Pujangga YAM Tengku Amir Hamzah
Amir
Hamzah lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Utara, pada 28 Februari
1911 dan meninggal dunia pada 20 Maret 1946 di Kuala Begumit, Binjai.
Nama lengkapnya adalah Tengku Amir Hamzah Pangeran Indrapura yang
kemudian disingkat menjadi Tengku Amir Hamzah. Nama Amir Hamzah
diberikan oleh sang ayah karena kekagumannya kepada Hikayat Amir Hamzah.
Ayahanda
Tengku Amir Hamzah bernama Tengku Muhammad Adil yang bergelar Datuk
Paduka Raja. Tengku Muhammad Adil adalah Pangeran (Raja Muda dan Wakil
Sultan) untuk Luhak Langkat Hulu yang berkedudukan di Binjai. Ayahanda
Tengku Amir Hamzah mempunyai garis kekerabatan dengan Sultan Machmud,
penguasa Kesultanan Langkat yang memerintah pada tahun 1927-1941.
Berdasarkan silsilah keluarga istana Kesultanan Langkat, Tengku Amir
Hamzah adalah generasi ke-10 dari Sultan Langkat. Garis keturunan
tersebut memperlihatkan bahwa ia adalah pewaris tahta salah satu
kerajaan Melayu, yakni Kesultanan Langkat.
Amir
Hamzah menghabiskan masa kecil di kampung halamannya. Oleh teman-teman
sepermainannya, Amir kecil biasa dipanggil dengan julukan Tengku Busu
atau “tengku yang bungsu”. Said Hoesny, salah seorang karib Amir Hamzah
di masa kecilnya, menggambarkan bahwa Amir Hamzah adalah anak laki-laki
yang berparas “cantik”. Ia bertubuh semampai, kulitnya kuning langsat,
lehernya jenjang, dan perkataannya lemah-lembut. Singkat kata, Amir
Hamzah di waktu kecil adalah anak manis yang menjadi kesayangan semua
orang.
Amir
Hamzah mulai mengenyam pendidikan pada umur 5 tahun dengan bersekolah
di Langkatsche School di Tanjung Pura pada 1916. Sekolah ini didirikan
oleh Sultan Machmud Abdul Aziz, ayahanda Sultan Machmud, pada 1906.
Sebagian besar guru di sekolah Amir Hamzah adalah orang Belanda, hanya
ada satu orang saja guru Melayu. Pada mulanya, sekolah ini hanya berupa
Sekolah Desa dengan masa tempuh studi 3 tahun, kemudian berubah menjadi
Sekolah Melayu dengan masa tempuh studi 5 tahun, dan terakhir menjadi
Lanngkatsche School dengan masa tempuh studi 7 tahun.
Setelah
tamat dari Langkatsche School, Amir Hamzah melanjutkan pendidikannya di
MULO, sekolah tinggi di Medan. Setahun kemudian, Amir Hamzah pindah ke
Batavia (Jakarta) untuk melanjutkan sekolah di Christelijk MULO
Menjangan. Amir Hamzah lulus dari sekolah itu pada 1927. Amir Hamzah
kemudian melanjutkan studinya di AMS (Aglemenee Middelbare School),
sekolah lanjutan tingkat atas di Solo, Jawa Tengah. Ia mengambil
disiplin ilmu pada Jurusan Sastra Timur. Di Solo, mula-mula Amir Hamzah
tinggal di asrama, yakni di kompleks perumahan kediaman KRT
Wreksodiningrat yang berlokasi di samping istana Kasunanan Surakarta
Hadiningrat. Kemudian Amir Hamzah tinggal bersama keluarga RT Sutijo
Hadinegoro di Nggabelen.
Amir
Hamzah adalah seorang siswa yang memiliki kedisiplinan tinggi. Simak
kesan Achdiat K Mihardja tentang kedisplinan Amir Hamzah: “Disiplin dan
ketertiban itu nampak pula dari keadaan kamarnya. Segalanya serba beres,
buku-bukunya rapih tersusun di atas rak, pakaian tidak tergantung di
mana saja, dan sprei tempat tidurnya pun licin tidak kerisit kisut.
Persis seperti kamar seorang gadis remaja.”
Selama
mengenyam pendidikan di Solo, Amir Hamzah mulai mengasah minatnya pada
sastra sekaligus obsesi kepenyairannya. Pada waktu-waktu itulah Amir
Hamzah mulai menulis beberapa sajak pertamanya yang kemudian terangkum
dalam antologi Buah Rindu, terbit pada 1943. Ajip Rosidi memandang puisi-puisi dalam Buah Rindu adalah puisi Amir Hamzah pada masa-masa “latihan kepenyairan”. Demikian pula dengan anggapan Amir Hamzah sendiri bahwa Buah Rindu hanya sebagai latihan sebelum akhirnya ia menulis sajak-sajak sebagaimana yang terangkum dalam Nyanyi Sunyi. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa puisi-puisi dalam Buah Rindu belum menunjukkan kualitas sebagaimana yang terlihat dalam antologi Nyanyi Sunyi.
Pada
waktu tinggal di Solo, Amir Hamzah juga menjalin pertemanan dengan
Armijn Pane dan Achdiat K Mihardja. Ketiganya sama-sama mengenyam
pendidikan di AMS Solo, bahkan mereka satu kelas di sekolah itu. Di
kemudian hari, ketiga orang ini mempunyai tempat tersendiri dalam ranah
kesusastraan di Indonesia.
Proses
kepenulisan Amir Hamzah sewaktu di Solo merupakan proses awal yang
menentukan posisi kepenyairannya. Ini adalah proses pembentukan dan
pematangan dari seorang Amir Hamzah sebagai manusia. Intensitas proses
Amir Hamzah sebagai menusia dan penyair kemudian berlanjut ketika ia
meneruskan pendidikannya di Batavia. Dua periode ini merupakan masa
proses yang paling kompleks dan intensif dalam kehidupan Amir Hamzah.
Intensitas
pergulatan Amir Hamzah dengan berbagai peristiwa kemudian tercermin ke
dalam sajak-sajaknya. Bahkan, boleh jadi sajak-sajak Amir Hamzah
indentik dengan jalan hidupnya. Kesan seperti ini tidak dapat
dihindarkan karena sajak-sajak Amir Hamzah sepertinya secara langsung
mencerminkan fakta dan peristiwa empiris dalam kehidupan, perenungan,
serta pergulatan dan pencapaiannya di dunia sebagai manusia.
