,مليسيا دان اسلام بوکن ميليک اورڠ ڤوليتيک
, مک ڤرجواڠن اݢام تتڤ دڤرجواڠکن اوليه اومت اسلام دري بيدڠ يڠ لاءين
سام اد كامي منڠ اتاو كامي ماتي

PERJALAN HAJI AKI


Wednesday, 20 February 2013

PATTANI - MENCARI RAJA YANG HILANG



Merdeka Patani

 

SALASILAH RAJA PATTANI DARI KETURUNAN RAJA KELANTAN

 

Hilangnya Sebuah Negeri Islam pic_ulama_p01Melayu
Bagi sebagian umat, Patani mungkin hanya sebuah nostalgia negeri Melayu. Orang-orang yang memperhatikan peta Asia Tenggara sekarang akan mengetahui bahwa sebuah negeri Islam yang dulu berjaya kini telah hilang dan tinggal kenangan.
Berbeda dengan nasib negeri lainnya seperti Bosnia, Kashmir, Chechnya atau Palestina yang tak pernah sepi dari pemberitaan. Patani ditakdirkan telah menjadi sebuah negeri yang dilupakan orang, sepi dan tidak naik panggung. Namanya hanya terdapat pada peta dan dokumen lama saja. Demikian juga dengan orang Patani, hilang dan tak dikenal.
Patani yang dimaksud dalam tulisan ini bukanlah Changwad atau wilayah Patani sebagaimana terdapat dalam peta negara Thailand sekarang, tetapi lebih kepada sebuah negeri yang sempadannya lebih luas (Negeri Patani Besar) yang meliputi wilayah-wilayah Narathiwat (Teluban), Yala (Jalor) dan sebagian Senggora (Songkla, daerah-daerah Sebayor dan Tibor) bahkan Kelantan, Kuala Trengganu dan Pethalung (Petaling).

Patani itu Langkasuka

Negeri Patani memiliki sejarah yang cukup lama, jauh lebih lama daripada sejarah negeri-negeri di Semenanjung Melayu seperti Malaka, Johor dan Selangor. Sejarah lama Patani merujuk kepada kerajaan Melayu tua pengaruh Hindu-India bernama Langkasuka sebagaimana dikatakan oleh seorang ahli antropologi sosial di Prince of Songkla University di Patani, Seni Madakakul bahwa Langkasuka itu terletak di Patani. Pendapat beliau ini didukung oleh ahli sejarawan lainnya seperti Prof. Zainal Abidin Wahid, Mubin Shepard, Prof. Hall dan Prof. Paul Wheatly.

Lebih jauh bahkan Sir John Braddle menegaskan bahwa kawasan timur Langkasuka meliputi daerah pantai timur Semenanjung, mulai dari Senggora, Patani, Kelantan sampai ke Trengganu, termasuk juga kawasan sebelah utara negeri Kedah (M. Dahlan Mansoer, 1979).
Dalam buku sejarah negeri Ke
dah, Hikayat Merong Mahawangsa, ada menyebutkan bahwa negeri Langkasuka terbagi dua: Sebagian terletak di negeri Kedah yaitu terletak di kawasan tebing sungai Merbok. Sebagian lainnya terletak di sebelah timur Kedah, yaitu di pantai Laut China Selatan. Dalam hal ini Prof. Paul Wheatly tanpa ragu mengatakan bahwa Langkasuka terletak di Patani sekarang. Pendapat beliau dikuatkan dengan temuan kepingan batu-batu purba peninggalan kerajaan Langkasuka di daerah Jerang dan Pujud (nama-nama kota pada masa itu). Konon, menurut buku Negarakertagama,Jerang atau Djere merupakan ibukota Langkasuka.

Sedangkan asal muasal orang Patani menurut para antropolog berasal dari suku Javanese-Malay. Sebab ketika itu suku inilah yang mula-mula mendiami Tanah Melayu. Kemudian berdatangan pedagang Arab dan India yang melakukan persemendaan sehingga menurunkan keturunan Melayu Patani di selatan Thai sekarang.

Tanah Melayu telah didatangi pedagang dari Arab, India dan China sejak sebelum masehi. Seorang pengembara China menyebutkan bahwa ketika kedatangannya ke Langkasuka pada tahun 200 masehi, ia mendapati negeri itu telah lama dibuka.

Pengaruh Sriwijaya

Sebelum menjadi negeri Islam, Patani (baca: Langkasuka) dikenal sebagai kerajaan Hindu Brahma. Rajanya yang terkenal adalah Bhaga Datta (515 M) yang berarti “pembawa kuasa”. Ketika kerajaan Sriwijaya di nusantara berhasil menaklukkan Nakorn Sri Thamarat (sekarang Ligor di Thailand) pada 775 M dan kemudian mengembangkan kekuasaannya ke selatan (Patani), mulailah penduduk Patani meninggalkan agama Hindu dan memeluk Budha. Sebuah berhala Budha zaman Sriwijaya yang ditemui dalam gua Wad Tham di daerah Yala membuktikan pertukaran agama di atas.

Di bawah pemerintahan Sriwijaya inilah Patani mulai menapaki kemajuan, ramai dan terkenal. Hasil negeri Patani pada waktu itu banyak berupa pertanian dan perniagaan. Beberapa pengetahuan bernilai seperti teknik membajak dan berdagang diterima oleh orang Patani dari orang Jawa. Diyakini juga bahwa kerajaan Sriwijaya inilah yang membawa dan mengembangkan bahasa Melayu ke Patani.
Besarnya upeti yang diberikan setiap tahun ke kerajaan Sriwijaya menunjukkan bahwa Patani ketika itu kaya dan makmur.

Memeluk Islam

Tak diketahui pasti kapan Patani memeluk Islam, namun kalau dilihat kebanyakan
karya sastra sejarah dan merujuk kepada Teeuw dan Wyatt, juga W.K Che Man maka dapat diperkirakan bahwa Patani menjadi negeri Islam pada 1457 (Martinus Nijhoff, 1970).
Masuknya Patani kedalam Islam ibarat sebuah “dongeng”, namun itulah adanya, seperti tertulis dalam buku-buku sejarah. Dikisahkan pada waktu itu Patani (Langkasuka) diperintah oleh raja Phya Tu Nakpa. Raja dikabarkan menderita sakit yang tak kunjung sembuh. Beliau mendengar ada seorang tabib, syeikh Said, seorang Muslim, yang mampu menyembuhkan sakitnya. Tabib tersebut sanggup mengobati penyakit sang Raja asal dengan syarat jika sembuh dari sakitnya maka Raja harus memeluk Islam. Namun Raja Phya Tu Nakpa ingkar janji setelah sembuh. Akhirnya Raja sakit kembali. Kejadian ini terulang sampai tiga kali. Pada kali ketiga inilah Raja bertaubat, ia tidak akan memungkiri janjinya lagi.

Setelah Raja sembuh dari sakitnya, beliau bersama keluarga dan pembesar istana memeluk Islam. Raja Phya Tu Nakpa berganti nama menjadi Sultan Ismail Shah. Sejak saat itu mulailah Islam berkembang dan pengaruh Hindu-Budha mulai berkurang, lemah dan akhirnya hilang dari Patani.
Raja Phya Tu Nakpa (Sultan Ismail Shah) diketahui juga sebagai pengasas negeri Patani. Beliaulah yang mengganti nama kerajaan lama menjadi Pataniyang berarti “Pantai Ini”. Karena beliau secara kebetulan menemukan suatu tempat yang indah dan ideal untuk dijadikan negeri di tepi pantai. Riwayat lain mengatakan Patani berasal dari kata “Pak Tani”. Yaitu pemilik pondok (seorang petani garam) ditepi pantai yang ditemui oleh Raja ketika beliau bepergian mencari lokasi negeri baru. (Ibrahim Shukri, tanpa tahun)

Setelah berpindah ke Patani, Patani menjadi lebih ramai dan oleh karena lokasinya yang baik, tempat baru ini menjadi makmur dan mewah. Patani menjadi pusat daya tarik saudagar-saudagar dari timur seperti Jepang, China, Siam dan Eropa. Tercatat pada 1516 kapal dagang Portugis singgah pertama kalinya di pelabuhan Patani. Pinto, seorang saudagar dan penjelajah asal Portugis menyatakan: “Pada masa saya datang ke Patani dalam tahun itu saya telah berjumpa hampir-hampir 300 orang Portugis yang tinggal di dalam pelabuhan Patani. Selain dari Portugis didapati juga bangsa-bangsa timur seperti Siam, China dan Jepang. Orang-orang Jepang besar juga perniagaannya di pelabuhan ini.”

Menaklukkan Siam

Sepeninggal Sultan Ismail Shah, putranya yaitu Sultan Muzaffar Shah, diangkat menjadi Sultan Patani. Selain meneruskan dan memajukan negerinya, Sultan Muzaffar Shah sering melakukan lawatan ke negara tetangga seperti Malaka, Siam. Namun dalam lawatan ke Siam (sekarang Thailand) beliau diperlakukan tidak selayaknya oleh Raja Siam. Raja Siam merasa lebih tinggi derajat dan kedudukannya daripada Sultan Patani. Sehingga perlakuan ini menimbulkan perasaan terhina dalam jiwa Sultan Muzaffar.

Ketika mengetahui kerajaan Siam diserang oleh Burma pada 1563, Sultan Muzaffar Shah bersama adiknya Sultan Mansyur Shah memanfaatkan kesempatan ini untuk menyerang Siam. Dengan mengerahkan 200 kapal perang dan ribuan pasukan, Siam akhirnya jatuh ke tangan Sultan Muzaffar pada tahun itu juga.
Sayang, tak lama kemudian, Sultan Muzaffar meninggal secara mendadak di muara sungai Chao Phraya dan dimakamkan di sana. Sebelum meninggal Sultan Muzaffar mengamandatkan kekuasaan kepada adiknya, Sultan Mansyur Shah. Hal ini dilakukan karena sampai akhir hayatnya Sultan Muzaffar tidak mengetahui bahwa permaisurinya sedang hamil. Sekalipun Sultan Muzaffar mempunyai anak dari selirnya (Pengiran Bambang), namun dalam tradisi pewarisan tahta di kerajaan Melayu tidak mengenal calon Raja dari anak selir. Sehingga diangkatlah adiknya (Sultan Mansyur Shah) menjadi Sultan Patani sampai akhir hayatnya (1564-1572).

Sebelum meninggal, Sultan Mansyur Shah telah berwasiat agar anak saudaranya — anak Sultan Muzaffar Shah — yaitu Patik Siam (10 th), pewaris sah kesultanan, diangkat menggantikan dirinya. Namun pengangkatan ini menimbulkan kebencian dan kedengkian dari Pangiran Bambang (anak Raja dari selir). Para ahli sejarah mengatakan bahwa peristiwa ini merupakan titik awal perselisihan dan perebutan kekuasaan dalam istana. Antara tahun 1573-1584 merupakan tahun-tahun penuh gejolak bagi kesultanan Patani. Tercatat dua kali terjadi perebutan kekuasaan disertai pembunuhan yang semuanya melibatkan anak-anak dari selir (anak Raja yang bukan dari permaisuri).

Kejayaan dan Keruntuhan

Patani mencapai zaman keemasannya ketika diperintah oleh empat orang Ratu yaitu Ratu Hijau (1584-1616), Ratu Biru (1616-1624), Ratu Ungu (1624-1635) dan Ratu Kuning (1635-1651).
Patani pada zaman Ratu-ratu sangat makmur dan kaya. Kekuasaannya meluas hingga ke Kelantan dan Trengganu sehingga terkenal dengan sebutan Negeri Patani Besar. Kecuali Johor, tidak ada negeri lain di belahan timur Semenanjung Melayu yang memiliki kemakmuran dan kekuatan sehebat Patani kala itu.

