,مليسيا دان اسلام بوکن ميليک اورڠ ڤوليتيک
, مک ڤرجواڠن اݢام تتڤ دڤرجواڠکن اوليه اومت اسلام دري بيدڠ يڠ لاءين
سام اد كامي منڠ اتاو كامي ماتي

PERJALAN HAJI AKI


Tuesday, 24 December 2013

BANI THA MIM - MENCARI DIRIKU SENDIRI 15


Akar

Nuswantara berarti mengacu pada wilayah kepulauan (archipelago) prakolonial yang sudah dikenal sejak beberapa milenium sebelum kolonial menghapusnya dengan nasionalisme dan negara-bangsa. Bilveer Singh menyatakan posisi sentral abadi dari Nuswantara sebagai perlintasan kargo dagang transkontinental. Hal ini masih terjadi karena untuk kargo-kargo besar tetap menggunakan jalur lautan bukan jalur darat maupun udara.  Dan jalur transkontinental via lautan ini HANYA bisa dilakukan melalui kepulauan Nuswantara.


Perlintasan ini tidak memiliki alternatif, karena sebelah utara Kanada atau sebelah selatan Australia keduanya terlampau dingin dan tidak mungkin dilayari karena tertutup es. Perlintasan melalui Nuswantara ini sudah berlangsung ribuan tahun yang dikenal sebagai Jalur Sutra Purba, baik Jalur Sutra Laut (Eropa/Afrika –  Arabia – India – Cina) maupun Jalur Sutra Darat. Kedua jalur tersebut juga menghapus anggapan bahwa jaman dulu peradaban manusia masih bersifat tribalis. Peradaban umat manusia sudah mobile dan dinamis. Diperkirakan jalur ini sudah ada sejak 5,000 SM, salah satunya perdagangan Kapur Barus (Camphor) dari Sumatera. Bahkan sudah sejak lama daerah Barus menjadi daerah multietnik [Laporan EFEO Perancis].

Nuswantara juga dikenal sebagai negeri Brahmanik. Dalam catatan Fa Xian / Fa Shien sepulang dari India di era ke -7 Kaisar Xiyi (411 M), ia sempat singgah di Yapoti (Jawa dan/atau Sumatera) selama 5 bulan, menulis: “Di negeri ini Brahman berkembang”. Tapak kaki Purnawarman (395-434 M) pada Prasasti Tarumanegara memperkuat korelasi Brahminik yaitu ajaran Ibrahim SAW (3500SM) yang juga memiliki tapak kaki (Maqom Ibrahim) di lingkungan Ka’bah, di Makkah.

Penyematan tapak kaki adalah tradisi Brahminik yang dilakukan pula oleh Nabi Muhammad SAWA (571-632 M), seperti yang ada di Museum Nasional Turki, Masjid Jami’ New Delhi, di Mesir bahkan di Nuswantara didapat laporan tapak kaki Nabi Muhammad SAW di Tidore, di Makassar dan di Tanah Papua.

Hal ini karena menurut penelitian Bangsa Jawi adalah keturunan Keturah, istri ketiga dari Nabi Ibrahim di daerah yang disebut Kembayat. (Demikian keterangan Ibnu Athir, dalam الكامل في التاريخ dan perhatikan lihat Kejadian 25:1-6)

Nuswantara berasal kata Nuswa (Sansekerta) atau Nesos (Yunani) yang artinya negeri kepulauan, negeri patirtan atau perairan.  Swa yang berarti mandiri, Anta artinya suci dan Tara yang artinya ksatria suci. Sehingga secara harfiah berarti negeri kepulauan dan perairan suci yang dihuni para ksatria suci dan bersifat mandiri/merdeka.