Setelah
studinya di Solo pungkas, Amir Hamzah kembali ke Jakarta untuk
melanjutkan studi ke Sekolah Hakim Tinggi pada awal tahun 1934. Semasa
di Jakarta, kesadaran kebangsaan di dalam jiwa Amir Hamzah kian kuat dan
berpengaruh pada wataknya. Meskipun keturunan raja, ia tidak pernah
memperlihatkan sikap feodal. Kesadaran kebangsaan dan kerakyatan Amir
Hamzah tercermin dari lingkungan pergaulannya, juga dari pekerjaan
tambahannya sebagai pengajar di Perguruan Rakyat, lembaga pendidikan
yang merupakan bagian dari Taman Siswa, di Jakarta. Bersama beberapa
orang rekannya di Perguruan Rakyat, temasuk Soemanang, Soegiarti, Sutan
Takdir Alisyahbana, Armijn Pane, dan lainnya, Amir Hamzah menggagas
penerbitan majalah Poedjangga Baroe.
Amir Hamzah mulai menyiarkan sajak-sajak karyanya ketika masih tinggal di Solo. Di majalah Timboel yang diasuh Sanusi Pane, Amir Hamzah menyiarkan puisinya berjudul “Mabuk” dan “Sunyi” yang menandai debutnya di dunia kesusastraan Indonesia. Selain itu, sajak-sajaknya juga dipublikasikan di rubrik sastra Panji Pustaka asuhan
Sutan Takdir Alisyahbana. Selain menulis sajak, Amir Hamzah juga
menulis prosa dan esai tentang kesusastraan. Sajak-sajak Amir Hamzah
cenderung terlihat lebih ke gaya sastra Timur.
Sejak dimuat di majalah Timboel, karya sastra Amir Hamzah terus muncul di berbagai media massa, misalnya di majalah Pudjangga Baroe, Pandji Poestaka, dan
lain-lain. Nama Amir Hamzah mulai dikenal, dan lingkungan pergaulannya
dengan kalangan sastrawan pun mulai berlangsung intensif. Beberapa
sastrawan yang semasa dengan Amir Hamzah antara lain Armijn Pane, Sanusi
Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, Muhamaad Yamin, Suman Hs, JE.
Tatengkeng, HB. Jassin, dan lainnya.
Mungkin
pencapaian karya sastra Amir Hamzah bukan pencapaian terbaik dari suatu
kelompok yang mengkhususkan diri dalam mencari kemudian menemukan
semacam puitika yang lain sebagaimana yang terjadi di Barat. Namun
begitu, tidak dapat dihindarkan bahwa ada semacam ikatan maupun komitmen
para beberapa pemrakarsa majalah Poedjangga Baroe yaitu, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, dan Amir Hamzah sendiri untuk memajukan bahasa Indonesia. Penerbitan majalah Poedjangga Baroe sendiri juga merupakan perwujudan komitmen hal tersebut.
Amir Hamzah mewariskan dua buah kumpulan sajak karangannya, yaitu Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi. Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan, banyak pengamat yang menilai bahwa Nyanyi Sunyi bukan
hanya merupakan puncak pencapaian kreatif Amir Hamzah, namun juga
menjadi salah satu puncak bagi kepenyairan Indonesia. Antologi puisi Nyanyi Sunyi menjadi pemula bagi sajak-sajak kemudian yang membahasakan kesunyian.
Kumpulan sajak Amir Hamzah yang lain, yaitu Buah Rindu, sebenarnya cenderung merupakan semacam catatan biografi. Meskipun buku kumpulan puisi ini terbit lebih belakangan dibanding Nyanyi Sunyi, namun proses penulisannya lebih dahulu dibanding puisi-puisi pada Nyanyi Sunyi. Sajak-sajak dalam kumpulan puisi Nyanyi Sunyi adalah sajak-sajak yang sublim dengan lebih melukiskan pergulatan eksistensial sang penyair. Melalui Nyanyi Sunyi itulah kehidupan menjadi semacam ruang filosofis yang sunyi.
Para
peneliti dan kritikus sastra yang menyimpulkan dua hal tentang bahasa
puisi Amir Hamzah. Di satu sisi, ia seolah-olah terikat pada bahasa
Melayu, namun di sisi lain Amir Hamzah juga sangat bebas ketika
memasukkan beberapa kata yang berasal dari bahasa Jawa, Kawi, atau
Sansekerta. Ketika membaca sajak-sajak Amir Hamzah, tak jarang pembaca
akan menemui beberapa kata yang bukan berasal dari bahasa Melayu,
misalnya dewangga, dewala, sura, prawira, estu, ningrum, padma, cendera, daksina, purwa, jampi, sekar, alas, maskumambang, dan lain sebagainya.
Amir Hamzah mewariskan 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa, dan 1 prosa terjemahan. Jumlah keseluruhan karya itu adalah 160 tulisan. Jumlah karya tersebut masih ditambah dengan Setanggi Timur yang merupakan puisi terjemahan, dan terjemahan Bhagawat Gita. Dari jumlah itu, ada juga beberapa tulisan yang tidak sempat dipublikasikan.
Revolusi
sosial yang meletus pada 3 Maret 1946 menjadi akhir bagi kehidupan Amir
Hamzah. Ia adalah korban yang tidak bersalah dari sebuah revolusi
sosial pada waktu itu. Pasukan Pesindo menangkapi sekitar 21 tokoh
feodal termasuk di antaranya adalah Amir Hamzah yang ditangkap pada 7
Maret 1946. Kemudian, pada dini hari tanggal 20 Maret 1946, orang-orang
yang ditangkap itu dihukum mati.
(Mujibur Rohman/TAH/Bio/01/05-2011)
Karya-Karya YAM Tengku Amir Hamzah
PUISI-PUISI YAM AMIR HAMZAH
Amir Hamzah mewariskan dua buah kumpulan sajak karangannya, yaitu Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi.Sutan Takdir Alisyahbana mengatakan, banyak pengamat yang menilai bahwa Nyanyi Sunyi bukan
hanya merupakan puncak pencapaian kreatif Amir Hamzah, namun juga
menjadi salah satu puncak bagi kepenyairan Indonesia. Antologi puisi Nyanyi Sunyi menjadi pemula bagi sajak-sajak kemudian yang membahasakan kesunyian.
