdul Qadir dan Abdus Somad melanjutkan pendidikannya di Makkah, sedangkan Wan Abdullah tidak melanjutkan pendidikannya ke sana. 

Pada tangggal 19 Rabi’ul Awwal tahun 1153 H, Wan Abdullah dinobatkan menjadi bakal Sultan, dengan gelar Seri Maharaja Putera Dewa.

Setelah Wan Abdul Qadir menamatkan pendidikannya di Makkah dan Madinah, dia kembali ke Kedah, kemudian dia dilantik  menjadi Mufti Kedah mengantikan orang tuanya, Syeh Abdul Jalil.

Adapun Syeh Abdus Somad  masih menatap di Makkah, dan dengan beberapa orang kawannya, antara lain Syeh Muhammad Arsyad bin Abdullah Al-Banjari dan Syeh Daud bin Abdullah Al-Patani melanjutkan pendidikannya ke Madinah. Di sana, dia belajar kepada ulama-ulama  sufi, antara lain Syeh Atho’illah dan Syeh Muhammad bin Abdul Karim Saman Al-Madani.

Diceriterakan , Syeh Abdus Somad Al-Palimbani pernah pulang ke Palimbang, namun, karena Palimbang ketika itu telah dijajah oleh Belanda, sehingga dia berkeberatan tingal di Palimbang. Dengan tekad bulat dia pergi ke hutan menebang kayu untuk membuat sebuah perahu yang akan dipergunakannya mengarungi samudera pergi ke Makkah. Hal ini dia lakukan untuk menunjukkan bahwa dia betul-betul anti penjajah, anti Belanda, anti orang kafir, dan dia tidak mau berhubungan dengan orang-orang kafir.

Dengan demikian, walau bagaimanapun sulitnya pergi ke Makkah dengan perahu, namun, dia tetap tidak mau menggunakan kapal kepunyaan Belanda. Dia pergi ke Makkah pada tanggal 10 Muharram 1244 H.

Yang penting ditulis di sini adalah, Syeh Abdus Somad Al-Palimbani terkenal sebagai seorang sufi yang menulis beberapa karya tulis tentang tasawuf, sekaligus dia dikenal sebagai penegak jihad fi sabilillah pada peperangan di daerah Senggara melawan bangsa Siam yang bernama Bidha. Tidak benar dugaan orang yang mengatakan bahwa sufi hanya memikirkan akhirat. 

Ternyata, Syeh Abdus Somad Al-Palimbani dikenal sebagai sufi dan yang berperang, dan syahid di medan juang.

Beberapa karya tulis Syeh Abdus Somad Al-Palimbani adalah :
1.     Shirat al Murid fi Bayani Kalimat al Tauhid.
2.     Hidayat al-Salikin
3.     Siyar al-Salikin
4.     Urwat al-Wustqa
5.     Ratib Syeikh Abdus Samad Al-Palimbani
6.     Nashihat al-Muslimina wa Tazkirat al-Mu’minin fi Fadail al-Jihadi wa Karamat al-Mujtahidina fi Sabilillah.

Karya tulisnya yang terkenal, Hidayat al-Salikin adalah banyak diambilnya dari kitab Bidayat al-Hidayah karangan Imam Al-Ghazali, kemudian dia tambahkan dengan kitab-kitab karangan sufi lainnya. Kitab Hidayat al-Salikin merupakan kitab tasawuf pertama  yang ditulisnya dalam bahasa Melayu.

Syeh Abdus Somad Al-Palimbani berkomentar, bahwa keutamaan ilmu Tasawuf, ialah apabila ilmu itu disoroti dari segi manfaatnya. Dia menunjuk sejumlah kitab tasawuf sebagai buktinya, antara lain Bidayat al-Hidayah, Minhaj al-Abidin, Ihya’ Ulum al-Din, Arba’ina fi Ushul al-Din, kesemuanya adalah kitab tasawuf karangan Imam Al-Ghazali. 

Selain itu dia ketengahkan pula kitab Yawaqit wa al-Jawahir, karangan Syeh Abdul Wahhab As-Sya’rani, Syarah Hikam karangan Syeh Ibnu ‘Ubbad, Al-Durr al-Samin karangan Sayid Abdul Qadir Alaydrus, dan lain-lain.

Abdus Somad Al-Palimbani di abad ke-18, pada saat itu Islam di Kesultanan Palembang telah menunjukkan kemajuan-kemajuan yang menonjol. Sultan Najmuddin (berkuasa 1706-1774 M.) dan puteranya Sultan Bahauddin (berkuasa 1774-1804 M.) kelihatan memberikan perhatian yang besar untuk pembinaan Islam di sana. 