Secara wilayah, nuswantara adalah ‘segitiga emas’ perdagangan transkontinental, yaitu Gerbang Barat (Selat Malaka), ke ujung Selatan di pojok/ujung (Zawiyah/Jawa), hingga ke Gerbang Timur (Perairan Sulawesi-Maluku-Papua). Jalur Sutra Laut, menyebabkan kapal-kapal kargo raksasa yang melewati Nuswantara untuk singgah dan berlabuh. Hal ini menjadikan Nuswantara dikenal sebagai negeri terkaya di seluruh Islamistan (negeri-negeri muslim). Banyak sekali pendatang dari Arab maupun Cina memutuskan untuk mukim di Nuswantara. Negeri ini disebut gemah ripah loh jinawi toto titi tentrem (penuh kemakmuran melimpah dan tertata dengan tentram dan damai). Kedahsyatan Nuswantara telah sampai ke negeri2 Barat pula sejak masa Ptolemeus (90-168 M).

Islam dan Peradaban Nuswantara

Sejarawan Gerini mencatat sekitar tahun 606 M telah banyak orang Arab yang mukim di Nuswantara. Mereka masuk melalui Barus dan Aceh di Suwarnabhumi bagian Utara. Peter Bellwood (ANU) melaporkan pula bahwa sekitar Abad 5 M (400-an M) sudah ada perkampungan Arab di daerah Aceh sekarang. Sekitar tahun 615 M, Rasulullah SAWA mengutus ‘Abdullah ibn Mas’ud RA mengantar Qabilah Bani Thoy’ hijrah dan mukim di Aceh.

 Ini sesuai laporan G.R. Tibbets yang mengatakan terdapat kampung Muslim Arab di Sumatera pada tahun 625M. Sedangkan sahabat lain, yaitu Zaid ibn Haritsah RA dilaporkan telah berada di Lamuri/Lambari (Lambharo/Lamreh, Aceh) pada tahun 35 H (718 M). Kesultanan Lamuri ini kemudian pada masa Majapahit adalah salah satu daerah otonom [dipimpin tiga bersaudara yaitu Indra Purwa berkedudukan di Masjid yang sekarang ada di Lembadeuk; Indra Patra berkedudukan di Masjid di Ladong dan Indra Puri di Aceh Rayeuk] di bawah otoritas Majapahit (menurut keterangan Balai Arkeologi Medan).

Pada tahun 607 M telah ada Kerajaan Sriwijaya (Sriboza) yang bercorak Brahminik (Wolters, 1967 dan Hall, 1967 & 1985). Kemudian tahun 670 M, suatu kepemimpinan muslim didirikan oleh Sri Ratu Sima dari Kalinggawangsa (diperkirakan di Jepara). Mereka ini sering disebut ‘keling. Sedangkan di Jambi berdiri Zabaj atau dikenal pula sebagai Javaka pada tahun 99 H (718 M).  Nama lainnya adalah Sriwijaya yang telah berdiri sebelumnya dan bertransformasi menjadi Kesultanan.


Sekitar tahun 800 M rombongan dari Arabia datang ke Aceh. Mereka berjumlah 100 orang dipimpin Nakhoda Khalifah. Mereka ini kemudian mendirikan Kesultanan Peureulak (dari kata peureula, sejenis kayu jati, yang bagus dipakai pada kapal). Mereka menamakan Peureulak sebagai Bandar Khalifah. Lokasinya diperkirakan daerah Langsa atau Tamiang sekarang. Sebelumnya bernama Kesultanan Samudera (205 H / 820 M) di dekat Bireuen, namun kemudian disebut sebagai Peureulak (225 H/ 840 M). Dan pada akhirnya pada tahun 349 H/ 960 M disebut Kesultanan Lamuri/Lan-po-li karena pusat kesultanan telah berpindah ke Lambaro/Lamreh, sekarang Banda Aceh.

Karena Sumatera (atau dikenal juga Suwarnabhumi [secara bahasa berarti Bumi Emas]) telah menjadi negeri multietnis, tradisi ilmiah berkembang melalui penerjemahkan karya-karya dari berbagai belahan dunia. Penerjemahan dilakukan ke dalam bahasa Jawa Kuno, baik yang berasal dari Bahasa Persia (asal muasal Sanskrit), Yunani, China, Mesir, dll. Pada saat itu Sanskrit adalah bahasa internasional. Contohnya adalah penerjemahan Kakawin dari Walmiki dari bahasa Sanskrit ke dalam bahasa Jawa Kuno oleh seorang ulama yaitu Mdang Poh Pitu bernama Mpu Yogiswara (Sanjayawangsa, 900 M).

