,مليسيا دان اسلام بوکن ميليک اورڠ ڤوليتيک
, مک ڤرجواڠن اݢام تتڤ دڤرجواڠکن اوليه اومت اسلام دري بيدڠ يڠ لاءين
سام اد كامي منڠ اتاو كامي ماتي

PERJALAN HAJI AKI


Monday 18 June 2012

RAJA ALI HAJI HIDUP SEPANJANG ZAMAN


Biografi Al - Marhum Pulau Penyengat Raja Ali Haji



1. Data Diri
Nama Lengkap RAH adalah Raja Ali al-Hajj ibni Raja Ahmad al-Hajj ibni Raja Haji Fisabilillah bin Opu Daeng Celak alias Engku Haji Ali ibni Engku Haji Ahmad Riau. Ia dilahirkan pada tahun 1808 M di pusat Kesultanan Riau-Lingga di Pulau Penyengat (kini masuk dalam wilayah Kepulauan Riau, Indonesia).
Sekilas tentang Pulau Penyengat. Dalam buku-buku Belanda, pulau kecil ini disebut Mars. Menurut masyarakat setempat, nama pujian-pujian dari pulau ini adalah Indera Sakti. Di pulau ini banyak terlahir karya-karya sastra dan budaya Melayu yang ditulis oleh tokoh-tokoh Melayu sepanjang abad ke-19 dan dua dasawarsa abad ke-20, di mana RAH termasuk di dalamnya.
Catatan tentang hari dan bulan kelahiran RAH berbeda dengan ayahnya. Catatan mengenai kelahiran ayahnya begitu rinci, yaitu pada hari Kamis waktu ‘Ashar bulan Rajab tahun 1193 H di Istana Yang Dipertuan Muda Riau-Raja Haji Ibni Daeng Celak. Sedangkan catatan mengenai RAH jusru singkat sekali. Bahkan, catatan kelahiran RAH lebih banyak didasarkan pada perkiraan saja. Menurut Hasan Junus (2002: 62), masa yang berbeda, keadaan yang berbeda, mengantar pada semangat zaman yang berbeda. Semangat zaman yang berkembang pada saat itu menyebabkan orang-orang memanggil nama RAH dengan sebutan “Raja”.
Orang-orang Melayu pada masa itu sering mengingat waktu kelahiran si anak dengan mendasarinya pada peristiwa-peristiwa penting. RAH lahir lima tahun setelah Pulau Penyengat dibuka sebagai tempat kediaman Engku Puteri. Atau ia lahir dua tahun setelah benteng Portugis A-Famosa di Melaka diruntuhkan atas perintah William Farquhar. Orang-orang Melayu juga sering memberikan nama anaknya dengan mengambil nama datuk (kakek) apabila datuknya itu sudah meninggal. Hal inilah yang menyebabkan banyak terjadi kemiripan nama dalam masyarakat Melayu.
Tahun kapan meninggalnya RAH sempat menjadi perdebatan. Banyak sumber yang menyebutkan bahwa ia meninggal pada tahun 1872. Namun, ternyata ada fakta lain yang membalikkan pandangan umum tersebut. Pada tanggal 31 Desember 1872, RAH pernah menulis surat kepada Hermann von de Wall, sarjana kebudayaan Belanda yang kemudian menjadi sahabat terdekatnya, yang meninggal di Tanjungpinang pada tahun 1873. Dari fakta ini dapat dikatakan bahwa RAH meninggal pada tahun yang sama (1873) di Pulau Penyengat.

Makam RAH berada di komplek pemakaman Engku Putri Raja Hamidah. Persisnya, terletak di luar bangunan utama Makam Engku Putri. Karya RAH, Gurindam Dua Belas diabadikan di sepanjang dinding bangunan makamnya. Sehingga, setiap pengunjung yang datang dapat membaca serta mencatat karya maha agung tersebut.