Kekuatan negeri Patani tergambar dari kemampuannya mematahkan empat kali serangan kerajaan Siam pada 1603, 1632, 1634 dan 1638. Patani memiliki 3 buah meriam besar yang sangat masyhur yaitu Seri Negara, Seri Patani danMahalela. Mampu mengerahkan 180.000 pasukan siap tempur dan diperkuat oleh sebuah benteng yang tak kalah terkenalnya yakni Benteng Raja Biru.

Sayang, masa kejayaan ini hanya bertahan 67 tahun. Ketika Ratu Kuning meninggal pada 1651, Patani mengalami proses kemerosotan secara politik, militer dan ekonomi. Patani hanya mencatat kemajuan ketika dipimpin oleh Raja Sakti I dan Raja Bahar yang mampu menyatukan Senggora (Songkla) dan Pethalung.

Pada akhir abad ke-17 ini, Patani mulai kehilangan era keemasannya. Tidak adanya peperangan dengan Siam, yang merupakan musuh tradisi bersama, sampai menjelang kejatuhannya (hampir satu abad) menyebabkan negeri Patani Besar yang tadinya bersatu (meliputi Kelantan, Trengganu, Patani Awal, Senggora dan Pethalung), perlahan-lahan mulai memisahkan diri. Perang yang terakhir yang melibatkan Patani – Siam terjadi pada 1638. Sejak tahun itu tidak ada lagi peperangan di antara kedua negara.

Kekuatan politik dan daya tarik pelabuhannya sebagai pusat dagang utama juga semakin redup, seiring dengan makin banyaknya pusat-pusat dagang yang baru seperti Johor, Malaka, Aceh, Banten dan Batavia (Jakarta).

Sebagai negara perairan, ekonomi Patani sangat tergantung pada perniagaan. Kemerosotannya pada bidang ini telah menyebabkan barometer ekonomi Patani anjlok. Maka boleh dikata, sejak awal abad ke-18, pelabuhan Patani hanya sebagai tempat persinggahan saja bukan pusat dagang dan bisnis lagi. Ditambah lagi faktor ketidakstabilan politik, perpecahan wilayah dan krisis pucuk pimpinan, maka lengkaplah Patani menjadi “Orang Sakit di Semenanjung Melayu”.
Malang bagi Patani, karena hampir bersamaan dengan kemerosotan ini, Siam, di bawah pimpinan Panglima Taksin bangkit kembali dan berhasil mengusir Burma dari seluruh negeri. Sehingga ketika Patani lengah dan lemah, Siam berhasil menaklukkannya pada 1785. Maka mulai tahun inilah, Patani berada dalam cengkeraman Siam. Bahkan pada 1909, lewat Perjanjian Bangkok antara Inggris-Siam, Patani akhirnya terserap menjadi wilayah “resmi” Siam yang kemudian merubah namanya menjadi Thailand sampai sekarang ini. 


BAB 3: KERAJAAN Patani dalam tempoh kemerosotan
Apabila Raja Kuning telah mati dan terdapat tiada lagi keturunan Raja Sri Wangsa yang boleh dipasang sebagai pemerintah untuk menduduki takhta kerajaan Patani, semua keluarga rayal dan ketua-ketua bertemu untuk memilih orang yang sesuai dan berkelayakan untuk mendaki takhta diraja. Satu ketua tua bernama Raja Bakar kemudiannya tinggal di Kampung Teluk yang telah dijemput untuk naik takhta diraja Patani. Tetapi selepas Raja Bakar telah memerintah hanya beberapa tahun di atas takhta diraja, beliau juga mati.
Oleh itu, persoalan memilih Raja menaiki takhta kerajaan Patani telah sekali lagi dibawa ke hadapan majlis keluarga diraja dan ketua-ketua mereka. Ia telah memutuskan bahawa orang-orang yang akan menjadi Raja Patani harus berasal dari raja tulen. Pada masa itu di Patani terdapat tiada garis raja - raja yang boleh menaiki takhta kerajaan. Oleh itu, dengan persetujuan majlis, salah satu daripada anak-anak Raja Kelantan, yang namanya adalah Raja Kelantan Mas, telah dijemput untuk menjadi Raja Patani. Dari masa itu Patani diperintah oleh raja yang berketurunan dari Raja Kelantan. Mas Raja memerintah di Patani beberapa tahun sehingga beliau meninggal dunia dan takhta kerajaan Patani telah diberikan kepada anak perempuan bernama Raja Mas Chayam.
Selepas beberapa tahun Raja Mas Chayam meninggal dunia, juga tanpa meninggalkan waris. Kemudian, dengan persetujuan Majlis, seorang anak raja bernama Raja Ahmad dari Kampung Dawai (serta di daerah Rakap) telah dipilih. Beliau menaiki takhta kerajaan Patani dan diberi gelaran Sultan Mahmud.
Walaupun Patani diperintah oleh Raja Bakar, Raja Mas Kelantan dan Raja Mas Chayam, Patani berada dalam keadaan aman, tidak pernah diserang oleh musuh, termasuk Siam-Thai. Walau bagaimanapun, dalam soal kemajuan, negeri Patani secara beransur-ansur telah mula merosot, terutamanya dalam perkara komersial. Semasa pemerintahan raja - raja Patani yang berketurunan dari Raja Sri Wangsa, Patani telah dikenali sebagai pusat komersil besar di Asia Tenggara dan sering dikunjungi oleh orang-orang Eropah. Semasa pemerintahan kemajuan Kelantan raja komersial mula merosot. Orang-orang Eropah semua telah berlalu. Semua yang kekal di dalam Patani adalah orang-orang Timur dari Jepun, China, India peniaga Islam, dan Arab. Mereka hidup harmoni dengan orang Melayu Patani, menjalankan perniagaan dengan aman. Kerana orang India dan Arab beragama Islam, mereka dengan mudah bercampur dengan orang Melayu dan dengan tiada halangan mereka akhirnya menjadi Melayu.
The Siam-Thai, musuh utama orang-orang pada masa itu, tidak lagi datang hendak menyerang negeri Patani kerana pada masa itu Siam telah mengalami masalah seperti pengkhianatan, perampasan kuasa individu, dan perang saudara yang kerap, supaya takhta diraja adalah sentiasa sedang goyah. Di samping itu, Burma, yang merupakan musuh mereka yang berterusan, tidak berhenti menyerang negara SiamThai, dengan keputusan bahawa Raja Siam tidak mempunyai peluang untuk menyerang dan menakluk negeri Patani.

      
Di dalam tahun Masehi 1767 benteng Ayuthia, pusat kerajaan Siam pada masa itu, telah ditangkap oleh Burma. Gangguan teruk adalah disebabkan apabila Burma memasuki dan memerintah Ayuthia. Semua raja - raja kecil yang memerintah wilayah pelbagai tertakluk kepada Siam pada masa itu setiap satu sabar diingini untuk memerintah secara bebas dan membebaskan diri mereka daripada penaklukan Raja Siam. Raja di negara Ligor menggunakan peluang ini untuk mewujudkan semula kerajaannya yang bebas dan merdeka. Kemudian dia mengatur kebebasan kerajaannya di selatan Siam. Negara Singgora dan Pathalung setelah menjadi pengikut beliau, beliau menghantar menteri untuk menjadi pemerintah di wilayah-wilayah tersebut.
Walaupun Siam telah tidak teratur dan raja - raja kecil dalam semua wilayah-wilayah telah ditubuhkan kerajaan masing-masing, terdapat muncul seorang ketua Siam-Thai dipanggil Phraya Tak. Dia mampu untuk memasang sekumpulan Siam-Thai dan menyusun tentera yang besar. Kemudian beliau mengetuai tentera ini di balas di Burma di Ayuthia. Akhirnya dia berjaya dan Burma telah dikalahkan dan dibunuh, dan Ayuthia telah dipulihkan ke tangan Siam-Thai. Kerajaan Siam-Thai telah didirikan semula dan dia sendiri menjadi rajanya. Tetapi pusat kerajaan telah berpindah ke tempat lain di wilayah Thonburi.

        
Kemudian Phraya Tak, Raja Siam, menghantar tentera melalui semua wilayah tertakluk untuk mengalahkan raja - raja kecil yang amat dikehendaki kemerdekaan dari pemerintahan Raja Siam-Thai. Dalam masa yang singkat semua raja - raja kecil telah tunduk kepala mereka kepadanya lagi. Hanya Raja Ligor tidak lagi dikalahkan. Oleh itu dalam tahun Masehi 1769 Raja Siam-Thai melancarkan serangan besar ke atas Ligor. Kerana kekuatannya adalah lebih besar, Raja Siam mengalahkan Raja Ligor. Dan Raja Ligor, yang telah banyak diingini kemerdekaan, terpaksa melarikan diri ke Singgora, tetapi dia dikejar oleh Raja Siam. Akhirnya Raja Ligor, Raja Singgora, dan Raja Pathalung, mengambil keluarga diraja mereka, melarikan diri ke Patani dan meminta perlindungan dari Sultan Mahmud.

        
Walau bagaimanapun Siam-Thai telah mengikuti mereka ke daerah Tiba, iaitu sempadan Patani dengan Siam. Dari situ dia menghantar utusannya kepada Sultan Mahmud meminta bahawa tiga raja yang melarikan diri dari Singgora itu ditangkap dan dihantar kepadanya.

       
Jika Sultan Mahmud teragak-agak untuk memenuhi hasrat ini, dia pasti akan menyerang negeri Patani. Misi raja Siam-Thai tiba di Patani pada bulan Disember AD 1769. Sultan Mahmud bertemu dengan kaumnya mencari keputusan sama ada atau tidak untuk tunduk kepada kehendak Raja Siam-Thai. Keputusan mereka adalah bahawa ia harus bersetuju dengan kebimbangan kerana untuk keselamatan dan keselamatan negara, yang sebaliknya akan diserang oleh Raja Thai itu atas sebab-sebab yang tidak ketara. Di samping itu, Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan Mahmud merasakan dia tidak mempunyai sebarang kaitan dengan Raja Ligor dan raja - raja lain. Selepas itu, baginda mengarahkan orang-orangnya menangkap Raja Ligor dan membawanya kepada Raja Siam. Kemudian Raja Siam-Thai belayar kembali, membawa tiga raja sebagai tawanan. Sejak bahawa Ligor masa sekali lagi ditakluki oleh Raja Siam-Thai.
Pulang Raja Siam-Thai tidak menghapuskan reka bentuk jahat di negeri Patani. Beliau adalah radang dengan keinginan bahawa Patani ditundukkan dan orang Melayu di sana akan diperhambakan, hanya kerana dia telah berjaya dalam menakluk negeri Ligor, Singgora, dan Pathalung. Kerana kekuatan beliau tidak lagi mencukupi, beliau telah dipaksa untuk menjadi senyap, sementara menunggu masa yang lebih baik.
Dengan perkara-perkara itu, pada AD 1776 Burma datang menyerang bahagian utara Siam. Raja Siam-Thai ingin tahu sama ada Sultan Mahmud, Raja Patani, takut pengaruh beliau. Sebagai satu dalih, dia menghantar utusannya ke Patani meminta Sultan Mahmud untuk membantu beliau untuk menentang serangan Burma dan meminta sejumlah wang sebanyak 80,000 baht (misi yang sama juga telah dihantar kepada sultan Kelantan dan Trengganu serta Patani.). Tetapi Sultan Mahmud tidak mengendahkan permintaan ini. Apabila Raja Siam-Thai menjadi sedar bahawa hasrat beliau telah tidak diendahkan, dia menjadi sangat marah dan niatnya hendak menakluk negeri Patani menjadi semakin tegas.

      
Sementara itu, pada AD 1782, Raja Siam-Thai bernama Phraya Tak atau Raja Thonburi meninggal dunia, dibunuh oleh salah seorang komander, dan komander ini telah dinaikkan untuk menjadi Raja Siam-Thai. Beliau telah diberi gelaran Phraphutta Yotfa Culalok, atau Raja Rama Pertama garis Mahachakri. Dalam pemerintahan ini raja bandar hadir Bangkok diasaskan.

