,مليسيا دان اسلام بوکن ميليک اورڠ ڤوليتيک
, مک ڤرجواڠن اݢام تتڤ دڤرجواڠکن اوليه اومت اسلام دري بيدڠ يڠ لاءين
سام اد كامي منڠ اتاو كامي ماتي

PERJALAN HAJI AKI


Wednesday 30 July 2014

DERITA PLASTINE - ISRAEL MENJADI PELENGKAP KEPADA DENDAM BARAT PADA ISLAM


SEJARAH - Kemasukan YAHUDI ke bumi PLASTINE tiada bezanya dengan kemasukan KAFIRUN CINA ke Tanah Melayu dan Nusantara......Islamelayu semakin mengecil di Tanah Airnya sendiri kerana PENGKHIANAT dan PEMBELUT ada di dalam diri kita sendiri.......

 
PLASTINE SUATU KETIKA DULU

Keadaan Palestin Pada Tahun 1900 Sebelum Dijajah Israel

Beginilah keadaan Palestin  pada tahun 1900 jauh sebelum penjajahan Israel. Dalam gambar-gambar di bawah ini terlihat jelas aktiviti warga Palestin yang normal seperti berniaga, beribadah dll. Selain itu turut kelihatan keadaan warga Palestin yang maju terlihat dari bangunan dan gedung-gedungnya tidak seperti sekarang ini di mana semua itu direnggut oleh kebiadaban Zionis dan sekutunya.

 
Mereka kaya dan BERGAYA
Kegiatan Pentanian dan Ternakan yang subur dan mewah

Kota yang besar dan gagah

Kegiatan ekonomi yang mantab dan bersih

Sinibena Islam yang nampak ketara



Nampak tentera yang berdisiplin

Nampak kegiatan Ugama dan Ahli fikir yang memainkan peranan di dalam masyarakat


Sistem Tukaran barang

Pasar yang besar dan teratur

Kota yang Gagah




Asal mula masuknya orang-orang Yahudi di Palestina hingga terbentuknya negara Israel

Lubang Biawak

 Hadith Akhir Zaman: Umat Islam Mengikuti Jejak Langkah Yahudi Dan Nasrani


Peristiwa Akhir Zaman, Hadis 5

Ertinya:
Daripada Abu Sa’id al-Khudri r.a berkata, “Rasulullah S.A.W bersabda, “Kamu akan mengikut jejak langkah umat-umat sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta sehingga jikalau mereka masuk ke lubang biawak pun kamu akan mengikuti mereka.”
Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah Yahudi dan Nasrani yang Engkau maksudkan?” Nabi S.A.W menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?”
Hadith riwayat Muslim.

From Abu Sa’id al-Khudri reported that, “The Prophet said,” You will follow the footsteps of the nations before you, span by span, cubit by cubit until if they entered a lizard’s hole you would follow them too. ”
The companions asked, “O Messenger of Allah, the Jews and the Christians that you mean?” The Prophet said, “Who else if not them?”
Hadith narrated by Muslim.

Keterangan:
Umat Islam akan mengikuti jejak langkah ataupun gaya hidup orang-orang Yahudi dan Nasrani sehinggakan dalam urusan yang kecil dan perkara yang tidak munasabah. Contohnya; seandainya orang Yahudi dan Nasrani masuk ke lubang biawak yang kotor dan sempit sekalipun, orang Islam akan terus mengikuti mereka.

Pada masakini kita dapat menyaksikan sendiri kenyataan sabdaan Rasulullah S.A.W ini. Ramai orang Islam yang kehilangan pegangan di dalam kehidupan. Mereka banyak meniru ‘cara hidup’ Yahudi dan Nasrani sama ada secara sedar atau tidak. Ramai orang Islam yang telah terperangkap dengan tipu helah Yahudi dan Nasrani malah ramai pula di kalangan kita yang menjadi alat dan tali barut mereka. Ya Allah, selamatkanlah kami daripada mereka!

Duka Rakyat Palestina Pasca 1948

duka rakyat palestina

Duka Rakyat Palestina Pasca 1948

Salah satu peristiwa yang paling riuh dan berpengaruh dalam sejarah Islam adalah terjadinya konflik Arab-Israel. Konflik ini beragam, kompleks, dan salah satu masalah yang paling rumit dalam dunia hubungan internasional. Salah satu dampak dari konflik ini adalah masalah pengungsi yang disebabkan terbentuknya negara Israel pada tahun 1948. Di tahun itu, lebih dari 700.000 warga Palestina menjadi pengungsi, karenanya peristiwa ini disebut dengan “Nakba”, yang dalam bahasa Arab berarti bencana.

Latar Belakang
Pada tahun 1800-an, muncul sebuah gerakan nasionalis baru di tanah Eropa, gerakan itu dinamai dengan Gerakan Zionis. Zionisme adalah gerakan politik yang mensponsori pembentukan negara Yahudi. Banyak orang Yahudi percaya bahwa mereka perlu memiliki negara sendiri untuk menghindari diskriminasi dan penindasan yang dilakukan orang-orang Eropa. Setelah terjadi perdebatan di Kongres Zionis I tahun 1897 mengenai dimana negara tersebut akan didirikan, akhirnya gerakan Zionis memutuskan untuk membuat negara di tanah Palestina, yang merupakan bagian dari Kekaisaran Turki Utsmani. Tentu saja Sultan Utsmani, Sultan Abdulhamid II, tidak menerima usulan ini, walaupun pendiri gerakan Zionis, Theodor Herzl, menyodorkannya uang pembayaran sebanyak 150 juta poundsterling sebagai tebusannya.

Setelah Perang Dunia I, akhirnya pintu itu terbuka untuk para Zionis. Inggris berhasil merebut Palestina dari kekuasaan Utsmani pada tahun 1917. Tidak beberapa lama menteri luar negeri Inggris, Arthur Balfour, mengeluarkan deklarasi untuk gerakan dan Zionis menjanjikan dukungan Inggris dalam pembentukan negara Yahudi di Palestina.

Surat mandat dari Arthur James Balfour adalah sebagai berikut:

Departemen Luar Negeri
2 November 1917
Lord Rothschild yang terhormat,

Dengan sangat gembira saya ingin menyampaikan kepada Anda, atas nama Pemerintah Yang Mulia, deklarasi tentang simpati terhadap aspirasi-aspirasi kaum Zionis Yahudi yang telah diajukan dan disetujui oleh Kabinet.