2. Silsilah dan Latar Belakang Keluarga
RAH adalah putra Raja Ahmad, yang setelah berhaji ke Mekkah bergelar Engku Haji Tua, cucu Raja Haji Fisabilillah. Ibunya bernama Encik Hamidah binti Panglima Malik Selangor atau Putri Raja Selangor yang meninggal pada tanggal 5 Agustus 1844.
Kakek (datuk) RAH bernama Raja Haji Fisabilillah, merupakan Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau IV. Ia dikenal sebagai YDM yang berhasil menjadikan Kesultanan Riau-Lingga sebagai pusat perdagangan yang sangat penting di kawasan ini. Ia juga seorang pahlawan yang terkenal berani melawan penjajah Belanda, sehingga meninggal di medan perang di Teluk Ketapang (18 Juni 1784). Ia meninggalkan dua putra, yaitu Raja Ahmad (ayah RAH) dan Raja Ja'far.
Raja Ahmad (ayah RAH) dikenal sebagai intelektual Muslim yang produktif menulis karya-karya besar, seperti Syair Perjalanan Engku Putri ke Lingga (1835), Syair Raksi (1841), dan Syair Perang Johor (1843). Ia juga dikenal sebagai pemerhati sejarah, terutama sejarah masa lalu. Dalam karyanya, Syair Perang Johor, ia menguraikan fakta perang Kesultanan Johor dan Kesultanan Aceh pada abad XVII, yaitu pada masa keemasan Johor. Ia dikenal sebagai penulis pertama yang melahirkan sebuah epik yang menghubungkan sejarah Bugis di wilayah Melayu dan hubungannya dengan sultan-sultan Melayu.
Keluarga Raja Ahmad terdiri dari orang-orang terpelajar dan suka dengan dunia tulis-menulis. Anggota keluarganya yang pernah menghasilkan karya adalah Raja Ahmad Engku Haji Tua, RAH, Raja Haji Daud, Raja Salehah, Raja Abdul Mutallib, Raja Kalsum, Raja Safiah, Raja Sulaiman, Raja Hasan, Hitam Khalid, Aisyah Sulaiman, Raja Ahmad Tabib, Raja Haji Umar, Abu Muhammad Adnan, dan lain sebagainya. Jika ditelusuri hingga keturunan Raja Haji Fisabilillah (kakek RAH), maka anggota keluarga Raja Ahmad yang giat berkarya akan bertambah lagi, yaitu Raja Ali, Raja Abdullah, Raja Ali Kelana, R. H. M. Said, dan lain sebagainya.
Dari ayah yang sama (Raja Ahmad), Raja Ali Haji mempunyai beberapa saudara laki-laki dan perempuan, yaitu Raja Haji Daud yang menjadi tabib, Raja Haji Umar (Raja Endut), Raja Salehah (Zaleha), Raja Cik, Raja Aisyah, Raja Haji Abdullah, Raja Ishak, Raja Muhammad Said, Raja Abu Bakar, Raja Siti, Raja Abdul Hamid, dan Raja Usman.
RAH sebenarnya berasal dari keturunan Bugis. Garis keturunan ini berasal neneknya (Opu Daeng Cellak) yang berasal dari tanah Bugis, namun kemudian menetap di Riau dan memperoleh jabatan sebagai Yang Dipertuan Agung (pembantu sultan dalam urusan pemerintahan). Cerita ini bermula ketika La Madusilat, Raja Bugis yang pertama kali masuk Islam, ternyata memiliki keturunan yang salah satunya bernama Daeng Rilaka.
Daeng Rilaka mempunyai lima anak, yaitu Opu Daeng Parani, Opu Daeng Marewah, Opu Daeng Menambun, Opu Daeng Cellak, dan Opu Daeng Kemasi. Bersama kelima anaknya itu, Daeng Rilaka meninggalkan tanah Bugis dan mengembara ke wilayah Kesultanan Riau-Johor. Keturunan ini mendapat kedudukan di istana kesultanan. Anak keempat Daeng Rilaka, Opu Daeng Cellak yang merupakan nenek RAH menjadi Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau II (1728-1745), menggantikan saudaranya Opu Daeng Marewah, YDM Muda Riau I (1723-1728).