       
Dua tahun kemudian, pada AD 1784, Burma datang lagi dan menyerang Ligor, yang tertakluk kepada Raja Siam. Raja Siam menghantar adiknya, yang merupakan raja muda, dengan tentera untuk melawan Burma. Tentera ini berangkat dari Bangkok dengan beberapa kapal perang ke arah Ligor. Apabila mereka tiba di Ligor panglima Siam-Thai segera mendarat tenteranya dan bersatu dengan angkatan Siam Ligor melawan Burma. Peperangan ini berterusan selama beberapa bulan, selepas mana Burma terpaksa berundur rumah telah dikalahkan oleh pasukan Siam-Thai dari Bangkok.
Selepas akhir perang, muda Raja Siam mengambil tenteranya ke Singgora dalam usaha untuk meletakkan perintah dalam hal ehwal kerajaan di sana. Setelah selesai kerjanya, dia menghantar utusannya ke Patani meminta Sultan Mahmud menyerahkan kepadanya dengan betul. Apabila misi raja Siam-Thai tiba di Patani, Sultan Mahmud dipanggil mesyuarat Ketua-ketua kaumnya. Ia telah sebulat suara memutuskan untuk menolak permintaan untuk mengemukakan, yang bertujuan untuk merampas kedaulatan raja dan kebebasan negara Patani.
Keputusan ini telah diumumkan untuk misi Thai. Apabila raja Thai tahu bahawa hasratnya adalah tidak dipenuhi dan bahawa di samping itu beliau telah menerima jawapan yang bangga dari Sultan Mahmud, nafas imperialisme dibakar hangat di dalam hatinya dan dia memutuskan untuk menyerang Patani. Kemudian dia menyuruh panglimanya bernama Phraya Kalahom mengambil tenteranya dan menyerang negeri Patani dan beliau mengarahkan komander untuk melawan hingga akhir sehingga Patani menjadi ditakluki 0,12

           
Sultan Mahmud, selepas pemergian misi Siam-Thai, adalah tertentu bahawa kali ini Siam-Thai akan menyerang negeri Patani. Oleh itu baginda, dengan kelewatan lagi, mengarahkan senjata perang untuk dipasang, pertahanan kubu yang akan dibina, dan sebagai bekalan perang banyak yang boleh diperolehi bersedia.

           
Tetapi malangnya kedudukan negeri Patani pada masa itu adalah lemah, kuasanya telah menurun, dan semua senjata perang akan mencukupi jika perang yang panjang. Sejak akhir peperangan dengan Siam-Thai semasa pemerintahan Raja Kuning, hampir setengah abad lebih awal, Patani telah tidak dilengkapi dirinya dengan senjata perang kerana tidak ada musuh yang datang untuk menyerang. Pada masa itu orang Melayu Patani telah hidup selamat dan aman dan mereka telah lupa bagaimana untuk bersedia untuk peperangan. Taktik untuk menjaga tanah mereka telah hampir dilupakan. Oleh itu, sebagai masa berlalu keberanian orang Melayu telah secara beransur-ansur lemah manakala senjata yang disimpan di Armories hampir sia-sia dan tidak standard yang sama sebagai senjata baru dalam tangan tentera Thai.

         
Oleh itu adalah keadaan. Walau bagaimanapun, melihat sikap Raja Siam-Thai, yang sepenuhnya bertujuan hendak menakluk negeri Patani, Sultan Mahmud tidak berputus asa. Sebaliknya, baginda segera dipasang senjata lama yang masih wujud dan menasihati kaumnya bahawa perang yang akan datang akan menentukan kejayaan atau failureand hidup atau mati kerajaan Melayu Patani, meminta kaumnya untuk bersatu dan mengambil bahagian sepenuhnya dalam usaha untuk mempertahankan kebebasan rakyat mereka dan kerajaan. Permintaan Sultan Mahmud dengan senang hati telah diterima oleh orang Patani dan semua bersedia untuk menentang kejahatan Siam-Thai walaupun mereka telah dipaksa untuk mengorbankan diri mereka dan memecahkan anggota dan badan-badan mereka. Ia adalah lebih baik untuk mengorbankan diri mereka itu dalam peperangan untuk mempertahankan kemerdekaan mereka daripada hidup sebagai pengikut yang dikuasai oleh SiamThai.

        
Apabila tentera Siam menghampiri Patani, semua rakyat jelata Patani telah digerakkan oleh Sultan Mahmud untuk berhimpun di luar kubu diraja dan telah dibahagikan kepada dua pasukan. Pasukan pertama telah diarahkan untuk menjaga kubu di pantai dalam usaha untuk mempertahankan terhadap pendaratan oleh Siam-Thai dari kapal perang mereka. Pasukan kedua telah diperintahkan untuk menjaga depan kubu diraja. Semua senjata, termasuk meriam dan cannonballs, telah dibahagikan sama rata. Meriam besar Sri Negara dan Sri Patani yang pernah sebelum menewaskan Thailand sekali lagi dibawa keluar dan diletakkan di luar benteng untuk menunggu perintah rasmi untuk membiarkan terbang projektil dipercayai mereka.

        
Kedua-dua pasukan pertahanan menunggu masa untuk menangkis serangan Siam-Thai. Tidak banyak hari kemudian tentera Thai yang diketuai oleh Phraya Kalahom tiba di Kuala Patani dan berlabuh di sana sementara menunggu masa yang baik untuk melancarkan serangan. Pada masa ini, yang paling penting, dalam kumpulan ketua Sultan Mahmud adalah seorang Siam-Thai bernama Nai Chan Tung yang berasal dari Siam Ligor untuk tinggal di dalam Patani dengan beberapa pengikut. Beliau telah berjasa besar kepada kerajaan Patani supaya Sultan Mahmud yang diletakkan keyakinan penuh kepadanya dan telah dilantik dia ketua diraja.

      
Walaupun tentera Siam-Thai berlabuh di Kuala Patani, terdapat meningkat dalam dirinya perasaan jahat ke arah kerajaan Patani, dan ingin menunjukkan kesetiaan kepada bangsa dan kerajaannya, beliau merangka pelan jahat. Cepat dia pergi sebelum Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan Mahmud untuk mengatakan bahawa dia bersedia untuk melawan pencerobohan Siam-Thai tetapi beliau ingin dilantik pemimpin kuasa Melayu mempertahankan kubu di pantai, dan dia meminta sultan memberi bot hima besar lima hasta panjang akan dilengkapi dengan meriam dan senjata. Trustingly, Sultan Mahmud diberikan permintaan dan Nai Chan Tung dengan perahunya berpura-pura untuk menetapkan off untuk kubu pertahanan di pantai. Di sini beliau mula untuk meletakkan rancangan jahat beliau berkuat kuasa terhadap kerajaan Patani.
Apabila tengah malam datang, apabila dunia adalah gelap dan suram dan perlindungan orang yang akan berbuat jahat, Nai Chan Tung keluar dalam perahunya ke arah kapal perang Siam-Thai dan meminta berjumpa dengan panglima Phraya Kalahom. Apabila bertemunya, dia [Nai Chan Tung] mendedahkan rahsia pertahanan Melayu Patani '. Phraya Kalahom amat gembira untuk mempelajari rahsia pertahanan Melayu. Dia pasti bahawa masa ini tenteranya pasti akan menang dan bahawa kali ini ia telah memberi jaminan bahawa kerajaan Patani akan menjatuhkan, terbalik oleh tenteranya.

        
Apabila tiba masa yang betul, komander mula untuk mengarahkan meriam untuk membedil kubu pertahanan Melayu di pantai dan cepat dia mendarat tenteranya di pantai di bawah penutup projektil yang dipecat oleh meriam beliau. Malangnya setiap kali shell telah dipecat oleh meriam Thailand ia jatuh dalam kubu Melayu, supaya selepas hanya beberapa pusingan ramai orang Melayu terbunuh. Walau bagaimanapun, Melayu bersungguh dan garang kembali api. Serangan dan pengeboman Siam-Thai meningkat dalam intensiti sehingga semua tentera Thai telah tampil di pantai dan dengan segala kekuatan yang digabungkan mereka menyerang kubu Melayu. Tiba-tiba kedudukan Melayu telah dikelilingi dan mereka telah dipotong daripada kuasa kedua yang mempertahankan benteng. Walaupun mereka telah dikelilingi dan harapan mereka telah hilang, orang Melayu dalam kubu terus menahan tanpa goyah. Selepas itu, pertahanan orang Melayu di pantai telah musnah dan kubu dan meriam mereka telah ditawan oleh Siam-Thai.

      
Setelah barisan pertahanan orang Melayu di pantai jatuh, panglima Phraya Kalahom dipasang semula baki kuasa tentera dan segera melancarkan serangan di atas benteng. Serangan komander bertemu dengan tentangan sengit dari pembela Melayu di hadapan kubu diraja, dan Sultan Mahmud sendiri keluarlah untuk menganjurkan pertahanan. Meriam Sri Negara dan Sri Patani juga mula menembak projektil kepercayaan mereka memukul terlebih dahulu Siam-Thai dan sengit tangan-ke-tangan berjuang dengan pedang dan pisau tercetus.
Peperangan ini berterusan selama beberapa hari tanpa berhenti. Malangnya, Sultan Mahmud telah dipukul oleh peluru meriam yang dipecat oleh SiamThai, dan baginda jatuh dan mati di tengah-tengah pertempuran. Tidak berjam-jam selepas kematian baginda, pertahanan orang Melayu di hadapan kubu diraja telah dicucuk dan serangan SiamThai terus hanya sebagai kuat. Pertahanan Melayu mencapai saat akhir dan rosak, dan semua orang yang bertaburan. Benteng diraja jatuh ke tangan Siam-Thai dan pertempuran yang berakhir dengan kekalahan orang Melayu.
Kekalahan ini adalah yang pertama dalam sejarah kerajaan Melayu Patani, dan menandakan kehilangan kemerdekaan Kerajaan Melayu Patani dan penghapusan kedaulatan raja - raja Melayu yang telah dipertahankan selama beratus-ratus tahun. Maksud raja Siam-Thai telah dicapai, yang telah lama diingini, hendak menakluk negeri Patani dan memperhambakan rakyat.
Kehilangan orang Melayu Patani pada kali ini adalah disebabkan oleh beberapa faktor, yang paling penting yang ialah:

    
Rahsia pertahanan Melayu dan kekuatan mereka telah didedahkan oleh Nai Chan Tung kepada panglima Siam-Thai;
    
Sultan Mahmud meninggal dunia dalam pertempuran;
    
Bekalan senjata Melayu tidak mencukupi; (4) kekuatan tentera Siam-Thai adalah lebih besar daripada orang Melayu.

      
Semua pertahanan Melayu Patani telah musnah, dan Patani jatuh di bawah kuk penaklukan Thai. Ini adalah kekalahan pertama negara Patani, yang telah berdaulat dan bebas untuk beratus-ratus tahun sejak pemerintahan Raja Sri Wangsa, jadi kekalahan adalah sangat penting dalam sejarah kerajaan Melayu Patani. Oleh itu, perjuangan dan pengorbanan daripada raja Patani selama beratus-ratus tahun untuk mempertahankan kedaulatan diraja mereka dan kemerdekaan orang Melayu akhirnya telah mencapai hasil yang paling menyedihkan. Kedaulatan raja Patani dan kebebasan orang Melayu jatuh di bawah kuk penaklukan Thai, dan kekalahan ini dibawa Patani secara langsung di bawah kuk Siam-Thai hingga ke hari ini.

     
Selepas menangkap semua pertahanan orang Melayu, perkara pertama Thai di Patani lakukan adalah untuk menangkap dan membunuh bersenjata Melayu Patani lelaki, wanita, dan kanak-kanak kecil, dan untuk mencuri segala harta dan senjata. Kemudian istana almarhum Sultan Mahmud telah dibakar ke tanah.