Pemerintah Yang Mulia memandang perlu pembangunan di Palestina sebuah National Home bagi masyarakat Yahudi, dan akan mengerahkan segala usaha yang terbaik demi mencapai tujuan tersebut, dengan catatan bahwa hal itu tidak akan merugikan hak-hak sipil dan religius berbagai komunitas non-Yahudi di Palestina, atau hak dan status politik yang dinikmati oleh orang Yahudi di negara lain.
Saya sangat berterima kasih jika Anda dapat menyampaikan deklarasi ini untuk diketahui oleh Federasi Zionis.

(Tertanda)
Arthur James Balfour1
———————————————————————————
Setelah perang, Palestina menjadi mandat Liga Bangsa-Bangsa di bawah kendali Inggris di tahun 1920. Karena di bawah kendali Inggris, gerakan Zionis sangat menganjurkan Yahudi Eropa bermigrasi ke Palestina. Hasilnya adalah kenaikan signifikan jumlah orang Yahudi yang tinggal di Palestina. Menurut data sensus Inggris, pada tahun 1922, ada 83.790 orang Yahudi di Palestina. Pada tahun 1931, ada 175.138. Dan tahun 1945, jumlah itu melonjak menjadi 553.600 orang. Sehingga dalam 25 tahun, prosentase orang-orang Yahudi melonjak menjadi 11% dari total populasi 31%.
Tentu saja, reaksi dari orang-orang Arab Palestina adalah kekecewaan. Akibatnya ketegangan antara pemukim baru Yahudi dan orang Palestina asli terjadi pada berbagai kesempatan. Lalu, pada tahun 1940-an Inggris memutuskan bahwa mereka tidak bisa lagi mengontrol wilayah itu, mereka mengakhiri mandat Palestina dan meninggalkan wilayah tersebut.

Terbentuknya Negara Israel
Memandang akan berakhirnya kontrol Inggris atas Palestina, dan kepastian konflik antara Arab dan Yahudi sebagai dampaknya, PBB yang baru dibentuk mengangkat masalah itu pada tahun 1947 sebagai sebuah masalah yang harus dicarikan solusinya. Muncullah sebuah rencana yang dikenal sebagai United Nations Partition Plan for Palestine (rencana pembagian wilayah Palestina oleh PBB). PBB menganjurkan pembentukan dua negara di dalam wilayah Palestina, satu wilayah untuk orang-orang Yahudi, yang dikenal sebagai Israel, dan satu untuk orang Arab yaitu negara Palestina.

Pembagian-wilayah-Palestina

Orang-orang Yahudi di Palestina menerima rencana itu dengan suka cita, sementara orang-orang Arab dengan keras menolak ketidakadilan ini. Dalam pandangan mereka, itu sama saja dengan merampas tanah yang telah mereka miliki secara historis sejak terjadinya Perang Salib dan menyerahkannya kepada minoritas pendatang Yahudi. Ketegangan pun kembali meningkat di antara kedua belah pihak.

Di tengah-tengah ketegangan yang meningkat ini, Inggris menyatakan mengakhiri Mandat Palestina, dan menarik diri dari negara itu pada 14 Mei 1948. Hari itu, gerakan Zionis di Palestina menyatakan pembentukan sebuah negara baru, Israel. Negara-negara Arab menyatakan penolakan mereka terhadap deklarasi dan menyerang Israel.
Singkat cerita, hasil dari perang tahun 1948 adalah semakin besarnya wilayah Israel –karena sekutu negara-negara Arab kalah dalam perang-. Teritorial Negara Israel pun kian jauh lebih besar dari yang semula diusulkan oleh PBB, 50% lebih besar dari yang diusulkan.

Lonjakan Pengungsi Palestina
Dampak terbesar dari Perang 1948 adalah pengusiran sebagian besar penduduk Palestina. Sebelum perang, setidaknya ada sekitar 1.000.000 orang Arab Palestina di perbatasan Israel. Pada akhir perang tahun 1949, 700.000 sampai 750.000 dari mereka telah terusir, hanya 150.000 saja yang tetap tinggal di Israel.

Begitulah adanya, pengungsi selalu menjadi objek penderita dari buah peperangan. Sepanjang peristiwa ini, beberapa kelompok orang telah melarikan diri demi menghindari pertempuran dan penaklukan. Alasan yang membuat orang-orang Palestina mengungsi di tahun 1948 terbilang unik, mengapa mereka menjadi pengungsi? Padahal itu seolah tak berarti, karena masih sangat banyak konflik di berbagai wilayah di sana sampai hari ini. Sejarawan menganalisis penyebab eksodus warga Palestina sangat dipengaruhi oleh politik dan hubungan internasional. Beberapa alasan utama eksodus tersebut adalah:

Ketakutan: Banyak warga Palestina mengungsi karena karena takut akan serangan dan kekejaman Israel. Ketakutan mereka sangat beralasan, pada 9 April 1948, sekitar 120 penjajah Israel memasuki kota Deir Yassin, dekat Yerusalem, lalu membantai 600 penduduk desa. Beberapa meninggal membela kota dalam pertempuran melawan pasukan Israel, sementara yang lain dibunuh dengan granat tangan yang dilemparkan ke rumah-rumah mereka, atau dieksekusi setelah diarak melewati jalan-jalan Jerusalem.

Pembantaian Deir Yassin

Setelah kejadian ini, pembantaian pun menyebar ke seluruh Palestina, orang-orang Palestina sangat takut akan kemungkinan terburuk yang ditimbulkan orang-orang Yahudi ini. Dalam banyak kasus, warga-warga di seluruh desa Palestina melarikan diri dari kebengisan Yahudi. Mereka berharap dapat menghindari jatuh pada nasib yang sama dengan penduduk Deir Yassin. Beberapa kelompok Yahudi Israel, seperti Yishuv, menyebarkan perasaan takut ini melalui perang psikologis yang dimaksudkan untuk mengintimidasi warga kota-kota Palestina agar menyerah atau melarikan diri. Siaran radio yang disiarkan dalam bahasa Arab, memperingatkan warga Arab bahwa mereka tidak akan mampu menghadapi serangan orang-orang Israel, perlawanan adalah kesia-siaan.

Pengusiran oleh Pasukan Israel: Ketakutan adalah faktor pendorong utama bagi pengungsi di awal perang. Lalu, Perang yang berlarut-larut sampai tahun 1948, membuat aksi pengusiran oleh orang-orang Israel kian marak. Yahudi Israel terus menaklukkan wilayah demi wilayah, pasukan mereka kian tersebar dalam jumlah besar di seluruh negeri. Akibatnya, desa-desa yang baru ditaklukkan dikosongkan secara paksa oleh pasukan Israel.