Jabatan tersebut merupakan realisasi dari perjanjian Kesultanan Riau-Lingga dengan Raja Bugis yang telah berhasil menaklukkan Minangkabau. Ketika itu memang terjadi perang antara Kerajaan Minangkabau dan Kesultanan Melayu. Berdasarkan garis keturunan itu, maka RAH merupakan keturunan Kesultanan Riau-Lingga yang dikenal memiliki tradisi keagamaan dan keilmuan yang sangat kuat.
RAH memiliki 17 orang putra-putri, yaitu: 1). Raja Haji Hasan, 2). Raja Mala’, 3). Raja Abdur Rahman, 4). Raja Abdul Majid, 5). Raja Salamah, 6). Raja Kaltsum, 7). Raja Ibrahim Kerumung, 8). Raja Hamidah, 9). Raja Engku Awan ibu Raja Kaluk, 10). Raja Khadijah, 11). Raja Mai, 12). Raja Cik, 13). Raja Muhammad Daeng Menambon, 14). Raja Aminah, 15). Raja Haji Salman Engku Bih, 16). Raja Siah, dan 17). Raja Engku Amdah.
Anak RAH yang pertama (Raja Haji Hasan) mempunyai 12 orang putra-putri, yaitu: 1). Raja Haji Abdullah Hakim, 2). Raja Khalid Hitam (meninggal dunia di Jepang), 3). Raja Haji Abdul Muthallib, 4). Raja Mariyah, 5). Raja Manshur, 6). Raja Qamariyah, 7). Raja Haji Umar, 8). Raja Haji Andi, 9). Raja Abdur Rasyid, 10). Raja Kaltsum, 11). Raja Rahah, dan 12). Raja Amimah. Cucu-cucu RAH ini kemudian menjadi ulama-ulama dan tokoh-tokoh masyarakat.

3. Pendidikan
RAH memperoleh pendidikan dasarnya dari ayahnya sendiri. Di samping itu, ia juga mendapatkan pendidikan dari lingkungan istana Kesultanan Riau-Lingga di Pulau Penyengat. Di lingkungan kesultanan ini, secara langsung ia mendapatkan pendidikan dari tokoh-tokoh terkemuka yang pernah datang. Ketika itu banyak tokoh ulama yang merantau ke Pulau Penyengat dengan tujuan mengajar dan sekaligus belajar. Di antara ulama-ulama yang dimaksud adalah Habib Syeikh as-Saqaf, Syeikh Ahmad Jabarti, Syeikh Ismail bin Abdullah al-Minkabawi, Syeikh Abdul Ghafur bin Abbas al-Manduri, dan masih banyak lagi.
Pada saat itu, Kesultanan Riau-Lingga dikenal sebagai pusat kebudayaan Melayu yang giat mengembangkan bidang agama, bahasa, dan sastra. Oleh karena RAH merupakan bagian dari keluarga besar kesultanan, maka ia termasuk orang pertama yang dapat bersentuhan dengan pendidikan model ini, yaitu bertemu langsung dengan tokoh-tokoh ulama yang datang ke Pulau Penyengat. Ia belajar al-Qur’an, hadits, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Pendidikan dasar yang diperoleh RAH adalah sama dengan anak-anak seusianya. Hanya saja, memang RAH memiliki kecerdasan yang di atas rata-rata.