Kumpulan sajak Amir Hamzah yang lain, yaitu Buah Rindu, sebenarnya cenderung merupakan semacam catatan biografi. Meskipun buku kumpulan puisi ini terbit lebih belakangan dibanding Nyanyi Sunyi, namun proses penulisannya lebih dahulu dibanding puisi-puisi pada Nyanyi Sunyi. Sajak-sajak dalam kumpulan puisi Nyanyi Sunyi adalah sajak-sajak yang lebih melukiskan perjuangan dalaman sang penyair. Melalui Nyanyi Sunyi itulah kehidupan menjadi semacam ruang filosofis yang sunyi.
Para
peneliti dan kritikus sastra yang menyimpulkan dua hal tentang bahasa
puisi Amir Hamzah. Di satu sisi, ia seolah-olah terikat pada bahasa
Melayu, namun di sisi lain Amir Hamzah juga sangat bebas ketika
memasukkan beberapa kata yang berasal dari bahasa Jawa, Kawi, atau
Sansekerta. Ketika membaca sajak-sajak Amir Hamzah, tak jarang pembaca
akan menemui beberapa kata yang bukan berasal dari bahasa Melayu,
misalnya dewangga, dewala, sura, prawira, estu, ningrum, padma, cendera, daksina, purwa, jampi, sekar, alas, maskumambang, dan lain sebagainya.
Amir Hamzah mewariskan 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris, 1 prosa liris terjemahan, 13prosa, dan 1 prosa terjemahan. Jumlah keseluruhan karya itu adalah 160 tulisan. Jumlah karya tersebut masih ditambah dengan Setanggi Timur yang merupakan puisi terjemahan, dan terjemahan Bhagawat Gita.
Sunyi Itu Duka
Sunyi itu duka
Sunyi itu kudus
Sunyi itu lupa
Sunyi itu lampus
Sunyi itu kudus
Sunyi itu lupa
Sunyi itu lampus
Padamu Jua
Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku gila, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu bukan giliranku
Mati hari – bukan kawanku ...
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu
Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu
Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa
Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati
Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku gila, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara di balik tirai
Kasihmu sunyi
Menunggu seorang diri
Lalu waktu bukan giliranku
Mati hari – bukan kawanku ...
Barangkali
Engkau yang lena dalam hatiku
Akasa swarga nipis-tipis
Yang besar terangkum dunia
kecil terlindung alis
Kujunjung di atas hulu
Kupuji di pucuk lidah
Kupangku di lengan lagu
Kudaduhkan di selendang dendang
Bangkit Gunung
Buka mata-mutira-mu
Sentuh kecapi lirdusi
Dengan jarimu menirus halus
Biar siuman dewi-nyanyi
Gambuh asmara lurus lampai
Lemah ramping melidah api
Halus harum mengasap keramat
Mari menari dara asmara
Biar terdengar swara swarna
Barangkali mati di pantai hati
Gelombang kenang membanting diri
Akasa swarga nipis-tipis
Yang besar terangkum dunia
kecil terlindung alis
Kujunjung di atas hulu
Kupuji di pucuk lidah
Kupangku di lengan lagu
Kudaduhkan di selendang dendang
Bangkit Gunung
Buka mata-mutira-mu
Sentuh kecapi lirdusi
Dengan jarimu menirus halus
Biar siuman dewi-nyanyi
Gambuh asmara lurus lampai
Lemah ramping melidah api
Halus harum mengasap keramat
Mari menari dara asmara
Biar terdengar swara swarna
Barangkali mati di pantai hati
Gelombang kenang membanting diri
Hanya Satu
Timbul niat dalam kalbumu
Terban hujan, ungkai badai
Terendam karam
Runtuh ripuk tamanmu rampak
Manusia kecil lintang pukang
Lari terbang jatuh duduk
Air naik tetap terus
Tumbang bungkar pokok purba
Teriak riuh redam terbelam
Dalam gegap gempita guruh
Kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi
Terapung naik jung bertudung
Tempat berteduh nuh kekasihmu
Bebas lepas lelang lapang
Di tengah gelisah, swara sentosa
***
Bersemayam sempana di jemala gembala
Duriat jelita bapakku Ibrahim
Keturunan intan dua cahaya
Pancaran putera berlainan bunda .
Kini kami bertikai pangkai
Di antara dua, mana mutiara
Jauhari ahli lalai menilai
Lengah langsung melewat abad.
Aduh kekasihku
Padaku semua tiada berguna
Merasa dikau dekat rapat
Serupa Musi di puncak Tursina
Terban hujan, ungkai badai
Terendam karam
Runtuh ripuk tamanmu rampak
Manusia kecil lintang pukang
Lari terbang jatuh duduk
Air naik tetap terus
Tumbang bungkar pokok purba
Teriak riuh redam terbelam
Dalam gegap gempita guruh
Kilau kilat membelah gelap
Lidah api menjulang tinggi
Terapung naik jung bertudung
Tempat berteduh nuh kekasihmu
Bebas lepas lelang lapang
Di tengah gelisah, swara sentosa
***
Bersemayam sempana di jemala gembala
Duriat jelita bapakku Ibrahim
Keturunan intan dua cahaya
Pancaran putera berlainan bunda .
Kini kami bertikai pangkai
Di antara dua, mana mutiara
Jauhari ahli lalai menilai
Lengah langsung melewat abad.
Aduh kekasihku
Padaku semua tiada berguna
Merasa dikau dekat rapat
Serupa Musi di puncak Tursina
Permainanmu
Kaukeraskan kalbunya
Bagai batu membesi benar
Timbul telangkaimu bertongkat urat
Ditunjang pengacara petah pasih
Dihadapanmu lawanmu
Tongkatnya melingkar merupa ular
Tangannya putih, putih penyakit
Kekayaanmu nyata,terlihat terang
Kekasihmu ditindasnya terns
Tangan,tapi tersembunyi
Mengunci bagi paten
Kalbu ratu rat rapat
Kaupukul raja-dewa
Sembilan cambuk melecut dada
Putera-mula peganti diri
Pergi kembaii ke asal asli
Bertanya aku kekasihku
Permainan engkau permainkan
Kautulis kaupaparkan
Kausampaikan dengan lisan
Bagaimana aku menimbang
Kaulipu lipatkan
Kaukelam kabutkan
Kalbu ratu dalam genggammu
Kauhamparkan badan
Ditubir bibir pantai permai
Raja ramses penaka durjana
Jadi tanda di hari muka
Bagaimana aku menimbang
Kekasihku astana sayang
Ratu restu telaga sempurna
Kekasihku mengunci hati
Bagi tali disimpul mati.