Masjid Agung Palembang yang sangat megah, misalnya, dibangun pada tahun 1740 M. Para ulama dan cendekiawan muslim mendapat pengayoman pula dari kesultanan, sehingga dalam abad itu muncul penulis-penulis Palembang yang sampai sekarang masih banyak tulisan mereka yang dapat ditemui. Kesultanan Palembang pada abad ke-18 M itu adalah menjadi salah satu pusat pengkajian Islam. Sejak abad ke-18 itu sudah banyak orang Arab yang menatap di sana, dan punya perkampungan di sana.

Nama lengkapnya disebut Abdus Samad Al-Jawi Al-Palimbani. Dari nama ini bisa diketahui bahwa dia adalah orang Jawi (Melayu) yang berasal dari Palembang. Riwayat hidupnya belum banyak yang bisa diungkapkan,  dia dia banyak dikenal melalui tulisan-tulisannya yang masih ada sampai sekarang.

Sewaktu Syeh Abdus Somad bin Syeh Abdul Jalil masih menetap di Makkah  ia dan beberapa orang sahabatnya di antaranya Syeh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari dan Syeh Daud bin Abdullah al-Fathani melanjutkan pelajarannya di Madinah. Di sana dia belajar kepada ulama-ulama sufi di antaranya Syeh Atho’illah dan Syeh Muhammad bin Abdul Karim Saman al-Madani. Dikatakan bahwa beliau pernah pulang ke Palembang, namun oleh karena Palembang ketika itu telah dijajah oleh Belanda, dia tidak bersedia tinggal di Palembang. 

Dengan tekad bulat, dia pergi ke hutan menebang kayu untuk membuat perahu yang akan dipergunakan untuk kembali ke Makkah. Hal ini disebabkan karena semangat anti kepada Belanda anti kafir, sehingga beliau tidak akan mengadakan hubungan dengan orang kafir sedikitpun. Jadi walau bagaimana sulitnya untuk pergi ke Makkah  kerena semua kapal adalah kepunyaan Belanda  terpaksalah dia bertindak nekad seperti yang disebutkan di atas. Apakah benar tidaknya ceritera ini, namun, nyatanya  banyak orang yang menceriterakankannya. 

Berdasarkan buku Al-Tarikh Salasilah Kedah, menerangkan bahwa pada 10 Muharram 1244 H, duli Tengku Muhammad Saat dan Tuan Syeh Abdus Somad anak Syeh Abdul Jalil al-Mahdani yang baru sampai di Makkah hendak berjumpa dengan saudaranya Syeh Abdul Qadir yang menjadi Mufti di  negeri Kedah, dan Dato Kema Jaya Pulau Langkawi, dan hulubalang pahlawan semuanya sepakat membuat angkatan yang kuat hingga dapat pulang ke Kota Kuala bertemu Tengku Muhammd Saat.

Dijelaskan bahwa Syeh Abdus Somad baru kembali dari Makkah pada 10 Muharram 1244 H, namun tahun yang tepat tentang ini tidak ada yang memestikannya.

Nampaknya peranan Syeh Abdus Somad al-Palimbani sangat penting dalam perang yang terjadi antara Kedah dan Patani melawan Siam. Dalam hal yang lain saudaranya Syeh Abdul Qadir bin Syeikh Abdul Jalil juga memegang peraranan penting dalam kerajaan Kedah, selain daripada jabatannya sebagai Mufti, dia juga pernah diutus ke Benggala untuk bertemu dengan pihak East India Company yang ketika itu tidak membayar penghasilan di Pulau Pinang.


Sheikh Abdus Shamad Al-Falimbani Wafat Sebagai Syuhada
 Koleksi tulisan Allahyarham WAN MOHD. SHAGHIR ABDULLAH

LEMBARAN akhir kitab Siyarus Salikin dinyatakan diselesaikan di Taif pada tahun 1203 Hijrah.
 

SHEIKH Abdus Shamad al-Falimbani adalah seorang ulama sufi yang agung di Nusantara, beliau sangat anti terhadap penjajah dan ia telah menunjukkan kesanggupan luar biasa untuk berjuang demi ketinggian Islam semata-mata.

Prof. Dr. Hamka menyebut dalam salah satu karangannya, bahawa setelah belajar di Mekah, Sheikh Abdus Shamad Palembang tidak pernah kembali ke tanah airnya Palembang, lantaran bencinya terhadap penjajah Belanda.