RAH juga mendapatkan pendidikan dari luar lingkungan kesultanan. Ketika ia beserta rombongan ayahnya pergi ke Betawi pada tahun 1822 (sebagaimana akan dibahas pada bagian tersendiri), RAH memanfaatkan momentum ini sebagai wahana untuk belajar. Ia juga pernah belajar bahasa Arab dan ilmu agama di Mekkah, yaitu ketika ia bersama ayahnya dan sebelas kerabat lainnya mengunjungi tanah suci Mekkah pada tahun 1828 (untuk berhaji). Mereka merupakan bangsawan Riau yang pertama kali mengunjungi Mekkah. RAH beserta ayah dan rombongannya sempat ke Mesir, setelah berkelana di Mekkah beberapa bulan. Ketika itu, RAH masih berusia muda.
Selama berkelana di Mekkah, RAH memanfaatkan banyak waktunya untuk menambah pengetahuan keagamaannya. Di tanah suci inilah, pendidikannya seakan-akan mengalami peningkatan yang sangat tajam. Di sana ia sempat berhubungan dengan Syeikh Daud bin Abdullah al-Fatani. Ia belajar kepadanya seputar pengetahuan bahasa Arab dan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Ulama ini merupakan sosok ulama terpandang di kalangan masyarakat Melayu yang ada di Mekkah. Selama di Mekkah, RAH juga bersahabat dengan salah seorang anak Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari, yaitu Syeikh Syihabuddin bin Syeikh Muhammad Arsyad bin Abdullah al-Banjari.

4. Pengalaman Jabatan
Ketika masih dalam usia muda, RAH sudah diamanahi tugas-tugas kenegaraan yang penting. Dalam usia 30 tahun, RAH mengikuti saudara sepupunya, Raja Ali bin Ja’far, pergi ke seluruh kawasan Kesultanan Riau-Lingga hingga ke pulau-pulau terpencil. Keperluan mereka adalah untuk memeriksa kawasan tersebut. Ketika Raja Ali bin Ja’far dipercaya menjadi Wakil Yang Dipertuan Muda di Kesultanan Riau-Lingga, RAH juga ikut membantu pekerjaan saudara sepupunya itu.
Ketika usia RAH telah mencapai 32 tahun, ia beserta saudara sepupunya itu dipercaya memerintah wilayah Lingga untuk mewakili Sultan Mahmud Muzaffar Syah, yang pada saat itu masih berumur sangat muda. Ketika itu Sultan Mahmud Muzaffar Syah belum mau menunjuk Yang Dipertuan Muda pengganti Marhum Kampung Bulan yang telah meninggal dunia. Pada tanggal 26 Juni 1844 atau Hari Rabu 9 Jumadil-akhir 1260 H, RAH membuat petisi yang isinya mendukung Raja Ali menjadi Wakil Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau-Lingga. Petisi itu ditandatangani oleh para pendukung Raja Ali.
Ketika Raja Ali bin Ja’far diangkat sebagai Yang Dipertuan Muda Riau VIII pada tahun 1845, RAH diangkat sebagai penasehat keagamaan kesultanan. Meski diserahi tanggung jawab kenegaraan yang begitu berat karena menguras tenaga dan pikirannya, namun RAH tetap menunjukkan profesionalitasnya sebagai penulis yang sangat produktif.
Bersama dengan Raja Abdullah Mursyid dan Raja Ali bin Ja’far, RAH berdagang di Pulau Karimun dan Kundur. Mereka juga mengelola penambangan timah. Ketika Yang Dipertuan Muda Riau Raja Ali bin Ja’far digantikan oleh adiknya Raja Haji Abdullah Mursyid, RAH dan Raja Ali bin Ja’far kemudian membangun lembaga “Ahlul Halli wa Aqdi” yang membantu jalannya roda pemerintahan kesultanan.
Menjelang wafatnya pada tahun 1858, Yang Dipertuan Muda Raja Haji Abdullah Munsyi menulis surat wasiat yang isinya mengangkat RAH sebagai pemegang segala pekerjaan hukum, yaitu semua urusan yang menyangkut jurisprudensi Islam. Di sela-sela tugasnya sebagai abdi negara, pada tanggal 7 Mei 1868, RAH mengetuai rombongan Kesultanan Riau-Lingga menuju Teluk Belanga untuk menghadiri penobatan Tumenggung Johor Abu Bakar sebagai Maharaja Johor. Pekerjaan sebagai penanggung jawab bidang hukum Islam di Kerajaan Riau-Lingga diemban oleh RAH hingga ia meninggal pada tahun 1873.