      
Selama kira-kira sebulan Siam-Thai dipecat Patani untuk mendapatkan membalas dendam lengkap pada Melayu Patani, yang telah dicirikan sebagai musuh terbesar mereka. Panglima Phraya Kalahom mula mengatur undang-undang kerajaan di dalam Patani mengikut corak undang-undang penaklukan dan melenyapkan kedaulatan raja dan kaumnya.
Selepas mewujudkan undang-undang ini, komander Siam mengarahkan tenteranya untuk kembali ke kapal-kapal perang, berat sauh, andsail kembali ke Bangkok, membawa beberapa tawanan Melayu, termasuk lelaki, wanita, dan kanak-kanak, bersama-sama dengan harta rampasan perang. Antara harta rampasan ini, perkara yang paling berharga kepada orang Melayu ialah meriam besar yang dibuat pada zaman pemerintahan Raja Biru. Salah seorang daripada mereka telah dibawa bersama-sama dengan tawanan ke Bangkok, tetapi kedua jatuh ke dalam laut di Kuala Patani manakala Siam-Thai telah dibawa sehingga ke kapal. Satu telah dibawa ke Bangkok. Sehingga hari ini meriam besar Patani menghiasi depan pejabat Menteri Perang di Bangkok.

     
Undang-undang kerajaan yang digubah oleh komander Thai sebelum kembali ke Bangkok termasuk pelantikan seorang Melayu untuk menjadi pemerintah Patani sebagai raja boneka. Pentadbiran negara telah diletakkan di bawah pengawasan Raja Siam-Thai di Ligor, dan dia telah dipaksa untuk menghantar ufti ke Bangkok untuk menunjukkan kesetiaan beliau (Apa penghormatan telah dihantar oleh Raja Patani dengan Raja Siam pada masa itu masih belum diketahui dengan jelas. Pada zaman kemudian penghormatan dikenali untuk dihantar setiap tiga tahun sekali dalam bentuk pokok berbunga dengan lima peringkat daun [dikenali sebagai emas bunga], semua yang dibuat sepuluh karat gold.63 Selain ini pokok berbunga emas, ia juga perlu untuk menghantar dengan tiga kotak emas dan tiga tombak-tombak juga bersalut dengan emas. jumlah emas membuat sehingga pokok yang mengalir, kotak dan tombak-tombak adalah tidak kurang daripada empat puluh lahil dalam berat). Boneka raja dilantik oleh Siam-Thai ialah Raja Bendang Badang bernama Tungku Lamidin. "

      
Apabila Tungku Lamidin telah dinaikkan oleh Siam menjadi Raja Patani, tugas pertama beliau adalah untuk membina semula istana dan pasang semula orang Patani, yang telah melarikan diri. Tetapi apabila dia melihat istana di Gerisik telah musnah dan lengang kerana ramai orang telah meninggal dunia dalam peperangan dan banyak lagi telah ditangkap oleh Siam dan dibawa ke Bangkok, Tungku Lamidin tidak mahu tinggal di Gerisik. Kemudian baginda membina sebuah istana baru di Perawan dan melantik seorang ketua bernama Datuk Pangkalan, yang tinggal di Kampung Pangkalan Besar, untuk menjadi pemerintah di Gerisik. "

        
Walaupun Tungku Lamidin telah dilantik oleh SiamThai untuk menjadi raja boneka, perasaan sedih mengambil akar di dalam hatinya dalam akaun perbuatan Siam-Thai terhadap Melayu Patani. Oleh itu baginda tegas memutuskan untuk membalas dendam kekalahan ini dan untuk membebaskan kerajaan Patani dari kuk penaklukan Siam-Thai. Baginda hanya menunggu peluang yang baik untuk menjalankan niat ini.

      
Dengan perkara-perkara itu, pada AD 1789 baginda menghantar satu misi yang membawa surat kepada Raja Annam (Vietnam) di Indochina, bernama Raja "Wan Cheng Su," menjemput bahawa raja untuk menyertai beliau dalam menyerang Siam. Baginda akan menyerang selatan Siam dan Raja Annam akan menyerang dari utara.

      
Malangnya Raja Annam menghantar surat Tungku Lamidin kepada Raja Siam di Bangkok. Apabila Raja Siam belajar raja pelan Patani dia menjadi sangat marah dan mengarahkan panglimanya Phraya Kelahom untuk menangkap Raja Patani itu. Sementara itu, Tungku Lamidin telah benar-benar semula dilengkapi tenteranya dan dia bangkit dengan tenteranya dan menyerang negara Tiba, memandu keluar Siam-Thai di sana. Sebaik sahaja selepas itu beliau menyerang wilayah Cenak, bertemu pembangkang sedikit dan akhirnya tiba di Singgora. Apabila baginda tiba di Singgora, dia bertemu dengan seorang tentera Siam-Thai yang telah diperkaya di Kampung Bukit Anak Gajah. Terdapat mereka berjuang selama beberapa hari.

      
Berita serangan Melayu Singgora mencapai raja SiamThai di Ligor, yang menghantar bala bantuan untuk membantu Singgora Siam-Thai. Serangan orang Melayu di bawah arahan Tungku Lamidin menjadi semakin ganas, dan akhirnya pertahanan Singgora Siam-Thai telah dikalahkan. Raja Siam-Thai Singgora dan Ligor melarikan diri ke negara Pathalung, tetapi mereka segera diusahakan oleh orang Melayu supaya pertempuran juga berlaku di negara Pathalung.

         
Dengan perkara-perkara itu, kuasa panglima Phraya Kalahom tiba dari Bangkok berusaha untuk menangkap Raja Patani itu. Ini bersatu tentera dengan raja - raja Singgora dan Ligor dan bersama-sama mereka berjuang terhadap serangan Patani. Perang ini terus garang selama tiga tahun dengan tiada pemenang atau kalah. Kerana perang berlangsung begitu lama, angkatan Melayu menjadi lemah. Jauh dari asas rumah mereka, ia adalah amat sukar bagi mereka untuk mendapatkan bantuan makanan dan senjata dari Patani. Pada akhir Tungku Lamidin telah dipaksa untuk mengeluarkan kaumnya ke Patani.
Pengunduran Tungku Lamidin tidak membawa apa-apa faedah sekalipun kepada baginda kerana ia menyediakan peluang bagi Siam untuk melancarkan balas mereka. Semua semasa permukiman mereka, mereka sentiasa diikuti oleh Siam-Thai. Akhirnya orang Melayu tiba di Patani dan bersama-sama mereka bersedia untuk mempertahankan Perawan dan menunggu serangan Siam.

       
Kerana tentera Siam telah dikumpulkan daripada tiga kuasa-kuasa besar mereka lebih banyak daripada Melayu. Pada akhir Perawan telah dikelilingi oleh Siam dan mereka memotong semua komunikasi Melayu dengan rakan-rakan mereka di luar benteng. Dengan perkara-perkara itu, selepas seorang Melayu lama pertahanan Perawan akhirnya jatuh ke tangan Siam dan Tungku Lamidin telah ditangkap oleh Siam. Baginda dijatuhi hukuman akan dibunuh kerana jenayah pengkhianatan terhadap Raja Siam-Thai di Bangkok. Maka orang Melayu patah dan melarikan diri. Kekalahan ini berlaku pada tahun 1791, kekalahan kedua dalam sejarah kerajaan Melayu Patani. Seperti biasa Siam-Thai memasuki Perawan menangkap dan membunuh Melayu dan mencuri semua harta benda mereka. Apabila mereka telah kenyang dengan keganasan, mereka kembali ke Singgora, mengambil beberapa tawanan Melayu.

        
Sebelum Thai kembali, mereka memilih seorang ketua Melayu untuk dinaikkan menjadi raja untuk memerintah Patani, "Datuk Pangkalan," yang mereka memberikan Luang.b tajuk 'Kerana ini semua kanak-kanak ketua ini juga dipanggil Luang. Dalam usaha untuk menonton lebih Melayu dan pengawal terhadap pengkhianatan mereka juga melantik seorang ketua Siam bernama "Laksamana Dajang` I8 untuk mengawal ketua-ketua Melayu dan beberapa SiamThai juga ditanya kekal untuk menjaga ketenteraman di dalam Patani.

       
Selepas itu hal ehwal di dalam Patani agak tenang tetapi pemerintah, Datuk Pangkalan, kerap bertengkar dengan Siam kerana dia tidak mempunyai kebebasan untuk menjalankan kerajaan negara. Beliau sentiasa dikelilingi oleh Siam-Thai yang sikap jahat dan yang sentiasa melakukan kezaliman terhadap orang Melayu Patani. Oleh itu pada AD 1808 terdapat timbul pertikaian sengit antara Datuk Pangkalan dan Siam.

         
Kehilangan kesabarannya, Datuk Pangkalan datang dengan orang-orangnya dan melancarkan serangan mengejut terhadap Siam-Thai. Mereka dipaksa untuk menyelamatkan diri dan melarikan diri dengan Laksamana pemimpin mereka Dajang ke Singgora. Raja Singgora pun menghantar surat ke Bangkok menyatakan bahawa Datuk Pangkalan dan Melayu Patani adalah pengkhianat kepada Raja Siam-Thai. Sementara itu, Raja Ligor dan Raja Singgora datang dengan tentera mereka ke Patani dalam usaha untuk menangkap Datuk Pangkalan.

          
Di Patani semua keluarga ketua, iaitu Datuk Pangkalan, Datuk Sai, Datuk PUJUD dan lain-lain, bersedia dan mengumpulkan kekuatan mereka, menunggu ketibaan Siam dari Ligor dan Singgora. Apabila Siam tiba mereka berjuang orang Patani untuk beberapa bulan. Orang Patani di bawah kepimpinan ketua-ketua berjuang hingga akhir, tegas bertekad untuk memacu Siam dari Patani dan membebaskan diri mereka daripada belenggu penaklukan Thai. Berbanding tujuan ini suci, Siam telah hilang dan berundur ke Singgora, dan Laksamana Dajang kembali ke Ligor.

        
Beberapa bulan kemudian, pasukan Thai dari Bangkok yang diketuai oleh Phraya Kalahom tiba dengan beberapa kapal perang dan mendarat, diikuti oleh Siam dari Singgora dan Ligor. Kali ini pertempuran berlaku serentak di darat dan laut, pertempuran tanah yang berlaku di Bawarah, dan pertempuran laut di Gerisik. Akhirnya orang Melayu Patani hilang. Datuk Pangkalan mati dalam perjuangan, dan semua ketua-ketua lain melarikan diri.

        
Siam-Thai exulting Selepas mencapai kemenangan, memasuki dan memerintah Patani, mengambil Melayu banduan, merampas semua harta benda mereka, dan mengatur undang-undang kerajaan di Patani untuk memenuhi kehendak mereka. Kemudian Siam-Thai mula menjalankan rancangan mereka untuk memusnahkan kedaulatan raja - raja Melayu. Mereka meninggikan SiamThai bernama "Nai Khwan Sai" menjadi Raja Patani. Selepas melengkapkan organisasi kerajaan Patani, panglima Phraya Kalahom kembali ke Bangkok dengan tenteranya. Nai Khwan Sai adalah anak Raja Cenak, yang berasal dari seorang Cina yang datang untuk melakukan perniagaan di Cenak. Selepas itu Khwan Sai Nai datang untuk memerintah di Patani dan membawa beberapa ratus Singgora Siam dan [mereka] yang dibuat penempatan mereka di bandar.

        
Selepas itu, kedaulatan raja - raja Melayu dan negeri Patani telah dihapuskan dan kuasa penuh jatuh ke tangan Siam-Thai. Dalam beberapa tahun akan datang Raja Khwan Sai meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya "Nai Phya" yang menjadi Raja Patani. Seorang anak abangnya bernama "Nai Yim Sai" telah diberikan tajuk Luang Sawatphakdi dan dinaikkan menjadi pembantunya.