Contoh nyata dari hal ini adalah kota-kota di Lida dan Ramla, dekat Yerusalem. Ketika wilayah tersebut ditaklukkan pada bulan Juli 1948, Yitzhak Rabin menandatangani sebuah perintah mengusir semua warga Palestina dari dua kota yang memiliki populasi sebesar 50.000 hingga 70.000 orang itu. Pasukan Yahudi Israel menekan penduduk hingga ke garis perbatasan Arab, sementara yang lain dipaksa untuk berjalan dan hanya diizinkan mengangkut barang yang bisa mereka bawa. Pengusiran ini prosentasenya hanya sekitar 10% dari total pengusiran warga Palestina di tahun 1948.

Anjuran Pasukan Arab: Dalam beberapa kesempatan, tentara Arab dari negara-negara tetangga, khususnya Yordania, menganjurkan agar penduduk di kota-kota Palestina mengungsi. Salah satu alasannya adalah untuk memberikan medan perang terbuka antara Arab-Israel tanpa ada warga sipil dalam baku tembak tersebut. Apapun latar belakangnya, banyak warga sipil Palestina meninggalkan rumah mereka di bawah arahan dari tentara Arab, mereka berharap bisa segera kembali setelah kemenangan pasukan Arab, dan hanya menjadi pengungsi di negara-negara tetangga –bukan menetap terus-menerus-.

Dampak Peperangan
Perang Arab-Israel tahun 1948 menciptakan masalah pengungsian besar-besaran di Timur Tengah. Lebih dari 500 kota besar dan kecil di seluruh Palestina benar-benar kehilangan penghuni selama perang ini berlangsung. 700.000 lebih pengungsi dari kota-kota tersebut menjadi beban ekonomi dan sosial di negara-negara tetangga dan Tepi Barat, terutama di wilayah Yordania. Pada tahun 1954, Israel membuatPrevention of Infiltration Law –sebuah hukum yang dibuat Israel untuk mengatur orang-orang yang masuk dari dan ke wilayah mereka baik bersenjata maupun tidak-. Hukum ini memungkinkan pemerintah Israel mengusir setiap warga Palestina yang berhasil menyelinap kembali ke rumah mereka yang telah menjadi wilayah Israel.

Kamp pengungsi dampak dari Nakba 1948.

Saat ini, hak kembali masih merupakan masalah utama yang belum bisa diselesaikan oleh perundingan damai antara Palestina dan Israel. Pengusiran paksa warga Palestina pada tahun 1948 terbukti menjadi masalah yang terus berlangsung bahkan setelah para pengungsi tahun 1948 telah meninggal semuanya di awal tahun 2000-an, masalah pun tetap ada.

Keterangan:

1. Disadur dari buku Jerusalem 33 karya Trias Kuncahyono

Israel Melakukan Pembunuhan Beramai2 Rakyat Palestine 1948 Atau Perang Nakba


Peperangan Nakba ialah peperangan pertama yang berlaku di antara dunia arab dengan israel secara rasminya pada tahun 1948.

Peperangan nakba berlangsung selama setahun lebih lamanya dengan kemenangan diraih oleh israel. Peperangan Suez pada tahun 1956, peperangan arab-israel sekali lagi pada tahun 1967 dan 1973 dan berakhir dengan peperangan Lubnan pada tahun 1982.

Peperangan Nakba berlaku merujuk kepada keputusan PBB pada tahun 1947 yang menyaksikan Palestine berpecah kepada 2 bahagian dimana 55% dari kota itu termasuklah Jerusalem jatuh ke tangan israel manakala bakinya pula kekal di pihak penduduk asal Palestine. Atas alasan ini ISRAEL menggunakan kekuatannya untuk menghalau penduduk asal PALESTINE ke GAZA.

Bagi israel, peperangan NAKBA ialah peperangan suci bagi kepercayaan ZIONISME mereka. Agenda pembentukkan negara ZIONISME ISRAEL tidak hanya bermula pada tahun 1948 bahkan sebelum itu lagi. Ketika zaman Turki Uthamniyah masih tegak berdiri di dunia ini. ZIONIS sudah beberapa kali berjumpa dengan beberapa sultan dari pemerintahan TURKI ketika itu untuk mendapatkan tanah suci PALESTINE bagi mendirikan NEGARA mereka namun permintaan tersebut itu ditolak mentah2.

ZIONIS kemudiannya membuat rancangan dengan BRITISH dan USA ketika itu yang menjadi KUASA BESAR di BLOCK BARAT yang menakluki dunia arab. British la yang berjanji akan menyerahkan tanah PALESTINE kepada ZIONIS meskipun BRITISH bukan la yang berhak untuk memutuskan perkara tersebut (yakni pemilik kepada wilayah itu, bahkan hanya penjajah sementara akibat TURKI yang kalah PEPERANGAN). Alat mereka ketika itu ialah PBB dan beberapa siri perjanjian damai (kononnya). 

ZIONISME memang dah lama aim PALESTINE. Sebab itu dari tahun 1900 daripada 5% orang YAHUDI ZIONIS yang menduduki PALESTINE kehadiran mereka bertambah kepada 31% banyaknya. Dan, satu lagi ketika 5% yang menduduki kota PALESTINE mereka tak claim mereka YAHUDI ZIONISME tau. Mereka menyamar sebagai PENGANUT KRISTIAN, YAHUDI pengikut MUSA ataupun PENGANUT ISLAM. Senang cakap berpura2. Bahkan siap tukar nama lagi. Untuk memastikan tiada sesiapa yang mengetahui bahawa mereka ada rancangan besar iaitu pembentukkan negara ZIONISME di PALESTINE.

Tindakan mereka terancang dan tersusun. Yang membuatkan aku tertanya2 sampai sekarang. Apa yang mengikat kuasa2 besar seperti USA dan BRITISH ketika itu untuk tunduk kepada RANCANGAN ZIONIS? Tak cukup kot dengan sekadar hujah ZIONIS berjanji akan runtuhkan kerajaan ISLAM Uthmaniyah. Aku rasa ada perkara lain neh.

Peperangan NAKBA menyaksikan ;

1. Ribuan kanak2 Palestine dibunuh dengan begitu kejam.

2. Ribuan wanita menjadi mangsa kekejaman, ada yang dibunuh, ada yang dirogol dan pelbagai lagi kekejaman yang tidak dapat tergambarkan.

3. Orang tua, lelaki ada yang turut disembelih hidup2 oleh askar israel atas nama 'memberikan pengajaran' dan 'mendorong rasa takut' agar arab tidak melawan dan tidak menentang pengusiran.