Sebagaimana disebutkan bahawa yang sebenarnya menurut khabar yang mutawatir, dan bukti-bukti bertulis bahawa Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani pulang buat kali pertamanya ke Nusantara bersama-sama sahahat-sahabatnya iaitu Sheikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari, Sheikh Abdul Wahab Sadenreng Daeng Bunga Bugis, Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani, dan Sheikh Abdur Rahman al-Masri.

Diceritakan oleh Sheikh Abdur Rahman Shiddiq al-Banjari dalam Syajaratul Arsyadiyah, bahawa gurunya menasihati mereka jika ke Mesir untuk mendalami ilmu pengetahuan, hal itu akan mengecewakan kerana Sheikh Abdus Shamad dan Sheikh Muhammad Arsyad Banjar itu bukan layak menjadi mahasiswa, akan tetapi layak menjadi mahaguru.

Di Mesir adalah sukar mencari ulama yang lebih tinggi pengetahuannya daripada ulama-ulama yang berasal Jawi itu. Tetapi gurunya tidak melarang maksud suci itu, namun gurunya itu menegaskan jika ke Mesir hanya ingin bertemasya melihat keindahan dan peninggalan-peninggalan kuno khas Mesir, hal itu adalah merupakan suatu ilmu pengetahuan perbandingan pula.

Sheikh Abdus Shamad dan kawan-kawan dikatakan sempat ke Mesir tetapi bukan belajar di sana melainkan ingin mengunjungi lembaga-lembaga pendidikan di Mesir ketika itu. Mereka bukan saja ke Kaherah tetapi termasuk beberapa kota kecil, bahkan sampai ke pedalaman dan di hulunya. Banyak madrasah dan sistem pendidikannya menjadi perhatian mereka bahawa mereka bercita-cita menerapkan kaedah Mesir yang agak berbeza dengan kaedah pendidikan di Pattani.

Sekembali dari Mesir, mereka tidak tinggal lama di Mekah mahupun Madinah. Setelah diizinkan oleh Sheikh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman, maka mereka berangkat menuju ke Jeddah. Dari Jeddah mereka menumpang sebuah perahu layar, pulang ke tanah air. Berbulan-bulan di laut sampailah mereka di Pulau Pinang. Mereka kemudian menziarahi Kedah dan Perak, kemudian melalui jalan darat terus ke Singapura.

Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani walaupun telah dekat dengan negerinya Pattani namun beliau tidak pulang tetapi disebabkan semangat setiakawannya, beliau mengikuti teman-temannya ke Singapura.

Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani hanya sampai di Singapura saja, tetapi dalam riwayat lain ada yang mengatakan beliau menghantar sampai ke Betawi. Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani dan Sheikh Muhammad Arsyad meneruskan pelayaran ke Betawi (Jakarta).

Setelah di Betawi, pada satu hari Jumaat, mereka sembahyang di Masjid Kampung Sawah Jambatan Lima, Betawi. Walaupun masjid itu telah lama didirikan, menurut Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani, dan Sheikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari bahawa adalah arah ke kiblat masjid itu tidak tepat sebagaimana semestinya.

Orang yang hadir dalam masjid itu sangat hairan melihat mereka melakukan solat tahiyatul masjid jauh miring dari seperti apa yang dikerjakan oleh orang lain. Lalu ada yang bertanya dan dijawab oleh mereka bahawa arah kiblat menurut biasa itu adalah tidak tepat, dan yang betulnya seperti yang mereka lakukan dan. Maka, berlaku sedikit salah faham antara mereka dan hadirin tersebut.

Dengan tangkas Sheikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari maju kemuka. Ia berdiri di depan sekali, diangkatkannya tangannya ke arah hadirin majlis Jumaat hari itu, sangat aneh dan ajaib sekali tiba-tiba saja yang hadir itu langsung dapat melihat Kaabatullah ke arah lurus tangan Sheikh Muhammad Arsyad itu.Suasana tenang kembali, tiada siapa berani membantah.

Khalayak ramai maklum bahawa orang-orang yang melakukan solat tahiyatul masjid yang berbeza dengan mereka itu adalah para wali Allah yang ditugaskan Wali Quthub Sheikh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman yang terkenal itu. Kononnya, mulai hari Jumaat itu arah kiblat diubah atau diperbetulkan dengan dibuat garis merah sebagai tandanya.