         
Pada masa Nai Phya memerintah negeri Patani sebagai raja, keadaan di negara ini tidak aman seperti dalam pemerintahan raja - raja Melayu sebelumnya. Kerana Siam menganggap diri mereka lebih berkuasa, mereka terus bertindak kejam dan garang ke arah orang Melayu Patani, dan sentiasa bercanggah dengan Melayu. Keadaan ini menyebabkan orang Melayu untuk membenci mereka amat.

        
Nai Phya berpendapat bahawa orang Melayu telah sentiasa merancang membalas dendam terhadap Siam, dan dia menjadi bimbang bahawa orang Melayu mungkin bangkit dan menuntut kebebasan mereka. Oleh itu dia telah menghantar surat kepada Raja Singgora menyatakan kebimbangan beliau, dan Raja Singgora menyampaikan kebimbangan ini kepada Raja Siam di Bangkok. Persoalannya telah dibawa sebelum mesyuarat dengan menteri beliau memutuskan untuk mengukuhkan pemerintahan mereka di wilayah Patani subjek.

      
Persidangan bersetuju bahawa kekuatan negeri Patani harus tersebar supaya ia boleh memerintah lebih mudah. Dengan cara ini kedudukan orang Melayu boleh menjadi lemah. Raja Siam menghantar salah satu menteri beliau dinamakan "Phraya Aphaisongkhram" ke Singgora untuk berunding dengan Raja Singgora untuk membahagikan negeri Patani kepada tujuh wilayah kecil, Patani, Jering, Nongchik, Yala, Sia, Rahman, dan Ligeh .

     
Oleh itu negeri Patani yang sebelum ini telah diperintah oleh hanya salah satu raja dan tidak pernah dibahagikan, kini telah berpecah kepada beberapa provinsi. Ia telah berpecah oleh Raja Siam dengan niat melemahkan kekuatan orang Melayu dalam usaha untuk membuat ia mudah bagi beliau untuk memerintah dan menghambakan orang Melayu mengikut prinsip penjajahan (imperialisme), iaitu, "membahagi dan peraturan " Apabila tugas membahagikan Patani adalah lengkap, Nai Phya telah diangkat menjadi Raja Jering dan kepadanya menyerahkan kuasa untuk menyelia semua wilayah-wilayah lain. Semua perkara-perkara kerajaan dalaman telah diletakkan di bawah penjagaan dan kawalan Raja Singgora. Bagi setiap orang-orang wilayah Nai Phya telah dibenarkan untuk memilih lelaki yang beliau dipercayai dan beliau menghantar mereka untuk memerintah di setiap provinsi-provinsi dan memberikan mereka pangkat raja.
Orang-orang yang dipilih oleh Nai Phya dan dihantar untuk mentadbir di wilayah adalah seperti berikut:
1. Tuan Sulong telah dinaikkan untuk menjadi Raja Patani dan tinggal di Kota Gerisik;
2. Tuan Nik dinaikkan menjadi raja Nongchik dan tinggal di Kota Nongchik; 69
3. Tuan Mansor telah dinaikkan menjadi raja Rahman dan tinggal di Kota Baharu;
4. Tuan Jalur telah dinaikkan untuk menjadi raja Yala dan tinggal di Yala;
5. Nik Dah telah dinaikkan menjadi Raja Ligeh dan tinggal di Kota Ligeh;
6. Nik dih dinaikkan untuk menjadi Raja Sia dan bermastautin di Jeringu.

         
Tuan Sulong, yang menjadi Raja Patani itu, adalah seorang cucu Datuk Pangkalan dan tinggal bersama keluarganya di Kampung Gerisik. Nai Phya dipercayai semua lelaki sepenuhnya kecuali dia. Walaupun Tuan Sulong Raja Patani, baginda amat menekankan hal ehwal agama Islam dan ia adalah baginda yang dibina masjid di Pintu Gerbang, dan kekal yang masih boleh ditemui di Kampung Gerisik hari ini.

         
Dalam AD 1817 Tuan Jalur yang memerintah wilayah Yala meninggal dunia dan telah digantikan oleh Tuan Bangkok anaknya. Kemudian Tuan Nik, Raja Nongchik, juga meninggal dunia dan Tuan Kechil, adik kepada Tuan Sulong, Raja Patani, telah dinaikkan untuk berjaya dia dan pemerintahan di Nongchik. Beberapa tahun kemudian Tuan Mansur, raja Rahman, juga meninggal dunia dan telah digantikan oleh anak bernama Tuan Kundur. Oleh itu kerajaan di dalam Patani manakala ia telah dikuasai oleh pihak berkuasa Siam. Sistem kerajaan adalah di bawah kuk penjajahan mereka.

      
Bermula pada ketika ini negeri Patani telah terlibat dengan negara Kedah. Oleh itu ia adalah yang terbaik jika kita memperkenalkan beberapa sejarah Negeri Kedah ketika ia berkaitan dengan sejarah kerajaan Patani dan Thailand supaya kita mudah boleh memahaminya. Pada masa itu negeri Kedah telah diperintah oleh raja Melayu yang dikenali sebagai Sultan Ahmad Tajud'din Abdulhalim Shah atau Pengeran Tungku. Baginda telah ditewaskan oleh Raja Siam-Thai dan melarikan diri untuk menyelamatkan dirinya di Melaka. Negara Kedah datang diperintah oleh seorang anak raja Siam Ligor.

        
Dalam AD 1831, seorang anak dari keluarga diraja Kedah bersama-sama dengan Maria Diehn Tungku dipasang semua rakyat Kedah yang masih setia kepada rajanya dan melancarkan serangan ke atas Siam di Kedah. Akhirnya mereka kembali istana yang diduduki oleh Raja Siam dan Raja Siam dengan kaumnya melarikan diri kembali ke Singgora. Ada dia diberikan dengan Raja Singgora dan bapanya Raja Ligor untuk membentuk satu kuasa yang besar untuk reconquer rakyat Kedah. Setiap bersetuju dengan pelan ini dan mereka berkumpul pasukan bersenjata gabungan lelaki Singgora dan Siam Ligor.

     
Ini berkuat kuasa Siam melancarkan balas berat di Kedah. Tungku Din sendiri telah keluar memimpin rakyat Kedah dalam melawan serangan Siam-Thai. Peperangan ini terus, tetapi serangan Siam tidak berjaya menakluk orang Kedah, dan Raja Siam terpaksa berundur dengan tentera beliau ke Singgora. Sepanjang berundur beliau, beliau telah dikejar dan diserang oleh Tungku Din dan kaumnya sebagai jauh sebagai Singgora.

      
Melihat bahawa serangan orang-orang Kedah telah mencapai negara, Raja Singgora pun memberitahu Raja Siam di Bangkok dan bertanya kepadanya untuk membantu dengan cepat. Surat juga telah dihantar kepada Raja Nai Phya di Patani meminta bantuan dihantar kepadanya untuk melawan orang Kedah.

      
Apabila surat itu tiba di Patani, Raja Nai Phya mengarahkan semua raja - raja enam wilayah di Patani untuk membawa rakyat mereka dan berkumpul di daerah Jering (Jambu) kerana mereka akan dihantar kepada Raja Singgora. Raja Patani, Raja Nongchik, Raja Ligeh, dan Raja Yala setiap membawa rakyat mereka untuk berhimpun di Jering. Hanya Raja Sia dan Raja Rahman tidak datang. Nai Phya meminta mereka raja - raja untuk mengambil lelaki mereka dan pergi ke Singgora, tetapi raja enggan untuk mengikuti perintahnya kerana mereka tahu lelaki mereka akan diambil untuk melawan saudara-saudara mereka, orang-orang Kedah, yang merupakan jenis yang sama orang [yang , Melayu] kerana mereka. Nai Phya telah dipaksa untuk menjalankan langkah-langkah yang keras dan ancaman sehingga empat raja sanggup mengambil lelaki mereka ke Singgora. Barulah Langkah keras beliau berhenti.

        
Dengan perkara-perkara itu, empat raja rahsia bertemu untuk membincangkan masalah mereka. Setiap tegas menentang untuk mengambil lelaki mereka ke Singgora melawan saudara-saudara mereka orang Kedah dan masing-masing bersetuju untuk memberontak terhadap Raja Nai Phya dan Siam yang berada di Patani.
Empat raja mengarahkan lelaki mereka mengambil senjata mereka dan bersatu dalam menyerang Siam di Patani. Kerana Siam sangat sedikit dalam bilangan mereka tidak mampu melawan pemberontakan Melayu. Ramai Siam terbunuh dan ramai yang dapat melarikan diri ke Singgora. Tetapi mereka telah dikejar oleh orang Melayu sebagai jauh sebagai Tiba dan Cenak. Apabila mereka melintasi sempadan Singgora, Melayu bertemu saudara-saudara mereka, orang-orang Kedah, yang kemudian melawan Siam Singgora.

        
Orang Melayu Patani bersatu dengan saudara Kedah mereka dan bersama-sama berjuang Siam-Thai. Dalam pertempuran ini orang Melayu Patani diperkaya diri mereka di Bukit Anak Gajah dan Katnpung Bangkadan. Walaupun pertempuran sengit mengamuk, satu pasukan Siam-Thai dari Bangkok tiba diketuai oleh Phraya Phraklang yang telah dihantar oleh raja mereka untuk membantu raja Singgora.70 Ini adalah kekuatan tentera yang besar, baik dilengkapi dengan senjata yang banyak. Selepas dia telah bersatu dengan Siam Singgora, kekuatan mereka untuk melawan orang Melayu meningkat. Tetapi orang Melayu terus berjuang tanpa mengingati kuasa yang lebih besar daripada musuh-musuh mereka. Dengan perkara-perkara itu, Tungku Kudin, komander lelaki Kedah, meninggal dunia dalam pertempuran dan orang Kedah bertaburan dan melarikan diri. Orang Melayu Patani menyaksikan saudara-saudara mereka bertaburan, dan menyedari mereka tidak mempunyai cara untuk melawan Thai yang lebih berkuasa, mereka telah dipaksa untuk berundur ke Patani, di mana mereka berazam untuk membuat pendirian terakhir mereka.

       
The Siam-Thai panglima Phraya Phraklang berkumpul semua angkatan Siam dan membahagikan mereka kepada dua pasukan tentera. Yang pertama telah dihantar untuk menyerang rakyat Kedah dan daya kedua telah dihantar untuk menyerang orang Patani. Tentara pertama melancarkan serangan mereka di Kedah, menumpukan segala kekuatan mereka. Selepas Negeri Kedah sekali lagi ditakluki, Raja Siam yang telah memerintah sebelum ini sekali lagi dinaikkan untuk menjadi pemerintah Siam. Selepas tamatnya peperangan mereka dengan orang Kedah, pasukan kedua berangkat, yang diketuai oleh Phraya Phraklang sendiri, ke arah Patani dengan beberapa kapal perang beliau. Apabila mereka tiba di Patani dia mendarat orang-orangnya di pantai di Kuala Patani dan menyerang negara ini. Rabuk Melayu kepimpinan raja empat meletakkan pertahanan gempal.
Tuan Sulong, yang merupakan pemerintah Patani pada masa itu, adalah anak saudara Long Ahmad, Sultan Kelantan. Apabila dia tahu bahawa Patani telah diserang oleh Siam, Long Ahmad Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda menghantar tentera rakyat Kelantan untuk membantu rakyat Patani, yang berada di peperangan dengan Siam-Thai. Tentera ini telah diketuai oleh muda raja Kampung Laut, Tungku Besar anaknya (Tungku Ahmad), dan Raja Banggul. Tambahan pula, sultan Trengganu menghantar satu pasukan untuk membantu Patani dipimpin oleh Panglima Tungku Indris, Panglima Incik Kilan, Panglima Wan Kamal, dan Panglima Incik Ismail. "Selepas ini bala bantuan tiba di Patani, mereka menyertai rakyat Patani untuk bertarung Siam.