 Peureulak kemudian mendirikan Universitas Islam Dayah (Dyah) Bukit Ce Derek (840 M) dan Dayah Cot Kala (850 M). Di Jawa dipelopori oleh Syaikh Subakir (Muhammad Al-Baqir), kemudian berdirilah Madrasah Giri. Di Champa, Sultan Jayawarman (990 M) telah belajar pembuatan candi di Suwarnabhumi Selatan dan mendirikan Angkorwat.

Sekitar tahun 650-an M, telah terbentuk segitiga silaturahmi Nuswantara, dalam muamalat dan dakwah. Pertama adalah Ta Che (Tajik atau Peureulak) di Suwarnabhumi, Ho Ling (Kalingga di Jawadwipa) dan Kwang Tung (Kanton di China Selatan). Relasi muamalat ini diwujudkan paripurna dalam kehidupan baik perdagangan (ekonomi), tata pemerintahan (amirat) dan pendidikan. Jejaring ini berlangsung berkat kegigihan Imam Agung Ali RA selama 23 tahun (632-655 M) keluar dari gempita Arabia, pasca wafatnya Bunda Siti Fatimah AS. Network ini kemudian dilanjutkan oleh Lamuri/Pasai – Majapahit – China/Mongol/Champa.

Sekitar tahun 851 M, dilaporkan seseorang dengan nama Sulaiman memulai penambangan emas, yang salah satunya digunakan untuk penyetakan uang. Uang yang beredar dinamai Ringgit atau Mayam atau Suwarna (yang secara literal berarti emas yang murni) yang dibuat dari emas murni. Berat Mayam adalah sekitar 3-3.25 gram (atau sekitar 1/10 Troy-ounce).

Kemudian, dilaporkan seseorang dengan nama Po Ali telah berkunjung ke Cina mewakili Nuswantara (Duta Besar) sekitar tahun 977 M (F. Hirth & WW Rockhill, Chau Ju Kua, His Work on Chinese and Arab Trade in XII Centuries, St. Petersburg: Paragon Book, 1966. Hal. 39).
Pasca hancurnya Khilafah Baghdad (Abbasi) oleh serangan Mongol (1258 M), Nuswantara mendirikan Khilafah dengan kepemimpinan di Jawa oleh Raden Wijaya.

Kesultanan ini disebut Majapahit Vilvatikta (1293 M). Pada masa Majapahit ini perdagangan diintensifkan terutama melalui Bandar Waru Gasik (sekarang Gresik) sebagai Pelabuhan Laut Metropolitan Interkontinental yang sangat makmur. Majapahit juga menetapkan peredaran uang berdasarkan emas, perak dan perunggu serta nikel. Uang emas disebut Suwarna, dibagi menjadi tiga satuan yaitu Ma (Masa), Atak dan Ku (Kupang).

Satuan ini didasarkan pada mithqal yaitu satuan uang berdasarkan prinsip Dinar Emas. Berat Ma adalah 1/2 mithqal, Atak 1/4 mithqal dan Ku 1/8 mithqal. Di peradaban Persia 1/8 mithqal adalah Danake atau Daniq emas. Selain uang emas Majapahit juga menggunakan uang perak maupun perunggu (Gobog). Uang perunggu yang beredar kebanyakan juga berasal dari Mongol dan Cina sebagai bukti relasi perdagangan yang kuat dengan daratan Cina.

Sarjawala 1: Ilang Sirna Kertaning Bhumi

Pada tahun 1478 M, Sunan Ngampel, Kadi Majapahit dan Rektor Universitas Ampel Denta wafat (77 tahun). Bersamaan itu, negeri-negeri muslim Andalusia, yang dipimpin Wangsa Umayyah (tepatnya Bani Hakam dari Subwangsa Marwan) berangsur-angsur menyerahkan diri kepada Spanyol dan Portugis. Tidak berapa lama Perjanjian Tordesillas ditandatangani (1494). Semua ulama bersepakat bahwa akan datang era baru yang membutukan perjuangan yang berat, jaman di mana ketentraman hidup menjadi asing dan mahal.