5. Aktivitas Nasional dan Internasional
5. 1. Perjalanan ke Betawi
RAH dikenal sangat dekat dengan ayahnya. Pada tahun 1822, RAH ikut ayahnya ke Betawi selama tiga bulan. Ayahnya membawa rombongan Kesultanan Riau-Lingga, termasuk istri dan dua orang anaknya, yaitu RAH sendiri dan Raja Muhammad. Kepergian ayahnya beserta rombongan itu adalah dalam suatu urusan Kesultanan Riau-Lingga dengan pemerintah Hindia Belanda, tepatnya dalam urusan perdagangan dan penelitian. Secara khusus, rombongan ini akan menemui Gubernur Jenderal Hindia-Belanda Godart Alexander Gerad Philip Baron van der Capellen. Mereka bertolak dari Riau dengan menggunakan sebuah penjajab, sebuah penisi, sebuah “belah semangka”, dan sebuah perahu biasa. Perjalanannya dimulai dengan bersinggah sebentar di Lingga, dan kemudian meneruskan pelayaran melalui Selat Bangka.
Sesampainya di Betawi, RAH memanfaatkan sebaik-baiknya apa yang bakal dilihat atau ditemuinya di sana. Ia sempat bertemu dengan Gubernur Jenderal Godart Alexander Gerard Philip Baron van der Capellen yang menjamu rombongan Raja Ahmad di Istana Gubernur Jenderal Belanda. Ia juga dapat berkenalan dengan beberapa orang Belanda yang menguasai bahasa Melayu dengan baik. Ia juga dapat mengunjungi Bogor dan menonton berbagai pertunjukan kesenian di sana, seperti opera. Ia juga sempat mengunjungi ulama terkenal Betawi bernama Saiyid Abdur Rahman al-Mashri.
Rekaman peristiwa dan pengalaman RAH selama di Betawi dituangkan dalam karyanya berjudul Tuhfat al-Nafis. Ada dua peristiwa penting dari pengalamannya selama di Betawi yang kelak mempengaruhi pemikiran RAH. Pertama, kesempatannya ketika menonton opera di Gedung Schouwburg (yang kini bernama Gedung Kesenian Pasar Baru Jakarta). Bangunan gedung ini bentuknya seperti rumah yang lekuk ke dalam tanah. Kedua, pertemuannya dengan Christiaan van Angelbeek, penerjemah resmi Biro Urusan Pribumi pada Pemerintah Hindia Belanda.
Pada abad ke-19, sebenarnya ada tiga buah gedung yang sering digunakan sebagai tempat pertunjukan kesenian di Betawi, yaitu Gedung Schouwburg, Gedung Societet de Harmonie, dan Gedung Societet Concordia. Gedung terakhir tidak mungkin ditonton oleh RAH dan rombongan Kesultanan Riau-Lingga karena baru dibangun setelah kedatangan mereka, yaitu pada tahun 1833. Gedung Societet de Harmonie sendiri dibangun pada tahun 1815 dengan kapasitas tempat duduk 250 orang dan beratapkan rumbia. Oleh Daendels, gedung ini difungsikan sebagai gedung pameran. Pada tahun 1821, gedung ini dipugar kembali untuk dijadikan sebagai gedung teater dengan luas 1.476 meter persegi dan diberi nama Schouwburg.