Peristiwa itu akhirnya diketahui penguasa Belanda, selaku kuasa penjajah pada zaman itu. Belanda menangkap Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani, Sheikh Muhammad Arsyad al-Banjari, dan Sheikh Abdul Wahab Bugis dan mereka dituduh sebagai pengacau keamanan. Mereka dibawa ke atas sebuah kapal yang sedang berlabuh di Betawi, di atas kapal itulah mereka disoal, dihujani dengan pelbagai pertanyaan yang sukar dijawab. Akan tetapi pihak Belanda sangat mengagumi pengetahuan mereka sehingga setelah tiga hari tiga malam, barulah mereka dibebaskan begitu saja.

Setelah peristiwa itu barulah mereka kembali ke tempat kelahiran masing-masing. Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani pulang ke Palembang, Sheikh Muhammad Arsyad al-Banjari pulang ke Banjar, kemudian Sheikh Abdul Wahab Bugis juga ke Banjar mengikut Sheikh Muhammad Arsyad al-Banjari.

Ramai meriwayatkan cerita yang menarik ketika Sheikh Abdus Shamad berada di negerinya Palembang. Oleh kerana rasa bencinya kepada Belanda, ditambah pula dengan peristiwa di atas kapal itu, beliau bertambah kecewa kerana melihat pihak Belanda yang kafir telah memegang pemerintahan di lingkungan Islam dan tiada kuasa sedikit pun bagi Sultan.

Maka beliau rasa tidak betah untuk diam di Palembang walaupun beliau kelahiran negeri itu. Sheikh Abdus Shamad mengambil keputusan sendiri tanpa musyawarah dengan siapa pun, semata-mata memohon petunjuk Allah dengan melakukan solat istikharah. Keputusannya, beliau mesti meninggalkan Palembang, mesti kembali ke Mekah semula.

Lantaran terlalu anti Belanda, beliau tidak mahu menaiki kapal Belanda sehingga terpaksa menebang kayu di hutan untuk membuat perahu bersama-sama orang-orang yang patuh sebagai muridnya. Walaupun sebenarnya beliau bukanlah seorang tukang yang pandai membuat perahu, namun beliau sanggup mereka bentuk perahu itu sendiri untuk membawanya ke Mekah. Tentunya ada beberapa orang muridnya mempunyai pengetahuan membuat perahu seperti itu.

Ini membuktikan Sheikh Abdus Shamadal-Falimbani telah menunjukkan keteguhan pegangan, tawakal adalah merupakan catatan sejarah yang tidak dapat dilupakan.

Pulang Ke Nusantara Buat Kali Kedua

Setelah perahu siap dan kelengkapan pelayaran cukup, maka berangkatlah Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani dari Palembang menuju Mekah dengan beberapa orang muridnya. Selama di Mekah, beliau bergiat dalam pengajaran dan penulisan kitab-kitab dalam beberapa bidang pengetahuan keislaman, terutamanya tentang tasauf, fikah, usuluddin dan lain-lain.

Untuk menunjukkan sikap antinya kepada penjajah, dikarangnya sebuah buku tentang jihad. Buku yang penting itu berjudul Nasihatul Muslimin wa Tazkiratul Mu’minin fi Fadhail Jihadi fi Sabilillah wa Karamatul Mujtahidin fi Sabilillah.
Kegiatan-kegiatannya di bidang penulisan akan dibicarakan pada bahagian lain.
Di sini terlebih dahulu diceritakan kepulangan beliau ke nusantara untuk kali kedua. Kepulangan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani kali ini tidak ke Palembang tetapi ke Kedah. 


Saudara kandungnya Sheikh Wan Abdul Qadir bin Sheikh Abdul Jalil al-Mahdani ketika itu ialah Mufti Kerajaan Kedah. Seorang lagi saudaranya, Sheikh Wan Abdullah adalah pembesar Kedah dengan gelar Seri Maharaja Putera Dewa.

Meskipun Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani lama menetap di Mekah, namun hubungan antara mereka tidak pernah terputus. Sekurang-kurangnya mereka berutus surat setahun sekal, iaitu melalui mereka yang pulang selepas melaksanakan ibadah haji.

Selain hubungan beliau dengan adik-beradik di Kedah, Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani turut membina hubungan dengan kaum Muslimin di seluruh Asia Tenggara. Pada zaman itu hampir semua orang yang berhasrat mendalami ilmu tasauf terutama di sektor Tarekat Sammaniyah, Tarekat Anfasiyah dan Tarekat Khalwatiyah menerima ilmu daripada beliau.

Beliau sentiasa mengikuti perkembangan di Tanah Jawi (dunia Melayu) dengan menanyakan kepada pendatang-pendatang dari Pattani, Semenanjung Tanah Melayu, dan negeri-negeri Nusantara yang di bawah penjajahan Belanda (pada zaman itu masih disebut Hindia Belanda).

