Naskah Minangkabau
Banten dan Aceh: Kiblat Keilmuan Muslim Melayu Mindanao
Artikel ini terbit di Republika, Jumat, 8 Maret 2012
Oman Fathurahman
Dosen FAH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ketua Umum Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara)
Siapa mengira bahwa seorang ulama penting Kesultanan Banten pada abad ke 18, Abdullah bin Abdul Qahhar al-Bantani, adalah ternyata guru intelektual bagi sejumlah ulama Mindanao, Filipina Selatan pada masa lalu? Dan siapa sangka bahwa bagi Muslim Mindanao, Aceh pernah menjadi kiblat keilmuan Islam sejak ratusan tahun lalu?
Nyatanya, begitulah yang terekam dalam beberapa manuskrip Islam Melayu di Marawi City, sebuah Kota berpenduduk 90% Muslim di Pulau Mindanao, yang baru terungkap setelah ratusan tahun terkubur dalam sejarah masyarakat Melayu di wilayah ini.
Perjalanan udara dan darat yang cukup melelahkan dari Manila ke Kota Marawi City pada Sabtu (25/2) lalu seakan terbayar ketika saya bersama Sejarawan Sophia University, Profesor KAWASHIMA Midori, dan Ervan Nurtawab dari STAIN Jurai Siwo Metro Lampung akhirnya dapat membuka-buka 12 manuskrip Islam berbahasa Melayu yang teronggok tak terawat dalam karung plastik di Shiek Ahmad Basher Memorial Research Library, Jamiat Muslim Mindanao di Matampay, Marawi City, Filipina.
Sehari sebelumnya, Alim Usman Imam membawa kami ke Maktabat al-Imam Assadiq, Masjid Karbala, tempat tersimpannya 49 manuskrip Islam Melayu dan Arab warisan Haji Muhammad Said, atau Sayyidna, seorang ulama pengembara abad 19 asal Magonaya Mindanao yang pernah singgah di Borneo, Lingga, Johor, dan Palembang, sebelum 7 tahun belajar di Haramayn.
Kondisi manuskrip di tempat ini sudah lebih tertata berkat ‘sentuhan' filolog dari Universitas Indonesia, Tommy Christomy, yang berkunjung beberapa tahun sebelumnya bersama KAWASHIMA Midori.
Mindanao-Banten-Aceh: Jaringan Ulama yang Terlupakan
Sejauh ini, Jaringan Ulama Azyumardi Azra (1994) dianggap sebagai kajian terlengkap saling silang hubungan keilmuan antarulama Melayu-Nusantara dengan Haramayn. Tapi, keterlibatan ulama Melayu-Mindanao ternyata masih luput dari pengamatannya, mungkin karena sulitnya akses terhadap khazanah naskah Melayu di wilayah konflik ini.
Menyimak lembar demi lembar manuskrip yang hampir seluruhnya berbahasa Melayu dan Arab tersebut, membawa saya pada satu asumsi bahwa hubungan keilmuan antara Muslim Mindanao dengan ulama-ulama Nusantara di Aceh dan Banten telah terjalin cukup kuat pada masa lalu.
Salah satu manuskrip tasawuf berjudul Sayyid al-Ma'arif karangan ulama Mindanao, Syekh Ihsan al-Din, misalnya menyebutkan "...bahwasanya Syekh kita, Syekh Haji Abdullah ibn Abdul Qahhar al-Syattari al-Syafi'i Banten telah mengambil Tarekat al-Syattari jalan kepada Allah..." Seperti kita mafhum, Abdul Qahhar al-Bantani yang disebut sebagai ‘Syekh kita" itu adalah mursyid Tarekat Syattariyah pada masa Sultan Zain al-Asyiqin, penguasa Kesultanan Banten abad ke-18.