Pernah ada perdebatan tentang manakah yang benar: di Gedung Societet de Harmonie atau di Gedung Schouwburg sebagai tempat RAH dan rombongan Kesultanan Riau-Lingga menonton berbagai pertunjukan kesenian? Teks dalam Tuhfat al-Nafis disebutkan: “Syahdan pada satu malam datang panggil Gubernur Jenderal segala anak raja utusan itu; yang disuruhnya yaitu Sayid Hasan. Maka pergilah sekalian utusan itu. Maka lalulah dibawanya kepada satu rumah main wayang, Holanda, kata orang namanya wayang komedi, dan sifat rumahnya itu lekuk ke dalam tanah....”. Berdasarkan teks ini, maka jelas bahwa gedung yang ditontoh RAH dan rombongan Kesultanan Riau-Liangga adalah Gedung Schouwburg (yang terbaru), bukan Gedung Societet de Harmonie.
Pada tahun 1826, RAH juga pernah ikut ayahnya pergi ke pesisir utara Pulau Jawa, selain Betawi. Ayahnya melakukan perjalanan ke sana dengan tujuan berniaga agar dapat menghasilkan dana untuk pergi haji. Menurut cerita, RAH sempat sakit di Kota Juana, bahkan dalam keadaan koma (hampir meninggal). Ayahnya sempat membelikan keranda karena mengira anaknya akan meninggal. Namun atas kuasa Allah SWT, RAH akhirnya dapat sembuh kembali.
5. 2. Perjalanan ke Mekkah
Sebagaimana telah sedikit dibahas pada bagian sebelumnya, pada tahun 1828 RAH mengikuti sejumlah rombongan Kesultanan Riau-Lingga untuk menunaikan ibadah haji yang dipimpin oleh ayahnya sendiri (Raja Ahmad). Pada tanggal 5 Maret 1828 atau 18 Sya’ban 1243, rombongan ini sampai di Jeddah. Sejak menunaikan ibadah haji itu, Raja Ahmad dikenal dengan gelar Engku Haji Tua dan anaknya (RAH) mulai bergelar Raja Ali Haji. Selama berkelana di Mekkah, RAH banyak mendapat ilmu yang sangat berharga dalam kehidupan dan perkembangan intelektualnya.
Sekembalinya dari tanah suci, RAH menjadi ulama terkemuka di masanya. Ketika saudara sepupunya yang bernama Raja Ali bin Raja Ja’far menjadi Yang Dipertuan Muda Kerajaan Riau VIII (tahun 1845-1857) menggantikan saudaranya Raja Abdur Rahman bin Raja Haji Yamtuan Muda Kerajaan Riau VII (tahun 1833-1845), RAH diminta oleh sepupunya itu untuk mengajar agama Islam di lingkungan Kesultanan Riau-Lingga. Bahkan, Raja Ali bin Raja Ja’far juga ikut belajar kepada RAH.
RAH menjadi tumpuan banyak orang yang menanyakan masalah-masalah keislaman. Dengan penuh kesabaran, ia menuntun dan membimbing masyarakat dengan segala keahliannya. Ia dikenal ahli dalam bidang agama, sastra, bahasa, sejarah, hukum, dan tata negara. Ia mengajarkan ilmu nahwu, ilmu sharaf, ilmu ushuluddin, ilmu fikih, ilmu tasawuf, dan pengetahuan agama lainnya. Ada banyak tokoh ulama setelah itu yang merupakan murid RAH, di antaranya adalah Raja Haji Abdullah yang kemudian menjadi Yang Dipertuan Muda Riau IX (tahun 1857-1858) dan Saiyid Syaikh bin Ahmad al-Hadi.
5. 3. Aktivitas Kepenulisan
Usia 40 tahun adalah masa di mana RAH banyak mencurahkan perhatiannya pada penulisan karya-karya sastra. Ia tercatat sebagai penulis paling produktif di masanya. Kesultanan Riau-Lingga, Johor, dan Pahang ketika itu menjadi terkenal berkat karya-karya RAH yang banyak dibicarakan pakar bahasa dan sastra di Nusantara dan juga di luar negeri.