Bagai batu membesi benar
Timbul telangkaimu bertongkat urat
Ditunjang pengacara petah pasih
Dihadapanmu lawanmu
Tongkatnya melingkar merupa ular
Tangannya putih, putih penyakit
Kekayaanmu nyata,terlihat terang
Kekasihmu ditindasnya terns
Tangan,tapi tersembunyi
Mengunci bagi paten
Kalbu ratu rat rapat
Kaupukul raja-dewa
Sembilan cambuk melecut dada
Putera-mula peganti diri
Pergi kembaii ke asal asli
Bertanya aku kekasihku
Permainan engkau permainkan
Kautulis kaupaparkan
Kausampaikan dengan lisan
Bagaimana aku menimbang
Kaulipu lipatkan
Kaukelam kabutkan
Kalbu ratu dalam genggammu
Kauhamparkan badan
Ditubir bibir pantai permai
Raja ramses penaka durjana
Jadi tanda di hari muka
Bagaimana aku menimbang
Kekasihku astana sayang
Ratu restu telaga sempurna
Kekasihku mengunci hati
Bagi tali disimpul mati.
Turun Kembali
Kalau aku dalam engkau
Dan engkau dalam aku
Adakah begini jadinya
Aku hamba engkau penghulu?
Aku dan engkau berlainan
Engkau raja, maha raya
Cahaya halus tinggi mengawang
Pohon rindang menaung dunia
Di bawah teduh engkau kembangkan
Aku berhenti memati hari
Pada bayang engkau mainkan
Aku melipur meriang hati
Diterangi cahaya engkau sinarkan
Aku menaiki tangga mengawan
Kecapi firdusi melena telinga
Menyentuh gambuh dalam hatiku
Terlihat ke bawah.
Kandil kemerlap
Melambai cempaka ramai tertawa
Hati duniawi melambung tinggi
Berpaling aku turun kembali.
Dan engkau dalam aku
Adakah begini jadinya
Aku hamba engkau penghulu?
Aku dan engkau berlainan
Engkau raja, maha raya
Cahaya halus tinggi mengawang
Pohon rindang menaung dunia
Di bawah teduh engkau kembangkan
Aku berhenti memati hari
Pada bayang engkau mainkan
Aku melipur meriang hati
Diterangi cahaya engkau sinarkan
Aku menaiki tangga mengawan
Kecapi firdusi melena telinga
Menyentuh gambuh dalam hatiku
Terlihat ke bawah.
Kandil kemerlap
Melambai cempaka ramai tertawa
Hati duniawi melambung tinggi
Berpaling aku turun kembali.
Karena Kasihmu
Karena kasihmu
Engkau tentukan waktu
Sehari lima kali kita bertemu
Aku anginkan rupamu
Kulebihi sekali
Sebelum cuaca menali sutera
Berulang-ulang kuintai-intai
Terus-menerus kurasa-rasakan
Sampai sekarang tiada tercapai
Hasrat sukma idaman badan
Pujiku dikau laguan kawi
Datang turun dari datuku
Diujung lidah engkau letakkan
Piatu teruna ditengah gembala
Sunyi sepi pitunang poyang
Tadak meretak dendang dambaku
Layang lagu tiada melangsing
Haram gemerencing genta rebana
Hatiku, hatiku
Hatiku sayang tiada bahagia
Hatiku kecil berduka raya
Hilang ia yang dilihatnya.
Engkau tentukan waktu
Sehari lima kali kita bertemu
Aku anginkan rupamu
Kulebihi sekali
Sebelum cuaca menali sutera
Berulang-ulang kuintai-intai
Terus-menerus kurasa-rasakan
Sampai sekarang tiada tercapai
Hasrat sukma idaman badan
Pujiku dikau laguan kawi
Datang turun dari datuku
Diujung lidah engkau letakkan
Piatu teruna ditengah gembala
Sunyi sepi pitunang poyang
Tadak meretak dendang dambaku
Layang lagu tiada melangsing
Haram gemerencing genta rebana
Hatiku, hatiku
Hatiku sayang tiada bahagia
Hatiku kecil berduka raya
Hilang ia yang dilihatnya.
Sebab Dikau
Kasihkan hidup sebab dikau
Segala kuntum mengoyak kepak
Membunga cinta dalam hatiku
Mewangi sari dalam jantungku
Hidup seperti mimpi
Laku lakon di layar terkelar
Aku pemimpi lagi penari
Sedar siuman bertukar-tukar
Maka merupa di datar layar
Wayang warna menayang rasa
Kalbu rindu turut mengikut
Dua sukma esa-mesra
Aku boneka engkau boneka
Penghibur dalang mengatur tembang
Di layar kembang bertukar pandang
Hanya selagu, sepanjang dendang
Golek gemilang ditukarnya pula
Aku engkau di kotak terletak
Aku boneka engkau boneka
Penyelang dalang mengarak sajak.
Segala kuntum mengoyak kepak
Membunga cinta dalam hatiku
Mewangi sari dalam jantungku
Hidup seperti mimpi
Laku lakon di layar terkelar
Aku pemimpi lagi penari
Sedar siuman bertukar-tukar
Maka merupa di datar layar
Wayang warna menayang rasa
Kalbu rindu turut mengikut
Dua sukma esa-mesra
Aku boneka engkau boneka
Penghibur dalang mengatur tembang
Di layar kembang bertukar pandang
Hanya selagu, sepanjang dendang
Golek gemilang ditukarnya pula
Aku engkau di kotak terletak
Aku boneka engkau boneka
Penyelang dalang mengarak sajak.
Doa
Dengan apakah kubandingkan pertemuan kita, kekasihku?
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik,
setelah menghalaukan panas payah terik
Angin malam menghembus lemah, menyejuk badan, melambung
rasa menanyang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap-malam menyirak kelopak
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu
Dengan senja samar sepoi, pada masa purnama meningkat naik,
setelah menghalaukan panas payah terik
Angin malam menghembus lemah, menyejuk badan, melambung
rasa menanyang pikir, membawa angan ke bawah kursimu.
Hatiku terang menerima katamu, bagai bintang memasang lilinnya.
Kalbuku terbuka menunggu kasihmu, bagai sedap-malam menyirak kelopak
Aduh, kekasihku, isi hatiku dengan katamu, penuhi dadaku dengan cahayamu, biar bersinar mataku sendu, biar berbinar gelakku rayu
Hanyut Aku
Hanyut aku, kekasihku!
Hanyut aku
Ulurkan tanganmu, tolong aku.
Sunyinya sekelilingku!
Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin
tiada air menolak ngelak
Dahagaku kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku sebabkan diammu.
Langit menyerkap, air berrepas tangan, aku tenggelam. Tenggelam dalam malam.
air diatas mendidih keras.