Ini terbukti dengan pengiriman dua pucuk surat kepada Sultan Hamengkubuwono I, Sultan Mataram dan kepada Susuhunan Prabu Jaka atau Pangeran Singasari Putera Amengkurat IV. Surat-surat tersebut jatuh ke tangan Belanda di Semarang (tahun 1772 M).


Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani telah lama bercita-cita untuk ikut serta dalam salah satu peperangan/pemberontakan melawan penjajah. Namun setelah dipertimbangkan, beliau lebih tertarik membantu umat Islam di Pattani dan Kedah melawan keganasan Siam yang beragama Buddha.

Sebelum perang itu terjadi, Sheikh Wan Abdul Qadir bin Sheikh Abdul Jalil al-Mahdani, Mufti Kedah mengirim sepucuk surat kepada Sheikh Abdus Shamad di Mekah. Surat itu membawa maksud agar diumumkan kepada kaum Muslimin yang berada di Mekah bahawa umat Islam Melayu Pattani dan Kedah sedang menghadapi jihad mempertahankan agama Islam dan watan (tanah air) mereka.

Dalam peperangan itu, Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani memegang peranan penting dengan beberapa panglima Melayu lainnya. Ada catatan menarik mengatakan beliau bukan berfungsi sebagai panglima sebenarnya tetapi beliau bertindak sebagai seorang ulama sufi yang sentiasa berwirid, bertasbih, bertahmid, bertakbir dan berselawat setiap siang dan malam.

Banyak orang menuduh bahawa orang sufi adalah orang-orang jumud yang tidak menghiraukan dunia. Tetapi jika kita kaji beberapa biografi ulama sufi, termasuk Sheikh Abdus Shamad yang diriwayat ini adalah orang-orang yang bertanggungjawab mempertahankan agama Islam dan tanah air dari hal-hal yang dapat merosakkan Islam itu.

Golongan ini adalah orang yang berani mati dalam menegakkan jihad fi sabililah. Mereka tidak terikat dengan sanak keluarga, material duniawi, pangkat dan kedudukan dan sebagainya, mereka semata-mata mencintai Allah dan Rasul dari segala apa pun juga.

Kepulangan Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani ke Kedah memang pada awalnya bertekad demi jihad, bukan kerana mengajar masyarakat mengenai hukum-hukum keislaman walaupun beliau pernah mengajar di Mekah. Dipendekkan kisah akhirnya Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani dan rombongan pun berangkat menuju ke Pattani yang bergelar ‘Cermin Mekah’.
Sayangnya kedatangan beliau agak terlambat, pasukan Pattani telah hampir lemah dengan keganasan Siam.


Sementara itu, Sheikh Daud bin Abdullah al-Fathani dan pengikut-pengikutnya telah mengundurkan diri ke Pulau Duyung, Terengganu untuk menyusun semula langkah perjuangan.

Pattani telah patah dan kekuatan lenyap dengan itu Sheikh Abdus Shamad punberkhalwat di salah sebuah masjid di Legor. Ada orang mengatakan beliau berkhalwat di Masjid Kerisik yang terkenal dengan ‘Pintu Gerbang Hang Tuah’ itu.

Para pengikut tasauf percaya di sanalah beliau menghilang diri tetapi bagi kalangan bukan tasauf, perkara ini adalah mustahil dan mereka lebih percaya bahawa beliau telah mati dibunuh oleh musuh-musuh Islam.

Mengenai tahun peperangan yang terjadi antara Kedah dengan Siam, dalam Al-Tarikh Salasilah Negeri Kedah menyebut bahawa kejadian tersebut berlaku pada 1244 H bersamaan dengan 1828 M. Sungguhpun demikian, seorang ahli sejarah Kedah, Hj. Wan Shamsuddin, berpendapat bahawa kemuncak peperangan terjadi ialah pada 1254 H/1838 M, iaitu 10 tahun kemudian dari yang disebut oleh Al-Tarikh Salasilah Negeri Kedah itu. Oleh itu, yang mana yang lebih tepat antara 1244 H/1828 M atau 1254 H/1838 M, perlu kepada penyelidikan lanjut.

Kesimpulannya, kembalinya Sheikh Abdus Shamad al-Falimbani untuk kali yang kedua itu adalah juga merupakan tahun kepulangannya beliau ke rahmatullah sebagai seorang ‘syuhada’.
SUMBER:



AMUKANMelayu - Harimau mati meninggalkan belang, Pendekar Sufi mati meninggalkan ILMU dan Kitab.