         
Peperangan ini diteruskan dengan keganasan yang terbesar dalam sejarah Patani. Phraya Phraklang mengarahkan Siam untuk berjuang untuk penamat dan dia tidak peduli bahawa kerugian dan kemusnahan yang dialami adalah lebih besar daripada orang Melayu. Akhirnya pertahanan Melayu runtuh dan pintu kemenangan telah dibuka kepada Siam. Orang Melayu, yang tidak cukup kuat untuk menentang serangan mereka, dipaksa berselerak. Rakyat Kelantan dan Trengganu dengan ketua mereka berundur ke negara masing-masing.

        
Tuan Sulong, Raja Patani, dan Tuan Kundur, Raja Yala, melarikan diri dengan isteri dan anak-anak mereka ke sanktuari di Kelantan. Pada masa yang sama Tuan Kechil, Raja Nongchik, dan Nik Dah, Raja Ligeh, melarikan diri ke kawasan pedalaman Patani, tetapi mereka telah dikejar oleh Siam sejauh daerah Jarum di sempadan Perak dan ada berlaku pertempuran antara dua Raja-raja dan Siam. Tuan Kechil mati dalam pertempuran dan Nik Dah melarikan diri ke Perak. Selepas Raja-raja Patani telah melarikan diri semua, orang Patani mengalami sedih dari penindasan, pembunuhan, dan rogol oleh Siam-Thai yang membanggakan diri pada kemenangan mereka. Semua harta dan makanan Melayu, seperti beras, ayam, dan lain-lain, telah benar-benar dimuatkan kapal kapal sebagai harta rampasan.

         
Apabila mereka telah kenyang dengan pemecatan Patani, Phraklang Phraya, Siam komander, mula melengkapkan tenteranya untuk menyerang Kelantan dan Trengganu, yang ingin mendapatkan membalas dendam untuk tindakan raja - raja mereka, yang telah dibantu orang Melayu Patani dalam melawan Siam.
Apabila ini menjadi dikenali untuk Long Mahmud, Sultan Kelantan, baginda bimbang kalau-kalau Kelantan akan diserang dan ditakluki oleh Siam-Thai. Dalam usaha untuk memastikan bahawa Kelantan tidak mengalami nasib yang sama seperti Patani, Sultan Kelantan menghantar misi keamanan kepada Phraya Phraklang ingin mengemukakan kepada Raja Siam dan membayar untuk kesilapan beliau dengan jumlah sebanyak $ 50,000. Tuan Sulong, Raja Patani, dan Tuan Kundur, Raja Yala, dan isteri-isteri mereka dan kanak-kanak yang berada di Kelantan, telah dihantar kembali kepada panglima Siam. Dengan ini, rancangan untuk menyerang Kelantan telah diketepikan.

         
Kemudian panglima Siam-Thai menghantar utusannya kepada Sultan Trengganu, mengingatkan dia kesilapan beliau dalam membantu orang-orang Patani, dan memaksanya untuk menghantar kembali semua orang Patani yang telah datang untuk perlindungan di Trengganu, terutamanya komander Patani Panglima Damit, Panglima Mahmud, Panglima Pia, dan Panglima Ahmad. Semua orang Patani dan komander mereka telah diserahkan oleh sultan Trengganu kepada panglima Siam, yang sedang menunggu di dalam Patani.

        
Selepas kerajaan di Patani telah didirikan semula oleh panglima Siam, dalam bulan September 1832 tentera SiamThai kembali ke Bangkok, menjalankan dengan mereka tawanan perang dan harta benda yang disita di Patani. Tawanan Melayu Patani diambil oleh Siam masa ini adalah tidak kurang daripada 4,000 orang, lelaki, wanita, dan kanak-kanak. Penderitaan yang ditanggung oleh orang Melayu yang telah dikurung di dalam kapal-kapal perang Siam-Thai semasa perjalanan ke Bangkok tidak boleh ditulis dan sesetengah daripada mereka meninggal dunia dalam kapal sebelum tiba di Bangkok 0,12

       
Sebelum Siam kembali, komander mereka memilih pengganti kepada mereka raja - raja daripada wilayah-wilayah kecil Patani yang telah ditangkap atau yang telah meninggal dunia:
Di Patani, Nik Yusuf Gerisik dipilih;
Di Nongchik, Nai Min, Siam Cenak, telah dipilih;
Di Yala, Nai Yim Sai (Luang Sawatphakdi), pembantu Raja Nai Phya, telah dipilih;
Dalam Ligeh, Nik Bungsu Bapu, yang setia kepada Nai Phya, telah dipilih.

       
Nai Yim Sai, Raja Yala, yang tinggal di Kubang Teras. Nik Bongsu, Raja Ligeh, tinggal di Tanjong Emas. Nik Yusuf, raja Patani, tinggal di Kuala Bekah, hilir dari hari Gedung China.
Selepas masa itu, negara Patani dan Kedah adalah di bawah kuasa raja Siam. Kedah telah diperintah oleh seorang anak raja Siam Ligor dan Patani diperintah oleh raja - raja yang dilantik oleh Siam-Thai. Pemerintahan mereka berterusan sehingga tahun A.D. 1838. Terdapat dua putera dalam keluarga raja Kedah bernama Tungku Mahmud Sa'ad dan Tengku Abdullah. Kedua-dua putera mencipta satu pelan rahsia tindakan untuk membatalkan kuasa raja Siam dan merebut kembali kawalan kerajaan Melayu Kedah. Apabila tiba hari dan waktu yang ditetapkan, rakyat Kedah di bawah kepimpinan kedua-dua putera diserang Siam, dan segera ambil semula istana dan membunuh Siam di Kedah, tetapi raja mereka dapat melarikan diri ke Singgora dengan kaumnya.

         
Siam melarikan diri segera diikuti diperjuangkan oleh rakyat Kedah sejauh Cenak, dan di sini Siam Singgora datang untuk membantu rakan-rakan mereka dalam menentang serangan orang-orang Kedah. Kerana serangan rakyat Kedah menjadi sengit dan sengit, Raja Singgora pun menghantar utusan ke Bangkok untuk meminta bantuan segera. Mesej yang sama telah dihantar kepada Raja Nai Phya di Jering.

         
Raja Nai Phya dipanggil semua raja - raja ini wilayah untuk membawa rakyat mereka ke Singgora. Kerana raja - raja ini adalah setia kepada Raja Nai Phya dan terpaksa untuk alat telah lama pemerintahannya, mereka tidak menimbulkan apa-apa halangan kepada Raja Nai Phya dan membawa rakyat mereka ke Singgora. Tetapi apabila mereka tiba di Cenak, ramai orang Patani berlari daripada raja mereka kerana mereka tidak mahu membantu Siam. Mereka akan diambil untuk melawan saudara-saudara mereka, orang-orang Kedah. Orang Patani pergi untuk menyertai saudara-saudara mereka orang Kedah dan berpaling untuk melawan Siam.

             
Peperangan ini berterusan untuk beberapa lama sehingga orang Melayu lemah. Tungku Mahmud Sa'ad, pemimpin rakyat Kedah, meninggal dunia dalam perjuangan dan Tungku Abdullah berundur dengan kaumnya ke Kedah. Berundur beliau diikuti oleh serangan Siam di belakang sejauh Kedah. Kerana kekuatan rakyat Kedah telah habis dalam pertempuran, Kedah mudah jatuh lagi ke tangan Siam, dan Melayu Patani yang telah menyertai orang Kedah dipaksa untuk melarikan diri.
Selepas akhir pertempuran, Raja Singgora bertanya raja - raja Patani dari enam wilayah untuk kembali dengan mata pelajaran mereka kerana dia bimbang bahawa pemberontakan orang Melayu Patani mungkin timbul. Tidak bertahun-tahun kemudian Raja Nai Phya, yang memerintah di wilayah Jering, meninggal dunia. Pusat kerajaan di Singgora telah dimaklumkan kematiannya. Dengan perintah Raja Singgora, Nai Yim Sai, raja di Yala, telah dilantik untuk menjadi raja pemerintah di Jering. Kemudian beliau dilantik Siam Singgora bernama Nai Muang menjadi raja pemerintah di Yala, dan Nai Muang berpindah dari Kota Kubang dan menubuhkan sebuah bandar baru Kampung Seting, merentasi Sungai Besar.

       
Dalam AD 1842 Kelantan diperintah oleh Sultan Tuan Senik Mulut Merah. "Pada tahun ini suasana konflik mengaburi keluarga Raja Kelantan. Konflik ini berlaku di antara sultan dan beberapa ahli keluarganya, termasuk Sultan Dewa (Raja Penembang ), raja muda, Tungku Sri Indra, dan Tengku Muhamad (Tengku Besar), anak muda Raja Kampung Laut. Pertikaian ini disebabkan permusuhan dan perang saudara di antara sultan dan raja - raja yang disebutkan.

        
Selepas perang saudara telah berterusan untuk beberapa lama dan tidak ada harapan mendapatkan keamanan, kedua-dua pihak mengemukakan perkara itu kepada Raja Siam di Bangkok. Penyerahan ini telah diterima baik oleh Raja Siam. Dia menghantar satu kaumnya bernama Phraya Chaiya Thainam dengan Raja Ligor dan Raja Singgora ke Kelantan sebagai pengantara untuk menghentikan pertempuran.

        
Pada masa yang sama bahawa raja Thai telah berusaha untuk menamatkan perang saudara di Kelantan, Nai Yi Sai (Luang Sawatphakdi), Raja Jering, meninggal dunia. Nik Yusuf, raja Patani, telah dinaikkan untuk berjaya dia, dan kerana Patani tidak mempunyai raja, Tengku Muhamad (Tengku Besar) anak muda raja Kampung Laut telah dijemput untuk bergerak ke Patani dan beliau secara rasmi dipasang sebagai raja untuk memerintah Patani . Semua pentadbiran dalaman telah diletakkan di bawah kawalan dan penjagaan Raja Siam Singgora. Sultan Dewa pergi ke Ligor dan kekal di sana selama-lamanya.

       
Dalam pemindahan ini ke Patani, Tengku Muhamad telah disertai oleh saudara-saudaranya, termasuk Tungku Tuan Menanjiwa dan Tungku Banggul, bersama-sama dengan keluarga mereka, dan juga oleh Tungku Long Ahmad, Raja Bukit. Semua ini raja tinggal bersama-sama dengan Tengku Muhamad di Patani. Pada mulanya Tungku Mahmud ditubuhkan kompaun istananya merentasi dari hujung Semenanjung, kini dikenali sebagai Kampung Tungku Besar Semarak, tetapi tidak lama selepas itu, beliau memutuskan bahawa kawasan kompaun itu tidak sesuai. Dia dan saudaranya kemudian berpindah dan menubuhkan sebuah istana baru di Kampung "Chabang Tiga" dan hingga ke hari ini ini adalah tapak istana raja - raja Patani.

          
Selepas Tungku Mahmud telah dipilih untuk menjadi Raja Patani, beliau telah diberi gelaran Sultan Mahmud, tetapi oleh Raja Siam di Bangkok beliau bertajuk Phraya Tani. Pada hasrat dan perintah Raja Siam, semua keluarga diraja yang disertai Tengku Muhamad ke Patani telah diberikan kedudukan mereka sendiri. Raja Banggul telah dipilih untuk menjadi Phraya Phitak, yang ertinya jawatan penasihat kepada sultan Patani, dan semua raja - raja lain juga telah dipilih untuk menjadi pegawai-pegawai tinggi kerajaan. Selepas dua tahun Raja Banggul dan Tungku Long Ahmad Raja Bukit, kedua-duanya meninggal dunia di Patani. Kemudian Tungku Tengah, anak Raja Banggul, yang dipilih untuk menjadi Phraya Phitak untuk menggantikan bapanya.