Bumi didawah menolak keatas.
Mati aku, kekasihku, mati aku!
Hanyut aku
Ulurkan tanganmu, tolong aku.
Sunyinya sekelilingku!
Tiada suara kasihan, tiada angin mendingin
tiada air menolak ngelak
Dahagaku kasihmu, hauskan bisikmu, mati aku sebabkan diammu.
Langit menyerkap, air berrepas tangan, aku tenggelam. Tenggelam dalam malam.
air diatas mendidih keras.
Bumi didawah menolak keatas.
Mati aku, kekasihku, mati aku!
Taman Dunia
Kau masukkan aku ke dalam taman-dunia, kekasihku
Kaupimpin jariku, kautunjukkan bunga tertawa; kuntum tersenyum.
Kautundukkan haluku tegak, mencium wangi tersembunyi sepi.
Kaugemelaikan di pipiku rindu daun beldu melunak lemah.
Tercengang aku, takjub, terdiam.
Berbisik engkau:
Taman swarga, taman swarga mutiara rupa”.
Engkaupun lenyap.
Termangu aku gilakan rupa
Kaupimpin jariku, kautunjukkan bunga tertawa; kuntum tersenyum.
Kautundukkan haluku tegak, mencium wangi tersembunyi sepi.
Kaugemelaikan di pipiku rindu daun beldu melunak lemah.
Tercengang aku, takjub, terdiam.
Berbisik engkau:
Taman swarga, taman swarga mutiara rupa”.
Engkaupun lenyap.
Termangu aku gilakan rupa
Terbuka Bunga
Terbuka bunga dalam hati!
Kembang rindang disentuh bibir-kesturi-mu.
Melayah-layah mengintip restu senyumanmu
Dengan mengelopaknya bunga ini, layulah bunga lampau, kekasihku.
Bunga sunting-hati-ku, dalam masa mengembara menanda dakau.
Kekasihku! inikah bunga sejati yang tiadakan layu
Kembang rindang disentuh bibir-kesturi-mu.
Melayah-layah mengintip restu senyumanmu
Dengan mengelopaknya bunga ini, layulah bunga lampau, kekasihku.
Bunga sunting-hati-ku, dalam masa mengembara menanda dakau.
Kekasihku! inikah bunga sejati yang tiadakan layu
Mengawan
Rengang aku dari padaku, mengikut kawalku mengawan naik
Mewajah ke bawah, tertentang aku, lemah lunak, kotor, terhantar, paduan benda empat perkara.
Datang pikiran membentang kenang, membunga cahaya cuaca lampau, menjadi terang mengilau kaca.
Lewat lambat aku dan dia, ria tertawa, bersedih suka, berkasih pedih, bagi merpati bersambut mulut.
Tersenyum sukma, kasihan serta.
Benda mencintai benda………………….
Naik aku mengawan rahman, mengikut kawalku membawa warta.
Kuat, sayapku kuat, bawakan aku, biar sampai membidai-belai cecah tersentuh, di kursi kesturi
Mewajah ke bawah, tertentang aku, lemah lunak, kotor, terhantar, paduan benda empat perkara.
Datang pikiran membentang kenang, membunga cahaya cuaca lampau, menjadi terang mengilau kaca.
Lewat lambat aku dan dia, ria tertawa, bersedih suka, berkasih pedih, bagi merpati bersambut mulut.
Tersenyum sukma, kasihan serta.
Benda mencintai benda………………….
Naik aku mengawan rahman, mengikut kawalku membawa warta.
Kuat, sayapku kuat, bawakan aku, biar sampai membidai-belai cecah tersentuh, di kursi kesturi
Panji di Hadapanku
Kau kibarkan panji di hadapanku.
Hijau jernih diampu tongkat mutu-mutiara.
Di kananku berjalan, mengiring perlahan, ridlamu rata, dua sebaya, putih-putih, penuh melimpah, kasih persih.
Gelap-gelap kami berempat, menunggu-nunggu, mendengar-dengar suara sayang, panggilan-panjang, jauh-teratuh, melayang-layang.
Gelap-gelap kami berempat, meminta-minta, memohon-motion, moga terbuka selimut kabut, pembungkus halus nokta utama.
Jika nokta terduka-raya
Jika kabut tersingkap semua
Cahaya ridla mengilau ke dalam
Nur rindu memancar keluar
Hijau jernih diampu tongkat mutu-mutiara.
Di kananku berjalan, mengiring perlahan, ridlamu rata, dua sebaya, putih-putih, penuh melimpah, kasih persih.
Gelap-gelap kami berempat, menunggu-nunggu, mendengar-dengar suara sayang, panggilan-panjang, jauh-teratuh, melayang-layang.
Gelap-gelap kami berempat, meminta-minta, memohon-motion, moga terbuka selimut kabut, pembungkus halus nokta utama.
Jika nokta terduka-raya
Jika kabut tersingkap semua
Cahaya ridla mengilau ke dalam
Nur rindu memancar keluar
Memuji Dikau
Kalau aku memuji dikau, dengan mulut tertutup, mata terkatup,
Sujudlah segalaku, diam terbelam, di dalam kalam asmara raya.
Turun kekasihmu, mendapatkan daku duduk bersepi, sunyi sendiri.
Dikucupnya bibirku, dipautnya bahuku, digantunginya leherku, hasratkan suara sayang semata.
Selagi hati bernyanyi, sepanjang sujud semua segala,
bertindih ia pada pahaku, meminum ia akan suaraku……………………
Dan,
Iapun melayang pulang,
Semata cahaya,
Lidah api dilingkung kaca,
Menuju restu, sempana sentosa.
Sujudlah segalaku, diam terbelam, di dalam kalam asmara raya.
Turun kekasihmu, mendapatkan daku duduk bersepi, sunyi sendiri.
Dikucupnya bibirku, dipautnya bahuku, digantunginya leherku, hasratkan suara sayang semata.
Selagi hati bernyanyi, sepanjang sujud semua segala,
bertindih ia pada pahaku, meminum ia akan suaraku……………………
Dan,
Iapun melayang pulang,
Semata cahaya,
Lidah api dilingkung kaca,
Menuju restu, sempana sentosa.
Kurnia
Kaukurnia aku,
Kelereng kaca cerah cuaca,
Hikmat raya tersembunyi dalamnya,
Jua bahaya dikandung kurnia,
Jampi kauberi, menundukkan kepala naga angkara.
Kelereng kaca kilauan kasih, menunjukkan daku itu lisan tanganmu.