Sebenarnya. Aku baru tahu. Bila tengok pengakuan rakyat israel mengenai kekejaman yang mereka lakukan ketika peperangan Nakba. Beberapa pendedahan dia yang buat aku rasa sayu.

- Rakyat Palestine tidak dilengkapi dengan sebarang persenjataan. Tidak ada. Tidak, waima pistol sekalipun. Tidak ada. Kenapa? Kerana mereka tidak menjangkakan peperangan dan konflik akan berlaku untuk mengusir kehadiran mereka.

- Rakyat Palestine juga tidak dilengkapi dengan latihan ketenteraan langsung. Mereka tiada base latihan untuk berperang dan tidak tersusun. Dalam erti kata lain, mereka tidak menjangkakan akan menghadapi peperangan yang bakal mengorbankan ribuan nyawa anak bangsa mereka ketika itu.

- Tiada mana2 wilayah arab yang melawan secara keras pencerobohan askar israel di penempatan mereka ketika itu. Tiada. Mereka dipindahkan dan mungkin ketika itu tidak menyangka bahawa mereka sebenarnya baru sahaja MENYERAHKAN TANAH MEREKA, NEGARA MEREKA, HAK MEREKA kepada israel tanpa melawan dan yang lebih teruk, rupa2ya takan mendapatkan kembali tanah yang telah mereka kehilangan suatu ketika dulu.

- Yang lebih menyedihkan, ada di antara wilayah2 ini sangat miskin keadaan penduduknya. Sangat daif. Makanan pun takde. Rumah yang selesa jauh sekali. Dengan keadaan yang miskin mana boleh mereka melawan mempertahankan tanahair yang ditakluki oleh israel. Jadi tak aneh juga kenapa israel boleh mengusir rakyat Palestine dengan mudah dan seterusnya memenangi peperangan tersebut pada tahun 1948 sehingga terbentuknya sebuah negara bernama ISRAEL.

- Israel juga sewenang2nya membunuh mana2 pihak yang melawan arahan mereka untuk berpindah ke GAZA. Dan jika ada mana2 arab yang datang kembali ke wilayah asal mereka secara sembunyik2, israel yang memang bersedia dan mengetahui akan perkara tersebut telah memilih untuk menembak mati mereka semua tanpa sebarang AMARAN DIKELUARKAN.

Menangis aku tengok luahan dia. Saudara kita di Palestine diseksa sedemikian rupa dan ada juga di antara kita TEGAR MENYURUH RAKYAT PALESTINE KELUAR DARI GAZA?

Memang komen tak pakai otak kerana tak melihat kepada faktor sejarah. Cubaan menyamakan apa yang berlaku di GAZA dengan hijrah Nabi SAW ialah perkara yang BODOH lagi membodohkan. Ya, HAMAS perlu meletak senjata. Ya, israel juga perlu meletak senjata. Mereka perlu hentikan peperangan in order untuk mencapai persefahaman walaupun total loss yang ditanggung oleh rakyat Palestine adalah perit dan tiada mana2 NILAI DI DUNIA INI yang boleh MEMBAYAR segala PENDERITAAN yang dialami oleh mereka.

Namun dalam waktu yang sama kita juga perlu bersikap adil. Lalu bagaimana untuk PALESTINE berlapang dada dengan israel apabila israel tidak pernah kenal ERTI PUAS dan BERTOLENRASI?

Tak guna sebelah pihak aje yang bertolenrasi.

Ia bukan HAMAS yang enggan mengalah. Ia adalah ISRAEL yang tidak mahu mengalah dari dulu sampai sekarang.

65 Tahun Pendirian Negara Israel

Negara Israel didirikan tahun 1948 di daerah Palestina. Setelah itu, Israel beberapa kali terlibat perang dengan negara tetangga. Konflik Israel-Palestina belum selesai. 


Deklarasi Negara Israel

14 Mei 1948 adalah hari yang mengguncang Timur Tengah. Di sebuah musium di Tel Aviv dideklarasikan pembentukan negara Israel. Pemimpin gerakan warga Yahudi di Palestina ketika itu, Ben Gurion, membacakan deklarasinya. ”Dengan ini kami menerangkan pendirian negara Yahudi di Israel. Inilah Negara Israel”.

Setahun sebelumnya, tahun 1947, PBB menyetujui pembagian kawasan Palestina yang menjadi daerah jajahan Inggris menjadi dua bagian, yaitu bagian Yahudi dan bagian Arab. Mandat Inggris atas kawasan Palestina berakhir 14 Mei 1948. Tapi negara-negara Arab tidak setuju atas pembagian itu. Akhirnya, warga Yahudi di Palestina mendeklarasikan negara Israel di bawah pimpinan Ben Gurion.
Kelompok Yahudi kemudian berusaha menguasai kawasan Palestina yang menjadi bagian mereka. Karena jumlah warga Palestina di daerah itu lebih banyak dari warga Yahudi, Ben Gurion berusaha mengusir warga Palestina keluar dari daerah Israel. Terjadilah pertempuran antara kelompok bersenjata Yahudi dan Arab. Ben Gurion ingin mengusir lebih dari satu juta warga Palestina ke luar kawasan Israel.

Warga Palestina kemudian mengungsi ke negara-negara Arab lain dan ke kawasan Palestina yang tidak dikuasai Israel, yaitu kawasan Jalur Gaza dan Tepi Barat Yordan. Selama pertempuran itu, sekitar 750.000 warga Palestina terpaksa mengungsi. 530 desa dan 13 kota Palestina hancur. Israel menyebut pertempuran ini sebagai "perang kemerdekaan“. Warga Palestina melihat perang ini sebagai invasi Israel atas wilayah mereka, yang mendapat legitimasi dari PBB.
Negara-negara Arab di sekitar Israel, yaitu Lebanon, Mesir, Yordania dan Suriah mengerahkan pasukan untuk memukul mundur tentara Israel. Namun pasukan Israel mempertahankan wilayahnya. Tahun 1949 dicapai kesepakatan gencatan senjata yang rapuh.

Perang Enam Hari
Tahun 1967 terjadi perang enam hari. Ketika itu Israel berperang dengan pasukan dari Mesir, Yordania dan Suriah. Antara tanggal 5 sampai 10 Juni 1967, pasukan Israel berhasil menguasai kawasan Tepi Barat, Jalur Gaza dan Dataran Tinggi Golan. Israel berhasil merebut kota Yerusalem, yang punya nilai simbolis penting bagi agama Yahudi.