Mpu Kanwa diperintahkan untuk menyusun satu traktat/serat yang berisi pemberitahuan umum kepada seluruh negeri-negeri atau anak negeri persemakmuran Majapahit (Nuswantara) agar bersiap-siap mempertahankan diri. Sesanti beliau berbunyi “ilang sirna kertaning bhumi“, yang sekaligus candra sengkala penanda sebagai 1400 tahun saka atau 1478 M. Mpu Kanwa memberi tajuk yaitu Serat Kandha yang berarti Berita atau Kabar. Kemudian dibentuklah Dewan Ulama yang disebut Walisongo dan dibangun bandar laut pertahanan yaitu Demak Bintoro.

 Tidak berapa lama kolonialisme merangsek dan tetap meninggalkan bekasnya sampai hari ini. Kepemimpinan Kesultanan Majapahit dialihtangankan (palihan) dan digeser kepada Kesultanan-kesultanan yang lebih kecil termasuk Kesultanan Mataram dan Cirebon.

Perjuangan Walisongo sendiri berakhir sampai Angkatan ke-10 yang dipimpin Pangeran Diponegoro (Sultan Abdul Hamid Ba’abud). Perjuangan Pangeran Diponegoro (yang juga Kesultanan-kesultanan yang lain seperti Imam Bonjol, Sultan Hasanuddin, dll sampai yang terakhir berhasil dihapus Belanda adalah Sultan Iskandar Muda) adalah periode akhir perjuangan melawan kolonialisme. Saat itulah Indonesia diperkenalkan (dan juga Malaysia, Filipina, Thailand, dll). Nuswantara memasuki era baru yang disebut “modern”.

Secara fisik, kolonialisme berakhir dengan munculnya negara-negara nasional di Nuswantara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Myanmar, Kamboja, Laos, Filipina, dll. Akan tetapi sistem kehidupan yang berlaku masih meniru kolonial, mulai dari tata pemerintahan dan politik (demokrasi), pengembangan sains (sains empiris), teknologi (mekanis) dan riset, pendidikan (dan model-model belajar sekular), relasi sosial kemasyarakatan (pluralisme, dll) dan kebudayaan, organisasi, hukum dan perundang-undangan, pasar dan ekonomi, dll. Sendi-sendi peradaban tradisional ditanggalkan dan dirasionalisasi agar relevan dengan apa yang kemudian disebut ‘modern’.

Sarjawala 2: Rekonstruksi Muamalat dan Peradaban

‘Moderne’ yang diperkenalkan semenjak bangkitnya kolonialisme dan pemberangusan tradisi dan peradaban tidak membuahkan hasil. Kritik sudah dilakukan seperti neo-tradisionalisme, post-modernisme, dan kritik-kritik modernitas lainnya. Akan tetapi, belajar dari peradaban lampau kita akan menemukan bahwa Islam sebagai rahmat semesta telah membahana bumi selama lebih dari 9 abad (600-1500), bukan suatu romantisme tapi untuk melihat peradaban ke depan alternatif yang lebih baik bagi umat manusia.

Rekonstruksi peradaban dimulai semenjak norma modern yang berasaskan pada dua pilar yaitu ekonomi-minyak (oil-based economy) dan ekonomi monetaris (monetary-based economy) mendekati kehancuran. Maka Sarjawala II ini adalah Serat Kandha II untuk merekonstruksi kembali peradaban dengan melalui sebuah gerakan Lumbung Nuswantara Initiatives (LNI). Prakarsa ini akan diejawantahkan melalui  pelbagai gerakan seperti Lumbung Nuswantara Multiversitas (LNM), yaitu sebuah institusi pendidikan tinggi (advanced education institution), formal dan nonformal, sekaligus lembaga pengembangan pemikiran (think-and-act atau think-tank-and-do) bagi restorasi sosial-ekonomi-budaya (sosekbud) Peradaban Islam Nuswantara.

Pokok kajian ini didasarkan pada manifesto yang termuat dalam Serat Kandha dari Mpu Kanwa (Ilang Sirna Kertaning Bhumi), dengan narasi historis-kultural yang memadai dan rekonstruksi peradaban yang ditawarkan.