Memaksa sukmaku bersorak raya, melapangkan dada¬ku menanti sentosa.
Sebab kelereng guli riwarni, kuketahui langit tinggi
berdiri, tanah rendah membukit datar.
Kutilik diriku, dua sifat mesra satu:
Melangit tinggi, membumi keji
Kelereng kaca cerah cuaca,
Hikmat raya tersembunyi dalamnya,
Jua bahaya dikandung kurnia,
Jampi kauberi, menundukkan kepala naga angkara.
Kelereng kaca kilauan kasih, menunjukkan daku itu lisan tanganmu.
Memaksa sukmaku bersorak raya, melapangkan dada¬ku menanti sentosa.
Sebab kelereng guli riwarni, kuketahui langit tinggi
berdiri, tanah rendah membukit datar.
Kutilik diriku, dua sifat mesra satu:
Melangit tinggi, membumi keji
Doa Poyangku
Poyangku rata meminta sama
Semoga sekali aku diberi
Memetik kecapi, kecapi firdusi
Menampar rebana, rebana swarga
Poyangku rata semua semata
Penabuh bunyian turun-temurun
Leka mereka karena suara
Suara sunyi suling keramat
Kini rebana di celah jariku
Tari tamparku membangkit rindu
Kucoba serentak genta genderang
Memuji kekasihku di mercu lagu
Aduh, kasih hatiku sayang
Alahai hatiku tiada bahagia
Jari menari doa semata
Tapi hatiku bercabang dua
Semoga sekali aku diberi
Memetik kecapi, kecapi firdusi
Menampar rebana, rebana swarga
Poyangku rata semua semata
Penabuh bunyian turun-temurun
Leka mereka karena suara
Suara sunyi suling keramat
Kini rebana di celah jariku
Tari tamparku membangkit rindu
Kucoba serentak genta genderang
Memuji kekasihku di mercu lagu
Aduh, kasih hatiku sayang
Alahai hatiku tiada bahagia
Jari menari doa semata
Tapi hatiku bercabang dua
Turun Kembali
Kalau aku dalam engkau
Dan engkau dalam aku
Adakah begini jadinya
Aku hamba engkau penghulu?
Aku dan engkau berlainan
Engkau raja, maha raya
Cahaya halus tinggi mengawang
Pohon rindang menaung dunia
Di bawah teduh engkau kembangkan
Aku berhenti memati hari
Pada bayang engkau mainkan
Aku melipur meriang hati
Diterangi cahaya engkau sinarkan
Aku menaiki tangga mengawan
Kecapi firdusi melena telinga
Menyentuh gambuh dalam hatiku.
Terlihat ke bawah,
Kandil kemerlap
Melambai cempaka ramai tertawa
Hati duniawi melambung tinggi
Berpaling aku turun kembali
Dan engkau dalam aku
Adakah begini jadinya
Aku hamba engkau penghulu?
Aku dan engkau berlainan
Engkau raja, maha raya
Cahaya halus tinggi mengawang
Pohon rindang menaung dunia
Di bawah teduh engkau kembangkan
Aku berhenti memati hari
Pada bayang engkau mainkan
Aku melipur meriang hati
Diterangi cahaya engkau sinarkan
Aku menaiki tangga mengawan
Kecapi firdusi melena telinga
Menyentuh gambuh dalam hatiku.
Terlihat ke bawah,
Kandil kemerlap
Melambai cempaka ramai tertawa
Hati duniawi melambung tinggi
Berpaling aku turun kembali
Batu Belah (kabaran)
Dalam rimba rumah sebelah
Teratak bambu terlampau tua
Angin menyusup di lubang tepas
Bergulung naik di sudut sunyi
Kayu tua membetul tinggi
Membukak puncak jauh diatas
Bagai perarakan melintas negeri
Payung menaung jamala raja
Ibu papa beranak seorang
Manja bena terada-ada
Lagu lagak tiada disangkak
Mana tempat ibu meminta.
Telur kemahang minta carikan
Untuk lauk di nasi sejuk
Tiada sayang;
Dalam rimba telur kemahang
Mana daya ibu mencari
Mana tempat ibu meminta
Anak lasak mengisak panjang
Menyabak merunta mengguling diri
Kasihan ibu berhancur hati
Lemah jiwa karena cinta
Dengar…………….dengar!
Dari jauh suara sayup
Mengalun sampai memecah sepi
Menyata rupa mengasing kata
Rang………rang…………rangkup
Rang………rang…………rangkup
Batu belah batu bertangkup
Ngeri berbunyi berganda kali
Diam ibu berpikir panjang
Lupa anak menangis hampir
Kalau begini susahnya hidup
Biar ditelan batu bertangkup
Kembali pula suara bergelora
Bagai ombak datang menampar
Macam sorak semarai rampai
Karena ada hati berbimbang
Menyabut ibu sambil tersedu
Meragu langsing suara susah:
Batu belah batu dertangkup
Batu tepian tempat mandi
Insya Allah tiadaku takut
Sudan demikian kuperbuat janji
Bangkit bonda bedalan pelan
Tangis anak bertambah kuat
Rasa risau dermaharajalela
Mengangkat kaki melangkah cepat
Jauh ibu lenyap di mata
Timbul takut di hati kecil
Gelombang bimbang mengharu pikir
Berkata jiwa menanya bonda
Lekas pantas memburu ibu
Sambil tersedu rindu berseru
Dari sisi suara sampai
Suara raya batu bertangkup.
Lompat ibu ke mulut batu
Besar terbuka menunggu mangsa
Tutup terkatup mulut ternganga
Berderak-derik tulang-belulang
Terbuka pula,merah basah
Mulut maut menunggu mangsa
Lapar lebar tercingah pangah
Meraung riang mengecap sedap………….
Tiba dara kecil sendu
Menangis pedih mencari ibu
Terlihat cerah darak merah
Mengerti hati bonda tiada
Melompat dara kecil sendu
Menurut hati menaruh rindu……….
Batu belah, batu bertangkup
Batu tepian tempat mandi
Insya Allah tiadaku takut
Sudan demikian kuperbuat janji.
Teratak bambu terlampau tua
Angin menyusup di lubang tepas
Bergulung naik di sudut sunyi
Kayu tua membetul tinggi
Membukak puncak jauh diatas
Bagai perarakan melintas negeri
Payung menaung jamala raja
Ibu papa beranak seorang
Manja bena terada-ada
Lagu lagak tiada disangkak
Mana tempat ibu meminta.