Sejak 1967, Israel kemudian menduduki Tepi Barat dan Jalur Gaza. Warga Yahudi mulai membangun pemukiman-pemukiman di kawasan yang diduduki. Warga Palestina di daerah yang diduduki ditekan dan diawasi dengan ketat. Mereka tidak boleh membentuk admistrasi sendiri.
1979 disepakati Perjanjian Perdamaian dengan Mesir. Proses Perdamaian dengan Palestina dimulai 1993. Tahun 2005 pasukan Israel mulai ditarik dari Jalur Gaza. Tapi Israel tetap membangun pemukiman Yahudi di kawasan yang diduduki. Bahkan PM Israel Yitzhak Rabin, yang menentang pemukiman Yahudi, dibunuh oleh seorang ekstrimis Yahudi.
Hingga kini, masalah pemukiman Yahudi menjadi hambatan utama dalam proses perdamaian Israel-Palestina.

Hubungan Israel Dengan Jerman
Republik Federal Jerman mulai membuka hubungan diplomatik dengan Israel 1965. Sebelumnya, 1952, Jerman menyetujui pembayaran ganti rugi senilai 3 miliar D-Mark kepada warga Yahudi di Eropa, yang menjadi korban kekejaman rejim NAZI selama Perang Dunia II.
Kanselir Jerman saat itu, Konrad Adenauer menegaskan, kejahatan yang dilakukan NAZI terhadap warga Yahudi sedapat mungkin harus "diperbaiki“. Tahun 1960, Konrad Adenauer untuk pertama kalinya bertemu dengan Ben Gurion di New York. "Saya senang bisa bertemu dengan Kanselir Adenauer. Saya sudah mengatakan kepada Knesset (parlemen Israel), bahwa Jerman yang sekarang bukan Jerman yang kemarin. Setelah bertemu dengan Adenauer, saya yakin bahwa pandangan itu memang benar“, kata Ben Gurion.
Kini Jerman memiliki hubungan erat dengan Israel. Kanselir Jerman saat ini, Angela Merkel mengatakan, Jerman punya tanggung jawab sejarah terhadap Israel dan terhadap keamanan negara itu.

PBB Akui Palestine Sebagai Negara Berdaulat

Pemungutan suara di PBB mengakui Palestina sebagai negara berdaulat, namun jalan masih panjang untuk kemerdekaan penuh bagi Palestina.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas berpidato di Majelis Umum PBB sebelum pemungutan suara (29/11). (AP/Richard Drew)
Presiden Palestina Mahmoud Abbas berpidato di Majelis Umum PBB sebelum pemungutan suara (29/11). (AP/Richard Drew)

Pengakuan Status Palestine di PBB - Liputan Berita VOA

— Lebih dari dua pertiga dari 193 negara anggota PBB mengakui Palestina sebagai negara berdaulat, dalam pemungutan suara yang diadakan Majelis Umum PBB pada Kamis (29/11) waktu setempat.

Hal tersebut merupakan kemenangan bagi Palestina setelah puluhan tahun pendudukan dan perang, serta pukulan keras bagi Israel dan sekutunya Amerika Serikat. Bendera Palestina langsung dikibarkan di gedung Majelis Umum, di belakang delegasi Palestina, begitu suara terakhir dimasukkan.

Dari 193 negara anggota, 138 menyetujui peningkatan status Palestina dari “entitas” menjadi “negara pengamat non-anggota” seperti Vatikan, sembilan negara menolak dan 41 tidak memberikan suara.

Pemungutan suara bersejarah ini datang 65 tahun setelah Majelis Umum PBB sepakat pada 1947 untuk membagi Palestina menjadi dua negara, satu untuk kelompok Yahudi, dan lainnya untuk Arab. Israel menjadi negara namun Palestina menolak rencana pembagian tersebut, sehingga berlangsunglah puluhan tahun penuh ketegangan dan kekerasan.

Namun kemerdekaan yang sesungguhnya masih belum nyata sampai Palestina menegosiasikan perjanjian perdamaian dengan Israel, yang memperingatkan bahwa tindakan Majelis Umum hanya akan menunda solusi panjang. Israel masih mengontrol Tepi Barat, Yerusalem timur dan akses ke Gaza, dan menuduh Palestina melewatkan negosiasi dengan kampanye peningkatan status mereka ke PBB.

Di kota Tepi Barat Ramallah, warga Palestina berkumpul di alun-alun utama, mengibarkan bendera Palestina dan meneriakkan “Tuhan Maha Besar!”. Ratusan orang menonton pemungutan suara di layar-layar dan televisi di luar ruangan, kemudian berpelukan, membunyikan terompet dan menyalakan kembang api begitu suara terakhir masuk.

Pemungutan suara dilakukan setelah Presiden Palestina Mahmoud Abbas berpidato dan menyebut momen tersebut “kesempatan terakhir” untuk menyelamatkan solusi dua negara.

“Majelis Umum diminta menerbitkan akte kelahiran Palestina,” ujar pemimpin Palestina tersebut.

Amerika Serikat dan Israel langsung mengkritik pemungutan suara tersebut.

“Resolusi yang sangat disayangkan dan tidak produktif terjadi hari ini, yang akan menghambat jalan perdamaian,” ujar Duta Besar PBB Susan Rice.

“Pernyataan besar hari ini akan hilang sebentar lagi dan warga Palestina akan bangun besok dan menemukan bahwa hidupnya tidak begitu berubah dan prospek untuk perdamian yang berkelanjutan telah berkurang.”

Menyebut pemungutan suara tersebut “tidak berarti,” Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menuduh Abbas menyebarkan “propaganda palsu” melawan Israel dalam pidato yang ia sebut “fitnah dan berbisa.”

“Resolusi PBB hari ini tidak akan mengubah apapun di lapangan,” ujar Netanyahu. “Hal ini tidak akan memajukan pendirian negara Palestina, namun malah menghambatnya.”

Negara-negara kunci yang menyetujui status Palestina di PBB adalah Perancis, Italia, Spanyol, Swiss, Swedia dan Irlandia, selain Jepang dan Selandia Baru. Jerman dan Inggris tidak memberikan suaranya.

Selain Amerika Serikat dan Israel, yang menolak adalah Kanada, Republik Ceko, Kepulauan Marshall, Mikronesia, Nauru, Palau dan Panama.

Meski meraih kemenangan di PBB, Palestina menghadapi keterbatasan yang besar. Mereka tidak mengontrol perbatasan, wilayah udara atau perdagangan, dan mereka memiliki pemerintahan terpisah dan bersaing di Gaza dan Tepi Barat, serta tidak ada militer atau polisi yang bersatu.