       
Sejak masa itu, negeri Patani mula diperintah oleh raja - raja dari Kelantan yang dilantik oleh Raja Siam. Kerajaan dalaman telah dijalankan di bawah pengawasan dan kawalan Raja Siam, melalui pusat pentadbiran di Singgora. Oleh itu, kedaulatan Sultan Mahmud dan kaumnya pergi lagi daripada hujung jari telunjuk Raja Siam. Dalam erti kata lain, kerajaan yang dikendalikan mengikut memanggilkan jari Raja Siam, yang ingin telah berdasarkan prinsip penaklukan mereka. Hanya dalam era pemerintahan Sultan Mahmud suasana di Patani graduallyy menjadi semakin tenang dan damai.

       
Tidak lama selepas itu, Nai Min, raja wilayah Nongchik telah dipecat dari jawatannya oleh Raja Siam kerana dia ditadbir tidak berkesan. Nai Kliang, anak kepada Nai Yi Sai, bekas Raja Jering, telah dilantik Raja Nongchik. Nai Kliang berpindah pusat kerajaan dari Nongchik ke Kampung Tok Jong. Selepas itu, Nai Muang, Raja Yala, juga telah dipecat dari jawatannya oleh Raja Siam kerana beliau tidak berkelayakan untuk memerintah. Tengku Muhamad Salih (Tuan Batu Putih) telah dilantik untuk menjadi Raja Yala dan Tengku Muhamad Salih berpindah pusat kerajaannya ke Kampung Yala, di mana ia telah pada zaman dahulu.

       
Kemudian Nik Dah, Raja wilayah Sia dan yang tinggal di Jering, meninggal dunia; Tungku Halal Aladin (Nik Lebai), anaknya, telah dilantik menjadi raja di sana '° Pada tahun AD 1853 Nik Yusuf, raja. wilayah Jering, juga meninggal dunia. Raja ini telah dipanggil Raja Tok Ki oleh orang Patani.75 Raja Siam di Singgora memilih Sultan Dewa yang tinggal di Ligor untuk menjadi raja di wilayah Jering untuk menggantikan beliau. Selepas itu Sultan Dewa berpindah bersama anak-anaknya untuk memerintah di Jering dan Tungku Sulong anaknya telah dinaikkan untuk menjadi pembantu beliau dengan gelaran Luang Sunthonraya.

       
Selepas Sultan Dewa telah menjadi raja pemerintah di Jering untuk kira-kira satu tahun dia juga meninggal dunia dan anaknya Tungku Sulong meminta kebenaran dari Raja Siam untuk kembali ke Kelantan kerana dia tidak mahu tinggal di Jering apa-apa lagi. , Putera raja Nik Yusuf, bekas Raja Jering, Nik Timung kemudiannya dilantik menjadi raja pemerintah di Jering.

      
Dalam tahun Masehi 1856 Sultan Mahmud, Raja Patani, juga meninggal dunia. Baginda telah dikebumikan di tanah perkuburan Tanjung Datuk, maka dia disebut sebagai Almarhum Tanjung hingga ke hari ini. Pada saat kematiannya, baginda meninggalkan empat anak lelaki dan dua anak perempuan, iaitu:
1. Tungku Putih, yang kemudiannya menjadi Raja kedua Patani;
2. Tungku Bulat (Tengku Haji Tua);
3. Tungku Hassan (Tungku Nik Mandarahan);
4. Tungku Bongsu (Tungku Sulaiman Sharit Aladin, keempat
5. Raja Patani); 76
6. Tungku Temenal, berkahwin Raja Rahman;
7. Tungku Laboh, berkahwin dengan Tengku Chik, anak Tungku Banggul.
Dengan perjanjian raja di Siam, Tungku Putih telah dilantik untuk menjadi Raja Patani itu di tempat bapanya dan diberi gelaran "Phraya Wichitphakdi (. Dalam pemerintahan Tungku Putih judul-judul dalam bahasa Siam untuk Raja Patani dan lelaki ketuanya secara rasmi tetap, seperti berikut: gelaran bagi Raja Patani adalah Phraya Wichitphakdi; tajuk bagi penasihat raja Phraya Phithakthammasunthon; tajuk jelas pewaris adalah Phraya Si Burirattaphanit; tajuk pembantu beliau adalah Phraya Phiphitphakdi. Sejak itu, judul-judul ini telah diberikan oleh Raja Siam kepada sesiapa yang menduduki pejabat-pejabat).
Dalam pemerintahan Tungku Putih negeri Patani menjadi semakin ramai penduduk dan ramai peniaga asing datang berniaga di dalam Patani. Antara mereka yang paling banyak adalah orang Cina. Kerana bilangan besar orang-orang kampung di mana mereka tinggal dikenali sebagai Kampung China, kerana ia adalah hari ini.
Tidak bertahun-tahun kemudian Tuan Kundur, raja di Rahman, dan Tengku Muhamad Salih (Tuan Batu Putin), Raja Yala, kedua-duanya meninggal dunia. Tuan Timung, anak Tuan Kundur, telah dilantik menjadi raja di Rahman, dengan gelaran Phraya Rattanaphakdi. Ia adalah raja yang berpindah dan membuat kampungnya pada hari ini Kota Baharu Rahman. Di Yala, Tungku Sulaiman (Tuan Kechik), anak Tengku Muhamad Salih, telah dilantik untuk menjadi raja menggantikan bapanya dan mengandungi tajuk Narongritphakdi Phraya. Oleh itu terlalu dalam wilayah di Nongchik, selepas kematian raja yang bernama Nia Keliam, ketua Siam bernama Nia Wing menjadi Raja sana dengan gelaran Phraya Pichera Pibul Narubit.
Selepas ini, Tungku Jeladaladin (Nik Lebai), Raja Sia, dan 'I'uan Timung, Raja Rahman, juga meninggal dunia. Tungku Abdul Kadir (Nik Kelapik), anak Tungku Jelaludin, menjadi Raja wilayah Sia, dan diberi gelaran Phraya Suriyasunthon Bowonphakdi, dan Tungku Abdul Muta'ib (Nik Pik) telah dilantik untuk menjadi pembantu beliau dan diberi tajuk Phraya Rattanamontri. Ia adalah ini Tungku Abdul Kadir yang ditubuhkan istana diraja di Selindong Bayu atau Teluban yang masih wujud hari ini.
Dalam wilayah Rahman, Tungku Abdul Kendis (Tuan Jangong), adik Tuan Timong, telah dilantik untuk menjadi raja, dengan gelaran Phraya Rattanaphakdi. Tuan Bali Jawa, anak Tuan Timong, dan Tuan Lebih, anak Tungku Abdul Kendis, kedua-duanya dilantik menjadi pembantu beliau (sebelum ini, raja - raja daripada tujuh wilayah Patani hanya diberi gelaran Phraya. Sebagai contoh , Raja Patani bertajuk Phraya Tani, Raja Yala bertajuk Phraya Yala, dan sebagainya Dari masa ini raja - raja telah dibezakan dengan tajuk individu: Raja Patani bertajuk Phraya Wichitphakdi; raja Nongchik bertajuk Phraya. Phetcharaphiban; Raja Yala bertajuk Phraya Narongrit Si Prathet Winetwangsa; Raja Sia bertajuk Phraya Suriayasonthan Bowonphakdi; raja Rahman bertajuk Phraya Phuphaphakdi; raja Ligeh bertajuk Phraya Phuphaphakdi; dan Raja Jering bertajuk Phraya Phiphitphakdi. tajuk ini telah digunakan secara rasmi sehingga, dalam tahun Masehi 1902, kedaulatan dan kuasa raja - raja Melayu telah dihapuskan oleh kerajaan Siam.)
Tungku Putih terus memerintah Patani selamat dan aman. Pada awal AD 1881, baginda meninggal dunia selepas menduduki takhta kerajaan Patani selama 26 tahun. Semasa hayatnya, baginda telah mempunyai dua orang isteri, iaitu: di Kelantan, beliau telah berkahwin Tungku Raja Puteri, anak perempuan Sultan Kelantan; di Patani, beliau telah berkahwin Tungku Wawah Puteri, anak perempuan Tungku Tengah yang menjadi penasihat raja ( Phraya Pitek). Baginda meninggal dunia akibat penyakit manakala di Kelantan, dan diingati sebagai Almarhum Mangkat di Kelantan. '8
Pada saat kematiannya baginda meninggalkan seorang anak lelaki dan enam anak perempuan, 79 iaitu: Dari isteri Kelantan
1. Tungku Besar (Tungku Timung), raja ketiga Patani;
2. Tungku Ambung, isteri Raja Bendahara Kelantan;
Dari isteri Patani beliau,
3. Tungku ambik, isteri Tengku Muhamad Kelantan, Tengku Tengah, isteri Raja Yala;
4. Pik Tungku, isteri Tungku Mahmud, anak Raja Belat;
5. Tungku Patani, isteri Tungku Besar Indera, Raja Kelantan;
6. Tungku Mahmud, yang menjadi raja muda dalam kerajaan Tungku Sulaiman Sharif Aladin.

         
Apabila Tungku Putih meninggal dunia Besar Tungku anaknya (Tungku Timung) telah dilantik untuk menduduki takhta kerajaan Patani dan menjadi raja ketiga. Juga pada masa itu tiada siapa yang belum dilantik untuk mengisi jawatan penasihat kepada raja. Selepas kematian Raja Banggul, Tungku Tengah, anak Raja Banggul telah dilantik untuk menjadi penasihat kepada raja, dan Tungku Sulaiman menjadi muda raja. Tungku Abdul Kadir, anak Tungku Tengah, telah dilantik sebagai pembantu kepada raja. Sementara itu, Nai Wiang, Raja Nongchik, meninggal dunia dan digantikan oleh Siam bernama Nia Ming yang telah diberi gelaran Phraya Phetcharaphiban. Tidak lama selepas itu Nik Timun, Raja Jering, juga meninggal dunia. Adiknya Nik Mah telah dilantik untuk menjadi raja pemerintah di sana dan telah diberi gelaran Phraya Phiphitsenamattayathibodi. Selepas itu, Nai Ming, Raja Nongchik, dan Nik Bongsu, Raja Ligeh, juga meninggal dunia. Nai Tud telah dilantik untuk menjadi raja di Nongchik. Tuan Indu, anak Nik Bongsu, telah dilantik untuk menjadi raja Ligeh dengan gelaran Phraya Phuphaphakdi.

        
Tungku Besar (Tuan Timung) telah menduduki takhta kerajaan Patani selama sembilan tahun dan raja ketiga Patani untuk memerintah di bawah kawalan Raja Siam-Thai. Kerana Patani pada masa itu telah jatuh bawah penaklukan Raja SiamThai, soalan keselamatan negara dari serangan oleh musuh-musuh tidak lagi satu isu. Oleh itu, sepanjang tempoh pemerintahan Tengku Besar, di Patani terdapat berlaku sebarang konflik sama ada dengan musuh-musuh di luar negara dengan musuh-musuh di dalam negara itu sendiri, yang dengan Siam-Thai.

     
Dalam AD 1890 Tungku Besar meninggal dunia dan dikebumikan di tanah perkuburan (Tok Ayah) yang masih wujud hari ini. Pada kematian ini, baginda meninggalkan dua anak lelaki dan tiga anak perempuan bersama-sama tiga dengan isteri beliau, Che Wah, Mek Putih, dan Che Mek kapada Inche Tih. Kanak-kanak oleh isterinya Che Wah (1) Tengku Besar, isteri muda raja Kelantan; (2) Tungku Wawah, isteri Tungku Hussein (Tungku Besar Nayara). Anaknya oleh Mek Putih (3) Tungku Mek Haji (Tengku Ismail) 0,80 Kanak-kanak oleh isterinya Che kapada Inche Mek Tih (4) Tungku Tengah, isteri Tungku Nga, anak Raja Sia; (5) Tungku Mahmud (Tungku Che Kumat).