Adapun aktivitas kepenulisan RAH digambarkan berikut ini. Pada tahun 1846, RAH menyelesaikan penulisan karya Gurindam Dua Belas, yang diterbitkan dalam bahasa Belanda Tijdschrift van het Bataviaasch Genootschap II (oleh E. Netscher) pada tahun 1854. Karyanya berjudul Bustanul Katibin selesai dicetak di Betawi pada tahun 1850. Pada tanggal 15 April 1857, karya ini dicetak-batu di Pulau Penyengat. Pada tahun ini pula, RAH dan Haji Ibrahim bekerjasama dengan H. Von de Wall menyusun sebuah kamus bahasa Melayu. Pada tahun ini, RAH menyiapkan naskah berjudul Muqaddimah fi Intizam al-Wazaif al-Mulk Khususan ila Maulana wa Shahibina Yang Dipertuan Muda Raja Ali al-Mudabbir lil Biladi al-Riauwiyah wa Sairi Dairatihi, yaitu sebuah risalah tipis yang berisikan tiga buah wazifah yang dijadikan sebagai pegangan oleh pemegang kendali hukum sebelum menjatuhkan (putusan) hukuman. Pada tahun 1865, karyanya Silsilah Melayu dan Bugis selesai ditulis. Pada tahun 1866, RAH menyelesaikan karya Syair Hukum Nikah atau Kitab Nikah atau Syair Suluh Pegawai. Pada tanggal 25 November 1866, RAH menyelesaikan Tuhfat al-Nafis.
RAH dikenal dekat dengan Hermann von de Wall yang nama aslinya adalah Hermann Theodor Friedrich Karl Emil Wilhelm August Casimir von de Wall (kelahiran Giessen, Jerman, tanggal 30 Maret 1807). Pada bulan November hingga Desember 1807, RAH menyiapkan sebuah silsilah untuk sahabatnya itu. Pada tanggal 12 Juni 1862, RAH menyarankan kepada Hermann von de Wall agar menyusun sebuah kamus bahasa Melayu. Kerjasama mereka berlanjut hingga tahun 1870, di mana H. Von de Wall menerbitkan Bustanul Katibin karya RAH sebagai “Kitab perkeboenan djoeroetoelis bagi kanak-kanak yang hendak menoentoet belajar akan dija”. Atas kerjasama sahabatnya itu pula, pada tahun 1872 karya RAH berjudul Tjakap-2 Rampai-2 Bahasa Malajoe Djohor jilid II diterbitkan oleh Percetakan Gupernemen di Betawi (Batavia). Pada tanggal 2 Mei 1873, H. Von de Wall meninggal dunia. Sebagaimana disebutkan di atas, diperkirakan RAH meninggal dunia pada tahun yang sama.
6. Penghargaan
Pada tanggal 10 November 2004, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada RAH pada saat peringatan Hari Pahlawan 10 November di Istana Negara, Jakarta. Buku karya RAH berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa (selesai ditulis tahun 1851 M, dicetak di Singapura tahun 1925 M) telah ditetapkan dalam Kongres Pemuda Indonesia 28 Oktober 1928 sebagai bahasa nasional (Indonesia). Atas dasar kontribusi yang sangat penting inilah, penghargaan tersebut memang layak diberikan kepada Raja Ali Haji.

Sumber
• Abdullah, Wan Mohd. Shaghir. “Raja Ali Haji: Pujangga Melayu termasyhur”,www.ulama-nusantara.blogspot.com.
• Junus, Hasan. 2002. Raja Ali Haji: Budayawan di Gerbang Abad XX, cet. II. Pekanbaru: Unri Press.
• “Raja Ali Haji: Magma Sastra Melayu”, dalam http://www.kompas.com/gayahidup/news/0411/25/011519.htm, diakses tanggal 20 November 2007.
• Tim Penyusun, Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji sebagai Bapak Bahasa Indonesia, (Pekanbaru: Unri Press, 2004).
• “Ulama dan Sastr
 
amukanmelayu - mereka melakar sejarah......kita melupuskan sejarah.....