Dengan status barunya ini, Palestina mendapat akses ke lembaga-lembaga PBB dan internasional, terutama Mahkamah Pidana Internasional, yang bisa menjadi pijakan untuk mengejar Israel dalam kasus kejahatan perang atau pendudukan dan perebutan lahan.

Abbas tidak menyebut-nyebut soal Mahkamah tersebut dalam pidatonya. Namun Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki memberitahu wartawan setelah pemungutan suara bahwa jika Israel terus membangun pemukiman ilegal, Palestina mungkin akan mengajukan kasus ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC). (AP/Reuters) 

Israel: Layak Jadi Negara dan Punya Hak Membela Diri?

|

Salah satu tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah manusia modern terulang lagi. Konflik Israel-Palestina di Jalur Gaza kembali memanas. Bahkan pada 20 Juli 2014 lalu, terjadi kontak senjata yang disebut sebagai salah satu kontak senjata yang paling banyak memakan korban jiwa sejak Perang Enam Hari di tahun 1967.

80 warga sipil Palestina meninggal di wilayah Sheijaya, bagian timur Gaza. 18 tentara Israel dilaporkan tewas. Hingga saat ini, konflik tahun 2014 ini telah menimbulkan korban jiwa dari warga sipil Palestina yang mencapai lebih dari 400 orang (data, disini).

Di Indonesia, dukungan untuk Palestina terus meningkat. Hal ini tentu wajar; sebagian besar warga negara Indonesia memiliki kedekatan akidah dengan sebagian besar warga Palestina. Satu hal yang menarik, kecaman atas tindakan keji Israel selalu dibingkai lewat sudut pandang agama dan kejahatan kemanusiaan.

Ada perspektif lain yang kerap terlupakan dalam pembahasan media tentang konflik Israel-Palestina:

eksistensi Israel menunjukkan betapa sistem politik internasional masih rapuh terhadap gempuran kepentingan pihak yang berkuasa.

Cukup Layakkah Menyebut Israel Sebagai Negara?

Apakah Israel cukup memiliki syarat sebagai sebuah negara?

Apakah Israel cukup memiliki syarat sebagai sebuah negara? via ivarfjeld.com

Perdebatan tentang terpenuhinya syarat sebagai negara berdaulat oleh Israel masih belum terjawab hingga saat ini. Amerika Serikat pada 14 Mei 1948 dibawah pemerintahan Truman-lah yang pertama kali memberikan pengakuan terhadap berdirinya Israel.

Pengakuan dari Amerika Serikat tersebut kemudian dilanjutkan dengan upaya untuk mendapatkan legitimasi sebagai negara berdaulat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Perjalanan Israel tidak semulus yang dibayangkan.

Berita tentang berdirinya negara Israel
Berita tentang berdirinya negara Israel via elmed.io

Pada 15 Mei 1948, sehari setelah pengakuan Amerika Serikat atas Israel, permohonan negeri Yahudi  itu untuk bergabung dengan PBB ditolak oleh Dewan Keamanan PBB. Permohonan kedua Israel pada 17 Desember 1948 menghadapi penolakan keras dari Syria. Lima negara lain di Dewan Keamanan PBB: Inggris, Belgia, Perancis, Cina, dan Canada menyatakan abstain. Selama belum diakui sebagai anggota, Israel bergantung pada Amerika untuk memperjuangkan kepentingannya di PBB.

Barulah selepas Israel mengadakan pemilu presiden dan legislatif pertamanya di tahun 1949, pengakuan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa didapatkan. Pengakuan tersebut disahkan lewat Resolusi Majelis Umum PBB no. 273, tanggal 11 Mei 1949. Namun hingga hari ini, 32 dari 192 negara anggota PBB masih belum memberikan pengakuannya terhadap Israel.

The Montevideo Convention

Apakah semua kelompok punya hak yang sama untuk mendeklarasikan dirinya sebagai negara?
Apakah semua kelompok punya hak yang sama untuk mendeklarasikan dirinya sebagai negara? via www.middleeastmonitor.com

Melihat perjalanan Israel, muncul pertanyaan sederhana: apa yang dibutuhkan oleh sebuah entitas politik untuk membuat dirinya diakui sebagai sebuah negara?

Lemahnya penegakan sistem internasional jadi penyebab konflik ini makin berkepanjangan
Lemahnya penegakan sistem internasional jadi penyebab konflik ini makin berkepanjangan via www.theatlantic.com

Aturan tentang apa yang dibutuhkan sebuah entitas untuk diakui sebagai negara sebenarnya telah disepakati dalam Perjanjian Montevideo, yang ditandangani di Uruguay pada tahun 1933. Dalam pertemuan yang hanya dihadiri oleh 2o negara tersebut, ditentukan 4 syarat utama sah-nya sebuah negara:
  1. Memiliki populasi permanen
  2. Memiliki wilayah yang tetap (defined territory)
  3. Memiliki pemerintahan yang berdaulat
  4. Memiliki kapasitas untuk membangun hubungan diplomatik dengan negara lain
(Pasal 1 Perjanjian Montevideo Tentang Syarat Sah Sebuah Negara)
Hingga hari ini, hanya 4 poin sederhana itulah yang menjadi panduan masyarakat dunia untuk menentukan sah atau tidaknya sebuah negara baru. Pembentukan entitas politik yang berdaulat di abad ke 20 ini, lucunya, ternyata masih menganut pada perjanjian yang belum juga diperbarui dari 80 tahun lalu.

Padahal dinamika politik internasional tidak lagi sesederhana masa dimana Perjanjian Montevideo dilahirkan. Perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut telah jadi sesuatu yang tak terhindarkan. Upaya pencaplokan wilayah negara lain kerap terjadi sepanjang periode Perang Dingin. Itu bahkan masih terjadi hingga saat ini — dibuktikan, misalnya, dengan saling klaim wilayah Laut Cina Selatan oleh negara-negara Asia. Sementara pasca-Perang Dingin, konflik horizontal dan separatisme menggoyahkan stabilitas banyak negara (Rwanda, Bosnia, bahkan Indonesia) serta menantang legitimasi pemerintahnya.

 Dengan kondisi seperti ini, keempat poin dalam Perjanjian Montevideo tidak lagi cukup memberikan jawaban. Dibutuhkan kerangka yang lebih detail untuk menentukan sah-tidaknya sebuah negara.
Di sisi lain, keempat poin di atas adalah standar yang paling diakui masyarakat internasional sebagai penentu sah tidaknya sebuah negara. Jadi, apakah Israel telah memenuhinya?