       
Selepas Tungku Besar meninggal dunia, Tungku Sulaiman Syarifalludin, raja muda, telah dilantik menaiki takhta kerajaan Patani dengan gelaran Sultan Sulaiman Syarifalludin. Beliau menjadi raja keempat dalam tempoh penaklukan Siam-Thai, dan bertajuk oleh Siam-Thai sebagai Phraya Wichitphakdi.

       
Kemudian Tungku Mahmud, anak Tungku Besar, telah dilantik untuk menjadi raja muda. Pada masa itu Tungku Tengah, yang memegang jawatan penasihat raja (Phraya Phakdi), juga meninggal dunia dan telah digantikan oleh anaknya, Tungku Abdul Kadir. Tungku Abdul Kadir, anak Sulaiman, telah dilantik untuk menjadi pembantu kepada raja (Phraya Phiphitphakdi).
Semasa pemerintahannya Sultan Sulaiman Syarifalludin adalah sangat bimbang tentang keselamatan kehidupan rakyat Patani. Antara tindakan beliau adalah meluruskan Sungai Patani, yang memerlukan penggalian dari Kampung Masjid Raya sejauh Kampung Anak Buloh. Ia panjang adalah kira-kira tujuh kilometer, dan kini dikenali dengan nama Sungai Baru.
Selain itu, baginda mengambil sangat serius hal ehwal agama Islam. Pada beliau ingin sebuah masjid yang besar telah dibina batu yang dikenali dengan nama "Masjid Besar Chabang Tiga," dan wujud hingga ke hari ini. Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan Sulaiman Syarifalludin tidak berdoa di istana yang telah dibina sebelum ini oleh Almarhurn Raja Kelantan. Sebaliknya, baginda membina sebuah istana baru di sebelah bandar di mana matahari naik. Di dalamnya baginda berdoa sehingga [hari] dia meninggal dunia, dan istana baru ini menjadi tempat solat Tungku Mahmud, raja muda.

       
Tidak bertahun-tahun kemudian Wan Induk, Raja Ligeh, meninggal dunia dan Tuan Tengah, saudaranya, yang merupakan anak Tuan Sulong, telah dilantik untuk menjadi Raja Ligeh di tempat beliau. Oleh itu juga apabila Nik Mah, Raja Jering, meninggal dunia, anaknya Nik Wawa telah dilantik untuk menjadi raja memerintah di sana.

        
Sultan Sulaiman Syarifalludin memerintah dengan keadilan yang adil dan baginda amat setia kepada rakyat dan kerajaan Patani. Walaupun pemerintahan baginda dijalankan di bawah kawalan dan penyeliaan raja Siam-Thai, namun dia mengekalkan kedudukan kaumnya, negara dan kerajaan.

       
Selepas Sultan Sulaiman Syarifalludin telah menduduki takhta kerajaan Patani selama sepuluh tahun, untuk permulaan AD 1899, pada keempat bulan Rabi'ul-Awwal 1316, baginda juga meninggal dunia dan dikebumikan di tanah perkuburan Tok Ayah.
Pada kematiannya baginda meninggalkan dua anak lelaki dan dua orang anak perempuan yang ditanggung oleh dua orang isteri, iaitu:
Anak beliau oleh isteri Kelantan beliau,
(1) Tungku Sulung, isteri Tungku Betara.
Anak-anaknya oleh Tengku Nik Putih, anak perempuan Raja Sia,
(2) Tungku Besar Tuan Kambing, isteri Tengku Muhamad,
raja muda;
(3) Tungku Abdulkadir Kamaralladin, yang kemudiannya menjadi raja kelima Patani,(4) Tengku Muhamad Saleh.

      
Selepas kematian baginda, anaknya Tungku Abdulkadir Kamaralladin telah dipilih untuk menaiki takhta kerajaan Patani di tempat bapanya, dan menjadi raja kelima Patani berasal dari raja - raja Kelantan. Beliau juga adalah Melayu terakhir raja untuk memerintah negeri Patani.

       
Pada tahun Masehi 1902, Raja Siam-Thai di Bangkok memutuskan untuk menukar sistem kerajaan di wilayah tertakluk Patani. IIE mahu tujuh wilayah di Patani untuk digabungkan ke dalam wilayah tunggal, dipanggil rantau [boriwen]. Beliau menghapuskan kedaulatan dan kuasa tujuh raja - raja Melayu dan diletakkan kerajaan negeri Patani di bawah pengawasan dan kawalan Raja Singgora.

       
Raja Siam-Thai juga tahu bahawa hasrat ini sudah tentu akan ditentang kuat oleh raja - raja Melayu kerana ini bermakna menarik balik kedaulatan mereka dan hak mereka ketuanan dalam negeri Patani. Oleh itu dia telah menghantar seorang menteri sebagai duta ke Patani untuk membincangkan perkara ini dengan raja - raja Melayu. Dalam mesyuarat ini, beliau meminta tandatangan raja - raja Melayu sebagai tanda kebenaran dan persetujuan dengan kehendak Raja Siam. Pada masa yang sama, beliau berjanji untuk memberi pencen kepada raja - raja dan isi rumah mereka sehingga kematian mereka. Walau bagaimanapun, hak-hak dan hasil dalam negeri Patani semua terpaksa diserahkan kepada Raja Siam di Bangkok. Raja - raja Melayu tidak lagi akan dipaksa untuk menghantar ufti bunga mas ke Bangkok.

         
Dengan menggunakan segala macam tipu muslihat dan penipuan banyak-raja Melayu telah tertipu supaya mereka bersedia untuk memberi tandatangan mereka mengakui perjanjian dengan kehendak Raja Siam-Thai. Hanya Tungku Abdulkadir Kamaralludin, Raja Patani, staunchly menentang kehendak Raja Siam dan tidak mahu untuk memberi tandatangan kepada utusan dari Siam yang datang ke Patani. Ini adalah kerana baginda tahu bahawa keinginan Raja Siam bermakna menyita semua hak-hak orang Melayu, termasuk hak pertuanan di atas negeri Patani, dan nasib orang Melayu akan jatuh di bawah kuk penaklukan Siam-Thai, setelah kehilangan hak mereka untuk kebebasan dan kemerdekaan.

         
Dengan kesedaran ini, Tungku Abdulkadir sepenuhnya ditentukan tidak bersetuju dengan kehendak Raja Siam-Thai. Di utusan menteri cuba paksa untuk menangkap baginda. Satu hari dia berpura-pura untuk menjemput baginda ke rumah di mana dia tinggal. Beliau berkata beliau mahu untuk membincangkan perkara-perkara yang banyak. Secepat baginda datang ke rumahnya beliau cepat dikurung oleh orang-orang Siam-Thai di dalam bilik dan tidak dibenarkan untuk meninggalkan. Urusan ini begitu cepat dijalankan bahawa baginda sendiri tidak sedar apa yang sedang berlaku.

      
Apabila hakikat menangkap beliau telah dikenali untuk ketua-ketua Melayu mereka datang di khalayak ramai yang bercadang untuk membebaskan raja mereka dari tawanan Siam. Tetapi baginda fikir ia berguna untuk membolehkan kaumnya untuk menumpahkan darah mereka kerana dia tahu kekuatan orang Patani pada masa itu adalah terlalu kecil. Jadi mereka meninggalkan baginda dalam kurungan. Raja - raja Melayu yang lain bersetuju dengan raja SiamThai oleh memberi tandatangan mereka, kecuali raja Ligeh dan raja Rahrnan, yang mempunyai pendapat yang sama seperti baginda. Walau bagaimanapun, kerana mereka diancam oleh SiamThai, raja - raja ini terlalu kemudian dipaksa untuk tunduk kepada kehendak Raja Siam.

       
Selepas itu utusan menteri Siam kembali ke Bangkok, mengambil dengan dia Tungku Abdulkadir Kamaralludin dengan harapan mendesak atau mengancam baginda untuk memberikan tandatangan beliau dan bersetuju dengan kehendak Raja Siam. Tetapi baginda adalah raja Melayu jantung gempal dan sangat bernilai kedaulatan kerajaan Patani. Beliau sabar menentang hasrat Raja Siam-Thai. Kemudian baginda telah dihantar ke tempat kurungan di negara Phitsanulok, utara bandar Bangkok. Kemudian ramai di kalangan orang Melayu Patani yang setia kepada keagungan memutuskan untuk pergi bersama-sama untuk Phitsanulok. Sesetengah daripada mereka meninggal dunia dalam perjalanan dan sebahagian daripada mereka yang meninggal dunia di sana.

       
Selepas dua tahun dan sembilan bulan di mana baginda terbatas di sana, pada AD 1905, baginda menerima kebenaran dari Raja Siam kembali ke Patani. Pada masa itu sistem kerajaan di negeri Patani telah berubah dan bertukar mengikut kehendak Raja Siam-Thai. Negeri Patani telah digabungkan ke dalam satu wilayah dan telah diletakkan di bawah kawalan dan perintah Raja Singgora, dan telah diperintah oleh seorang pesuruhjaya Siam bernama Phraya Mahibanborirak, yang tinggal di negeri Patani. Kesemua enam raja - raja telah kehilangan kedaulatan mereka dan pihak berkuasa. Setiap tinggal hanya pada pencen beliau sehingga akhir kehidupan mereka.

      
Selepas kembali Tungku Abdulkadir Kamaralludin ke Patani, baginda tidak lagi mahu tinggal di Patani dan segera berangkat tinggal di Kelantan selama beberapa tahun, sehingga pada AD 1933 baginda meninggal dunia bronkitis di Kelantan.
Pada saat kematiannya baginda meninggalkan tiga anak lelaki dan tiga anak perempuan: 81
(1) Tungku Ahmad Nuraladdin (Tungku Sri Akar Raja
Kelantan);
Oleh Tuan Namsa,
(2) Tungku Zubaidah (Tengku Besar);


(3) Tungku Yusuf Shamsaladdin;

(4) Tungku Todzah, berkahwin dengan Raja Haji Ahmad Perak,

(5) Tungku Kamarih:

Oleh Che Manuk Patani,

(6) Tungku Yah, berkahwin Tungku Abdulkadir (Tungku Putera), anak Raja Sia;

  (7) Tungku Mahmud Mahialaddin.

Oleh itu, AD 1902 adalah tahun kejatuhan utama negara Patani, kehilangan kedaulatan raja - raja itu, pemusnahan hak kekuasaan Melayu di negeri Patani, dan menggadai semua hak kebebasan dan kemerdekaan kepada Raja Siam-Thai. Ini adalah tahun lepas dan yang paling malang dalam sejarah kejatuhan kerajaan Melayu Patani.

          Dengan kematian Tungku Abdulkadir Kamaralludin, raja - raja Melayu dari garis Kelantan raja yang menduduki takhta kerajaan Patani tidak lebih. Dari masa itu tiada siapa yang telah diangkat menjadi Raja Patani. Negeri Patani telah mula menjadi hanya salah satu daripada wilayah-wilayah tertakluk kepada kerajaan Siam-Thai. Dalam AD Tahun 1906, juga atas kehendak Raja Siam, kerajaan telah dibubarkan dan digantikan dengan kaedah baru kerajaan. Semua tujuh wilayah dalam Patani telah bersatu semula dalam satu wilayah wilayah Patani, bahasa Siam dipanggil "Monton Patani." Kemudian wilayah Patani telah sekali lagi dibahagikan kepada empat wilayah yang dipanggil changwut, yang changwat Patani, Yala, Saiburi, dan Narathiwat (Banganara). Kemudian pesuruhjaya Siam-Thai telah dilantik untuk memerintah di changwat setiap. 


AMUKANMELAYU - semua peperangan dengan orang KAFIRUN atau dari bangsa lain.....tiada catitan mengatakan Melayu pernah menang.....ini menunjukkan Melayu tidak suka berperang dan rundingan adalah SENJATA UTAMAnya dan dengan rundingan dan perjanjianlah yang membuatkan Melayu sering di tipu. Moralnya....sudah tiada rundingan dan perjanjian lagi dan KITA perlu menang atau kita mati kerana ALLAH.