Telur kemahang minta carikan
Untuk lauk di nasi sejuk
Tiada sayang;
Dalam rimba telur kemahang
Mana daya ibu mencari
Mana tempat ibu meminta
Anak lasak mengisak panjang
Menyabak merunta mengguling diri
Kasihan ibu berhancur hati
Lemah jiwa karena cinta
Dengar…………….dengar!
Dari jauh suara sayup
Mengalun sampai memecah sepi
Menyata rupa mengasing kata
Rang………rang…………rangkup
Rang………rang…………rangkup
Batu belah batu bertangkup
Ngeri berbunyi berganda kali
Diam ibu berpikir panjang
Lupa anak menangis hampir
Kalau begini susahnya hidup
Biar ditelan batu bertangkup
Kembali pula suara bergelora
Bagai ombak datang menampar
Macam sorak semarai rampai
Karena ada hati berbimbang
Menyabut ibu sambil tersedu
Meragu langsing suara susah:
Batu belah batu dertangkup
Batu tepian tempat mandi
Insya Allah tiadaku takut
Sudan demikian kuperbuat janji
Bangkit bonda bedalan pelan
Tangis anak bertambah kuat
Rasa risau dermaharajalela
Mengangkat kaki melangkah cepat
Jauh ibu lenyap di mata
Timbul takut di hati kecil
Gelombang bimbang mengharu pikir
Berkata jiwa menanya bonda
Lekas pantas memburu ibu
Sambil tersedu rindu berseru
Dari sisi suara sampai
Suara raya batu bertangkup.
Lompat ibu ke mulut batu
Besar terbuka menunggu mangsa
Tutup terkatup mulut ternganga
Berderak-derik tulang-belulang
Terbuka pula,merah basah
Mulut maut menunggu mangsa
Lapar lebar tercingah pangah
Meraung riang mengecap sedap………….
Tiba dara kecil sendu
Menangis pedih mencari ibu
Terlihat cerah darak merah
Mengerti hati bonda tiada
Melompat dara kecil sendu
Menurut hati menaruh rindu……….
Batu belah, batu bertangkup
Batu tepian tempat mandi
Insya Allah tiadaku takut
Sudan demikian kuperbuat janji.
Di dalam Kelam
Kembali lagi marak-sumarak
Jilat melonjak api penyuci
Datam hatiku tumbuh jahanam
Terbuka neraka di lapangan swarga
Api melambai merengkung lurus
Merunta ria melidah belah
Menghangus debu mengitam belam
Buah tenaga bunga suwarga
Hati firdusi segera sentosa
Murtad merentak melaut topan
Naik kabut mengarang awan
Menghalang cuaca nokta utama
Berjalan aku di dalam kelam
Terus lurus moal berhenti
jantung dilebur dalam jahanam
Kerongkong hangus kering peteri
Meminta aku kekasihku sayang:
Turunkan hujan embun rahmatmu
Biar padam api membelam
Semoga pulih pokok percayaku
Jilat melonjak api penyuci
Datam hatiku tumbuh jahanam
Terbuka neraka di lapangan swarga
Api melambai merengkung lurus
Merunta ria melidah belah
Menghangus debu mengitam belam
Buah tenaga bunga suwarga
Hati firdusi segera sentosa
Murtad merentak melaut topan
Naik kabut mengarang awan
Menghalang cuaca nokta utama
Berjalan aku di dalam kelam
Terus lurus moal berhenti
jantung dilebur dalam jahanam
Kerongkong hangus kering peteri
Meminta aku kekasihku sayang:
Turunkan hujan embun rahmatmu
Biar padam api membelam
Semoga pulih pokok percayaku
Ibuku Dahulu
Ibuku DahuluIbuku dahulu marah padaku
Diam ia tiada berkata
Akupun lalu merajuk pilu
Tiada perduli apa terjadi
Matanya terus mengawas daku
Walaupun bibirnya tiada bergera
Mukanya masam menahan sedan
Jika
Amir Hamzah tetap hanya seorang Pangeran Indera Putera atau Pangeran
Langkat Hulu di Binjai, mungkin dia hanya akan diingat sebagai salah
seorang korban dalam bencana sosial di Sumatera Timur Maret 1946. Tetapi
dia terutama adalah seorang penyair – terbesar pada zamannya – dan
lebih sering dikenal sebagai raja penyair ketimbang sebagai pangeran
Kesultanan Langkat.
Amir mewariskan 50 sajak asli1, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris, satu prosa liris terjemahan, 13 prosa dan satu prosa terjemahan. Jumlah seluruhnya adalah 160 tulisan. Jumlah itu masih ditambah dengan Setanggi Timur (puisi terjemahan) dan terjemahan Bhagawat Gita (Abrar Yusra, 1996:58) – serta, tentu saja, entah berapa tulisan yang tak sempat tersiar atau dipublikasikan. Amir Hamzah hanya menerbitkan dua kumpulan puisi tunggal, yaitu Buah Rindu (1941) dan Nyanyi Sunyi (1937).
Amir Hamzah, seperti yang tercermin dalam karya-karyanya dan berbagai pembahasan tentang dirinya, adalah kontradiksi dan bahan diskusi yang tak habis-habis. Walaupun Amir tercatat sebagai pelopor kebudayaan modern Indonesia karena keikutsertaannya dalam majalah Pujangga Baru, tetapi hal itu tidak mencegah H.B. Jassin untuk menobatkannya sebagai wakil terakhir dari zaman (Melayu) lama (dalam Goenawan Mohamad (2005 dan dalam Yusra [ed.] [1996]).
Dalam pengantar singkat untuk puisi-puisi Amir yang terhimpun dalam Puisi Baru, kumpulan puisi para penyair Pujangga Baru yang baru diterbitkan pada 1946, STA mengungkapkan, “Pada Amir Hamzah, semangat baru bertemu dengan bahasa Melayu lama dalam bentuk, bunyi dan irama yang amat indahnya. Bahasanya payah dipahamkan oleh karena banyak memakai kata lama dan kata daerahnya. Dalam Nyanyi Sunyi, cinta dunia yang tidak sampai dilukiskannya mendapat keredaan di dalam nur Ilahi” (2004:149).
Akan tetapi Abdul Hadi WM justru tidak melihat adanya pemutusan hubungan secara total antara modernitas kesusastraan Indonesia dari sistem kesusastraan Melayu tradisional: Amir adalah seorang penerus tradisi sastra Melayu par excellence (1996, 1999 dan dalam Yusra [ed.] [1996]).