1. Populasi Tetap

Pembatas antara wilayah Israel dan Palestina
Pembatas antara wilayah Israel dan Palestina via www.shutterstock.com

Definisi tentang populasi permanen sebenarnya cukup sederhana. Hanya sekelompok orang yang meninggali suatu wilayah untuk waktu yang lama, sehingga akan tercipta persamaan kultural diantara mereka. Dengan cara inilah peradaban terbentuk. Etnis dan ras negara baru tersebut tercipta dari interaksi antar penduduk permanen di dalamnya.

Jika dilihat sekilas, Israel tentu memenuhi persayaratan kepemilikan populasi permanen. Hingga hari ini populasi Israel telah meningkat 1000 persen, dari hanya 806.000 penduduk di tahun 1948 ke angka 8.180.000 penduduk pada tahun 2104 (data, disini).

Namun jika ditilik lebih dalam, definisi populasi permanen sebetulnya tidak sepenuhnya dimiliki oleh Israel. Perubahan angka yang cukup fantastis dalam jumlah penduduk tersebut tidak didapatkan secara alami. Pertumbuhan penduduk Israel lebih banyak disebabkan oleh migrasi dan masih banyaknya warga negara Palestina yang berdiam di wilayah yang telah diduduki.

Dalam sebuah tulisan yang dilansir oleh Al-Jazeera dijelaskan bahwa jika dihitung dengan tingkat kesuburan Eropa, dikurangi angka migrasi dan keluarnya penduduk Palestina dari wilayah yang baru diduduki maka sebenarnya tingkat pertumbuhan demografi Israel tidak akan sepesat sekarang.

2. Wilayah yang tetap (Defined Territory)

Perkembangan kepemilikan wilayah Israel
Perkembangan kepemilikan wilayah Israel via skeptics.stackexchange.com

Israel memang memiliki wilayah yang terus berkembang. Pendudukan Jalur Gaza oleh tentara Zionis terbukti efektif untuk melumpuhkan perlawanan Palestina. Dari gambar diatas, bisa dilihat bahwa wilayah Israel (warna kuning) berkembang menjadi lebih luas dengan sangat pesat.
Tapi, perkembangan wilayah tersebut tidak dapat dipisahkan dari pelanggaran Hukum Humaniter Internasional dan terjadinya krisis kemanusiaan. Kepemilikan wilayah ini juga dapat berubah lagi, dan bergantung pada kondisi antara Israel dan Palestina.

3. Pemerintahan yang Berdaulat

Kedaulatan didapatkan dari invasi militer
Kedaulatan didapatkan dari invasi militer via religionandstateinisrael.blogspot.com

Sejak pertama kali berdiri, Israel memang selalu sukses menyelenggarakan pemilu. Pemerintahannya demokratis – dalam artian pejabat-pejabat negara diganti secara berkala, ditopang oleh sistem multipartai yang stabil meskipun anggota-anggotanya kerap berpindah koalisi.

Tapi perlu diingat bahwa kedaulatan pemerintahan Israel tidak bisa dilepaskan dari dukungan negara adidaya yang ada di baliknya. Konsep mengenai kedaulatan juga perlu ditinjau ulang. Apakah pemerintahan Israel benar-benar memiliki daulat di setiap wilayah yang mereka kuasai? Artinya, apakah warga di setiap wilayah yang mereka kuasai itu bisa menerima kekuasaan Israel, atau justru sedang menjalankan perlawanan karena enggan dipimpin?

4. Kapasiti Untuk Membangun Hubungan Diplomatik

PM Israel, Benjamin Netanyahu di sebuah pertemuan internasional
 PM Israel, Benjamin Netanyahu di sebuah pertemuan internasional via bostonherald.com

Apabila hubungan diplomatik hanya didefinisikan sebagai pengakuan atas keberadaan sebuah negara dan/atau pertukaran duta besar dan konsulat, maka Israel sudah memiliki pengakuan dan hubungan diplomatik dengan 160 negara dunia yang bergabung dalam PBB.

Namun bukankah bergabungnya sebuah negara dengan komunitas internasional juga harus sejalan dengan upayanya untuk menghargai prinsip perdamaian dan kemanusiaan internasional? Dari pendudukan Israel ke Jalur Gaza selama ini, tanggung jawab Israel sebagai aktor internasional yang wajib menjaga perdamaian dunia patut dipertanyakan.

Apakah Israel Punya Hak Untuk Membela Diri? (Right of Self-Defence)

Hak untuk membela diri kerap disalahartikan
 Hak untuk membela diri kerap disalahartikan via www.aljazeera.com

PBB dan beberapa negara dibelakang Israel mencoba menjustifikasi serangan yang dilakukan oleh tentara Zionis dengan hak negara untuk membela diri, yang tercantum dalam Pasal 51 Piagam Persatuan Bangsa-Bangsa:
“Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of collective or individual self-defence if an armed attack occurs against a member of the United Nations, until the Security Council has taken the measures necessary to maintain international peace and security…”
Dalam artikel di atas, dijelaskan bahwa sebuah negara berhak membela diri jika terjadi serangan yang membahayakan warga negaranya — sampai Dewan Keamanan PBB menyatakan keputusannya untuk menengahi konflik.

Riyad Mansour, perwakilan Palestina di PBB
 Riyad Mansour, perwakilan Palestina di PBB via www.streamworksint.com

Sayangnya, terdapat dua lubang di balik pemahaman Israel dan pendukungnya atas hak untuk membela diri ini.

Pertama adalah efektivitas Dewan Keamanan PBB yang dipertanyakan dalam usaha penyelesaian konflik Israel-Palestina. Tanggal 18 Juli lalu, Perwakilan Palestina Untuk PBB Riyad Mansour menyatakan permohonannya agar Dewan Keamanan segera mengeluarkan resolusi gencatan senjata untuk Israel dan Palestina. Namun hingga hari ini tanggapan resmi PBB hanya ditunjukkan melalui Sekjen Ban Ki-Moon, yang mengecam respon berlebihan (heavy response) yang dilancarkan Israel.