Nama-nama guru yang disebut dalam silsilah ulama Mindanao ini ujung-ujungnya ternyata juga terhubungkan kepada Ahmad al-Qusyasyi, guru bagi ulama Aceh terkemuka abad ke-17, Abdurrauf al-Jawi al-Sinkili.
Bukti hubungan intelektual Muslim Maranaos dengan Aceh juga dapat ditemukan dalam beberapa manuskrip koleksi Shiek Ahmad Basher di Jamiat Muslim Mindanao, yang antara lain menyebut kitab tasawuf Umdat al-muhtajin karya al-Sinkili dan kitab hadis Hidayat al-Habib fi al-Targhib wa al-Tarhib karya Nuruddin al-Raniri sebagai rujukan dalam karya-karyanya.
Bahkan, di Perpustakaan Nasional Jakarta kita menjumpai sebuah naskah Melayu ML 361 berjudul Bidayat al-Mubadi ‘ala ‘Aqidat al-Mubtadi karangan "...Abdul Majid Mindanawi pada nama negerinya, Syafi'i pada mazhabnya..". Di akhir halaman, Abdul Majid menjelaskan bahwa ia menulis karyanya ini fi balad al-Asyi (Aceh) pada hari Jumat, 6 Rajab masa Pemerintahan Sultan Mahmud Syah (1767-1787), pewaris tahta dari Sultan Johan Syah.
Bisa jadi, Abdul Majid pernah belajar langsung kepada ulama-ulama terkemuka di Aceh masa itu, dan cukup dekat dengan kalangan istana.
Akses dan Konflik
Sulitnya akses terhadap bukti-bukti tertulis sejarah Melayu Islam di Mindanao memang menjadi masalah tersendiri. Konflik etnis dan politis yang berlarut-larut mengakibatkan setiap orang cenderung curiga dan hati-hati kepada setiap pendatang.
Andai tidak ditemani Alim Usman Imam, alumni Universitas Al-Azhar yang sangat mengagumi Soekarno itu, tak terbayangkan kami dengan mudah bisa melewati puluhan titik Checkpointyang dikawal tentara dengan senjata berlaras panjang ini.
Akses terhadap jejak-jejak intelektual Muslim di bagian lain Melayu-Nusantara pun kini telah terbuka. Bukan hanya Koleksi Haji Muhammad Said dan Shiek Ahmad Basher saja, melainkan juga koleksi-koleksi lain yang mulai terkuak, seperti Koleksi Guro sa Masiu, Ismael Yahya, Nuska Alim, Abdulmajeed Ansano, Guro Alim Saromantang, dan Sheikh Abdul Ghani.
Manuskrip di Marawi City adalah representasi sejarah dan identitas Muslim Melayu Maranos. Jika tidak ada tindakan cepat untuk melestarikan dan kemudian mengkajiya, ia sangat rapuh dan akan segera musnah dari memori kolektif kita.
Irina Bokova, Direktur Jendral UNESCO saat terbakarnya hampir 70% koleksi Manuskrip the Institute of Egypt akibat konflik dan gejolak politik di Kairo mengatakan: "...this is an irreversible loss to Egypt and to the world...these manuscripts represent the history and identity of a people. I call for light to be shed on the causes of the fire, and for serious measures to be taken quickly to save what can be saved..." (UN News Centre, 20/12/11).
Masyarakat Muslim Maranaos kini sudah hampir tidak mengenal lagi bahasa Melayu yang 200 tahun lalu menjadi bahasa intelektual leluhurnya, padahal salah satu manuskrip dalam Koleksi Shiek Ahmad Basher berisi pernyataan penulisnya bahwa ia sangat bangga dan telah berusaha keras menulis menggunakan bahasa Melayu agar terhubungkan dengan masyarakat Muslim lain di Nusantara, meski bahasa ibunya sendiri adalah Maranao.
amukanmelayu - Tanpa bahasa....tiada tulisannya...tanpa tulisan, tiada catatannya...tiada catatan, tiada sejarahnya....tiada sejarahnya tiada bangsanya........