A. Teeuw (1959) lebih cenderung memandang Amir sebagai antidot bagi pemihakan sepenuhnya kepada Barat oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam tafsiran Teeuw, karya-karya Amir menyatakan dengan jelas bahwa “kita dapat menjadi pujangga baru meskipun masih berurat-berakar pada Indonesia, yakni Indonesia purbakala yang oleh Takdir banyak-sedikitnya diejek sebagai zaman jahiliyah” (1959: 112).
Tafsiran Teeuw itu menempatkan Amir sebagai seorang perintis jalan namun bukan penggerak utama bagi zaman baru kesusastraan Indonesia. Modernisasi bahasa Melayu/Indonesia dalam puisi dan perpisahan yang defintif dari dunia Melayu lama baru akan dilaksanakan dengan sempurna oleh Chairil Anwar (Teeuw, 1983). Chairil sendiri pernah memberikan komentar yang remang-remang tentang Amir: ia mengakui bahwa “susunan kata-kata Amir Hamzah bisa dikatakan destructive terhadap bahasa lama, tetapi suatu sinar cemerlang untuk gerakan bahasa baru!” (dalam H.B. Jassin [ed.], 1959:121).
Seolah-olah hendak menengahi perbantahan tentang fenomena Amir Hamzah, Goenawan Mohamad (2005) menempatkan Amir dalam konteks kebudayaan secara luas. Bagi Goenawan, Amir adalah kesaksian suatu zaman transisi yang memiliki konflik-konfliknya sendiri. Akan tetapi konflik-konflik itu tidak berada di luar dirinya melainkan berlangsung di dalam dirinya – “polemik kebudayaan” itu bergolak sebagai “polemik batin” dalam diri Amir.
Diskusi tentang Amir Hamzah dan karya-karyanya masih berlangsung sampai sekarang. Diskusi itu tidak akan selesai dalam waktu-waktu mendatang karena Amir telah memperoleh sebuah tempat dalam sejarah kebudayaan dan kesusastraan Indonesia. Dengan begitu, barangkali keinginan terbesarnya sebagai seorang penyair terpuaskan: selalu dibaca di segala zaman oleh banyak orang.
Amir mewariskan 50 sajak asli1, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris, satu prosa liris terjemahan, 13 prosa dan satu prosa terjemahan. Jumlah seluruhnya adalah 160 tulisan. Jumlah itu masih ditambah dengan Setanggi Timur (puisi terjemahan) dan terjemahan Bhagawat Gita (Abrar Yusra, 1996:58) – serta, tentu saja, entah berapa tulisan yang tak sempat tersiar atau dipublikasikan. Amir Hamzah hanya menerbitkan dua kumpulan puisi tunggal, yaitu Buah Rindu (1941) dan Nyanyi Sunyi (1937).
Amir Hamzah, seperti yang tercermin dalam karya-karyanya dan berbagai pembahasan tentang dirinya, adalah kontradiksi dan bahan diskusi yang tak habis-habis. Walaupun Amir tercatat sebagai pelopor kebudayaan modern Indonesia karena keikutsertaannya dalam majalah Pujangga Baru, tetapi hal itu tidak mencegah H.B. Jassin untuk menobatkannya sebagai wakil terakhir dari zaman (Melayu) lama (dalam Goenawan Mohamad (2005 dan dalam Yusra [ed.] [1996]).
Dalam pengantar singkat untuk puisi-puisi Amir yang terhimpun dalam Puisi Baru, kumpulan puisi para penyair Pujangga Baru yang baru diterbitkan pada 1946, STA mengungkapkan, “Pada Amir Hamzah, semangat baru bertemu dengan bahasa Melayu lama dalam bentuk, bunyi dan irama yang amat indahnya. Bahasanya payah dipahamkan oleh karena banyak memakai kata lama dan kata daerahnya. Dalam Nyanyi Sunyi, cinta dunia yang tidak sampai dilukiskannya mendapat keredaan di dalam nur Ilahi” (2004:149).
Akan tetapi Abdul Hadi WM justru tidak melihat adanya pemutusan hubungan secara total antara modernitas kesusastraan Indonesia dari sistem kesusastraan Melayu tradisional: Amir adalah seorang penerus tradisi sastra Melayu par excellence (1996, 1999 dan dalam Yusra [ed.] [1996]).
A. Teeuw (1959) lebih cenderung memandang Amir sebagai antidot bagi pemihakan sepenuhnya kepada Barat oleh Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam tafsiran Teeuw, karya-karya Amir menyatakan dengan jelas bahwa “kita dapat menjadi pujangga baru meskipun masih berurat-berakar pada Indonesia, yakni Indonesia purbakala yang oleh Takdir banyak-sedikitnya diejek sebagai zaman jahiliyah” (1959: 112).
Tafsiran Teeuw itu menempatkan Amir sebagai seorang perintis jalan namun bukan penggerak utama bagi zaman baru kesusastraan Indonesia. Modernisasi bahasa Melayu/Indonesia dalam puisi dan perpisahan yang defintif dari dunia Melayu lama baru akan dilaksanakan dengan sempurna oleh Chairil Anwar (Teeuw, 1983). Chairil sendiri pernah memberikan komentar yang remang-remang tentang Amir: ia mengakui bahwa “susunan kata-kata Amir Hamzah bisa dikatakan destructive terhadap bahasa lama, tetapi suatu sinar cemerlang untuk gerakan bahasa baru!” (dalam H.B. Jassin [ed.], 1959:121).
Seolah-olah hendak menengahi perbantahan tentang fenomena Amir Hamzah, Goenawan Mohamad (2005) menempatkan Amir dalam konteks kebudayaan secara luas. Bagi Goenawan, Amir adalah kesaksian suatu zaman transisi yang memiliki konflik-konfliknya sendiri. Akan tetapi konflik-konflik itu tidak berada di luar dirinya melainkan berlangsung di dalam dirinya – “polemik kebudayaan” itu bergolak sebagai “polemik batin” dalam diri Amir.
Diskusi tentang Amir Hamzah dan karya-karyanya masih berlangsung sampai sekarang. Diskusi itu tidak akan selesai dalam waktu-waktu mendatang karena Amir telah memperoleh sebuah tempat dalam sejarah kebudayaan dan kesusastraan Indonesia. Dengan begitu, barangkali keinginan terbesarnya sebagai seorang penyair terpuaskan: selalu dibaca di segala zaman oleh banyak orang.
amukanmelayu - patah tumbuh hilang tak berganti.......perginya seorang PUJANGGA ISLAMELAYU, PEJUANG yang tak minta di dendangkan