Kedua, state practice menerjemahkan hak membela diri sebagai hak untuk mempertahankan keutuhan sebuah negara dari serangan negara lain. Tentu ini tidak berlaku dalam kasus Israel dan Gaza, karena Gaza bukanlah negara dan Palestina – sedihnya – belum diakui sebagai negara anggota PBB.  Lebih lagi, Israel mengokupasi Jalur Gaza. Alih-alih hak membela diri, yang dipunyai Israel sebagai pengokupasi adalah kewajiban menjaga stabilitas dan keamanan warga di daerah yang diokupasinya. Kewajiban ini tercantum dalam Konvensi Den Haag 1907, sebuah perangkat hukum internasional yang telah menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional sehingga harus ditaati setiap negara di dunia. Pada Pasal 43 disebutkan:
“The authority of the legitimate power having in fact passed into the hands of the occupant, the latter shall take all the measures in his power to restore, and ensure, as far as possible, public order and safety, while respecting, unless absolutely prevented, the laws in force in the country.”
Apakah korban sipil yang terus jatuh di pihak Palestina karena serangan Israel menunjukkan komitmen Israel untuk menjaga kehidupan normal di wilayah Gaza? Semua pihak yang memiliki rasionalitas tentu akan dengan tegas menjawab tidak.

Konflik Israel-Palestina: Rapuhnya Sistem Internasional Kita

Konflik ini bukan lagi konflik antar agama
Konflik ini bukan lagi konflik antar agama via www.globalresearch.ca

Konflik berkepanjangan antara Israel dan Palestina bukan lagi perkara agama atau kepercayaan mana yang lebih berhak mendapatkan tanah perjanjian, melainkan soal hak hidup warga sipil yang tidak berdosa dan tidak memiliki otoritas politik apapun untuk memperbaiki nasib mereka.

Penderitaan mereka efek dari lemahnya sistem politik internasional
Penderitaan mereka efek dari lemahnya sistem politik internasional via www.huffingtonpost.com

Setelah sekian lama sistem internasional kita terbentuk, konflik Israel-Palestina adalah ujian terhadap efektivitas hukum internasional. Apakah memang rezim internasional yang sudah didirikan berpihak terhadap nilai-nilai kemanusiaan, atau tetap saja didominasi kepentingan negara adidaya? Keputusan yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan PBB akan mempertaruhkan integritas organisasi internasional ini.

Di balik kecaman yang tidak henti ditujukan pada Israel, ternyata masih ada pihak lain yang juga memiliki dosa yang sama besarnya: organisasi internasional dan negara-negara lain yang membiarkan konflik ini terus berlanjut tanpa melakukan apapun.

Selama bertahun-tahun, Perserikatan Bangsa-Bangsa membiarkan Israel terus melancarkan serangan ke Jalur Gaza. Ini adalah tindakan yang mengebiri hak dasar warga sipil serta mengambil nyawa anak-anak Gaza yang tidak berdosa.

Tujuan awal PBB sebagai organisasi yang berupaya menyatukan seluruh negara agar bisa saling mendukung untuk mewujudkan perdamaian dunia sudah tamat dalam kasus Israel-Palestina. Apakah masih layak kita berikan kepercayaan pada organisasi internasional ini untuk menengahi konflik Gaza yang makin memanas?

Konflik Israel-Palestina juga menunjukkan bahwa kita perlu mengkaji ulang konvensi mengenai syarat terbentuknya sebuah negara. Kerangka yang diberikan oleh Konvensi Montevideo sudah tidak lagi cukup menjawab dinamika tentang kedaulatan yang kerap muncul dewasa ini. Jika tidak segera ditentukan kerangka yang lebih tepat, tidak menutup kemungkinan konflik dengan latar belakang sama bisa kembali muncul di belahan dunia lain.

Sementara komunitas internasional masih terseok-seok berusaha mewujudkan perdamaian di wilayah Israel dan Palestina, tentu ada hal yang bisa kita lakukan. Sebagai bangsa yang masih bisa hidup damai tanpa terhantui serangan roket, sudah sepantasnya kita– sebagai manusia – berupaya membantu saudara-saudara yang menjadi korban rapuhnya sistem internasional terhadap penegakan hak asasi manusia.

Bagaimana pendapatmu? Yakin satu-satunya pihak yang harus bertanggung jawab disini hanya pemerintah Israel? Yuk, coba buka mata lebih lebar lagi untuk mengamati fenomena yang terjadi disekitar kita.

Lakonan Media Israel kritik John Kerry

WASHINGTON 29 Julai - Hubungan Amerika Syarikat (AS) dan Israel mula goyah apabila Washington terpaksa mempertahankan kenyataan Setiausaha Negara AS, John Kerry berhubung operasi ketenteraan ganas tentera rejim di Genting Gaza, yang mengundang kritikan hebat daripada media rejim Zionis.

Kemelut antara dua sekutu rapat itu tercetus selepas kegagalan Kerry membantu persetujuan gencatan senjata antara pergerakan Hamas dan Israel, selain beliau menyifatkan tindakan rejim Zionis di Gaza sebagai 'operasi neraka kecil' ketika ditemubual dalam rangkaian berita Fox News awal bulan ini.
Media Israel mengkritik keras idea Kerry selepas maklumat usul perjanjian gencatan senjata itu bocor ke pengetahuan pihak media bahawa beliau mahu operasi ketenteraan untuk memusnahkan terowong Hamas dihentikan bagi membuka jalan rundingan antara rejim Zionis dan Hamas.

Malah media Israel menuduh Kerry sebagai pengkhianat apabila meletakkan tajuk besar, John Kerry: The Betrayal (John Kerry: Si Pengkhianat) dalam satu ruangan pendapat akhbar Times of Israel sambil menyifatkan campur tangan beliau dalam konflik di Gaza memberi kekuatan kepada Hamas untuk memusnahkan Israel.

Jurucakap Jabatan Negara AS, Jen Psaki bagaimanapun menolak kritikan Israel dengan menyifatkan alasan Kerry terlibat dalam konflik di rantau Asia Barat itu bertujuan untuk menghentikan serangan roket Hamas dari Gaza. Jelasnya, Kerry masih merupakan sekutu rapat Israel dan kritikan media terhadap beliau bukan cara dua sekutu rapat saling berhubung. 

"Saya tidak mahu mengulas motif kebocoran maklumat usul perjanjian itu, tetapi mereka (Israel) perlu menyokong usaha berkenaan dan tidak patut mengecam atau menyerang pihak yang memainkan peranan penting untuk menjayakan perjanjian tersebut," katanya.

Di White House, Timbalan Penasihat Keselamatan Negara, Tony Blinken berkata, usul gencatan senjata tersebut bukan idea AS tetapi draf awal yang dibuat oleh kerajaan Mesir bagi mendapatkan maklum balas daripada Israel. - REUTERS



AMUKANMELAYU - Jika di biarkan Cina bersama Islamelayu LIBERAL, Malaysia akan menjadi Plastine kedua...........